Tiga Cara Membuat Sajak dengan Dingin yang Kejam dan Hujan yang Parah
1. JANGAN pernah menyatukan dia, dingin yang kejam itu dengan aku, hujan yang parah ini, dalam satu bait, kecuali kalau kau hanya membuat sajak satu bait. Memang, sulitlah memisahkan kami berdua, tapi itulah tantangan menyajakkan kami.
2. JANGAN pernah menyebut dia, dingin yang kejam dan aku, hujan yang parah itu, dengan jelas. Samarkan kami berdua dengan sejumlah kata lain. Semakin samar, semakin baik, karena semakin mengancam kami: dingin dan hujan ini.
3. SAJAK adalah panggung kosong, yang riuh lakon sampiran. Kami, dingin yang kejam dan hujan yang parah adalah pelakon utama yang hanya muncul pada puncak adegan yang tak pernah ada. Mendakilah terus dari bait ke bait. Kami akan menggelincirkan engkau!
Beberapa Bait dari Beberapa Kata yang Berakhir dengan Huruf ‘M’
1. KITA sepasang ombak, yang matang, bertembuk di pantai curam, dari tengah laut kita bertimpaan, selam-menyelam. Tiada yang ingin karam.
2. KARANG itu, dulu, adalah aku, ombak yang tak ingin redam. Dan pantai itu, dulu, adalah engkau, badai yang tak ingin padam. Kini, kita damai, berdamai, tapi dendam, saling memendam.
3. DI laut yang dalam, tahukah kita beda siang dan malam? Beda surut atau pasang? Gelap dan senyap, adalah tempat, dan alasan sembunyi yang lingkup lengkap.
4. JIKA aku datang, mengejar engkau, aku adalah ombak yang mengetam jejakmu, melicinkan lagi pasir, dan pantai itu. Maka, engkau adalah hal yang tak tergapai.
5. KALA kalam kelam, lidahku sehitam malam. Yang kuucapkan, kata yang tajam, melukai mulutku sendiri, semakin semak maki-maki.
6. DI sinikah kita janji ketemu? Di muara muram ini? aku elu-elu dari hulu, kau jerat jerit elang laut itu. Di muara murung ini?
7. DENGAN demam, tubuhku mengucap apa yang ia pendam. Mungkin, akhirnya, kami, aku dan tubuhku, rindu sekadar sekejap pejam.
Lihat Kebunku Penuh dengan Luka
APA warna sepi? Ia sembunyi dari tangkap mata, di lewat waktu, mekar jingga gerbera, kita menanamnya di tanah luka.
APA aroma sepi? Darah yang tak menetes, getah yang tak mengalir dari luka tangkai gerbera, waktu kita memetiknya.
APA rasa sepi? Daun jatuh tak terseduh, ia bayangkan yang larut di gelas kita, yang dulu tak sempat sampai ke kelopak gerbera.
Satu-Satunya Alinea yang Bisa Kaubaca dari Sekian Alinea yang Ingin Kutulis
SUDAH aku bersihkan gulma. Rasa liar yang menghama. Hatiku, bukan lagu huma. Sudah aku sisihkan batu. Melilip di gerutu mata garu. Aku tak bisa pergi dari situ, tapi tak lagi menunggu. Sudah aku mandikan, diri yang badan, dengan parah harapan, pada hujan masih membasahkan.
Beberapa Aforisme
1. KAU dinding kurambati. Tegak meninggi. Aku liana tak bersulur. Kita bicara dalam bahasa akar. Aku memucuk seulur-seulur.
2. TANAM diri dalam sunyi, pada tanah meredam bunyi. Biarkan akar yang mencari, lalu nanti bunga yang bilang, kami telah temukan diri kami.
3. AKU tunas kecil pada pohon besar-Mu. Tumbuh dengan air yang kau kirim dari akar-Mu. Ternaung di kerimbunan-Mu. Berdaun dengan kehijauan-Mu.
4. KALAU kita bertemu nanti, kucapai pucuk-Mu tinggi, tak akan ada doa lagi. Aku telah berbatang di dinding-Mu. Daunku adalah daun-Mu!
***
Hasan Aspahani lahir di Sei Raden, Kalimantan Timur, 1971. Kini menetap di Batam. Buku puisi terbarunya adalah Mahna Hauri (2012).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar