Selasa, 15 Juni 2021

Puisi-Puisi A'yat Khalili

arsippenyairmadura.com, 14 Mar 2017
 
PEMBISIK MUSIM
 
setelah langit pudar dengan jejak pulang yang kulewati
membekas tanda dalam gurat telapak yang lamat-lenyap
gemuruh musim masih menantimu sebagai peladang ulung
yang melukis nasib ribuan bibit dari mimpi sunyi. kucium
nafas dan rahasia birahi yang mengaburkan angin
pada pucuk bebunga berkisar kawin di ujung waktu.
 
seperti mimpi kita yang riuh, menangkap musim
dalam mamaca sesak di ujung lidah yang mengiris malam
tanpa jerit mengepak dengan sayap obur ke dasar ladang
 
dalam sesungkup pijak, tak ada alamat retak pada daun jatuh
menanti semi yang jauh-sebentang jarak dirimu mengukur bumi
jejak hujan di tubuh telah lesap dan kering tak bersisa alir
hingga peladang pulang, nelayan kembali, menjeritkan impian
di malam hari. ribuan tangan merobek langit gelap
memintal segenap permohonan curah.
 
buka matamu pak, usai sudah kita meladang, terkubur dengan
tangan hampa. aku ingin panen! di padang-padang ini, meski
hanya dengan lahan doa.
 
sampai hujan kembali turun, ladang-ladang subur di hatimu
dan engkau menembang lagi ujung tabun ke hari tiada tepi
sampai langit yang pudar segala bunyi kembali retak oleh bisik
nasib malangku-malangmu, di sini.
 
Telenteyan, 2012
 
 
 
TELENTEYAN
-dalam sketsa
 
kau lukis hamparan padang kering dirundung tanah sepi-kelahiranku
yang amis membasahimu-sampai menyala mata Soksok di kuning jemari
memilih mimpi melebihi matahari. sebelum jujuk tanam mataair—
nyior-nyior lembah membentuk pemandangan luas tempat bakal kau cipta
rahasia. debu-debu dihanyut angin, dilari burung. belukar-belukar
mengais, menari, bagai rumput yang menghampar adat tersulam.
 
dengan mata terang, tanah dengan kebun-kebun kelapa yang merunduk
di pikul bahunya, kau tidur mengabadi lambai Poles diulur jauh pijak
yang meninggi atas hujah dari segala yang terlukis silam. entah, mereka
seperti rupa-rupa bisu mencuat penuh ritmis di tiap dataran, sesekali tempias suling
dan tembang terus berpanen agar aku lahir pada tanah tempat leluhur berkuasa
Telenteyan! nun jauh sangsai, kuceritakan muasal darah kawasan ini padamu
agar cinta tak paling sejak kapan kita lahir, datanglah lagi!
 
bak petuah lama, selagi peristiwa masih bersarang dan sembunyi dalam tubuh
kau pukul beduk kampung mengaku kembali sepucuk Gindaga, jujuk kami!
tentang ambisi apa yang merebus periangan agar aku dibiarkan sendiri.
Saladi, Garincang, Poles, berkepundan dan masih kasat, berdiri bagai penimba
di dalamnya aku dendang cerita kanak-kanak, kakek-nenek dari layar suku
yang berdandan alit sambil melambai meltas menjhâlin—suatu kelak kau bakal
jadi pengarang yang mulia, para penenang rahasia, pemandang sejati!
 
doa dan mantra kembali bersurai menjadi retakan-retakan rebana, seakan-akan
kaki langit masih sejajar dengan hasrat dan mimpi, bumi dan hati beraduk
sebagai tanah tak terpisahkan—tempat kau hikmat meniup nafas, meniti agung
tanah yang tak pernah sangsi bela bagi langkah-langkah masa seperihal damba
sampai kita lahir, hamparan padang kembali terang, kebun dan sawah bermakna
bagi panorama semesta yang tersemayam tenang ke pijaran lalang
pada darah yang terus mengalir—kini kau perhatikan, telah mewarisi segalanya.
 
Eyang, Eyang! serta bibir yang terus bertanya, biografi apa yang
kau sisip, antara duka dan bahagia. kini, tubuhku telah berdiri, muji seagung kambang
mengindung sila adat dari ragam rupa dan asal-sembari mengingatmu dalam catur
dalam nyanyian ibu, yang hanya menyerupa besulur Lèntè dan benih mataair
menjelma nama tanah yang mengeras dan bertahta dalam mimpi.
 
Longos, 2008
 
 
 
KIDUNG PADANG ARA
-Epak, dan kisah
Orang-Orang Gunung Bintang
 
1
kau membuatiku perahu dengan dayung jati
dengan segambar selat serupa bulan celurit cantik
melilit separuh batang tubuhku yang perkasa
siap mengiring cerlang langit ke batas sagara
bulan rekah bertaut sendiri, berputar kembali.
 
sejenak aku membayangkan engkau berbidik
bambu dan menanak buluh rebung di hilir kampung
moyang di Pinangan ketika cahaya masih menyemai
tangan kita sebagai perajut Pundu di balik tikar
menulisi jazirah pertiwi seluas-luasnya
 
“ engkau bisa menjadi penjaga muara atau peramal
kecil bintang segera jatuh! “
 
2
dan pandangmu pun selalu menyapu rambutku
yang hijaukuning di tiap dataran, di hujan abu dan panas
di mana aku pernah belajar mengikati burung, tankotan,
selesai perjalananmu paling panjang
jadi perantau atau lajang di tanah kelahiran.
 
ketika seorang wiro mengisahkan segala sesuatu
sengarai sukumu, aku seperti mengintip ibu kota
yang kian basah itu-serupa hamparan luas cahaya
logam-logam dan tambang mutiara-di mana mereka diajar
berlayar ke tasik, bepergian dengan kata-kata
bahasa bertani dan mengolah dayung ke samudra.
 
3
nasib telah memegang kendali, serumpun tanah lapang
yang kini berjajar lagi-kita yang terbiasa melihat-lihat langit
tiang-tiang Merah Putih, antara Camar Bulan-Teluk Melano
di antara siul dan layar televisi
sering membayangkan peristiwa dalam angan.
meski selamanya engkau menekuri ukir dan bidik
kursi dan meja kayu jati, juga bangku dan balai tidur
yang setiap saat teriris masa silam-jauh sebelum aku
layar perahu. enyah hidupmu ke rawa pedalaman.
 
4
di mana dahulu kita ladangi mimpi di amper gubuk
tanpa pelangi-beratus musim tak terselesaikan belajar
menasik, bertanya dan bercakap tentang pelayar, peladang
bertempat tinggal dan raib dijatuhi daun-daun kenanga.
di sawah, di ladang-ladang yang mereka bajaki-hidup tanah
bersama gerimis, kita yang kusuk dan terusir jatuh
dari tangkai-tangkainya, di mana kau tebar bijian padi
menjadi bidingan kresek dan potong leher sepanjang urat tangan
yang selalu dirakit untuk belajar mandiri.
entah, kini tanah seperti kembali tenggelam-pada ritmis suaramu
yang mengidung di batas labuh-perahuku yang jauh ke ufuk
sangsai jua dia lautmu, yang kau kalungkan dileherku dulu
sebagai batas dari rupa dan tutur kapal-kapal berlayar
di riak selat dan lirih suling yang berkeping-keping
menjadi tanah kelahiran tak bertepi.
 
Madura, 2010
 
A’yat Khalili, dilahirkan di Kampung Telenteyan, Desa Longos, Kecamatan Gapura, Kabupaten Sumenep, 10 Juli 1990. Menyelesaikan pendidikan dasar di MI Taufiqurrahman-Longos (1997-2003), SMP Yayasan Abdullah (YAS’A) Pangarangan (2004-2006), MA 1 Annuqayah, Guluk- Guluk (2006-2009), INSTIKA (2010-2014). Mulai belajar menulis sejak pindah sekolah ke kota (SMP Yayasan Abdullah, 2005)—bergiat sebagai ilustrator di Debat-Tulis (2005-2006), dan mulai publikasi sejak di PP. Annuqayah Latee (sejak 2006) sebagai penggerak komunitas Rumah Sastra Bersama (RSB) dan Bengkel Puisi Annuqayah (BPA). Karya-karyanya berupa puisi, cerita pendek, esai, artikel dan ulasan—pernah tersebar di pelbagai media lokal dan nasional, juga banyak mendapat penghargaan. http://sastra-indonesia.com/2021/06/puisi-puisi-ayat-khalili/

Tidak ada komentar:

A. Mustofa Bisri A'yat Khalili Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Wachid B.S. Abi N. Bayan Abidah El Khalieqy Acep Syahril Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu AF Denar Daniar Afrizal Malna Agus Manaji Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Maltuf Syamsury Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Ala Roa Aldika Restu Pramuli Alfatihatus Sholihatunnisa Alfiyan Harfi Ali Makhmud Ali Subhan Amelia Rachman Amie Williams Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Andry Deblenk Anggie Melianna Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Aprinus Salam Ariandalu S Arieyoko Ksmb Arya Winanda As Adi Muhammad Asep Sambodja Atrap S. Munir Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Badaruddin Amir Bakdi Sumanto Bambang Darto Bambang Kempling Bambang Widiatmoko Beni Setia Beno Siang Pamungkas Bernando J. Sudjibto Bernard S. Y. Batubara Binhad Nurrohmat Budhi Setyawan Budi Palopo Bustan Basir Maras Chairul Abhsar Chavchay Saifullah Cut Nanda A. D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Afriady Dadang Ari Murtono Daisy Priyanti Daysi Priyanti Dea Anugrah Dea Ayu Ragilia Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Desti Fatin Fauziyyah Dewi Kartika Dharmadi Diah Budiana Diah Hadaning Dian Hartati Didik Komaidi Dimas Arika Mihardja Djoko Saryono Dody Kristianto Dorothea Rosa Herliany Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Edy Lyrisacra Effendi Danata Eimond Esya Eka Budianta Eko Hendri Saiful Eko Nuryono El Sahra Mahendra Ellie R. Noer Elly Trisnawati Emha Ainun Nadjib Endang Supriadi Endang Susanti Rustamadji Eny Rose Eppril Wulaningtyas R Esha Tegar Putra Esti Nuryani Kasam Etik Widya Evi Idawati Evi Melyati Evi Sefiani Evi Sukaesih Fadhila Ramadhona Fahmi Faqih Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fatimah Wahyu Sundari Fauzi Absal Felix K. Nesi Fikri MS Fina Sato Firman Wally Fitrah Anugerah Frischa Aswarini Gampang Prawoto Ghaffur Al-Faqqih Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Gunawan Maryanto Gunoto Saparie Gus tf Sakai Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamid Jabbar Hari Leo Haris del Hakim Hasan Al Banna Hasan Aspahani Hasta Indriyana Helga Worotitjan Heri Latief Heri Listianto Heri Maja Kelana Herlinatiens Hudan Hidayat Hudan Nur Ibnu Wahyudi Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilenk Rembulan Imam S Arizal Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santoso Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indrian Koto Isbedy Stiawan ZS Iwan Gunadi Javed Paul Syatha Jibna Sudiryo Johan Khoirul Zaman Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Saputro Jufri Zaituna Jusuf AN Kadek Wara Urwasi Kadjie Bitheng MM Kartika Kusworatri Kedung Darma Romansha Kika Syafii Kirana Kejora Kirdjomuljo Kurnia Effendi Kurniawan Junaedhie Kurniawan Yunianto Kusprihyanto Namma Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lailatul Muniroh Landung Rusyanto Simatupang Lela Siti Nurlaila Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Linus Suryadi AG Liza Wahyuninto Lubis Grafura Lutfi Mardiansyah M. Badrus Alwi M. Faizi Maghfur Munif Maghie Oktavia Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maqhia Nisima Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marwanto Mas Marco Kartodikromo Mashuri Mathori A. Elwa Matroni el-Moezany Maya Mustika K. Mega Vristian Miftahul Abrori Mohammad Yamin Muhammad Ali Fakih Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muntamah Cendani Mustiar AR Mustofa W Hasyim Mutia Sukma Nadjib Kartapati Z Nanang Suryadi Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Noor Sam Nunung S. Sutrisno Nur Iswantara Nur Lodzi Hady Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Pariyo Adi Pringadi AS Pringgo HR Puisi-Puisi Indonesia Purwadmadi Admadipurwa Puspita Rose Putri Sarinande R. Toto Sugiharto Rachmat Djoko Pradopo Raedu Basha Ragil Suwarno Pragolapati Rakai Lukman Rama Prabu Ramadhan KH Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Ribut Wijoto Rikard Diku Robin Al Kautsar Rozi Kembara Rudi Hartono Rusydi Zamzami S Yoga Sahaya Santayana Saiful Bakri Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Selendang Sulaiman Seli Desmiarti Sigit Sugito Sihar Ramses Simatupang Siska Afriani Sitok Srengenge Sitor Situmorang Slamet Rahardjo Rais Slamet Widodo Sosiawan Leak Sreismitha Wungkul Sri Harjanto Sahid Sri Jayantini Sri Setya Rahayu Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunardi KS Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutirman Eka Ardhana Syifa Aulia Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Ranusastra Asmara Teguh Triaton Tengsoe Tjahjono Tharie Rietha Thowaf Zuharon Timur Sinar Suprabana Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Ulfatin Ch Umbu landu Paranggi Unieq Awien Usman Arrumy W. Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyu Subuh Warih Wisatsana Wayan Sunarta Weni Suryandari Widi Astuti Wiji Thukul Winarni R. Y. Wibowo Yonathan Rahardjo Yosi M Giri Yudhi Herwibowo Yudhiono Aprianto Yurnaldi Yusri Fajar Yusuf Suharto Yuswan Taufiq Yuswinardi Zaenal Faudin Zainal Arifin Thoha Zamroni Allief Billah Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae