Pada seluruh luka kita akan mengeja, berapa pendek dan panjang kesakitan yang musti dihubungkan, dibungkam, disembuhkan. Sebelum siksa di tubuh manusia menganga, kita hanya pipa-pipa mukosa di perut domba, setiap hari kita pamah rerumput yang jatuh dari lubang hitam dinding-dinding kelam. Tak ada jerit sakit, pendek atau panjang hanya nyanyian gudang penampung sebelum kran terakhir mengintip muara lahir. Dunia luar tanpa mercusuar, atau kita yang terbiasa menyala dalam legam. Percakapan-percakapan bungkam. Bahasa terabaikan dalam gerak peristaltik, dinding-dinding merah muda, berlendir, mahir mengeja rasa dalam asam basa. Mengaduk keduanya di lapang nihil. Tak ada kebencian makhluk lain, hanya benih-benih rerumput yang kita ramut dan pilah sesuai desah. Bising usus terdengar halus di sela-sela kita yang rakus: dinding yang tak pernah aus atau haus. Dan kita tak juga terputus, bekerja dan bekerja, meski nyawa tuan hilang sementara, kita budak sepanjang masa, sebelum luka manusia membutuhkan kita.
Lamongan, 2021
FOOTAGE-FOOTAGE ASING
ia hanya kepala yang timbul tenggelam di rawa,
dilingkari pohon leda yang menyerap
keping-keping warna sekujur tubuhnya
ada yang tak terbaca oleh mata usia
sepanjang jalan makadam
hanya makam
dengan nisan-nisan
batu tanpa epitaf
hanya ucap orang
-orang tua. seolah
manuskrip tua.
ia dari madura
dan bermukim di jawa
karena agama dan
kejaran belanda
ia berdiam di hutan di danau timbul tenggelam
angan-angan wajah perempuan
sesekali menjelma tembakan
seisi rumah berisi tangisan yang
lekas jadi kerlip doa nyawa-nyawa
yang kehilangan kepala menjadi
cerita, dongeng-dongengan
di masa depan
agar jeritan terpelihara
di tubuh ketakutan
tapi yang teriris dari raut tangis anak-anak
tak lagi cerita-cerita iblis. masa lalu dan
hantu-hantu hanya gangguan kecil di balik
pintu atau batu-batu yang dirumat akar randu,
ia tak berhasil memeluk erat
dada anak-anak, degup lain
tumbuh dalam footage-footage
asing yang sempat dikaji
kriptozoologis, atau
kriptobotanis, dalam
tubuh feminis
mulut-mulut mereka
dijejali lumpur tapi
ketakutan tak tumbuh
seperti penyakit-penyakit kambuh
atau ruh-ruh yang melepuh
setelah lepas dari tubuh.
Lamongan, 2021
*) Fatah Anshori, lahir di Lamongan 19 Agustus 1994. Novel pertamanya “Ilalang di Kemarau Panjang” (2015), dan buku kumpulan puisinya: “Hujan yang Hendak Menyalakan Api” (2018). Salah satu cerpennya terpilih sebagai Cerpen Unggulan Litera.co.id 2018, dan tulisanya termuat di Sastra-Indonesia.com sedang blog pribadinya https://fatahanshori.wordpress.com/
http://sastra-indonesia.com/2021/04/puisi-puisi-fatah-anshori/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar