betapa malang dirimu
yang tak punya kepandaian apapun
selain mengutuk musim
yang berlarian di sepanjang jalan
berapa harus kau bayar
hidup yang sia-sia
dengan hanya menceracaukan
kutuk dan serapah
;bapak yang begitu kurang ajar
bersepakat dengan ibumu menciptakan
sebuah takdir yang tak kau kehendaki
lalu apa lagi
jika bunga-bunga pada pakaianmu
terus tumbuh
seekor ular kecil sembunyi di sana
dan sedikit nakal menggelitiki
kelaminmu
;hidup adalah warisan
yang terus diturunkan
selalu saja tubuhmu kosong
setiap kali ada yang menziarahi
kelayapan di mana saja kau ini hari
kau gantungkan impian pada sepotong malam
kau terlihat begitu kasihan dan kesepian
yang tak memiliki kepandaian apa-apa
selain mengutuk waktu
yang terus berlarian
di sepanjang tubuhmu yang kosong.
2006
Perempuan Laut
aku ingin tamasya ke tubuhmu yang pantai
melayari teluk dan riang ombak di palungmu
yang landai
menyelami dasar dan seluruhmu
sampai matahari menungguku pulang
tubuhmu, butiran pasir yang tertinggal
di lengan para penziarah yang kembali
ke balik kelam
meruat dan menanam di balik dapur
haruskan kujilati asin rambutmu, bacin tubuhmu
tiap kali kau terpekik – serupa camar,
jika mendulang mendung dan hujan
pada muara tubuhmu yang melulu lumpur
beri aku peta, sekadar petunjuk akan arah
akan kujelang tubuhmu
sebagai satu-satunya penziarah
yang membawa gunung ke asam-garam
lautmu
yogyakarta, juni 2006
Sebuah Ramadhan
malam itu bulan berlari kekasih
dilompatinya pohon bambu
lalu sembunyi di balik asam
aduh, betapa hidup terasa muram
sebelum malam padam
tak lagi genap puasaku
jika mengingatmu
membatalkan niatku
malam itu langit tak cukup
menampung rinduku kekasih
sebentar lagi imsyak aku tak tahu lagi
apakah aku bisa mempuasakan
segala keluh segala rindu
piyungan, oktober 2006
Amak dan Suatu Lebaran
malam ini mak, kucium keringatmu
yang beraroma api tungku
bolumu, hangus sebelah, lihatlah
di luar malam semakin matang
tanganmu masih cekatan dan mata begitu awas
menjaga lebaran tidak tersesat
lebaran tak lewat di kampung kita
katamu dulu tiap kali kutanya baju baru
mungkin tahun depan
saat kemarau sedikit bersepakat
dan tanganmu masih saja menata-nata
bolu, kue sangko
kompormu terlalu besar, mak
minyakmu terlalu panas
kue sapik dan loyangmu bisa terbakar
apa kataku,
dapur kita terbakar
api kelewat cepat melalap riwayat
hingga yang bersisa isakmu di susut dapur
bapak keburu membungkus kain
sebelum api sempat padam
dan lebaran ini, kau masih membisu
sedang usia berpacu dengan musim
dan aku melayari pulau
demi mencari tiang penyangga
agar dapur kita kembali kukuh
dan bolumu kembali matang
lalu, aku tak lagi mampu mengingat jalan
rantau menelantarkanku dalam
kerlip kunang-kunang
barangkali – seperti dulu – mak,
lebaran ini aku tak pulang
dan kau kian belukar dipagut
penantian dan kepulangan
2006
Catatan: amak, ibu.
Stasiun
kita adalah stasiun
di mana keberangkatan
dan kepulangan
begitu saja mengatur
jadual lewat
sakit dan ngilu
diri
sepertimu,
aku ingin melepas pintu
agar tubuh ini
menjadi tempat keluar-masuk
yang paling aman
siapa saja yang terbiasa
dengan luka
poetika, 250706.
http://sastra-indonesia.com/2009/02/puisi-puisi-indrian-koto-2/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar