Yang kita kenang tentang jalan
adalah bentangan angin
Tempat mimpi menjadi dingin
dan lagu-lagu tersimpan
Sebuah kebangkitan?
Suara kelebat bendera-bendera
Lidah api di gelas martini
Molotov yang bahagia
Melalap doa dan liturgi
Di dinding bui
Tak ada yang dapat kau daras
Tentang seribu gelombang sunyi
Berdiam di 109 Mhz
Di Wonderwall
Ada sebuah pintu
Dengan sebuah ketukan awal
Merayap dari masa lalu
MENDENGAR WONDERWALL, 2
Seekor kucing mendengkur
Tubuhnya melengkung mengukur petang
Di kaki sang tuan
Dua puluh dua tahun lalu
Bergerak para serdadu
Sangkur bergemeretak
Debu di jalan mengombak
Seekor kucing gontai kurus
Menyelinap di sepatu lars
Berderap wajah-wajah rata
Dingin seperti runcing senjata
Dan ada sebuah tembakan
Kucing itu melayang
Seperti gumpalan kapas usang
Lama aku mengenang
Ia sebagai kucing terbang
MENDENGAR WONDERWALL, 3
Dan perempuan itu orang suci
Seperti cintaku padanya
Di kakinya ada surga
Orang-orang membungkuk
Berebut mencium jejak
Ia mungkin berkah dewi
Kecuali di sudut taman ini
Di antara melati dan mawar
Ia bermata nanar
Di tanah yang menjadi merah
Seekor kucing putih
Dipukulnya mati tadi pagi
MENDENGAR WONDERWALL, 4
Atas nama daftar hitam
Dinding ini pernah bergumam
Dalam testimoni rahasia
Kematian pertama?
Mereka memang tulus pergi
Orang-orang mengiranya mati
Di dinding ini. Ada bisikan,
Semacam caci maki bangkit
Dalam ambisi yang buncit
Orang-orang berdusta
Dan derap kaki para jelata
Semakin memacak jarak
Dalam sunyi dan bunyi
Ada repetisi sajak
Tentang bunga dan tembok
Lalu terdengar lagu revolusi
Seperti sebuah koor
Dengan nada tak terukur
Atas nama daftar hitam
Dinding ini pernah bicara
Dalam huruf tak terbaca
MENDENGAR WONDERWALL, 5
Di dinding ini, katamu
Ada cerita tentang kolam
Airnya jernih dan bening
Berbayang patahan ranting
Di kolam itu, katamu
Kita bisa bercermin
Di tengah hutan randu
Tempat kijang bermain
Di balik pepohonan itu, katamu
Ada sebuah telaga
Tempat membunuh dahaga
Dan burung-burung pun mandi di sana
Airnya dingin berkilau, katamu
Seperti danau di Antartika
Tempat pesta para dewa
Yang tak pernah berkaca
Tentang orang-orang hilang itu, katamu
Mereka mungkin ada di sini
Berdiam di dasar telaga
Dan menjadi arca
_______________________________
Nezar Patria,
kelahiran Sigli, Nanggroe Aceh Darussalam 5 Oktober 1970, seorang wartawan,
aktivis, dan penyair. Sekarang menjabat pemred The Jakarta Post; sejak tahun 2016,
bergabung di koran berbahasa Inggris tersebut untuk platform digital, lalu awal
2018 ditugaskan memimpin versi cetaknya. Sebelumnya, wartawan di Majalah Berita
Mingguan Tempo (1999-2008), tercatat salah satu pendiri portal VIVA.co.id
(2008-2014), dan redaktur pelaksana. Tahun 2014-2016, jadi wakil pemimpin redaksi
CNN Indonesia (Digital).
Karya jurnalistik
investigasinya pernah memenangkan Tolerance Prize dari International Federation
of Journalist (IFJ) bekerjasama European Council, Manila 2004. Jadi Ketua Umum
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) 2008-2011, dan terpilih sebagai Anggota Dewan
Pers, dua periode (2013-2019). Alumni Fakultas Filsafat UGM (lulus 1997), mendapat
gelar M.Sc dari The London School of Economics (LSE), Inggris, untuk Studi Politik
dan Sejarah Internasional, tahun 2008.
Selain organisasi
jurnalis, kerap terlibat di berbagai riset politik. Akrab tema politik sejak masa
mahasiswa, terutama aktif dalam gerakan mahasiswa pro demokrasi awal 1990-an
hingga Reformasi 1998. Di masa itu sebagai Sekretaris Jenderal Solidaritas
Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), sebuah organisasi mahasiswa yang masuk
daftar hitam rezim Orde Baru. Di dunia riset, kini tercatat selaku Dewan
Redaksi di Jurnal Prisma, diterbitkan LP3ES. Pernah menjadi periset paruh waktu
di International Crisis Group (ICG) Asia Tenggara (2004-2012).
Bersama Tia
Setiadi, tahun 2017 mendirikan Circa di Yogyakarta; penerbit indie yang aktif
menerbitkan buku fiksi dan non-fiksi bertema seputar jurnalisme, sastra, dan
filsafat. Buku terbarunya sendiri ada dua; yang non-fiksi bertajuk “Keputusan
Sulit Adnan Ganto” (Circa, 2017, ditulis bersama almarhum Rusdi Mathari),
sebuah biografi seorang bankir yang jadi penasehat ekonomi bagi tujuh menteri
pertahanan RI. Buku kedua, sehimpun puisinya yang dimuat Harian Kompas dan Koran
Tempo, diterbitkan Diva Press, berjudul “Di Kedai Teh Ah Mei” (2018).
http://sastra-indonesia.com/2020/02/lima-puisi-karya-nezar-patria/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar