MENYELAMI DIRI
/1/
dalam sungging begini mesra
kita senyapkan segala wicara
dan istirahkan segenap suara
biarkan rasa meracik makna, menakik cinta
dan merumuskan bahasa bagi rindu di dada
/2/
cuma bersentuh sekejap cahaya
beribu indah kata menyerbu dada
berlaksa agung irama merebut jiwa
dinda, kita pun disergap kidung asmara
bersari bening suara
dan disekap di ranah asing rasa
yang menolak diungkap bahasa
dinda, jangan meronta, pasrahkan sukma
hening biarlah bertakhta, menguntai sabda
kita sesap tanpa kata-kata: apalagi suara!
/3/
bila diam sudah lengkap mengabarkan rindu
buat apa desah suara diracik sebegitu merdu
kata-kata dirakit-rakit penuh semerbak rayu?
bukankah malah menawarkan pergolakan kalbu?
jika isyarat telah utuh mengirimkan bening hajat
untuk apa baris hasrat disorongkan begitu cepat
nikmat dicetuskan dalam aneka pilinan kalimat?
bukankah menghambarkan pertarungan syahwat?
huss… masuklah ke sunyi tersepi di dasar diri
menemui nurani membabar makna hidup sejati
/4/
rempah rindu menguarkan aroma rayu
menyerbu lubuk batin terperangkap ragu
rempah rindu kuramu doa saban waktu
agar kelezatan cintamu meneluh kalbu
ohh … di mana aku? – di mana aku?
harum bunga-bunga menculikku
dan menyekap di kuala rindu!
berserah pasrah aku biar bersatu
/5/
sesudah berjumpa Dewaruci
di dasar samudra eksistensi
aku tiada lagi: habis diri!
maka jangan kau ingat lagi!
ingatlah: hanya yang suci
/6/
setelah habis diri
aku pendar cahaya rabani
yang menubuh: membumi!
/7/
jangan sebut pasti: aku
yang mengada: nanti mengabu
yang diri sejati: senantiasa rabani
tak ada di sini: mrucut saat dipegangi
DIORAMA ASMARA
/1/
kau bakar, kau bakar dada
panas membara asmaramu
menyala-nyala ruang jiwa raga
hingga ludes menjadi rintik abu
dan kau biarkan tanpa haru
dan kau tinggalkan tanpa ragu
sebab aku cuma abu, cuma abu
/2/
dinda, benih rindu
kau sembahkan kepadaku
dihidupi senyum tiap temu
dirabuki humus mesra selalu
tumbuh pohon cinta di kebun jiwaku
menjulang gapai niat bersatu
tetapi kabut ragu kutemu
berbuah lebat atau tidak bagiku
dirimu cuma termangu: gagu!
/3/
dinda, gelap rambutmu
menyanyikan rindu
disapu angin limbubu
kurekam semua di pita kalbu
duh … betapa ngilu hasratku
lantaran dirimu angan semu
/4/
dinda, selepas melalui pematang sawah
kita lewati jurang-jurang cegah
seketika kau menyerah
berkah cinta tak cukup buat hujah
aku pun rebah: dimangsa resah
kita berpisah: sebelum bersulang indah
/5/
dinda, gerimis pedih bertubi menerpa
kendati gemawan celah merona
dan hujan lindap telah lama
sebab percikan air jeram yang jatuh
melayang dan membentur gemakan aduh
suarakan cintaku yang runtuh
/6/
dinda, hanya rindu menautkan kita
di ranah citra lembut cinta
di ruang bayang kudus asmara
di situ kebebasan bersama terbuka
tapi waktu merentang garis batas
tanda kita ada beda amat tegas
kau ikan indah di luas samudra
aku ikan air tawar di dingin telaga
mana bisa hidup di kolam bersama!
Malang, Juli 2012
PENGAKUAN PRABANGKARA, 1
dengan kepolosan hati yang terpiara
di hadapan baginda dia berhujah mulia
mana mungkin sahaya mencintai permaisuri:
memandang sekejap pun sahaya tak berani
apalagi beradu hati berisi laut kasmaran insani
mungkinkah sahaya bercinta dengan permaisuri?:
melangkah seingsut pun kaku kedua kaki
apalagi bersanding bermain badai asmara suci
mana mungkin sahaya memadu cinta berdua:
bersua sejenak pun cuma impian semata
apalagi menyatukan raga ciptakan rimba cinta
mungkinkah sahaya bermadu dengan belahan jiwa paduka?:
bertatap sekilas pun hanya angan belaka
apalagi meleburkan rasa menyulut bara asmara
tapi mana mungkin sahaya bisa melukis pujaan baginda:
bila bayangan kemolekan raga sedikit pun tak ada?
bila kelebat kecantikan paras sedikit pun tak punya?
bila gambaran kesempurnaan tubuh tak tersedia?
tapi mana mungkin sahaya sanggup melukis serupa yang nyata:
bila cuma bersandarkan cerita: berdasarkan kata?
jangan licin kata! lidahmu mengeluarkan amis asmara!
sergah baginda dikepung bayang permaisuri tercinta
sedang sungkawa diterjang luka yang dia sendiri cipta
PENGAKUAN PRABANGKARA, 2
dalam gemetar nada disabot jagat raya
dalam getar gemeretak suara dia berkata
cuma tetesan tinta, baginda
sungguh, hanya cairan isi pena
tiada sengaja luruh menimpa
tubuh sempurna isteri paduka
seusai tersalim di kanvas kasa
kenapa hamba dibanjiri purba sangka?
kenapa paduka menghunjamkan nista?
cuma tetesan tinta, bukan cinta
hanya cairan isi pena, tak asmara
benar, sekadar tinta di ujung pena
yang lunglai lalu menitik di pusat kama
serupa tahi lalat yang permaisuri punya
akibat konsentrasi hamba luar biasa
kenapa paduka harus membabi buta?
sungguh, sirna kebajikan penguasa!
jagat raya bersemedi begitu paripurna
diam-diam mencatat semua angkara
PENGAKUAN PRABANGKARA, 3
kuasa selalu mengabadikan sekat-sekat
merendahkan cinta sekadar pupur nikmat
Julukanku: sapi hitam bernoda kegelapan
lantaran benihku hasil sebuah kebrutalan
birahi penguasa yang tak terkendalikan
walau rahim ibu mengalirkan kehangatan
dan menghidupiku gemerlap kecintaan
“Kekuasaan selalu beraut keangkuhan
keliaran bercitra kehebatan – keanggunan
dan korban utama niscaya perempuan
tak heran, kau lahir tanpa kuharapkan
kendati kukasihi sepenuh kemampuan”,
tandas ibunda saban kali kutanyakan
nasab pemberi akar tunjang kehidupan
“Jangan sekali-kali bertanya ayahandamu
jangan mengemis kepastian kepada diriku
sebab yang kuingat cuma birahi menderu
mengejar kemasyhuran semu – juga palsu
sebab yang kuingat bukan pangeran rindu
berani melepaskan segenap rias berdebu
dan sanggup memberi kepastian asal-usulmu,”
cergas ibunda memotong rajam siksa masa lalu
prabangkara tahu, menyudahi tanya bagi ibu
langit kehilangan biru, tampak kelu, kerajaan bisu
PENGAKUAN PRABANGKARA, 4
yang gelap, lolos berucap
yang pengap, sulit mengendap
namaku Prabangkara, pangeran pinggiran
di antara pusaran kekuasaan yang diresmikan
buah birahi baginda raja bersama perempuan
janda muda yang dengan sengaja diumpankan
dalam kencan semalam di luar tembok kerajaan
maka akku tak beroleh pengakuan dan pengesahan:
aku dilupakan dan memang ditiadakan
namaku Prabangkara, pemuda berdarah campuran
di antara darah raja diraja dan orang kebanyakan
buah nafsu kilat paduka raja dengan perempuan
janda muda desa yang sengaja dipersembahkan
dalam lampias asmara tanpa susila para bangsawan
maka aku tiada dimasukkan sejarah baku kerajaan:
aku dihapus dan memang diabsenkan
namaku Prabangkara, manusia perbatasan
antara gemerlap istana dan gelap pedesaan
akibat tabiat kekuasaan tanpa kemanusiaan
akibat perangai kekuasaan tanpa kesusilaan
apa arti kekuasaan tak menjunjung kemanusiaan?
apa arti kekuasaan tak mewahidkan kesusilaan?
namaku Prabangkara, abdi keraton mumpuni segala
kondang sebagai sungging istana kesayangan paduka
dipercaya melukis kemolekan diri permaisuri tercinta
dan saat tersingkap rahasia, aku dilenyapkan baginda
namaku Prabangkara, pengeran terpinggirkan …
namaku Prabangkara, pangeran terlupakan …
namaku Prabangkara, pangeran terlenyapkan …
angin menderu-deru tak henti, dan dia terbang tinggi
manusia bertanya-tanya di hati, kemana arah dia pergi
istana diracuni sunyi, suara tebakan macet di ulu hati.
________________________
Djoko Saryono lahir di kota Madiun 27 Maret 1962, besar dan mukim di kota Malang. Menyelesaikan S1 (1986), Magister Pendidikan (1991), Doktor pendidikan (1997) dan meraih guru besar bidang pendidikan bahasa dan sastra Indonesia (2009). Mengajar di IKIP Malang (Universitas Negeri Malang) sejak 1986. Menulis sekitar 25 buku tentang kebudayaan, kesenian, kesusastraan, kebahasaan dan pendidikan, diantaranya: Pergumulan Estetika Sastra di Indonesia; Perempuan dalam Fiksi Indonesia; Etika Jawa dalam Fiksi Indonesia; Suara Sufistik dan Religius dalam Sastra; Budaya, Seni dan Bahasa dalam Kelindan Kuasa. Kumpulan puisinya Arung Diri (2013), Arung Cinta (2015), Kemelut Cinta Rahwana (2015), Arung Flores (2015) dan Tafsir Kenthir Leo Kristi (2015).
http://kepadapuisi.blogspot.com/2017/09/djoko-saryono-arung-cinta.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A. Mustofa Bisri
A'yat Khalili
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Wachid B.S.
Abi N. Bayan
Abidah El Khalieqy
Acep Syahril
Acep Zamzam Noor
Adi Toha
Adrian Balu
AF Denar Daniar
Afrizal Malna
Agus Manaji
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Maltuf Syamsury
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Ala Roa
Aldika Restu Pramuli
Alfatihatus Sholihatunnisa
Alfiyan Harfi
Ali Makhmud
Ali Subhan
Amelia Rachman
Amie Williams
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Andry Deblenk
Anggie Melianna
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Aprinus Salam
Ariandalu S
Arieyoko Ksmb
Arya Winanda
As Adi Muhammad
Asep Sambodja
Atrap S. Munir
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Badaruddin Amir
Bakdi Sumanto
Bambang Darto
Bambang Kempling
Bambang Widiatmoko
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Bernando J. Sudjibto
Bernard S. Y. Batubara
Binhad Nurrohmat
Budhi Setyawan
Budi Palopo
Bustan Basir Maras
Chairul Abhsar
Chavchay Saifullah
Cut Nanda A.
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Afriady
Dadang Ari Murtono
Daisy Priyanti
Daysi Priyanti
Dea Anugrah
Dea Ayu Ragilia
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Desti Fatin Fauziyyah
Dewi Kartika
Dharmadi
Diah Budiana
Diah Hadaning
Dian Hartati
Didik Komaidi
Dimas Arika Mihardja
Djoko Saryono
Dody Kristianto
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Edy Lyrisacra
Effendi Danata
Eimond Esya
Eka Budianta
Eko Hendri Saiful
Eko Nuryono
El Sahra Mahendra
Ellie R. Noer
Elly Trisnawati
Emha Ainun Nadjib
Endang Supriadi
Endang Susanti Rustamadji
Eny Rose
Eppril Wulaningtyas R
Esha Tegar Putra
Esti Nuryani Kasam
Etik Widya
Evi Idawati
Evi Melyati
Evi Sefiani
Evi Sukaesih
Fadhila Ramadhona
Fahmi Faqih
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Fikri MS
Fina Sato
Firman Wally
Fitrah Anugerah
Frischa Aswarini
Gampang Prawoto
Ghaffur Al-Faqqih
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gunawan Maryanto
Gunoto Saparie
Gus tf Sakai
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hari Leo
Haris del Hakim
Hasan Al Banna
Hasan Aspahani
Hasta Indriyana
Helga Worotitjan
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Maja Kelana
Herlinatiens
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Ibnu Wahyudi
Ikarisma Kusmalina
Ike Ayuwandari
Ilenk Rembulan
Imam S Arizal
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santoso
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indrian Koto
Isbedy Stiawan ZS
Iwan Gunadi
Javed Paul Syatha
Jibna Sudiryo
Johan Khoirul Zaman
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Saputro
Jufri Zaituna
Jusuf AN
Kadek Wara Urwasi
Kadjie Bitheng MM
Kartika Kusworatri
Kedung Darma Romansha
Kika Syafii
Kirana Kejora
Kirdjomuljo
Kurnia Effendi
Kurniawan Junaedhie
Kurniawan Yunianto
Kusprihyanto Namma
Kuswaidi Syafi’ie
L.K. Ara
Lailatul Muniroh
Landung Rusyanto Simatupang
Lela Siti Nurlaila
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Linus Suryadi AG
Liza Wahyuninto
Lubis Grafura
Lutfi Mardiansyah
M. Badrus Alwi
M. Faizi
Maghfur Munif
Maghie Oktavia
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maman S. Mahayana
Maqhia Nisima
Marcellus Nur Basah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marwanto
Mas Marco Kartodikromo
Mashuri
Mathori A. Elwa
Matroni el-Moezany
Maya Mustika K.
Mega Vristian
Miftahul Abrori
Mohammad Yamin
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muntamah Cendani
Mustiar AR
Mustofa W Hasyim
Mutia Sukma
Nadjib Kartapati Z
Nanang Suryadi
Nezar Patria
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Noor Sam
Nunung S. Sutrisno
Nur Iswantara
Nur Lodzi Hady
Nur Wahida Idris
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Pariyo Adi
Pringadi AS
Pringgo HR
Puisi-Puisi Indonesia
Purwadmadi Admadipurwa
Puspita Rose
Putri Sarinande
R. Toto Sugiharto
Rachmat Djoko Pradopo
Raedu Basha
Ragil Suwarno Pragolapati
Rakai Lukman
Rama Prabu
Ramadhan KH
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Ribut Wijoto
Rikard Diku
Robin Al Kautsar
Rozi Kembara
Rudi Hartono
Rusydi Zamzami
S Yoga
Sahaya Santayana
Saiful Bakri
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Selendang Sulaiman
Seli Desmiarti
Sigit Sugito
Sihar Ramses Simatupang
Siska Afriani
Sitok Srengenge
Sitor Situmorang
Slamet Rahardjo Rais
Slamet Widodo
Sosiawan Leak
Sreismitha Wungkul
Sri Harjanto Sahid
Sri Jayantini
Sri Setya Rahayu
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sumargono SN
Suminto A. Sayuti
Sunardi KS
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Sutirman Eka Ardhana
Syifa Aulia
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Triaton
Tengsoe Tjahjono
Tharie Rietha
Thowaf Zuharon
Timur Sinar Suprabana
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Ulfatin Ch
Umbu landu Paranggi
Unieq Awien
Usman Arrumy
W. Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Hidayat
Wahyu Subuh
Warih Wisatsana
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Widi Astuti
Wiji Thukul
Winarni R.
Y. Wibowo
Yonathan Rahardjo
Yosi M Giri
Yudhi Herwibowo
Yudhiono Aprianto
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Yuswan Taufiq
Yuswinardi
Zaenal Faudin
Zainal Arifin Thoha
Zamroni Allief Billah
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar