Sabtu, 07 Maret 2020

Puisi-Puisi Djoko Saryono

MENYELAMI DIRI

/1/
dalam sungging begini mesra
kita senyapkan segala wicara
dan istirahkan segenap suara

biarkan rasa meracik makna, menakik cinta
dan merumuskan bahasa bagi rindu di dada

/2/
cuma bersentuh sekejap cahaya
beribu indah kata menyerbu dada
berlaksa agung irama merebut jiwa

dinda, kita pun disergap kidung asmara
            bersari bening suara
dan disekap di ranah asing rasa
            yang menolak diungkap bahasa

dinda, jangan meronta, pasrahkan sukma
hening biarlah bertakhta, menguntai sabda
kita sesap tanpa kata-kata: apalagi suara!

/3/
bila diam sudah lengkap mengabarkan rindu
buat apa desah suara diracik sebegitu merdu
kata-kata dirakit-rakit penuh semerbak rayu?
bukankah malah menawarkan pergolakan kalbu?

jika isyarat telah utuh mengirimkan bening hajat
untuk apa baris hasrat disorongkan begitu cepat
nikmat dicetuskan dalam aneka pilinan kalimat?
bukankah menghambarkan pertarungan syahwat?

huss… masuklah ke sunyi tersepi di dasar diri
menemui nurani membabar makna hidup sejati

/4/
rempah rindu menguarkan aroma rayu
menyerbu lubuk batin terperangkap ragu
rempah rindu kuramu doa saban waktu
agar kelezatan cintamu meneluh kalbu

ohh … di mana aku? – di mana aku?
harum bunga-bunga menculikku
dan menyekap di kuala rindu!
berserah pasrah aku biar bersatu

/5/
sesudah berjumpa Dewaruci
di dasar samudra eksistensi
aku tiada lagi: habis diri!
maka jangan kau ingat lagi!
ingatlah: hanya yang suci

/6/
setelah habis diri
aku pendar cahaya rabani
yang menubuh: membumi!

/7/
jangan sebut pasti: aku
yang mengada: nanti mengabu
yang diri sejati: senantiasa rabani
tak ada di sini: mrucut saat dipegangi



DIORAMA ASMARA

/1/
kau bakar, kau bakar dada
panas membara asmaramu
menyala-nyala ruang jiwa raga
hingga ludes menjadi rintik abu

dan kau biarkan tanpa haru
dan kau tinggalkan tanpa ragu
sebab aku cuma abu, cuma abu

/2/
dinda, benih rindu
kau sembahkan kepadaku
dihidupi senyum tiap temu
dirabuki humus mesra selalu
tumbuh pohon cinta di kebun jiwaku
menjulang gapai niat bersatu
tetapi kabut ragu kutemu
berbuah lebat atau tidak bagiku
dirimu cuma termangu: gagu!

/3/
dinda, gelap rambutmu
menyanyikan rindu
disapu angin limbubu
kurekam semua di pita kalbu
duh … betapa ngilu hasratku
lantaran dirimu angan semu

/4/
dinda, selepas melalui pematang sawah
kita lewati jurang-jurang cegah
seketika kau menyerah
berkah cinta tak cukup buat hujah
aku pun rebah: dimangsa resah
kita berpisah: sebelum bersulang indah

/5/
dinda, gerimis pedih bertubi menerpa
kendati gemawan celah merona
dan hujan lindap telah lama
sebab percikan air jeram yang jatuh
melayang dan membentur gemakan aduh
suarakan cintaku yang runtuh

/6/
dinda, hanya rindu menautkan kita
di ranah citra lembut cinta
di ruang bayang kudus asmara
di situ kebebasan bersama terbuka

tapi waktu merentang garis batas
tanda kita ada beda amat tegas
kau ikan indah di luas samudra
aku ikan air tawar di dingin telaga
mana bisa hidup di kolam bersama!

Malang, Juli 2012



PENGAKUAN PRABANGKARA, 1

dengan kepolosan hati yang terpiara
di hadapan baginda dia berhujah mulia

mana mungkin sahaya mencintai permaisuri:
memandang sekejap pun sahaya tak berani
apalagi beradu hati berisi laut kasmaran insani
mungkinkah sahaya bercinta dengan permaisuri?:
melangkah seingsut pun kaku kedua kaki
apalagi bersanding bermain badai asmara suci
mana mungkin sahaya memadu cinta berdua:
bersua sejenak pun cuma impian semata
apalagi menyatukan raga ciptakan rimba cinta
mungkinkah sahaya bermadu dengan belahan jiwa paduka?:
bertatap sekilas pun hanya angan belaka
apalagi meleburkan rasa menyulut bara asmara
tapi mana mungkin sahaya bisa melukis pujaan baginda:
bila bayangan kemolekan raga sedikit pun tak ada?
bila kelebat kecantikan paras sedikit pun tak punya?
bila gambaran kesempurnaan tubuh tak tersedia?
tapi mana mungkin sahaya sanggup melukis serupa yang nyata:
bila cuma bersandarkan cerita: berdasarkan kata?

jangan licin kata! lidahmu mengeluarkan amis asmara!
sergah baginda dikepung bayang permaisuri tercinta
sedang sungkawa diterjang luka yang dia sendiri cipta



PENGAKUAN PRABANGKARA, 2

dalam gemetar nada disabot jagat raya
dalam getar gemeretak suara dia berkata

cuma tetesan tinta, baginda
sungguh, hanya cairan isi pena
tiada sengaja luruh menimpa
tubuh sempurna isteri paduka
seusai tersalim di kanvas kasa
kenapa hamba dibanjiri purba sangka?
kenapa paduka menghunjamkan nista?

cuma tetesan tinta, bukan cinta
hanya cairan isi pena, tak asmara
benar, sekadar tinta di ujung pena
yang lunglai lalu menitik di pusat kama
serupa tahi lalat yang permaisuri punya
akibat konsentrasi hamba luar biasa
kenapa paduka harus membabi buta?
sungguh, sirna kebajikan penguasa!

jagat raya bersemedi begitu paripurna
diam-diam mencatat semua angkara



PENGAKUAN PRABANGKARA, 3

kuasa selalu mengabadikan sekat-sekat
merendahkan cinta sekadar pupur nikmat

Julukanku: sapi hitam bernoda kegelapan
lantaran benihku hasil sebuah kebrutalan
birahi penguasa yang tak terkendalikan
walau rahim ibu mengalirkan kehangatan
dan menghidupiku gemerlap kecintaan

“Kekuasaan selalu beraut keangkuhan
keliaran bercitra kehebatan – keanggunan
dan korban utama niscaya perempuan
tak heran, kau lahir tanpa kuharapkan
kendati kukasihi sepenuh kemampuan”,
tandas ibunda saban kali kutanyakan
nasab pemberi akar tunjang kehidupan

“Jangan sekali-kali bertanya ayahandamu
jangan mengemis kepastian kepada diriku
sebab yang kuingat cuma birahi menderu
mengejar kemasyhuran semu – juga palsu
sebab yang kuingat bukan pangeran rindu
berani melepaskan segenap rias berdebu
dan sanggup memberi kepastian asal-usulmu,”
cergas ibunda memotong rajam siksa masa lalu

prabangkara tahu, menyudahi tanya bagi ibu
langit kehilangan biru, tampak kelu, kerajaan bisu



PENGAKUAN PRABANGKARA, 4

yang gelap, lolos berucap
yang pengap, sulit mengendap

namaku Prabangkara, pangeran pinggiran
di antara pusaran kekuasaan yang diresmikan
buah birahi baginda raja bersama perempuan
janda muda yang dengan sengaja diumpankan
dalam kencan semalam di luar tembok kerajaan
maka akku tak beroleh pengakuan dan pengesahan:
aku dilupakan dan memang ditiadakan

namaku Prabangkara, pemuda berdarah campuran
di antara darah raja diraja dan orang kebanyakan
buah nafsu kilat paduka raja dengan perempuan
janda muda desa yang sengaja dipersembahkan
dalam lampias asmara tanpa susila para bangsawan
maka aku tiada dimasukkan sejarah baku kerajaan:
aku dihapus dan memang diabsenkan

namaku Prabangkara, manusia perbatasan
antara gemerlap istana dan gelap pedesaan
akibat tabiat kekuasaan tanpa kemanusiaan
akibat perangai kekuasaan tanpa kesusilaan
apa arti kekuasaan tak menjunjung kemanusiaan?
apa arti kekuasaan tak mewahidkan kesusilaan?

namaku Prabangkara, abdi keraton mumpuni segala
kondang sebagai sungging istana kesayangan paduka
dipercaya melukis kemolekan diri permaisuri tercinta
dan saat tersingkap rahasia, aku dilenyapkan baginda
namaku Prabangkara, pengeran terpinggirkan …
namaku Prabangkara, pangeran terlupakan …
namaku Prabangkara, pangeran terlenyapkan …

angin menderu-deru tak henti, dan dia terbang tinggi
manusia bertanya-tanya di hati, kemana arah dia pergi
istana diracuni sunyi, suara tebakan macet di ulu hati.


________________________
Djoko Saryono lahir di kota Madiun 27 Maret 1962, besar dan mukim di kota Malang. Menyelesaikan S1 (1986), Magister Pendidikan (1991), Doktor pendidikan (1997) dan meraih guru besar bidang pendidikan bahasa dan sastra Indonesia (2009). Mengajar di IKIP Malang (Universitas Negeri Malang) sejak 1986. Menulis sekitar 25 buku tentang kebudayaan, kesenian, kesusastraan, kebahasaan dan pendidikan, diantaranya: Pergumulan Estetika Sastra di Indonesia; Perempuan dalam Fiksi Indonesia; Etika Jawa dalam Fiksi Indonesia; Suara Sufistik dan Religius dalam Sastra; Budaya, Seni dan Bahasa dalam Kelindan Kuasa. Kumpulan puisinya Arung Diri (2013), Arung Cinta (2015), Kemelut Cinta Rahwana (2015), Arung Flores (2015) dan Tafsir Kenthir Leo Kristi (2015).
http://kepadapuisi.blogspot.com/2017/09/djoko-saryono-arung-cinta.html

Tidak ada komentar:

A. Mustofa Bisri A'yat Khalili Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Wachid B.S. Abi N. Bayan Abidah El Khalieqy Acep Syahril Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu AF Denar Daniar Afrizal Malna Agus Manaji Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Maltuf Syamsury Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Ala Roa Aldika Restu Pramuli Alfatihatus Sholihatunnisa Alfiyan Harfi Ali Makhmud Ali Subhan Amelia Rachman Amie Williams Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Andry Deblenk Anggie Melianna Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Aprinus Salam Ariandalu S Arieyoko Ksmb Arya Winanda As Adi Muhammad Asep Sambodja Atrap S. Munir Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Badaruddin Amir Bakdi Sumanto Bambang Darto Bambang Kempling Bambang Widiatmoko Beni Setia Beno Siang Pamungkas Bernando J. Sudjibto Bernard S. Y. Batubara Binhad Nurrohmat Budhi Setyawan Budi Palopo Bustan Basir Maras Chairul Abhsar Chavchay Saifullah Cut Nanda A. D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Afriady Dadang Ari Murtono Daisy Priyanti Daysi Priyanti Dea Anugrah Dea Ayu Ragilia Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Desti Fatin Fauziyyah Dewi Kartika Dharmadi Diah Budiana Diah Hadaning Dian Hartati Didik Komaidi Dimas Arika Mihardja Djoko Saryono Dody Kristianto Dorothea Rosa Herliany Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Edy Lyrisacra Effendi Danata Eimond Esya Eka Budianta Eko Hendri Saiful Eko Nuryono El Sahra Mahendra Ellie R. Noer Elly Trisnawati Emha Ainun Nadjib Endang Supriadi Endang Susanti Rustamadji Eny Rose Eppril Wulaningtyas R Esha Tegar Putra Esti Nuryani Kasam Etik Widya Evi Idawati Evi Melyati Evi Sefiani Evi Sukaesih Fadhila Ramadhona Fahmi Faqih Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fatimah Wahyu Sundari Fauzi Absal Felix K. Nesi Fikri MS Fina Sato Firman Wally Fitrah Anugerah Frischa Aswarini Gampang Prawoto Ghaffur Al-Faqqih Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Gunawan Maryanto Gunoto Saparie Gus tf Sakai Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamid Jabbar Hari Leo Haris del Hakim Hasan Al Banna Hasan Aspahani Hasta Indriyana Helga Worotitjan Heri Latief Heri Listianto Heri Maja Kelana Herlinatiens Hudan Hidayat Hudan Nur Ibnu Wahyudi Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilenk Rembulan Imam S Arizal Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santoso Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indrian Koto Isbedy Stiawan ZS Iwan Gunadi Javed Paul Syatha Jibna Sudiryo Johan Khoirul Zaman Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Saputro Jufri Zaituna Jusuf AN Kadek Wara Urwasi Kadjie Bitheng MM Kartika Kusworatri Kedung Darma Romansha Kika Syafii Kirana Kejora Kirdjomuljo Kurnia Effendi Kurniawan Junaedhie Kurniawan Yunianto Kusprihyanto Namma Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lailatul Muniroh Landung Rusyanto Simatupang Lela Siti Nurlaila Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Linus Suryadi AG Liza Wahyuninto Lubis Grafura Lutfi Mardiansyah M. Badrus Alwi M. Faizi Maghfur Munif Maghie Oktavia Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maqhia Nisima Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marwanto Mas Marco Kartodikromo Mashuri Mathori A. Elwa Matroni el-Moezany Maya Mustika K. Mega Vristian Miftahul Abrori Mohammad Yamin Muhammad Ali Fakih Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muntamah Cendani Mustiar AR Mustofa W Hasyim Mutia Sukma Nadjib Kartapati Z Nanang Suryadi Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Noor Sam Nunung S. Sutrisno Nur Iswantara Nur Lodzi Hady Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Pariyo Adi Pringadi AS Pringgo HR Puisi-Puisi Indonesia Purwadmadi Admadipurwa Puspita Rose Putri Sarinande R. Toto Sugiharto Rachmat Djoko Pradopo Raedu Basha Ragil Suwarno Pragolapati Rakai Lukman Rama Prabu Ramadhan KH Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Ribut Wijoto Rikard Diku Robin Al Kautsar Rozi Kembara Rudi Hartono Rusydi Zamzami S Yoga Sahaya Santayana Saiful Bakri Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Selendang Sulaiman Seli Desmiarti Sigit Sugito Sihar Ramses Simatupang Siska Afriani Sitok Srengenge Sitor Situmorang Slamet Rahardjo Rais Slamet Widodo Sosiawan Leak Sreismitha Wungkul Sri Harjanto Sahid Sri Jayantini Sri Setya Rahayu Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunardi KS Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutirman Eka Ardhana Syifa Aulia Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Ranusastra Asmara Teguh Triaton Tengsoe Tjahjono Tharie Rietha Thowaf Zuharon Timur Sinar Suprabana Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Ulfatin Ch Umbu landu Paranggi Unieq Awien Usman Arrumy W. Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyu Subuh Warih Wisatsana Wayan Sunarta Weni Suryandari Widi Astuti Wiji Thukul Winarni R. Y. Wibowo Yonathan Rahardjo Yosi M Giri Yudhi Herwibowo Yudhiono Aprianto Yurnaldi Yusri Fajar Yusuf Suharto Yuswan Taufiq Yuswinardi Zaenal Faudin Zainal Arifin Thoha Zamroni Allief Billah Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae