Media Indonesia, 2 Juli 2017
Demi waktu yang Berjatuhan di dalam Tubuhku
demi waktu yang berjatuhan di dalam tubuhku
telah kucatat nama tuhan
lebih dalam dari perigi perempuanku.
sebab ia yang setengah hati
pergi memunggungi sepi.
hujan berulangkali turun di kota ini
genangannya sampai ke hati.
aku berjalan sambil membawa cermin
yang di dalamnya ada seorang lelaki
menyimpan kenangan di saku celananya.
demi waktu yang menampol kesedihan demi
kesedihan
kucatat nama ibu yang perkasa.
demi burung-burung yang ditembak mati
kusangkarkan burungku di dalam hati.
ketika pagi daun-daun tumbuh
menjelang malam daun-daun jatuh
di dalam diriku.
siapa yang terkait
akan dilepas nasib.
sebab yang utuh
hanya milik Kekasih.
demi waktu yang berjatuhan di dalam tubuhku
kuusap-usap segala sakit
kuusap-usap kamu yang jauh
sedang mengunyah sakit.
demi malam yang menyediakan hening
hanya Kamu yang tak bisa berpaling.
Yogya, 2017
Suara-suara yang Terjatuh ke dalam Pelukanmu
ketika hatiku jatuh pada bunyi jam dinding rumah
suara-suara tanpa bunyi mendatangiku
bagai bisikan-bisikan gelap yang tak henti bicara.
sebab tak ada pertanyaan yang benar-benar
terjawab
di dalam ruang yang membosankan ini.
seakan seluruh mata menatapku tanpa wajah
dan mereka berbicara tanpa mengerti artinya.
tidak, aku tidak akan meninggalkan ruangan ini
aku juga tidak akan memecahkan jam dinding ini.
aku hanya ingin mencuci piring, gelas-gelas yang
berjamur
aku hanya ingin mencabuti rumput dan mengepel
lantai penuh debu tapi aku malas.
aku ingin ada seseorang yang melakukannya
tanpa meninggalkan suara di dalam rumah.
aku ingin ia pergi tanpa meninggalkan gema di
hati.
aku ingin terbebas dari simpul-simpul harapan
yang bermuka masam.
aku ingin ia yang memunggungiku tersenyum
tanpa menoleh ke arahku.
aku ingin jam dinding rumah tak lagi
menjatuhkan hatiku
seperti pertama kali hatiku terjatuh ke dalam
hatimu yang bercabang.
Yogya, 2017
Hidup yang Seperti
hidup kita seperti
penyanyi dangdut yang bergoyang
sambil menyanyikan lagu patah hati.
senyumnya mirip politikus yang terjerat korupsi
sambil bersumpah atas nama tuhannya.
hidup kita seperti
penggemar organ tunggal yang berjoget
sampai lupa hutang, lupa anak-istri di rumah
yang telunjuknya bergoyang seperti habis pilkada.
hidup kita seperti
main gundu
bertaruh untuk sesuatu yang kita tak tahu.
hidup kita seperti
warung remang-remang
yang menyediakan menu fi ktif penawar kesepian.
hidup kita seperti
mendatangi pesta perkawinan di kampung
sambil menyalami dan berbisik di telinga
pengantin:
jangan lupa datang ketika aku kawin.
hidup kita seperti
karena kita tak benar-benar memiliki.
Yogya, 2017
Pertanyaan
ia hidup dengan masa lalu
lupa kalau tuhan menciptakan kaki dan wajah
menghadap depan.
ia lupa masa lalu diciptakan untuk di kepala
supaya orang tak lagi salah jalan.
ia hidup di kepalanya
sementara di depannya ada kepala lain yang
bersuara.
ia berbicara untuk banyak kepala
tapi sesungguhnya membicarakan dirinya.
ia meyakini kebenaran tuhan
tapi kebenarannya jadi hantu.
ada orang mempertanyakan hantu
dianggap sedang mengingat tuhan.
kita duduk membaca puisi ini
tapi hati dan pikiran kita tak di sini.
manakah yang lebih nyata
tubuh atau hati dan pikiran kita?
Yogya, 2017
Kedung Darma Romansha, lahir pada tanggal 25 Februari 1984 di Indramayu, Jawa Barat. Alumni jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY, 2009) serta pascasarjana Ilmu Sastra di Universitas Gajah Mada (UGM, 2017). Sebagai sastrawan, karya-karyanya dipublikasikan di pelbagai media massa, baik lokal maupun nasional serta antologi bersama. Ia juga aktif dalam seni peran, teater dan film. Pada Agustus 2018, bersama Saturday Acting Club diundang oleh Asia Theatre Directors Festival TOGA, Toyama, Jepang, membawakan “The Decision” karya Bertold Brecht. Novelnya “Kelir Slindet” merupakan buku pertama dari dwilogi Slindet/Telembuk (2014), dinobatkan karya terbaik Tabloid Nyata. Novel keduanya “Telembuk, Dangdut dan Kisah Cinta yang Keparat,” masuk short list Kusala Sastra Khatulistiwa 2017, serta menjadi buku yang direkomendasikan majalah Tempo kategori prosa, 2017. Novel itu juga salah satu yang terpilih dalam Market Focus, London Book Fair (Komite Buku Nasional, 2019). Dua buku puisinya, “Uterus” (2015), dan “masa lalu terjatuh ke dalam senyumanmu” (Rumah Buku, 2018). Yang segera terbit, buku kumcer perdananya “Rab(b)i”, dikonsep tidak seperti kumcer pada umumnya. Ia mengelola gerakan literasi di Indramayu, Jamiyah Telembukiyah, yang beberapa anggotanya terlibat dalam gerakan literasi jalanan, penyuluhan, dan pendataan terhadap Pekerja Seks Komersial di Indramayu. Anggota yang lain terlibat dalam gerakan sastra dan budaya di Indramayu. Program ini atas kerjasama dengan Universitas Wiralodra, telah mengundang beberapa sastrawan dalam negeri dan luar negeri, di antaranya Joko Pinurbo, Katrin Bandel, Afrizal Malna, Sosiawan Leak, dan Mubalmaddin Shaiddin dari Malaysia. Ia juga mengelola komunitas Rumah Kami/Rumah Buku di Yogyakarta.
https://klipingsastra.com/id/puisi/2017/07/demi-waktu-yang-berjatuhan-di-dala.html
Demi waktu yang Berjatuhan di dalam Tubuhku
demi waktu yang berjatuhan di dalam tubuhku
telah kucatat nama tuhan
lebih dalam dari perigi perempuanku.
sebab ia yang setengah hati
pergi memunggungi sepi.
hujan berulangkali turun di kota ini
genangannya sampai ke hati.
aku berjalan sambil membawa cermin
yang di dalamnya ada seorang lelaki
menyimpan kenangan di saku celananya.
demi waktu yang menampol kesedihan demi
kesedihan
kucatat nama ibu yang perkasa.
demi burung-burung yang ditembak mati
kusangkarkan burungku di dalam hati.
ketika pagi daun-daun tumbuh
menjelang malam daun-daun jatuh
di dalam diriku.
siapa yang terkait
akan dilepas nasib.
sebab yang utuh
hanya milik Kekasih.
demi waktu yang berjatuhan di dalam tubuhku
kuusap-usap segala sakit
kuusap-usap kamu yang jauh
sedang mengunyah sakit.
demi malam yang menyediakan hening
hanya Kamu yang tak bisa berpaling.
Yogya, 2017
Suara-suara yang Terjatuh ke dalam Pelukanmu
ketika hatiku jatuh pada bunyi jam dinding rumah
suara-suara tanpa bunyi mendatangiku
bagai bisikan-bisikan gelap yang tak henti bicara.
sebab tak ada pertanyaan yang benar-benar
terjawab
di dalam ruang yang membosankan ini.
seakan seluruh mata menatapku tanpa wajah
dan mereka berbicara tanpa mengerti artinya.
tidak, aku tidak akan meninggalkan ruangan ini
aku juga tidak akan memecahkan jam dinding ini.
aku hanya ingin mencuci piring, gelas-gelas yang
berjamur
aku hanya ingin mencabuti rumput dan mengepel
lantai penuh debu tapi aku malas.
aku ingin ada seseorang yang melakukannya
tanpa meninggalkan suara di dalam rumah.
aku ingin ia pergi tanpa meninggalkan gema di
hati.
aku ingin terbebas dari simpul-simpul harapan
yang bermuka masam.
aku ingin ia yang memunggungiku tersenyum
tanpa menoleh ke arahku.
aku ingin jam dinding rumah tak lagi
menjatuhkan hatiku
seperti pertama kali hatiku terjatuh ke dalam
hatimu yang bercabang.
Yogya, 2017
Hidup yang Seperti
hidup kita seperti
penyanyi dangdut yang bergoyang
sambil menyanyikan lagu patah hati.
senyumnya mirip politikus yang terjerat korupsi
sambil bersumpah atas nama tuhannya.
hidup kita seperti
penggemar organ tunggal yang berjoget
sampai lupa hutang, lupa anak-istri di rumah
yang telunjuknya bergoyang seperti habis pilkada.
hidup kita seperti
main gundu
bertaruh untuk sesuatu yang kita tak tahu.
hidup kita seperti
warung remang-remang
yang menyediakan menu fi ktif penawar kesepian.
hidup kita seperti
mendatangi pesta perkawinan di kampung
sambil menyalami dan berbisik di telinga
pengantin:
jangan lupa datang ketika aku kawin.
hidup kita seperti
karena kita tak benar-benar memiliki.
Yogya, 2017
Pertanyaan
ia hidup dengan masa lalu
lupa kalau tuhan menciptakan kaki dan wajah
menghadap depan.
ia lupa masa lalu diciptakan untuk di kepala
supaya orang tak lagi salah jalan.
ia hidup di kepalanya
sementara di depannya ada kepala lain yang
bersuara.
ia berbicara untuk banyak kepala
tapi sesungguhnya membicarakan dirinya.
ia meyakini kebenaran tuhan
tapi kebenarannya jadi hantu.
ada orang mempertanyakan hantu
dianggap sedang mengingat tuhan.
kita duduk membaca puisi ini
tapi hati dan pikiran kita tak di sini.
manakah yang lebih nyata
tubuh atau hati dan pikiran kita?
Yogya, 2017
Kedung Darma Romansha, lahir pada tanggal 25 Februari 1984 di Indramayu, Jawa Barat. Alumni jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY, 2009) serta pascasarjana Ilmu Sastra di Universitas Gajah Mada (UGM, 2017). Sebagai sastrawan, karya-karyanya dipublikasikan di pelbagai media massa, baik lokal maupun nasional serta antologi bersama. Ia juga aktif dalam seni peran, teater dan film. Pada Agustus 2018, bersama Saturday Acting Club diundang oleh Asia Theatre Directors Festival TOGA, Toyama, Jepang, membawakan “The Decision” karya Bertold Brecht. Novelnya “Kelir Slindet” merupakan buku pertama dari dwilogi Slindet/Telembuk (2014), dinobatkan karya terbaik Tabloid Nyata. Novel keduanya “Telembuk, Dangdut dan Kisah Cinta yang Keparat,” masuk short list Kusala Sastra Khatulistiwa 2017, serta menjadi buku yang direkomendasikan majalah Tempo kategori prosa, 2017. Novel itu juga salah satu yang terpilih dalam Market Focus, London Book Fair (Komite Buku Nasional, 2019). Dua buku puisinya, “Uterus” (2015), dan “masa lalu terjatuh ke dalam senyumanmu” (Rumah Buku, 2018). Yang segera terbit, buku kumcer perdananya “Rab(b)i”, dikonsep tidak seperti kumcer pada umumnya. Ia mengelola gerakan literasi di Indramayu, Jamiyah Telembukiyah, yang beberapa anggotanya terlibat dalam gerakan literasi jalanan, penyuluhan, dan pendataan terhadap Pekerja Seks Komersial di Indramayu. Anggota yang lain terlibat dalam gerakan sastra dan budaya di Indramayu. Program ini atas kerjasama dengan Universitas Wiralodra, telah mengundang beberapa sastrawan dalam negeri dan luar negeri, di antaranya Joko Pinurbo, Katrin Bandel, Afrizal Malna, Sosiawan Leak, dan Mubalmaddin Shaiddin dari Malaysia. Ia juga mengelola komunitas Rumah Kami/Rumah Buku di Yogyakarta.
https://klipingsastra.com/id/puisi/2017/07/demi-waktu-yang-berjatuhan-di-dala.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar