Selasa, 10 September 2019

Puisi-Puisi Taufiq Wr. Hidayat

SENJAKALA PARA PEMUJA

Dari balik ruang pada tahun-tahun yang sisa, laut menegaskan panggilan jauh seperti kesepian. Orang-orang berkerumun di tepi meja perjamuan, tak ingin disapa kala perjalanan usia. Sayap-sayap bergemetar, selampau lena mendera berderas-kemas pada batas yang melampau keras. Pesta bulan diselenggarakan dalam bangunan tua dengan tarian, pemujaan-pemujaan dan air mata di mangkuk cahaya, darah dan daging berbusuk puja, bergema menggagah abad-abad menggetar bersama golak bergelegar. Mereka bercanda bersama derita.

2009



PANGGILAN

“Waktu sudah petang, anakku,” panggil seorang ibu.
Sang anak bermain,
Mengejar bola seperti waktu.
Pelan-pelan langit kesumba, turun senjakala,
Angin berdesing.

“Bergegaslah pulang pada ibu,” panggil ibunya.
Sang anak menoleh tangkas,
Namun ia tak mendapati sang ibu.
Hanya angin berpelan hembusan
Seperti kesepian yang panjang.

Malam menjelma ke dalam semesta.

2009



MIMPI

Yang tertatih telah tua, wajahnya berkerut pada rumputan
Kakinya bergetar.

Melampau waktu kijang yang gesit,
Bersijingkat di tanah datar, natap tajam berserasa cerita
Pada sebentuk pertemuan kelam
Menderai kerindun.

Matahari yang itu-itu saja
Masih menyaksi sebuah jalan-jalan luka.

Muncar, 2009



MENUJU SAMUDERA

Jarum-jarum arloji berguguran,
Pada musim hujan yang tak pasti.
Bulan ini, para pedagang ikan mengenakan
Jaket hitam di pasar ramai.

Tepian laut yang amis, ikan-ikan disiram hujan,
Ada ketidakberhinggaan diam-diam mengamat pasar.
Matamu tepaku pada ikan-ikan mati. Di situ
Anak dan cucumu dibesarkan gelombang.
Seekor ikan meledak di tengah jalan, orang-orang meramu rindu
Pada waktu yang berguguran dengan pasrah.

Laut berderu, berguruh langit senjakala.
Tahun ini gerimis begitu kurang,
Menghantam diam pada karang.
Kalian masih mengeja kecemasan,
Menyusupkan debu bergagah kata, mengurai makna yang luka.

Pada laut sepi, perahu-perahu tambat,
Orang-orang pulang di senjakala yang gamang.
Ikan-ikan didasarkan, beramis hidup menggairah,
Tapi masih berbenam dalam galau kata.

Ke mana Tuan akan berlayar?
Dipecah sunyi dengan segelas kopi,
Di mana hujan masih kembara.

Dari perkampungan di luar datang, pasar menjual ikan dan wortel,
Bayam dan kentang. Tuan menyiapkan sebentuk persembahan,
Bagi laut saat pantai masih memendam keengganan.
Dinding-dinding tua, malam turun pada tiap harap yang sidekap.
Kapal Tuan mengambang di tepian,
Di ditu jauh, gelombang membawakan jarum-jarum arloji
Gemetar hati.

Ke laut tak berpantau hingga,
Sekeranjang wortel masih dingin,
Di tengah pasar yang mulai ramai kembali.
Para pedagang menimbang gamang,
Dan embun membasah pada jendela kantor pemerintah.
Kantor urusan pelabuhan peninggalan Belanda,
Meja-meja berdebu, jendelanya basah dengan lara.

Kapan pulang, Tuan?
Jangan bertanya pulang
Sebab kepergian tak menjanjikan datang.

Hujan jatuh di atas samudera,
Senjakala tenggelam, petang berdatang.
Jaket hitam, celana hitam, selimut hitam,
Topi hitam, tatapan yang hitam.
Kapal kayu, mesin tua, kemudi renta,
Ruang tidur yang kosong, mata kail sepi.
Sebentar lagi ada panggilan laut,
Turun hujan pada lelampu redup.
Berharap cuaca, menunggu bulan dan tata bintang.
Berlayar dengan sepi. Atau dengan pengikut,
Yang jiwanya berlobang tak turut,
Karena samudera tanpa dinding tanpa tebing.

Samudera berluas,
Berlepas.
Maka segala beban kandas.
Segenap wajah hanya malang,
Setiap desah itu serah,
Tiap harap.
Gelap.

Tak mengaduh berkeluh darat,
Samudera ikan-ikan,
Kapal karam ke dasar ketakberhinggaan
Ke lubuk samudera,
Berlapang
Tenang
Pulang
Ke
Dalam

Muncar, 2009



PELABUHAN TUA

Minyak dari tubuh Lemuru, berserak di jalan separuh aspalan.
Bumi padat. Diding tua warisan Belanda,
Beranda malam dan angin yang kejam.

Orang-orang bergumul dengan waktu,
Pada remang bergamang.

Kapal-kapal sandar, lelampu terus menyala seperti lelah.
Seorang penjaga kantor pemerintah
Melepas asap dari hidungnya,
Bertidur di lantai amis,
Dan malam terus berdiam dalam sapu tangan,
Rembulan kapar,
Pada ruang yang lapar.

Muncar, 2009



RUANG TIGA

Ruang tak menemukan pasar; wortel dan bayam. Tawa-tawa liar, bau kaporit yang nyengat. Orang-orang dikumpul cinta yang diam-diam menyerbak dari sisa makanan tadi malam. Aku tiba-tiba menjelma laut, memenuhi ruang. Orang-orang naik perahu sambil bercanda bersama duka. Di kedalaman cintamu yang agung, aku bercekung mencipta lubuk. Lubuk kedalaman. Kedalaman tenang, duka suka tidak merasa. Baiklah akan mereka mulai dari mana perjalanan samudera ruang. Tak ada sabda. Dari yang abadi berlayar pada keabadian.

Rogojampi, 2009



PARA PENUNGGU KERETA

Inilah perjalanan yang menggetarkan, langit dan lautan, budak waktu dan kesunyian. Di tengah kehendak ruang, orang-orang menyiapkan perbekalan, ransel besar dan berat, sepatu dan jaket hitam yang tebal. Dan terus melintas pada tiap batas yang tak pernah menegas.

Kota-kota diserbu kecemasan. Ribuan gajah memasuki kota, bergerak maju entah ke mana tuju-maksudnya. Toko-toko ditabrak, rumah-rumah dilantakkan, semua diratakan. Lalu ribuan gajah menghilang tiba-tiba, yang tersisa adalah sunyi dan puing-puing berleleran tak tertata. Orang-orang mematung, wajahnya dingin menunggu. Stasiun kereta api sepi. Bangku-bangku biru. Jam tua mendetakkan detik-detik yang lelah. Kisah para penunggu kereta, berabad sunyi memecahkan jendela-jendela.

Sebuah pintu model kolonial berdiri di depan tatapan, surat-surat perjalanan tertumpuk di dalam laci di kepalamu. Orang-orang cemas mengharap keajaiban, dan waktu mencair ke tempat-tempat yang tak dimengerti.

Lalu lintas udara menyesakkan paru-paru manusia, laler berkerumun pada tiap kebusukan yang terluka hari dalam jantungmu. Orang-orang menabur tanda tanya ke atas lantai keramik putih dan dingin. Bangku-bangku tua memasang diri di tengah kesepian yang mati, lumut-lumut bersemak oleh kelembaban udara dari mulut-mulut para penunggu. Kereta teronggok lena, kesabaran dalam hati tak mungkin lebih dalam lagi, mata-mata tajam dan waspada. Gajah-gajah entah sudah lari hilang ke mana. Keriuhan tertinggal dalam kenangan dan bau rambut yang terbakar lengket dalam ingatan tiap orang.

Langit hitam, mendung hitam, udara yang kejam. Para pencuri masih lelah juga, berkomplot dengan malam berganti warna, berganti ruang dan malapetaka. Stasiun penuh. Tiap sosok adalah patung yang tidak sempurna. Kecemasan lalu berjelma ketakutan mengeram di dalam dada. Kepala-kepala benjol bekas benturan keras. Stasiun penuh, sosok-sosok padat, hingga berjubal-jubal sampai keluar ruangan. Langit luka. Darah mengering. Hukum mendasari kakus yang panjang. Undang-undang mengelap meja makan. Orang-orang bisu, tangannya batu, matanya beku, mulut-mulut melepuh.

Kanak-kanak tergeletak kehabisan tenaga, kereta tak memunculkan tanda untuk mengular ke cakrawala. Pintu-pintu rumah tertutup senantiasa, jendela-jendela pecah, dan air mata menggenang di selokan kota. Burung gagak mengintai, seolah isyarat gajah-gajah hendak tiba lagi. Gerombolan gajah purba akan datang lagi, menabrak manusia dan janji-janji. Orang-orang ketakutan menjadi iman, melerai segala kesadaran. Orang-orang panik saling sapa tanpa kata. Darah mewarnai udara, menjelaskan kegelisahan yang tak menemukan bahan air mata. Jendral-jendral gajah berkuasa lagi, bagaimana nasib padi?

2009

_______________
Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab IBlis” (PSBB, 2018), “Agama Para bajingan” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.

Tidak ada komentar:

A. Mustofa Bisri A'yat Khalili Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Wachid B.S. Abi N. Bayan Abidah El Khalieqy Acep Syahril Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu AF Denar Daniar Afrizal Malna Agus Manaji Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Maltuf Syamsury Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Ala Roa Aldika Restu Pramuli Alfatihatus Sholihatunnisa Alfiyan Harfi Ali Makhmud Ali Subhan Amelia Rachman Amie Williams Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Andry Deblenk Anggie Melianna Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Aprinus Salam Ariandalu S Arieyoko Ksmb Arya Winanda As Adi Muhammad Asep Sambodja Atrap S. Munir Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Badaruddin Amir Bakdi Sumanto Bambang Darto Bambang Kempling Bambang Widiatmoko Beni Setia Beno Siang Pamungkas Bernando J. Sudjibto Bernard S. Y. Batubara Binhad Nurrohmat Budhi Setyawan Budi Palopo Bustan Basir Maras Chairul Abhsar Chavchay Saifullah Cut Nanda A. D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Afriady Dadang Ari Murtono Daisy Priyanti Daysi Priyanti Dea Anugrah Dea Ayu Ragilia Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Desti Fatin Fauziyyah Dewi Kartika Dharmadi Diah Budiana Diah Hadaning Dian Hartati Didik Komaidi Dimas Arika Mihardja Djoko Saryono Dody Kristianto Dorothea Rosa Herliany Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Edy Lyrisacra Effendi Danata Eimond Esya Eka Budianta Eko Hendri Saiful Eko Nuryono El Sahra Mahendra Ellie R. Noer Elly Trisnawati Emha Ainun Nadjib Endang Supriadi Endang Susanti Rustamadji Eny Rose Eppril Wulaningtyas R Esha Tegar Putra Esti Nuryani Kasam Etik Widya Evi Idawati Evi Melyati Evi Sefiani Evi Sukaesih Fadhila Ramadhona Fahmi Faqih Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fatimah Wahyu Sundari Fauzi Absal Felix K. Nesi Fikri MS Fina Sato Firman Wally Fitrah Anugerah Frischa Aswarini Gampang Prawoto Ghaffur Al-Faqqih Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Gunawan Maryanto Gunoto Saparie Gus tf Sakai Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamid Jabbar Hari Leo Haris del Hakim Hasan Al Banna Hasan Aspahani Hasta Indriyana Helga Worotitjan Heri Latief Heri Listianto Heri Maja Kelana Herlinatiens Hudan Hidayat Hudan Nur Ibnu Wahyudi Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilenk Rembulan Imam S Arizal Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santoso Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indrian Koto Isbedy Stiawan ZS Iwan Gunadi Javed Paul Syatha Jibna Sudiryo Johan Khoirul Zaman Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Saputro Jufri Zaituna Jusuf AN Kadek Wara Urwasi Kadjie Bitheng MM Kartika Kusworatri Kedung Darma Romansha Kika Syafii Kirana Kejora Kirdjomuljo Kurnia Effendi Kurniawan Junaedhie Kurniawan Yunianto Kusprihyanto Namma Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lailatul Muniroh Landung Rusyanto Simatupang Lela Siti Nurlaila Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Linus Suryadi AG Liza Wahyuninto Lubis Grafura Lutfi Mardiansyah M. Badrus Alwi M. Faizi Maghfur Munif Maghie Oktavia Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maqhia Nisima Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marwanto Mas Marco Kartodikromo Mashuri Mathori A. Elwa Matroni el-Moezany Maya Mustika K. Mega Vristian Miftahul Abrori Mohammad Yamin Muhammad Ali Fakih Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muntamah Cendani Mustiar AR Mustofa W Hasyim Mutia Sukma Nadjib Kartapati Z Nanang Suryadi Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Noor Sam Nunung S. Sutrisno Nur Iswantara Nur Lodzi Hady Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Pariyo Adi Pringadi AS Pringgo HR Puisi-Puisi Indonesia Purwadmadi Admadipurwa Puspita Rose Putri Sarinande R. Toto Sugiharto Rachmat Djoko Pradopo Raedu Basha Ragil Suwarno Pragolapati Rakai Lukman Rama Prabu Ramadhan KH Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Ribut Wijoto Rikard Diku Robin Al Kautsar Rozi Kembara Rudi Hartono Rusydi Zamzami S Yoga Sahaya Santayana Saiful Bakri Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Selendang Sulaiman Seli Desmiarti Sigit Sugito Sihar Ramses Simatupang Siska Afriani Sitok Srengenge Sitor Situmorang Slamet Rahardjo Rais Slamet Widodo Sosiawan Leak Sreismitha Wungkul Sri Harjanto Sahid Sri Jayantini Sri Setya Rahayu Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunardi KS Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutirman Eka Ardhana Syifa Aulia Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Ranusastra Asmara Teguh Triaton Tengsoe Tjahjono Tharie Rietha Thowaf Zuharon Timur Sinar Suprabana Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Ulfatin Ch Umbu landu Paranggi Unieq Awien Usman Arrumy W. Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyu Subuh Warih Wisatsana Wayan Sunarta Weni Suryandari Widi Astuti Wiji Thukul Winarni R. Y. Wibowo Yonathan Rahardjo Yosi M Giri Yudhi Herwibowo Yudhiono Aprianto Yurnaldi Yusri Fajar Yusuf Suharto Yuswan Taufiq Yuswinardi Zaenal Faudin Zainal Arifin Thoha Zamroni Allief Billah Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae