Minggu, 01 April 2012

Puisi-Puisi TS Pinang

http://jurnalnasional.com/
SUMUR

di belakang rumah kami menggali liang di mana tergantung nasib hidup kami. dengan airnya kami lunaskan haus seharian, setelah bersitegang dengan timba dan tambang. kadang kami mencoba, membaca muka airnya. siapa tahu mata kami mampu menjangkau wajah kami sekilas saja. tapi liang itu terlalu dalam dan gelap. tersebab itulah airnya sejuk dan sedap.

di depan rumah kami menyiram kembang, dengan air yang kami minta dari timba dan tambang. sebab kami pernah mendengar, segala yang berangkat dari tanah, ke tanah pula ia pulang. dan kembang itu kami tanam di tanah juga, sebagaimana kami menanam kakek-nenek kami, tetua-tetua kami, anak-anak kami, juga bayang kami sendiri. di belakang rumah kami menggali tanah, demi setimba air. dan dengan liang yang gelap itu, kami mengukur dalamnya. tapi kami tak pernah sampai di batas akhir.

kami masih bercakap panjang dengan timba dan tambang. hingga lupa berapa kali kami telah pergi dan pulang. kami ingin mengambil kembali, wajah kami yang jatuh di dasar liang. tapi liang itu terlalu dalam dan gelap. seperti senja yang datang menyergap.



REGOL

kami ingin gerbang rumah kami tak terkunci, agar kami tak melulu dikungkung sepi. kami ingin beranda kami hangat oleh sukaduka yang datang dan pergi. kami ingin belajar tak takut pada pencuri, sebab bila siap berbagi, takkan ada yang bisa direbut lagi.

kami ingin gerbang rumah kami tak terkunci, agar kami tak merasa terkurung. kami menetas sebagai burung, rumah kami teranyam dari jerami kering dan serat-serat cinta yang kami pintal, kami gelung. lalu kami terbang dan pulang setiap kali, tanpa perlu mencemaskan anak kunci. rumah kami tak berpintu, hanya berpagar kidung dan tuah kalbu.

kami ingin gerbang rumah kami tak terkunci, agar segala yang terbang tak lupa tempat kembali.



CELLAR

kami sering berlindung di bawah lantai rumah. tak ada barel anggur atau aroma ragi yang menua. kami hanya perindu ruang kubur, tempat musim dan peluh mengasam, mengabur. o salju yang jauh, beku yang jenuh. kami rindu dingin yang memadamkan tungku-tungku, badai yang menumbangkan tugu-tugu batu.

di bawah lantai rumah, kami ternakkan sejuk kristal salju dan pusar angin rindu. lalu jadilah alasan kami saling berpeluk, berpeluh di dada kekasih, membuang ragu, memanen hangat sembari menghitung tasbih. kami ingin teguh bertetap, saling rindu di tiap lingkaran musim. hujan yang melicinkan batu-batu, atau kemarau yang merontokkan buah-buah randu.



MUSALA

bacalah kami sebagai angka satu. atau huruf alif dalam alifbata-mu, alfabeta yang juga tertulis di kitab-kitab dalam rak pustaka kami. di kamar ini kami menggelar tikar tebal dan secarik harapan. lalu di atasnya kami dudukkan dunia kami sehari-hari. lalu kalimat-kalimat yang meluncur dari bibir kami yang saling berpagut ini, merunut sesuluran yang tak lagi jelas pucuk dan pokoknya. bagi kami tak lagi penting, sebab di negeri kami setiap puisi adalah hiperlink ke jendela manapun kami berpaling.

adakah lagi gempa yang genting jika dada kami selalu gentar oleh embun berdenting?

bacalah. kami adalah sepasang binari yang berbinar dalam silau kobar elektron yang sengit, dalam pekat gulita di luar batas langit. di tikar tebal tempat kami mendudukkan diri, kami membaca gelisah sejarah dalam tenun kasar serat palma. yang sangit oleh kemarau sepanjang hati, sejak sepasang adam-hawa jatuh dari surga, ke negeri yang resah antara hidup dan mati.

bacalah, di kening kami ini. tergurat hujat hujan, juga nubuat dan nujum. tapi kami tak hirau, sebab di tikar serat palma yang kasar tenunannya ini, kami bergumul dengan cinta, berdamai dengan dunia dan hiruk-pikuk di jantung kami. sebagaimana kami belajar menghitung sulur sungai di semesta tubuh kami sendiri.



LOTENG

kami berharap punya kamar di kolong atap dengan tingkap cahaya tempat kami menjala senja. berlantai papan, berdinding papan. di sana akan kami simpan setiap catatan yang tak ingin kami ungkapkan. di sana kami simpan kebenaran di atas kanvas, lalu kami tutupi dengan warna, dengan olesan pisau dempul, dengan kibasan kuas. lalu kamu akan melihatnya sebagai hiasan dinding, sedangkan kami mengingatnya sebagai badai puting.

di setiap musim kami akan menggantung jagung kering di para-paranya. persediaan saat musim lapar, serentak menandai tahun-tahun yang pergi. kami masih bermimpi jadi petani, menanam-tuai sendiri padi dan ubi kami. dan ceruk di luang atap itu akan menjadi candi tetirah kami, tempat mengungsi dari dendam dan benci. di sana kami akan berhitung berapa langkah kami seharian yang kelak kami sesali, berapa lambaian tangan yang lupa kami niati.



DAPUR

bayangkan kami di depan kompor menyala. dalam didih minyak kami masak seekor bawal. aroma ketumbar dan bawang menguar begitu tebal. seakan menabalkan perjalanan kami meniti jembatan ini, yang gantung dan goyang oleh angin nakal.

di depan kompor kami bertaruh nasib dengan seekor bawal, di titian kami berjuang agar pijak tak gawal.

di meja kami menumbuk cabe dalam lumpang batu. seperti kami kerjakan setiap waktu dengan bebijian kenang yang tajam seperti picing matamu. kami terus menumbuk cabe itu, hingga pedas dan garam bercampur satu dengan terasi ikan muara kiriman ibu. kami tahu, di setiap ulekan antan ini ada putaran doa tak terucap, tentang embun yang meresap.

bayangkan kami masih di depan kompor, masih menyala. dan bawal masih menasbihkan zikir pada gemeritik percik minyak. dan kami masih menumbuk cabe.

sementara hujan dari seluruh negeri, berkumpul di pekarangan kami.



BERANDA
– kepada Hasan Aspahani

1.
di sini mungkin kita perlu singgah sejenak sebelum lewat pintu itu yang telah jutaan kali kita masuki. riuhnya jalanan dan pasar kota masih melekatkan debu ke kerah bajumu, ke lidah sepatuku. perniagaan yang tak pernah sudah, perselingkuhan dengan keringat dan lelah. katakanlah sekali lagi: bersungguhkah kita di jalan ini?

2.
kami terlalu sering menjamu tamu di teras rumah dengan basa-basi, terlalu jarang dengan puisi. negeri kami begitu penuh dengan fiksi, begitu jenuh dengan diksi. dan kami masih berkutat dengan geli resah yang basi: inikah puisi?

negerimu kami lihat, begitu sore. seperti secangkir teh manis dan sepiring biskuit. lalu ayunan pintu tanpa derit engsel, dan mungkin di baliknya sembunyi sebuah ciuman panjang dan jerit ranjang. lihatlah, negeri kami masih saja hujan, langit kami didera batuk yang rejan.

3.
dipan depan rumah. kami sedang mengaji hitamnya kopi. sekental krim gula di kue ulang tahunmu. di negeri kami, hanya ada kerucut nasi berlauk doa dan sayur mantra. biarlah kami titipkan saja di bibir Shiela dan Ikra.

Tidak ada komentar:

A. Mustofa Bisri A'yat Khalili Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Wachid B.S. Abi N. Bayan Abidah El Khalieqy Acep Syahril Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu AF Denar Daniar Afrizal Malna Agus Manaji Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Maltuf Syamsury Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Ala Roa Aldika Restu Pramuli Alfatihatus Sholihatunnisa Alfiyan Harfi Ali Makhmud Ali Subhan Amelia Rachman Amie Williams Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Andry Deblenk Anggie Melianna Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Aprinus Salam Ariandalu S Arieyoko Ksmb Arya Winanda As Adi Muhammad Asep Sambodja Atrap S. Munir Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Badaruddin Amir Bakdi Sumanto Bambang Darto Bambang Kempling Bambang Widiatmoko Beni Setia Beno Siang Pamungkas Bernando J. Sudjibto Bernard S. Y. Batubara Binhad Nurrohmat Budhi Setyawan Budi Palopo Bustan Basir Maras Chairul Abhsar Chavchay Saifullah Cut Nanda A. D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Afriady Dadang Ari Murtono Daisy Priyanti Daysi Priyanti Dea Anugrah Dea Ayu Ragilia Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Desti Fatin Fauziyyah Dewi Kartika Dharmadi Diah Budiana Diah Hadaning Dian Hartati Didik Komaidi Dimas Arika Mihardja Djoko Saryono Dody Kristianto Dorothea Rosa Herliany Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Edy Lyrisacra Effendi Danata Eimond Esya Eka Budianta Eko Hendri Saiful Eko Nuryono El Sahra Mahendra Ellie R. Noer Elly Trisnawati Emha Ainun Nadjib Endang Supriadi Endang Susanti Rustamadji Eny Rose Eppril Wulaningtyas R Esha Tegar Putra Esti Nuryani Kasam Etik Widya Evi Idawati Evi Melyati Evi Sefiani Evi Sukaesih Fadhila Ramadhona Fahmi Faqih Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fatimah Wahyu Sundari Fauzi Absal Felix K. Nesi Fikri MS Fina Sato Firman Wally Fitrah Anugerah Frischa Aswarini Gampang Prawoto Ghaffur Al-Faqqih Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Gunawan Maryanto Gunoto Saparie Gus tf Sakai Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamid Jabbar Hari Leo Haris del Hakim Hasan Al Banna Hasan Aspahani Hasta Indriyana Helga Worotitjan Heri Latief Heri Listianto Heri Maja Kelana Herlinatiens Hudan Hidayat Hudan Nur Ibnu Wahyudi Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilenk Rembulan Imam S Arizal Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santoso Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indrian Koto Isbedy Stiawan ZS Iwan Gunadi Javed Paul Syatha Jibna Sudiryo Johan Khoirul Zaman Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Saputro Jufri Zaituna Jusuf AN Kadek Wara Urwasi Kadjie Bitheng MM Kartika Kusworatri Kedung Darma Romansha Kika Syafii Kirana Kejora Kirdjomuljo Kurnia Effendi Kurniawan Junaedhie Kurniawan Yunianto Kusprihyanto Namma Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lailatul Muniroh Landung Rusyanto Simatupang Lela Siti Nurlaila Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Linus Suryadi AG Liza Wahyuninto Lubis Grafura Lutfi Mardiansyah M. Badrus Alwi M. Faizi Maghfur Munif Maghie Oktavia Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maqhia Nisima Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marwanto Mas Marco Kartodikromo Mashuri Mathori A. Elwa Matroni el-Moezany Maya Mustika K. Mega Vristian Miftahul Abrori Mohammad Yamin Muhammad Ali Fakih Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muntamah Cendani Mustiar AR Mustofa W Hasyim Mutia Sukma Nadjib Kartapati Z Nanang Suryadi Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Noor Sam Nunung S. Sutrisno Nur Iswantara Nur Lodzi Hady Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Pariyo Adi Pringadi AS Pringgo HR Puisi-Puisi Indonesia Purwadmadi Admadipurwa Puspita Rose Putri Sarinande R. Toto Sugiharto Rachmat Djoko Pradopo Raedu Basha Ragil Suwarno Pragolapati Rakai Lukman Rama Prabu Ramadhan KH Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Ribut Wijoto Rikard Diku Robin Al Kautsar Rozi Kembara Rudi Hartono Rusydi Zamzami S Yoga Sahaya Santayana Saiful Bakri Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Selendang Sulaiman Seli Desmiarti Sigit Sugito Sihar Ramses Simatupang Siska Afriani Sitok Srengenge Sitor Situmorang Slamet Rahardjo Rais Slamet Widodo Sosiawan Leak Sreismitha Wungkul Sri Harjanto Sahid Sri Jayantini Sri Setya Rahayu Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunardi KS Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutirman Eka Ardhana Syifa Aulia Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Ranusastra Asmara Teguh Triaton Tengsoe Tjahjono Tharie Rietha Thowaf Zuharon Timur Sinar Suprabana Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Ulfatin Ch Umbu landu Paranggi Unieq Awien Usman Arrumy W. Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyu Subuh Warih Wisatsana Wayan Sunarta Weni Suryandari Widi Astuti Wiji Thukul Winarni R. Y. Wibowo Yonathan Rahardjo Yosi M Giri Yudhi Herwibowo Yudhiono Aprianto Yurnaldi Yusri Fajar Yusuf Suharto Yuswan Taufiq Yuswinardi Zaenal Faudin Zainal Arifin Thoha Zamroni Allief Billah Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae