BISAIN SORE HARI
Lentera belum tumbuh?
Anak dan ibu kejar-kejaran.
Ayah asyik mencumbu ladang.
Unu!
Babi seru sendiri—
Babi-babi suka marah
Babi Belanda lupa kenyang
Sapi sudah di kandang?
Anak lari ke dapur.
Minyak tanah menguap ke padang.
Pakai damar. Pakai damar jadi pelita.
Ditendang pula lesung itu
Sebab tahun ini
Tuhan enggan menurunkan api.
Ada hujan
Di rumahmu
Dari lesung pipi Maria.
(2014)
BERBURU SAPI
Di sinar bulan itu
Dua lelaki mengintai sapi.
“Telah sedia kayu bakar
Jika Tuanmu tak masukkan ke kandang
Jadilah kau mangsa kami.”
Telah ia asah pula tombaknya.
Bekas darah
Dari perang Kieja mengusir Nippon.
Tapi siapa membuat sipit mata kami?
Tak apa, Usi,
Selama rambut masih keriting.
Dan Babah Leong rajin menutup kandang
Agar aman singkong kita
Singkong terakhir
Setelah kecewa
Menghalau kemarau.
(2014)
BERBURU IKAN
Nyalakan saja suluh itu!
Ain Nel butuh lele
Namun belut suka cahaya.
Kami pelan menuruni ngarai
Demi berkat terakhir
Sebelum mulai lagu requiem.
Di persimpangan kedua
Udang adalah demonstran yang terkepung polisi
Namun matanya malu meminta ikut.
Bawa kami, Usi, bawa kami
Agar sembuh katarak Ain Nel
Biar terang jalan ke surga.
(2014)
FIRASAT NENEK
Usai memanjatkan doa
Dengan kisah cintanya yang berulang
Dan mata Tony yang tak lepas dari dendeng terakhir
Dan aku yang mengomeli Vincent yang
Menggambar tahi sapi pada kening
Elisabeth yang menjadi batu badao
Nenek mencium kematian di kandang kuda.
Kuda belum pulang
Kakek belum bergurah
Mana pelita?
Dan perempuan bijak di Usapinonot
Tak butuh minyak dalam buli-buli
Demi pengantin yang belum juga tiba.
“Ambil suduh damar, Gilbert!
Kau Unu, putera tertua.
Jagalah adik dan sapi, seperti
Tuhan menjaga biji mata-Nya.”
Di dadaku Kain berseru seperti singa
Yang meraung di padang gurun:
Apakah aku penjaga adikku?
Namun perempuan tua itu
Yang tak bijak
Tak bicara
Merangkak dalam gelap.
Mungkin di suatu padang datar
Dekat kandang kuda Om Ose
Ia temukan jejak suaminya
Yang tertinggal di tunggul aren
Dan pisau pengiris malay
Menancap di dadanya
(Malang, 2014)
REQUIEM
Selalu ada dosa
Bagi kata tak bertuan
Dan lidah-lidah yang menelurkannya.
Ibu membayar lunas dosa di dadaku
Namun ayah yang dihanguskan cinta
Tak cukup kuat menombak lambungnya.
Ini dadaku.
Tikamlah di situ
Ayah tak ingin menggali kubur
Sebab nenek masih meratap.
“Terkutuklah tanah yang menumbuhkan aren
Dan langit yang merapuhkan temali.
Telah berkabung jiwa kami
Sebab diambil kepadanya
Kesayangan Maria
Yang tak memetik buah untuk hidup.
Cukuplah bagimu mengutuk Adam
Dan menggulingkan kecintaanku
Yang memeras Nira dan aren.”
Nenek tak mau berhenti menangis
Sebab Tuhan selalu mengurangi berkah
Sejak Eden menjadi sabana.
(Malang, 2014)
Felix K. Nesi lahir di Nesam, Nusa Tenggara Timur, 30 Agustus 1988. Sekarang belajar di Fakultas Psikologi Universitas Merdeka Malang dan bergiat di dalam Komunitas Sastra Titik. http://sastra-indonesia.com/2021/08/puisi-puisi-felix-k-nesi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar