Sekarang bukan waktu untuk aku mengutuk diri sendiri;
Penderitaanku, tangis anakku, hampir perpisahanku, dan hari-hariku yang kejam.
Aku bukan seorang yang terhebat di tanah kelahiranku,
Selain hanya beberapa pujian yang menjijikan dari komentar orang-orang aneh.
Tapi aku menulis puisi ini untuk mereka dan tentang mereka:
Mereka di rumah orang lain dan orang lain lainnya, juga ke rumah musuh mereka.
Ketika hujan turun di musim kemarau dan orang-orang sibuk menggali makam,
Aku melihat mereka membentuk jadi batu-batu yang dilempar ke jendela kantor koran.
Dan aku harus memutar kenyataan itu dan mendukung kepentingan iblis,
Dan aku harus membunuh kesedihanku saat mereka mengungsi ke rumah orang lain.
Malaikat kesiangan, cinta, kasih sayang, anjing, babi, arak, baram, jam dinding, koran, kuda besi,
Perahu kayu, pelampung plastik, dan bahasa penguasa merusak perasaanku!
Kuala Pembuang, 2020.
Sebuah Paralelisme
Seorang penyair
dan sebatang kretek;
selembar kertas koran
dan roti kemarin;
penyair, kretek
koran, dan roti
mereka saling curiga
bisa saja begini:
seorang penyair
menghisap kretek
terpampang dalam koran
kerna mencuri roti
di sebuah toko
di tanah airnya
atau,
perusahaan kretek
dalam lembaran koran
menyematkan logo
pada puisi seorang penyair
dan membayarnya
dengan roti belaka
atau,
roti di jalanan
putung kretek di jalanan
dipungut seorang penyair
yang berpakaian serba koran
atau,
penyair dan petani kretek
bekerjasama mengebom
perusahaan koran
dan perusahaan kretek
dengan bom roti
ah,
aku sedang berkhayal
nikmatnya whisky
di musim begini
kerna darah sendiri
telah masuk di penyulingan...
oh...
Kuala Pembuang, 2020.
Kami Memiliki Apa yang Tak Mereka Milik
Kami memiliki apa yang tak mereka miliki:
Semangkuk kesedihan, cahaya pedih dari dada telanjang, keperihan yang damai dalam teriakan tanpa suara, dan mata sembab berdarah...
Kami memiliki apa yang tak mereka miliki:
Seratus ribu leluhur yang lumpuh, dua puluh ribu malaikat dari mazhab kegagalan, dan satu juta harapan dan cita-cita tergoreng kilang minyak dan rumah baja...
Kami memiliki apa yang tak mereka miliki:
Sungai-sungai yang memanjang -- maksudku, itulah makam kami nantinya, hari-hari penderitaan yang panjang, dan kebisuan dalam sukma...
Kami memiliki apa yang tak mereka miliki;
(Tapi milik kami dipaksa jadi milik mereka)
Kami masih memiliki satu kepercayaan ini: selagi api kepedihan masih berkobar dalam nadi, kami akan persembahkan kepala mereka...
(Sukmaku bergetar, aku kehilangan daya meneteskan air mata)
Kuala Pembuang, 2020.
Ketika Kami Diusir
"Dua hari waktu kalian pergi!"
Dua hari ialah waktu kami untuk pergi, lagi;
Angin malam, cahaya bulan, harapan
Harapan, bintang yang jauh, malam dingin
Perasaan sedih, pandangan kelabu
Gugup, jalanan terbuka lebar
Ke mana harus pergi
Empat pasang
Mata kaki bertanya.
Anakku yang cantik
Tak boleh tahu ini:
Aku dan Istriku
Dilipat seperti kertas
Jadi perahu kertas
Dilempar dari manara dermaga
Terhuyung angin
Jatuh ke air
Dihantam ombak
Diburu
Penderitaan
Sebelum melebur
Dan tenggelam
Jauh ke dasar.
"Dua hari waktu kalian pergi!"
Malam terasa
Seperti vegas
Ditarik dan dilepaskan
Dalam rongga
Mulut
Dada
Kami
Yang menganga!
Dan empat pasang
Mata kaki
Menangis
Kerna empat pasang
Mata kami
Lupa bagaimana
Dan kehilangan cara
Untuk menjatuhkan
Air mata...
O bayang dua manusia
Perempuan dan lelaki
Jalang dan bajingan
Terbuang dari nasib baik
Dicekik hidup cilaka
Tiada seorang
Apalagi dua
Untuk berbagi
Ruang, ruang gelap
Di hatinya
Untuk duka kami
Malam terasa
Seperti vegas
"Sayangku sayang...
Tak ada bendera
Kuning, merah, dan putih
Yang patut kita kibarkan!
Kita harus terus melangkah
Tapi ingat!
Jangan bicara!
Si cantik sedang tidur
Dalam dekapan!"
Dan kami, dua hari lagi
Akan pergi
Mungkin
Dan ya...
Kita takkan jumpa
Berbagi apa saja
Yang bisa.
O puisi ini
Akan dibacakan
Sebagai pengganti
Doa kematian
Di atas kuburan
Kami...
Kuala Pembuang, 2020.
Alegori Alkoholik
Masa sulit dan hampir saja mati
Dan aku mulai menyukainya, ya..
Aku juga menyukai kicau burung
Juga segelas baram dalam tanduk
Ketika anakku yang cantik di beranda
Melambaikan tangannya ketika aku pergi
Aku masih menyukai kicau burung
Aku pergi ke jalanan mencari derita yang bisu
Masa sulit dan hampir saja mati
Orang-orang membeton wajah mereka
Orang-orang membusungkan dada ke langit
Mulut mereka menyumpahi matahari Joko Widodo
Adakah revolusi sebentar kan tiba?
Di WC, di wastafel, di atap rumah
Di kondom, di softex, di tissue
Di absensi PNS, di paracetamol?!
Masa sulit dan hampir saja mati
Penindasan dan puisi-puisi Faiz
Alkohol dan mimpi Eric Clapton
Di mana aku akan dimakamkan?
Kuala Pembuang, 2020.
http://sastra-indonesia.com/2020/09/puisi-puisi-muhammad-yasir/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar