jawapos.com
Surat Buat Bunda
Masih tentangmu, bun
Di Agustus yang murung ini
Sejarah adalah hal asing
Yang gampang berbohong
Dan mudah dilupakan.
Di sini
Kita tak lagi bisa membedakan
Yang mana barisan dan yang mana antrian.
Upacara tak lebih dari kewajiban beribadah
Dalam agama.
Berpura-pura hormat dan sedih
Sesudah itu dilupakan
Dan menikam satu sama lain.
Masih tentangmu, bun
Kita yang bermula dari kata
Kata yang lahir karena rindu
Rindu yang risau karena dirampas orang lain.
Tak ada yang diwariskan atas kelahiran
Kecuali makam bagi masa laluku
Dimana aku menimbun kemiskinan dan kesakitan
Anak-anakku.
Aku dilahirkan untuk dilupakan
Karena sejarah tak pernah mengajariku
Bertutur yang benar.
Sudah berapa nyawa kupanggul
Untuk menebus hutang-hutangku.
Sudah berapa doa yang mereka kirimkan
Tapi selalu gagal dipanjatkan.
Sebab Tuhan
Yang biasa mereka ucapkan
Tak juga ditemukan.
Lantas apa yang mereka dengungkan
Ketika malam berjaga-jaga di hati mereka?
Bun, hidup tak lebih dari serangkaian usia
Sudah itu kita pergi dan tak saling kenal.
Bukankah kematian
Serupa ingatan buruk untuk kenangan.
Ya, bun,
Mengingat untuk melupakan
Adalah hal paling mudah kita bawa
Untukmu
Untuk kemarau di lambungku.
Jogja, 2008
Sesobek Malam di Kota Mangga
- Nic
Apa yang kaucari malam itu?!
Selain tubuhmu yang dikoyak-koyak birahi.
Selain hatimu yang digadaikan.
Kuberikan selembar surat untukmu
Tapi kau membuangnya di tikungan
Di tahun airmata menjadi hujan kita.
: “Kayak kebo bae.
Nang apa bli ning hotel ato kamar?! ”
Kata salah satu di antara mereka.
Gerimis di hatimu mengantarmu pulang
Karena celana kemaluanmu dicuri orang.
Untung seorang petani hutan
Bersedia memberikan celananya.
Tapi kau tak pernah habis
Menangisi malam
Yang digondol lelakimu.
Mungkin kisahmu akan jadi dongeng
Sebagai pengantar tidur mereka.
Dan segalanya tak lebih buruk
Dari apa yang mereka dengkurkan.
Kuharap kau bisa mengerti
Di hari airmatamu menjadi hujan
Bagi kemarau di hatimu.
Cikedung, 2008
Sepenggal Kisah yang Hilang
Apalagi yang harus kuceritakan padamu?
Semua telah habis untukmu.
Keremajaan dan kesombongan kita
Telah lenyap bersama kabut
Yang turun dari langit
Menyerupai hujan yang dulu.
Kau bebas menamakan ini dengan apa saja
Bahkan dengan nama-nama jalan
Tempat dulu kita mampir sebentar
Dan lantas pergi.
“Jangan menoleh ke belakang
jika kau takut lupa jalan di depanmu!”
Kita memang selalu membicarakan ini
Tak peduli angin teramat dingin
Tak peduli bahwa kenangan
Teramat lekat dalam ingatan
Sebelum kita benar-benar peduli
Apa itu perpisahan.
Sanggar Suto, 2008
Endnotes:
Seperti kerbau saja. Kenapa tidak di hotel atau kamar?!
Surat Buat Bunda
Masih tentangmu, bun
Di Agustus yang murung ini
Sejarah adalah hal asing
Yang gampang berbohong
Dan mudah dilupakan.
Di sini
Kita tak lagi bisa membedakan
Yang mana barisan dan yang mana antrian.
Upacara tak lebih dari kewajiban beribadah
Berpura-pura hormat dan sedih
Sesudah itu dilupakan
Dan menikam satu sama lain.
Masih tentangmu, bun
Kita yang bermula dari kata
Kata yang lahir karena rindu
Rindu yang risau karena dirampas orang lain.
Tak ada yang diwariskan atas kelahiran
Kecuali makam bagi masa laluku
Dimana aku menimbun kemiskinan dan kesakitan
Anak-anakku.
Aku dilahirkan untuk dilupakan
Karena sejarah tak pernah mengajariku
Bertutur yang benar.
Sudah berapa nyawa kupanggul
Untuk menebus hutang-hutangku.
Sudah berapa doa yang mereka kirimkan
Tapi selalu gagal dipanjatkan.
Sebab Tuhan
Yang biasa mereka ucapkan
Tak juga ditemukan.
Lantas apa yang mereka dengungkan
Ketika malam berjaga-jaga di hati mereka?
Bun, hidup tak lebih dari serangkaian usia
Sudah itu kita pergi dan tak saling kenal.
Bukankah kematian
Serupa ingatan buruk untuk kenangan.
Ya, bun,
Mengingat untuk melupakan
Adalah hal paling mudah kita bawa
Untukmu
Untuk kemarau di lambungku.
Jogja, 2008
Sesobek Malam di Kota Mangga
- Nic
Apa yang kaucari malam itu?!
Selain tubuhmu yang dikoyak-koyak birahi.
Selain hatimu yang digadaikan.
Kuberikan selembar surat untukmu
Tapi kau membuangnya di tikungan
Di tahun airmata menjadi hujan kita.
: “Kayak kebo bae.
Nang apa bli ning hotel ato kamar?! ”
Kata salah satu di antara mereka.
Gerimis di hatimu mengantarmu pulang
Karena celana kemaluanmu dicuri orang.
Untung seorang petani hutan
Bersedia memberikan celananya.
Tapi kau tak pernah habis
Menangisi malam
Yang digondol lelakimu.
Mungkin kisahmu akan jadi dongeng
Sebagai pengantar tidur mereka.
Dan segalanya tak lebih buruk
Dari apa yang mereka dengkurkan.
Kuharap kau bisa mengerti
Di hari airmatamu menjadi hujan
Bagi kemarau di hatimu.
Cikedung, 2008
Sepenggal Kisah yang Hilang
Apalagi yang harus kuceritakan padamu?
Semua telah habis untukmu.
Keremajaan dan kesombongan kita
Telah lenyap bersama kabut
Yang turun dari langit
Menyerupai hujan yang dulu.
Kau bebas menamakan ini dengan apa saja
Bahkan dengan nama-nama jalan
Tempat dulu kita mampir sebentar
Dan lantas pergi.
“Jangan menoleh ke belakang
jika kau takut lupa jalan di depanmu!”
Kita memang selalu membicarakan ini
Tak peduli angin teramat dingin
Tak peduli bahwa kenangan
Teramat lekat dalam ingatan
Sebelum kita benar-benar peduli
Apa itu perpisahan.
Sanggar Suto, 2008
Endnotes:
Seperti kerbau saja. Kenapa tidak di hotel atau kamar?!
Kedung Darma
Romansha, lahir pada tanggal 25 Februari 1984 di Indramayu, Jawa Barat. Alumni
jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY,
2009) serta pascasarjana Ilmu Sastra di Universitas Gajah Mada (UGM, 2017).
Sebagai sastrawan, karya-karyanya dipublikasikan di pelbagai media massa, baik
lokal maupun nasional serta antologi bersama. Ia juga aktif dalam seni peran, teater
dan film. Pada Agustus 2018, bersama Saturday Acting Club diundang oleh Asia
Theatre Directors Festival TOGA, Toyama, Jepang, membawakan “The Decision”
karya Bertold Brecht. Novelnya “Kelir Slindet” merupakan buku pertama dari
dwilogi Slindet/Telembuk (2014), dinobatkan karya terbaik Tabloid Nyata. Novel
keduanya “Telembuk, Dangdut dan Kisah Cinta yang Keparat,” masuk short list
Kusala Sastra Khatulistiwa 2017, serta menjadi buku yang direkomendasikan
majalah Tempo kategori prosa, 2017. Novel itu juga salah satu yang terpilih
dalam Market Focus, London Book Fair (Komite Buku Nasional, 2019). Dua buku puisinya,
“Uterus” (2015), dan “masa lalu terjatuh ke dalam senyumanmu” (Rumah Buku,
2018). Yang segera terbit, buku kumcer perdananya “Rab(b)i”, dikonsep tidak
seperti kumcer pada umumnya. Ia mengelola gerakan literasi di Indramayu,
Jamiyah Telembukiyah, yang beberapa anggotanya terlibat dalam gerakan literasi
jalanan, penyuluhan, dan pendataan terhadap Pekerja Seks Komersial di
Indramayu. Anggota yang lain terlibat dalam gerakan sastra dan budaya di
Indramayu. Program ini atas kerjasama dengan Universitas Wiralodra, telah
mengundang beberapa sastrawan dalam negeri dan luar negeri, di antaranya Joko
Pinurbo, Katrin Bandel, Afrizal Malna, Sosiawan Leak, dan Mubalmaddin Shaiddin
dari Malaysia. Ia juga mengelola komunitas Rumah Kami/Rumah Buku di Yogyakarta.
1 komentar:
Puisi karya kang Kedung itu jangan dikomentari, tapi dibaca dengan suara yang keras dan jelas, dibarengi sambil nyripit wedang kopi pait campur manis.....jeh.. bukatikan hasilnya....dijamin ora bakal entok entok enake.....
Posting Komentar