Senin, 26 Januari 2009

Puisi-Puisi Thowaf Zuharon

http://sastrakarta.multiply.com/
Sebuah Panggung Bernama Lampung

dalam sandiwara kali ini
beribu peladang
seketika menjelma budak kongsi dagang
beribu kapal asing memangsa gembur suburku
mengganti lada dengan hunjam desing peluru
tubuhku susut dipagut serdadu bermata biru
murka Eropa kira-kira tiga abad lalu
aku dulu punggung yang berdebu
riwayat sakit bertabur mayat di dadaku
pada berjuta tubuh kanak
jutaan inggu dikalungkan
agar kematian raib dari ingatan

dalam hamparan kesedihan yang perpalung
aku belajar mengenal kembali
angka dan angkara
pada pukau parau Ranau yang seperti angka nol
pada nyeri sunyi yang selalu mengincar puisi
ruhku memudar dalam panorama
yang menandaskan getar dan getir tak terhingga

aku mencoba menyusun melodi
dalam babak tragedi tanah ini
tapi semua ruang telah bising denting terapang
yang beradu dalam karnaval seteru
aku seperti pandawa kalah dadu
Kalianda menjelma Kurusetra
anyir darah sedalam telaga, jasad pun membukit
ingin kuabadikan semua itu dalam lagu kelabu
dengan talo balak kesayanganku
tapi tetap tak ada nada yang bisa mengada
hingga aku hanya bisa mendekap
yang fana dan yang baka
dalam tawa dan air mata

beribu adegan berlumur tangisan
penantian dan harapan tumpas
secepat dengan napas
segala alur seperti dimainkan mundur
segala renung tergulung dalam panggung
yang dirayakan ribuan peran
entah sampai kapan
meski sangkala akan mendera
belum tentu ada iringan nada
di ujung pertunjukan karena epilog tak kunjung dimainkan

Agustus 2006

Catatan:
Inggu: Kalung untuk anak yang ditinggal mati orang tuanya. Dalam mitologi rakyat Lampung di jaman dahulu, kalung dari India ini dimaksudkan agar anak yang ditinggal mati tidak menangis mencari orang tuanya.
Terapang: Senjata tradisional masyarakat Lampung
Talo balak: Alat musik tradisional masyarakat Lampung
Ranau: Nama danau terbesar di Lampung



Maut Menyemut di Beirut

saat tersuruk dalam reruntuh di sudut Beirut
masih bisa kudengar hirup terakhir
nafas bocah yang masih sempat
merekam isak sebuah kota,
serta muram dentum meriam.
sebuah kota yang telah dibisukan
oleh seribu serangan

angin menjadi begitu mungkin di Lebanon
meniupkan talking yang penuh pertanyaan dan jawaban
Baldatun Thoyibatun yang selalu menjadi mimpi,
seketika lesap ke perut bumi
atau hanya akan tercatat
dalam lembar baru ensiklopedi

maut semakin menyemut di Beirut
lalu lantang kuseru:
Umar! Wahai anak si Khatab!
sang Khalifah jaman nabi
kuingin sosokmu dulu
menitis dalam Beirut yang banjir peluru

tapi aku hampir pingsan melihat
Umar bangkit dari kuburnya

kulihat Umar menatap gurun bersama kilat pedangnya
begitu haus darah serdadu Tel Aviv,
ia mengungkap prahara,
merajam dusta adi kuasa yang tak pernah usai
memeras air mata para jelata

singa padang pasir meradang garang
di atas tank pemberian rasulnya
(diam-diam Dajjal mengincarnya dari Bermuda)
saat kutanya kenapa ia mau bangkit dari kuburnya,
begitu angkuh dijawabnya,

Umar begitu cemas,
jika Dajjal sampai tak membiarkan
tumbuh lagi ayat dan doa.
"Di ladang perang,
nyawa gampang remuk bagai kerupuk!" tandasnya getas.

di belakang Umar,
sekompi hezbullah sibuk melipat waktu
tak bisa sedikitpun tertawa
meski digelitiki tangan-tangan murka



Belajar Menjadi Sepatu

ujung tahun delapan, bulan berlumur tamu
aku demikian curam
terhujam tanduk banteng
di tiga Senin
meski ngilu masih menganga
tetap kusambut pula sobatku benalu
ke Jogja ia bertamu
tersebab berkah kata-kata
merengkuh Jogja, menukil mijil
di Kedaton Palawija
berikut secabik roman di dalamnya.
seketika tersusun ritus penghormatan
aku lesap dalam dasar tubuhnya
belajar menjadi sepatu
tamasya bersama kakinya
suntuk melata ke semua penjuru
diterangi percik kecil korek api
tak merasa ada gigil cuaca mendera
dan kami semakin beririsan
dalam segitiga warung senja
kekal terhimpun!

aku harus menjadi sepatu baginya
karena bunga budi masa lalu
telah tertanam dalam jantungku.
setulus udara, ia menyertaiku
menyatu dalam lembut lanskap Nusa Penida
rekahlah cengkerama kita
semata karena subur kata-kata
hujanlah wahana-wahana berjiwa:
legam senja Tanah Lot, bukit seksi Kintamani,
amis Sanur, denyut Pasar Badung.
riuh transaksi Sukowati, buih lirih Kuta, surga Ubud,
juga sendu tetirah Bedahulu yang terus menggoresiku

telah datang Si Gadang Rantau
dibuntuti aroma bayi dan tembakau
ia semakin berjelaga
semakin hangus oleh kobar kata-katanya sendiri
sekian waktu hanyut dalam Unibu, sesaji bait puisi,
swargaloka pulau dupa menitahkannya kemari
meniti darah leluhurku yang beku
yang enggan mengalir ke tubuhku.
dan sebelum ruh sedingin subuh
aku terus menjadi sepatu
hanya tumbal berdebu
sepanjang langkah membuat rambu

mengantar kaki menanjaki tebing batu
menuntun lelaku gelap berliku
melingkupi tumit dari getir panas pasir
terus bertahan, sama sekali tak takut solku usang!

sebagaimana perangai sepatu, sekadar alas saja,
sepulang kembara sunyi di pantai utara
kening masih kernyit terbelit simpul kekasih
di petilasan Cepuri Parangkusuma
dalih pun kujadikan tanda mata
bagi jejaka bersetubuh risau tak tentu
tanpa pernah dewasa
melulu menderu dalam cinta

cukup berdua saja di paruh Juli
melankoli meletup di kaki Merapi
jalan telah menikung lima kali.
jadi, sepatu ditinggal saja, karena keriut jejaknya
hanya akan mengganggu suci senggama
bukankah Kaliurang dan Kalikuning terlanjur indah sebagi melodi?
maka sepasang harmoni lekaslah menjadi!

hanya setengah windu, rindu mengendap seperti candu
ia mengajakku susup diri
di hutan Mentaok
berburu langsat rusa betina
yang urung ia panah semusim lalu
berderap aku sepatu
kubimbing kakinya menaiki kusa Sumba
ditemani busur dan mata panah Ekalaya
tapi genit geliat rusa bertina
semolek Banowati
sekejap tersingkap di sampingnya
merayunya semata menjelma dadu
dalam meja permainannya
hari semakin perih
lantaran tak kuasa menghidup wangi khuldi
ia lisut dalam lembut langsat rusa betina
angan sedekah diri seteguh Bisma
lalu patahlah busur dan mata panah
malam pun kian meruncing

aku pernah yakin, tamu
adalah obat bagi yang sendiri.
tapi, pada gamang sekarang,
sebagai sepatu yang kian usang.
aku semakin sangsi pada rute tamasya ini
gerimis yang ia janjikan di bulan Juni
telah ia ganti dengan air mata dan daki
alamat telah robek ditingkah seteru.
barangkali kita memang harus beradu
seperti dua gelas yang berdenting
ketika dicuci bersama dalam satu ember kecil

cukupkan saja langkahmu, Juli
tak perlu kau berburu klangenan lagi
jangan kau usangkan dirimu menjadi sepatu, sepertiku!
tak perlu lama menatap sriti senja!
masih ada kutilang di Pasar Ngasem
biarkan saja Sriti senja terus mengepakkan sayapnya
bukankah angin telan menjadi panglimanya yang setia
sehingga ia merasa begitu kokoh di angkasa?
kita hanya perlu mengawetkan derunya
dan merelakan diri menjadi sebiji puisi
terkunci abadi
dalam tipis bayangan Sriti

sebelum kepergiannya hanya untuk menjadi kata
aku memohon padanya:
aku cuma sepatu
selalu ingin sampai di mana saja
tak perlu kau hapus semua alamat
agar kita tak menjadi kawan seteru
aku hanya perlu kau kencangkan tali sepatu
agar loncatanmu sampai di awan baru

ia berlalu
tanpa perlu sepatu
tinggal sebersit kenangan kecil
tentang korek api yang hampir mati

Patehan Kidul, Juli 2007.

Tidak ada komentar:

A. Mustofa Bisri A'yat Khalili Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Wachid B.S. Abi N. Bayan Abidah El Khalieqy Acep Syahril Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu AF Denar Daniar Afrizal Malna Agus Manaji Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Maltuf Syamsury Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Ala Roa Aldika Restu Pramuli Alfatihatus Sholihatunnisa Alfiyan Harfi Ali Makhmud Ali Subhan Amelia Rachman Amie Williams Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Andry Deblenk Anggie Melianna Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Aprinus Salam Ariandalu S Arieyoko Ksmb Arya Winanda As Adi Muhammad Asep Sambodja Atrap S. Munir Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Badaruddin Amir Bakdi Sumanto Bambang Darto Bambang Kempling Bambang Widiatmoko Beni Setia Beno Siang Pamungkas Bernando J. Sudjibto Bernard S. Y. Batubara Binhad Nurrohmat Budhi Setyawan Budi Palopo Bustan Basir Maras Chairul Abhsar Chavchay Saifullah Cut Nanda A. D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Afriady Dadang Ari Murtono Daisy Priyanti Daysi Priyanti Dea Anugrah Dea Ayu Ragilia Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Desti Fatin Fauziyyah Dewi Kartika Dharmadi Diah Budiana Diah Hadaning Dian Hartati Didik Komaidi Dimas Arika Mihardja Djoko Saryono Dody Kristianto Dorothea Rosa Herliany Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Edy Lyrisacra Effendi Danata Eimond Esya Eka Budianta Eko Hendri Saiful Eko Nuryono El Sahra Mahendra Ellie R. Noer Elly Trisnawati Emha Ainun Nadjib Endang Supriadi Endang Susanti Rustamadji Eny Rose Eppril Wulaningtyas R Esha Tegar Putra Esti Nuryani Kasam Etik Widya Evi Idawati Evi Melyati Evi Sefiani Evi Sukaesih Fadhila Ramadhona Fahmi Faqih Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fatimah Wahyu Sundari Fauzi Absal Felix K. Nesi Fikri MS Fina Sato Firman Wally Fitrah Anugerah Frischa Aswarini Gampang Prawoto Ghaffur Al-Faqqih Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Gunawan Maryanto Gunoto Saparie Gus tf Sakai Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamid Jabbar Hari Leo Haris del Hakim Hasan Al Banna Hasan Aspahani Hasta Indriyana Helga Worotitjan Heri Latief Heri Listianto Heri Maja Kelana Herlinatiens Hudan Hidayat Hudan Nur Ibnu Wahyudi Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilenk Rembulan Imam S Arizal Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santoso Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indrian Koto Isbedy Stiawan ZS Iwan Gunadi Javed Paul Syatha Jibna Sudiryo Johan Khoirul Zaman Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Saputro Jufri Zaituna Jusuf AN Kadek Wara Urwasi Kadjie Bitheng MM Kartika Kusworatri Kedung Darma Romansha Kika Syafii Kirana Kejora Kirdjomuljo Kurnia Effendi Kurniawan Junaedhie Kurniawan Yunianto Kusprihyanto Namma Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lailatul Muniroh Landung Rusyanto Simatupang Lela Siti Nurlaila Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Linus Suryadi AG Liza Wahyuninto Lubis Grafura Lutfi Mardiansyah M. Badrus Alwi M. Faizi Maghfur Munif Maghie Oktavia Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maqhia Nisima Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marwanto Mas Marco Kartodikromo Mashuri Mathori A. Elwa Matroni el-Moezany Maya Mustika K. Mega Vristian Miftahul Abrori Mohammad Yamin Muhammad Ali Fakih Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muntamah Cendani Mustiar AR Mustofa W Hasyim Mutia Sukma Nadjib Kartapati Z Nanang Suryadi Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Noor Sam Nunung S. Sutrisno Nur Iswantara Nur Lodzi Hady Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Pariyo Adi Pringadi AS Pringgo HR Puisi-Puisi Indonesia Purwadmadi Admadipurwa Puspita Rose Putri Sarinande R. Toto Sugiharto Rachmat Djoko Pradopo Raedu Basha Ragil Suwarno Pragolapati Rakai Lukman Rama Prabu Ramadhan KH Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Ribut Wijoto Rikard Diku Robin Al Kautsar Rozi Kembara Rudi Hartono Rusydi Zamzami S Yoga Sahaya Santayana Saiful Bakri Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Selendang Sulaiman Seli Desmiarti Sigit Sugito Sihar Ramses Simatupang Siska Afriani Sitok Srengenge Sitor Situmorang Slamet Rahardjo Rais Slamet Widodo Sosiawan Leak Sreismitha Wungkul Sri Harjanto Sahid Sri Jayantini Sri Setya Rahayu Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunardi KS Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutirman Eka Ardhana Syifa Aulia Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Ranusastra Asmara Teguh Triaton Tengsoe Tjahjono Tharie Rietha Thowaf Zuharon Timur Sinar Suprabana Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Ulfatin Ch Umbu landu Paranggi Unieq Awien Usman Arrumy W. Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyu Subuh Warih Wisatsana Wayan Sunarta Weni Suryandari Widi Astuti Wiji Thukul Winarni R. Y. Wibowo Yonathan Rahardjo Yosi M Giri Yudhi Herwibowo Yudhiono Aprianto Yurnaldi Yusri Fajar Yusuf Suharto Yuswan Taufiq Yuswinardi Zaenal Faudin Zainal Arifin Thoha Zamroni Allief Billah Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae