Senin, 24 Oktober 2011

Puisi-Puisi Mahmud Jauhari Ali dan Fajar Alayubi

http://sastra-indonesia.com/
Kasidah Cinta
Fajar Alayubi

Ini pagi yang indah, saat yang tepat buat ku mengganti langit-langit kamarku yang penuh dengan lukisan air dan debu-debu. Ini hari bagi musim semi kita, dan kan kupindai hari ini seperti kupu-kupu yang mencium punggungmu -yang belum pernah kulihat sebelumnya.

aku tidur hanya sesaat. Telingaku semalam amat bergemuruh ketika bintang-jatuh di gerbang subuh. Sesuatu yang meletup-letup dalam dada begitu kuat setelah kukecup pipimu bagai kawah yang merah penuh bara gairah –ketika kau sandarkan tubuh di padang bahuku.

Saatku kusibuk dengan langit-langitku pagi ini, mungkin kau masih memetik bunga-bunga di taman mimpimu untuk kita rangkai jadi pandanan yang serasi dengan semesta jiwa. Bawalah yang banyak bunga-bunga, sampai keranjangmu sesak seperti dadaku.

Di meja kecilmu sudah kuletakan satu kuntum yang kudapat dari puncak malam, ke dalam vas bunga kesayanganmu, juga secarik tulisan ini yang kusandarkan padanya. semoga aroma secangkir coffee-latte dapat cepat menggugahmu, lalu kau basuh wajahmu dengan embun-embun yang kudapat beberapa tangkup dari relung-relungku.



Tanda Tangan Batu *
Mahmud Jauhari Ali

serpihan logam yang kauluncurkan ke jantungku
ialah risalah jelaga dari serambi hatimu yang merah saga
dan segumpal kabut di genggamanmu itu
tak ubahnya bom yang meledak!
menjungkilbalikkan kata
mematahkan langkah-langkah laju,
juga menenggelamkan tangan-tangan tembaga
di antara air-air yang menderas menjelma ombak

o! tampaknya benar kata seekor camar senja itu
bahwa aku, tak lagi manusia di depan matamu yang nanar
melainkan seekor ulat di antara gurat-gurat petaka
yang mudah kauracuni dengan kata-kata,
kaubakar di bawah tumpukan kayu retak, dan
kauhempas-hempaskan ke tanah keras,
melebihi kerasnya cadas di tanah jelata

dan, di bawah bola jingga dan perak ini
hari tetap abu-abu
hingar-bingar, jingkrak pesta pora hilang, lesap
darah impian pun berceceran di jalan-jalan
lalu, aku pun termangu dalam gengamanmu dan kabut yang pekat

Tanah Borneo, 2011
*) dari Akulah Musi, antologi puisi PPN V, Palembang.

Puisi-Puisi Elly Trisnawati

http://oase.kompas.com/
Palung Cinta

Jika harus langkah kakiku terhenti
kuharap bukan terhenti karenamu
Jikapun suatu saat aku mati
kuharap pun bukan mati karenamu

Hati ini memang tak bisa ku ubah
jiwa dan pikiranku pun berakar sudah
Sepertinya cinta ini memang tercurah
hanya untukmu yang selalu buatku gundah

Tak aku peduli akan sakitku
tak aku peduli akan perihku
apalagi hanya dengan sikapmu
yang memang kutahu siapa dirimu

Harapan bisa kububung ke awan
asa bisa kubentang hingga ke seberang
tapi jiwa dan hatiku tak bisa lari
tak bisa pergi dari palung hati
karena dirimu erat mematri
menghabiskan seluruh rasa yang kumiliki

(Juni 2008)



Cintaku Pada M Everest

Huruf demi huruf aku belajar mengejamu
menghabiskan sewindu waktu untuk mengenali kalimat-kalimatmu
bait-baitmu masih samar dalam penjamahanku
aku masih tak mampu mengerti tentang puisi-puisimu

Sedalam palung di keluasan samudra terdalam
selayaknya aku berenang menyeberangi seluruh samudra yang ada
tak pernah mampu aku menyelam ke dasar samudra hatimu, dan
tak kutemui pula keberadaan dirimu yang sesungguhnya

Seluas langit angkasa yang tak mesti selalu biru
yang terbentang memayungi seluruh jagad raya
begitu kasihmu yang mampu kurasakan pada semesta
tanpa mampu membaca dimana batas cakrawalamu

Setinggi Everest dalam kebekuan salju yang menyelimutinya
sebatas itu pula aku mampu mengenalmu
tanpa mampu menggapai puncak duniamu
apalagi menghangatkan kebekuan yang selalu kau jaga

Layaknya mentari yang selalu menyapa bumi di setiap pagi
membawakan kehangatan yang dinanti penduduk bumi
begitulah aku mengerti dirimu
tanpa mampu menyentuh kulit jiwamu

Kekaguman seolah terus saja memelukku
memberikan kehangatan selalu dalam pelukan saljumu
tanpa berpikir apa dan siapa dirimu
aku terlanjur….
tenggelam dan karam di palung terdalam
yang menyimpan sejuta pesona bayanganmu

HK, 10-11-’07



EVEREST

Everest yang angkuh
tinggi menantang langit ini
akhirnya meleleh
meski tidak sepenuhnya dan
masih berjaga diri dengan
benteng berlapis disekitarnya
berjaga dari lelehan salju yang
mungkin malah meluntakkan dunia
atau menistakan sang Everest dengan sendirinya

Lembar-lembar baru
menjadi selimut yang melingkupi
dari kebekuan abadi yang hampir tak terkutik
hembuskan kehangatan di jantung gunung keangkuhan
membuka diri pada peziarah
yang mencari berkah atau
sekedar bersandar dari penat perjalanan

Belajar merabai tapak yang tertinggal
merasai denyut jantung dari punggung -punggung yang tersandar
membuka mata dari kisah-kisah pengelana yang bercerita
mengambil makna dari perjuangan pendaki yang tak menyerah
diantara kebisuan dan gejolak yang
kadang tiba-tiba menggelegak panas

Ada sela jendela yang tak terlihat jelas
ada pintu yang siap terbuka menampung cerita
samar ditengarai lilin yang kadang terkibas tertiup angin
ada kehangatan dalam lirih bisik yang terlontar
ada makna ditengah kisah yang dirangkumnya
ada asa diujung tumpukan rasa yang pernah dipendamnya

Everest tak lagi beku
meski dingin masih bertahan dalam parasnya
meski masih ada sisa keangkuhan yang tak tergoyah
jiwa bekunya kini
terleleh dalam tebar hangatnya persahabatan

HK, March 3, 2009



Rinduku Untuk Bunda

Jauh kulemparkan diri ke seberang samudra tak bernama
lewati batas garis seribu negeri loh jinawi
henyakkan diri dengan rodi-rodi tak bertepi
ruhku tergantung dalam dekapan pertiwi

Luluh lungsai tubuh terkikis erosi sang waktu
terlindas musim yang bergilir berantai
butir-butir rindu seruaki kalbu yang terbeku
terjepit geliat dunia yang tak terangkai

Sejuta waktu aku membalutnya
kututup luka dengan tawa untuk mereka di seberang sana
tiriskan gerimis yang membanjiri ruang jiwa
hilangkan resahnya yang khawatirkan aku terendam dalam perodian

Hembusan musim buncahkan rindu yang tak pernah layu
kuntum-kuntum cinta kugelar di permadani jiwa
gempita langkah kulebarkan menuju ranah tercinta
berharap bunda sambutku pulang diberanda
terhambur aku dalam belai yang sejukkan nirwana

HK, 10-10-’08



Kami di Depan KJRI

Kami datang berpuluh-puluh kali
Dengan seribu wajah yang berganti- ganti
Menggedor pintu-pintu hari tak berhati
Yang mengagungkan kuasa imperialis sejati

Kami menangis dalam teriak di kaki-kaki langit
Senandungkan ritme elegi dipucuk-pucuk duri
Sendu mendayu merutuki kelalaianmu
hadirkan damai di sanubari rakyatmu

Mana keadilan yang kau janjikan
Mana janji perlindungan yang kau rencanakan
Mana rencana kerja yang yang telah kau tetapkan
Mana undang-undang yang kau bicarakan

Janjimu hanyalah iming-iming palsu yang kau selipkan dalam setiap impian rakyatmu
Peraturanmu hanyalah sekedar huruf-huruf yang memenuhi setiap lembar kertas yang menumpuk dimejamu
Keadilan hanyalah slogan kosong yang kau tanam bersama pohon kekuasaan

Kami juga anak negeri
Yang seharusnya kau perhatikan
Bukan kau anak-tirikan
Bukan kau ikat kedua kaki dan tangan
Kemudian kau biarkan terserak di pasaran
Seperti ikan-ikan yang di obral

Disini, kami bernyanyi
Melagukan ketidak-adilan
Melagukan penindasan
Melagukan pemerasan
Melagukan kesemenaan

Kau masih saja tak menggubrisnya
Tenggelam dalam kebutaan hatimu
Terlelap dalam ketulianmu
Menutup pintu-pintu jiwa
Yang seharusnya terbuka lebar
Dan memberikan kehangatan
Untuk anak-anakmu yang membutuhkan

HK, 14 Desember 2008

===========
Elly Trisnawati, 30 th, Rt. 01/08, Kalilusi, Pecekelan, Sapuran, Wonosobo, Jawa Tengah. Aktif di jurnal IMWU, Hong Kong dan karya tulisnya banyak di muat di media berbahasa Indonesia di Hong Kong.

Puisi-Puisi Daysi Priyanti

http://www.suarakarya-online.com/
Kulihat Kau

Ketika kudengar
kharisma suaramu
di hamparan luas
tak bertepi
kulihat kau tegak
di puncaknya

sementara dari bgawah
kucoba mngais tapak
tapi rasaku tak sampai
dan tak pernah
hanya pekik suaramu
terdengar meggelegar
dan sampai padaku
kini tengah
kunikmati gemanya
akan suara suara ini luruh
dalam kerlip bisu malam

ketika malam bertaut
ketika bintang berbinar
sungguh aku tak tahu lagi
dan tetap termangu
nyalamu sampai
di atas sinarku
dan tetap pada
pijakmuyang penuh bara

dalam lintasan
keabadian alam
entah sampai kapan
kabut menggumpal
menutupi segala misteri alam
dan akan tetap sosokmu
menggilas kabut dan awan

Medan, Maret 2011



Untukmu 1

Dari kalah dan memang
sampai dalam
lingkungan keabadian
yang kau tinggalkan
telah hilang segala cahaya
alam aini tak pernah
siap kau tinggalkan

Meski pergimu
tanpa kerlip bintang
dan tanda jasa
namamu tetap membumbung
dan terus ke awan
kau tak kan pernah ada
dalam daftar panjang
sang penindas
atau pendusta

sebab keberadaan mu
selalu di antara mereka
yang terindas
karyamu menjadi
cermin abadi

meski sajakku
tak pernah sampai
aku akan selalu
merangkaikannya
sampai sembab ujung mataku
masihkah kau tak percaya
tentang surga atau neraka
setelah pergimu?

yang pasti di sini
aku selalu berdoa
untuk surgamu

Medan, Januari 2011



Kepada Putri

Dalam bilur waktu
kau terus tumbuh
mengakrabi hidup
kukenalkan kau
pada Sang Khalik
pemilik sumbu kehidupan
jadilah lentera
tak kunjung padam
rendah hati
dan selalu jadi dirimu

panggil aku ibu anakku
bukan yang lain
disana ada bayangan, surga
di tengah gelap dan air mata

ku iringi langkahmu
memecah sunyi
menembus malam
di genggammu segala langkah

dibalik riuh tawa dan tangismu
akan ada tanah daratan
langit di mana mana
juga Tuhan

Brastagi, April 2011

Puisi-Puisi Evi Melyati

http://www.suarakarya-online.com/
Langit Semakin Tua

Langit ada dimana mana
melingkupi segala
tak peduli rupa

bumi terbentang rasa
kita hanya bebas menapak
tanpa bisa memiliki

ketika langit semakin tua
bumi semakin sesak
rumput semakin tinggi
semakin menusuk
bencana tak jera mendera

rindu bara kepada Tuhan
kemana perginya

Tangerang, Januari 2011



Kemiskinan

Jika cawan telah kering
seperti jiwamu
jangan lagi berlari

kemiskinan yang mengekang
membuatmu lebih suka
menarik kutang,
membuka paha
kutahu itu bukan dirimu

mengadulah pada langit
pesantren tempatmu dibesarkan
kibarkan bendera
setengah tiang

kembalilah sahabatku
sebelum sesal
datang membayang
berhentilah
seperti kapal
merindukan dermaga

Tangerang, Fabruari 2011



Untukmu Guruku

Guratan luka adalah kepedihan
ketika rindu memanggil
memasung segala benci
dan dendam kala itu,
kami adalah
deretan kertas putih
tanpa makna

selama itu kita berpagut
dalam harapan
masa depan yang terbentang
begitu jauh begitu samar

kini kurangkai kata
untuk segala kebersamaan
yang pernah ada
tanah ini telah menjadi saksi
tentang ulah
prestasi dan kenakalanku

aku rindu pada segala
yang kulewati
gemuruh angin
dan tanah berdebu
sungguh deras suaramu
memanggil
membawaku keluar
dari kegelapan
dari kebodohan

seperti tak ada
untuk terima kasihku
kepada bapak guru
kepada ibu guru
pembawa cahaya
penerang gelapku

esok masih sangat panjang
jalan masih begitu jauh
cita-cita harus ditegakkan
temaram di kaki langit
mengiringi langkah
tiada berujung

Tangerang, Maret 2011



Untukmu

Dari kamah dan memang
sampai dalam lingkungan keabadian
yang kau tinggalkan
telah hilang segala cahaya
alam ini tak pernah
siap kau tinggalkan

tetapi kini
di persimpangan itu
kau benar sampaidan aku tetap terpaksa
di ujungnya
aku tetap berharap
akan ada cahaya
melingkupi lingkungan
keabadianmu

dan hanya doa
untuk segala perjuanganmu

Tangerang, Desember 2010

Puisi-Puisi M. Badrus Alwi

http://sastra-indonesia.com/
Sajak Ibu 6

Sejak umur di sekitar pasar
nyenyak tidurku
aku ingin tetap di sana
tapi kasihan ibu yang rindu terlepasnya aku
dan beban

Sejak umur di atas dua tangan
melayang rasaku
aku ingin tetap
tapi kasihan ibu yang rindu umurku bertambah di bawah tangan

Sejak umur di atas KTP
bingung hadiriku
selalu, aku ingin cari
tapi kasihan ibu yang rindu baju-bajuku rapi.



Bibit Rindu pada mendung

Kulihat awan adalah kaca dan bayangku, di sebelah yang hitam.
tadinya biru, lalu hitam beku itu aku, mendung mengurung rindu.
di setiap tahunnya di setiap tepinya ada organisasi rindu yang eksis
aku di sana seperti air yang bergumpal, ingin tinggalkan batas penjara
kondensasi dan hindari evaporasi pemisah. Antara aku dan kau
adalah tempat terbang burung bercanda, bercinta yang menanam iri
di hening penjara.
Kau kuhayal tanah terasuki, terselimuti sebagai singgah sesaatku.
dan air itu aku, yang kau resap dan pelembap kulitmu sebagai penantian
langganan, yang dievaporasi ke tempat beda.
(aku di atas dan kau di bawah) hening kulihat langit.

dan aku heningkan kejadian tadi
kala turun hujan, kala kemarau hujan embun, kala aku hapus rindu jatuh
ke tubuhmu, memeluk, menyelinap sampai ke dasar jiwamu, kala aku dievaporasi
dan di penjara kondensasi, kembali merawat jamur rindu.

di setiap tahun berturut-turut, dan tak di globalisasi ini.

15 Februari 2011

Sumber: Jurnal Sastra dan Budaya “Jombangana,” Edisi III 2011 [Dewan Kesenian Jombang].

Puisi-Puisi Daisy Priyanti

http://www.suarakarya-online.com/
Cerita I

ada seekor lalat jantan
yang meneburkan dirinya
ke kolam api

karena ia tak dapat hinggap
dis ebuah ikan asin
idamannya

adakah sedikit tempat untuknya?

* Tangerang, Juli 2011



Cerita II

di sana
sudah jadi buah bibir
negeriku makmur
serta subur katanya
di sanadi kota besarku
mereka gembira
menyanyi lagu kesedihan

sementara di pelosok itu
seorang bocah
berlutut menanti batu
rebus di depannya.

* Tangerang, Juli 2011



Ketika Kudengar Radio
Dengan Berbagai Berita
Di antaranya Berita Korupsi


Dan aku pun berkata:
Tuhan, kapankah kau
mulai menertibkan negeri
yang penuh sebab akibat ini?

aku kan menantikannya
untuk segera
sebab, dosa dan doaku
sudah penuh di lemari
sementaratersisih
terjepit oleh keangkuhan
bersama semangat dalam lapar

* Tangerang, Januari 2011



Kelereng Anak Kecil

kita adalah kelereng
yang dilemparkan anak kecil
menggelindung, berpusing
cepat sekali bertabrakan
mungkin retak, tak apa

kita adalah kelereng anak kecil
yang dilemparkan
deras sekali menerjang
tahi ayam
mungkin berbau, tak apa

kita adalah kelereng
yang dilemparkan anak kecil
lalu, diambilnya
dan, dikantonginya
mungkin pengab, tak apa
kita adalah kelereng anak kecil
yang dilemparkan
retak dan berbau, tak apa
anak kecil itu Tuhan?

* Tangerang, Oktober 2010



Doa Anakku

Tuhan
Lindungi kami
dalam perjalanan
semoga selamat sampai disekolah

Tuhan
jadikanlah keberhasilan pada kami
dalam mencapai cita-cita
dalam menjalankan kewajiban
kami sebagai pelajar

Tuhan
lindungi kami
jika ada ulangan ulangan
atau mendapat kesulitan
supaya kami dapat menyelesaikannya

* Tangerang, Nopember 2010



Maafkan Aku

Sebenarnya masih banyak
yang akan dan harus
kukatakan

Dan,
inilah
sebagian
dari itu semua.


* Tangerang, Desember 2010

Puisi-Puisi Dwi Rejeki

http://www.suarakarya-online.com/
Dalam Rasa

Ada kesan indah ceria
yang kutemui
pada wajah senja
pada pelataran akhir pekan
pada jejak angin Jakarta
pada titian nafas
kau dan aku pada sela-sela
gegas waktu

wahai rindang
pucuk angsana
tingkaplah segala
sengketa nelangsa
agar kibar keceriaan
bisa tahan agar suasana alam
bisa sepadan

berikutnya sepakat
kita berkata:
perabuan sudah menjadi
milik kita

* Jakarta, Januari 2011



Saat mampir Di Kotamu

Hari pertama
saat berada di kotamu
aku tersentuh sebuah negeri
yang jauh
tekukur berdendang
di pematang lumut dan pakul
danau kemilau

hari kedua, kutatap
seorang adikmu
melintas di rerumputan
kakinya basah oleh embun
di tangannya beruntai
anggrek hutan
bagai mimpi anggur tua

terakhir, bagai terlompat
dari jendela
kicau burung angun gunung
jenjang jenjang denyut kotamu
lembaran lukisan negerikuyang jauh

kawan, di kotamu
kebunku bertunas
di kotamu rinduku
terasa tuntas

* Tangsel, Pebruari 2011



Hidup

sentak jantung
menggetarkan isi jiwa
keget, kejut, lalu diam
masih diam tetap diam

ada juga sepi yang luka
mengusik diam
lalu kutanya:
"di mana wilayahmu
kedamaian?
aku tak bisa bersikap
bagus sekarang!"

lalu jawabmu:"memang suatu problema
memikirkan hidup dan maknanya
hanya kewajiban selanjutnya
yang mesti terselenggara"

(hidup memang
misterius, ujarku)

* Serpong, Maret 2011



Sajak Buat Winda I

Winda, jalan
menuju ke seberang
masih lengang
bara di genggamanku
habis sia-sia
akankah kita tempuh juga
sementara luka
semakin memerah

* Mall Karawaci, Mei 2011



Sajak Buat Winda II

Saat ku menunggu
hari baikuntuk merayakan
hari pernikahanmu

akan aku teriakkan
kepada alam semesta
untuk menyaksikannya
dua Tuhan
untuk merestuinya:
biar papa dan mamamu tahu
kita tak sendiri

* Cikokol, Juni 2011

Puisi-Puisi Zamroni Allief Billah

http://sastra-indonesia.com/
Antara Berhalaberhala

Kau jumputi sisasisa jamuan semalam, saat hiruk pikuk pertemuan menyusur gulita dan gempita kemusykilan. Sekejap kemudian kau berlari ke tanah lapang dan berorasi sebelum sejurus lalu kau kumpulkan berhala mengelilingimu.

“Aku telah datang di perjamuan dan bertemu,” katamu meyakinkan dan segera menghardik sekawanan rusa yang tibatiba datang bertanya

“Bertemu dengan apakah wahai kepala berhala, semalam engkau di perjamuan?” kau sekejap melirik rusa lalu kau palingkan wajah dan lanjutkan ocehan
“Macam itulah contoh kekonyolan yang tak termaafkan! Jangan kalian macam rusa gila itu, terlalu banyak bertanya tentang sesuatu hal yang belum saatnya di buka” bersedekap engkau bicara, sesekali membenarkan letak surban yang kau pinjam dariku siang tadi “Untuk ceramah,” katamu.

Tak terjawab pertanyaan rusa, dan sekawanan binatang itu pergi meninggalkan jejak tajam yang kuyakin tak mampu kau baca sebagai tanda, sebab matamu tak pernah beralih dari berhala barumu yang baru saja kau buat dari gundukan tanah pekuburan.

“Wanita cantik ini lebih dari sekedar penghibur laraku,” ucapmu pada patung perempuan setengah telanjang itu. “Tetapi perempuan ini adalah bidadariku yang tak kan kubiarkan siapapun menyakitinya bahkan nyamuk sekalipun menadi musuhku bila….” belum selesai kau bicara, datang sekawanan burung gereja salah satu di antaranya yang berparuh rajawali bermata elang dan mengenakan gelang kaki serupa dirimu, hinggap di kepala patung perempuan itu dan berkata.

“Wahai engkau yang telah terpedaya warna, ketahuilah bahwa dirimu sedang menjadi seperti yang sebagaimana kau hayalkan, sebab kau tak hadir semalam maka manalah bisa kau ceritakan perjumpaan yang bahkan kaupun tak mengerti jalan mana yang mesti kau susuri saat hendak hadir di perjamuan. Asal kau tahu saja bahwa kau aungguh gila!.” Kulihat merah mukamu entah marah sebab aku ragu apakah kau masih punya malu. Lalu kau jumput batu dari dalam tas lusuh warna merah tua yang tak pernah lepas selalu kau bawa.

“Pyarrrr…..” sejenak kemudian berhala itu pecah saat kau hendak melempar burung gereja yang bertengger di kepala perempuan telanjang, berhalamu. Air matamu menetes namun tak sempat disaksikan sekawanan burung gereja yang sejenak tadi menyapamu.

“Bila tidak memiliki pemahaman tinggi beginilah jadinya,” kau tergugu antara berhalamu yang setia.

“Maka bila tak mengerti, bertanyalah dan cukup diam saja manakala engkau telah memahami sesunguh maksud yang selama ini baru kepada engkau saja aku bercerita. Sebab bila tidak, akan lebih banyak lagi korban berjatuhan.” Seperti harihari lalu lantas kau bercerita bahwa kau telah berjumpa.

Malam ini hujan, angin, petir dan kepedihan tak mampu lagi kau tahan mendapati diri yang hanya mampu berlari bersembunyi antara berhalaberhala yang tak henti kaucipta.

Rembang, 12 Februari 2011



Izinkan Kutemani Kau di Sepimu

Kulihat purnama lindap
saat kau diamdiam mengendap
mencariku di detak jantungmu

lebih dalam kutelah larut
bersenyawa dalam darah
di perawanmu yang mengalir

hangat berpagut di cengkerama
antara mantra dan doa
yang jamak dalam jimak

kau menari lagi
saat kugelar sajadah
di sudut bibirmu
merekah dalam hasrat

lalu tasbih kuputar
seirama degup dan debar

masih kau rogoh lagi mencari
di belahan dadamu
: membuncah

usah kau cari lagi
sebab di sepi pasti
kutemani kau dalam geliat dupa

Rembang, 02 November 2010

Jurnal Sastra dan Budaya “Jombangana,” Edisi III 2011 [Dewan Kesenian Jombang].

Puisi-Puisi Nur Lodzi Hady

http://sastra-indonesia.com/
Embun

sejarah sudah ajar kala jarak terlampau dekat antara manusia dan hewan, dan tetap saja ada yang tak dengar..

kebingungan dan kesederhanaan itu menjadi petaka karna ia berubah jadi mesin kristal demi kutukan. Kutukan lantaran kesederhanaan yang tak sempat bertemu titik embun… jika pun iya pasti belum tuntas tatkala ia ajarkan makna yang kadang tiada butuh retori kata kata…

dan di suatu pagi aku tak tidur, pula jaga. sorenya aku terpekur… saat embun mengerlingkan matanya yang senyap dan membunuh!: kelembutan..! ..dan gema suaranya kutangkap selayak kemustian yang tak terbendung: kau siapa dan materi apa yang tengah mempertemukan kita…

embunkah?

Malang, 5 Maret 2010



Petisi Burung Burung

Petisi ini lahir dari pertemuan burung burung
Dan hutan tergetar oleh nyanyiannya
Ketika restu langit telah pasti tiba
Burung burung kembali ke sarangnya

Matahari telah di curi dari rumah kami
Bulan pula tak pernah purnama lagi
Segera siapkan bendera kita
Besok tumpah kita serbu cakrawala

Siapa akan berjaga malam ini
Burung hantu mengerdipkan matanya yang lebar
Di mana alamat kelelawar sang penghuni sunyi
Sudah lama kepaknya tak terdengar

Petisi ini sudah ditandatangani
Burung burung telah siap menyongsong hari
Malam ini dalam hati kita berjanji
Kelak terbang merebut mimpi

Siapa tinggal
Siapa akan mati
Aku memilih bergabung
Menjadi rajawali

Malang, 11 Maret 06

Jurnal Sastra dan Budaya “Jombangana,” Edisi III 2011 [Dewan Kesenian Jombang].

Minggu, 23 Oktober 2011

Puisi-Puisi Chairul Abhsar

http://www.suarakarya-online.com/
Ramadhan

Seperti Ramadhan yang lalu
aku tetap bersimpuh dalam tetes keringat
kepasrahan seorang hamba

meski hati tertasa teduh
oleh tembang tembang
memuji kekuasaan illahi
kesepian telah luruh menghimpit sanubari

jika dunia tak kidapatkan
bawakan saja janji surga
tapi apa jadi mungkin
jika khilaf seluruh mendera

jangan tinggalkan aku
ya Robbi, penguasa alam
dalam awal perjalanan
hingga akhi Ramadhan
biarkan aku terjerat dalam kasihMu

Jika dengan tangis harus kudapat
dimana engkau sembunyikan diri
dimana engkau berhenti pendarkan cahaya
meski malam larut dilindungi
barisan Malaikat
lagu pujian tetap mengalun
melupakan duka dunia

aku tetap merapat dalam sajakku
berniat melupakan
kepahitan malam Ramadhan
dan hidup yang singkat

Bukittinggi, Juli 2011



Kesucian Ramadhan

Malam merangkak Naik
bulan berbinar sungguh
dalam balutan kesucian Ramadhan
aku tetap termangu

sekejab hati luruh dalam tanya
meretas hidup tanpa syukur
selalu dirambati kekesalan hilaf
semua kini tampak nyata

Ya Rabbi, aku rindu ampunanmu
beri aku kesempatan lagi
jangan jadikan ini Ramadhan terakhir
belum cukup ibadahku

Jika ini yang terakhir
beri berkah pintu maafMu
untuk ibadahku yang sangat sederhana
dan cerita hidup yang kelam

Ya Rabbi, beri aku waktu
merajut hati di jalanMu
mengais hari yang telah disia-siakan
kudamba cahaya penerang gelapku
tolong aku Ya rabbi…

Padang, Juli 2011



Rindu

Angin masih bertiup
membawa setiap kecemasan
ada ranting yang luruh menerpa wajah wajah
kering dibawahnya

hendak kemanakah perahu
ini berlayar jika ombak begini kencang
disudut manakah aku hendak berlindung
jika perahu ini tak lagi bertepi
ada butiran luka ketika rindu jauh memanggil
membasuh setiap kepenatan
acapkali kekerasan menikam
melumatkan batas kesabaran
tidakkah itu cukup tidakkah itu menyesakkan

awan tersandar di kaki langit
gemuruh rindumu terus memanggil
tangis pilu sederet saudaraku
yang terpasung di tanah kelahiran

sejarah manis berlaku beku
tinggal sepotong awan
peluh menetes di dahinya
meratapi angkara tak kunjung usai
bersandar pada cinta yang tercampakkan

ketika malam bertaut
dalam lintasan keabadian alam
ku ingin rinduku sampai
menguak gelap mencurahkan sinar
membawa perahuku kembali berlayar
di tengah jagad tak bertepi

Padang, Mei 2011

Puisi-Puisi Nadjib Kartapati Z

http://www.suarakarya-online.com/
KANGEN I

di dalam kelopak kembang randu tubuhku angslup dalam tubuhmu
napasku setubuhi darah dan darah ku senggamai hastari jingga
lepaskan gairah menahun yang mengendap
di sela sela kerisik rumpun bambu
seekor kupu kupu hinggap di sini:di pusat birahi
kepakkan sayapnya (lalu kangen pun tertebah sepuluh pisau) mesra!

Jakarta, 2009



KANGEN II

berjajar hari-hari panjang dan jauh kakiku
menari-nari hingga ujung paling rapuh
kuhirupi harum cintamu di kerontang pedestrian
zaman senyum yang kurindu tak tersua betapa kangenku!

Jakarta, 2010



KANGEN III

pertemuan dua rindu yang kau usung di tahun-tahun lalu
kini jadi ujung bayonet menikam dada
dan menyudet beku sepiku yang sendu
membumpat drainese biru cintaku adakah gelepar ini menyapamu?

Jakarta, 2010



AKU BERSERU

ada cinta teronggok bisu
di pojok beku memorimu
ia bernama kenangan
ada hasrat bertengger biru
di ujung deru anganmu
ia bernama harapan
ada sayat kepedihan
ketika kau berpaling
ke belakang ada ngilu kecemasan
ketika kau tatap jauh ke depan
izinkan aku berseru:
hela semuanya tancapkan
di episentrum kinimu

Jakarta, 2011



BIRAHI SENJA

awalnya kau tak terlalu yakin pada rayu
yang terucap kelu sekerat cinta mengajakmu kembara
kendarai khayal dan birahi senja tujuh
ciuman melabuh-labuh luruh ke dalam seribu lenguh
tubuhnya lapar akan tubuhmu tenggelam ludes dalam pelukmu
lalu ia berkata:sayangku, ini ungkapan cintaku
dan jangan kau sebut nafsu dan wadag lelakinya
kau asah jua hingga rebah ke dasar dukana
akhirnya kau tahu juga rayu dapat sewaktu-waktu terucap
untuk layla atau sri ayupersis saat kau kenang
cintanya di ranjang suami yang tak lagi berjiwa bara
yang kau simpan bernama rindu membakarmu
menjadi luka nanah
dan cinta hanyalah
kepingan duka terserak bagai koral di proyek tua

Jakarta, 2008

Puisi-Puisi Indiar Manggara

ROMANTIKA

I
aku telah bangunkan kau
gerbang-gerbang luka
yang kita mulai dengan romantika tua
seperti persetubuhan senja
memberi jejak-jejak
pada malam,
mungkin siang
pada setiap angka kalender kita
yang semakin tua

kau kirimkan namamu
yang kau kalungkan di leherku
seperti celurit
kau perkosai kata-kataku
dengan mimpi
basah – air mata - darah

II
ruhku menangis
seperti senja yang rapuh
aku acuhkan malam yang angkuh
menari di atas kafan hitam
dalam gelap
kurangkul malaikat-malaikat maut dengan air mata
ku selimutkan bunga duka di atas sejarah

III
samadimu kini telah sudah
tapi masih kau bakar
dupa kemenyan birahi
di atas ruang kosong mimpiku

kau cabut pusaka yang lalu
kau apitkan di sela pahamu
bersama waktu yang terbunuh puisi

masih terbakar
dupa kemenyan birahi
di atas ruang kosong penuh luka

26 november ‘05



SEBUAH MUSIM AKU RINDU

hadirkan aku dalam luka-lukamu
serupa horizon waktu
yang takkan kau tampaki raut riwayatnya;
habis terkubur daun-daun rapuh
sebab tlah kau teguk bingkai sejarahku
dalam selimut musim dingin
yang kau rentangkan di pohon rindu

seperti gerimis yang lama tak kukecup
aku tadahi keringatmu sore itu
buat aku buka lagi lembaran-lembaran
peluh ngiluku dalam album kenangan tua

kau tuangkan tanda tanya
aku minum gelisahku

29 november ‘05



HANYA LINTAS

aku temukan nafasmu
bergulat seiring aroma vodka
terbakar birahi
hingga purnama mencumbui kita
di pesisir pulau biru

malam ngintip …

kita saling pecahkan teka-teki
antara lembah yang kuarungi
dengan peluh ngilu
merajam pusaran langsat tertutup
bayangan kelam berhala yang kau puja
lalu kita temukan puncak di ujung cakrawala
yang seperti baru saja kita singggahi

kita bercumbu memecah malam
seperti kita saling meneriakan puisi-puisi kita
yang tak pernah mati teredam malam

ah…. malam masih saja ngintip

kita terus berjuang melawan malam
saling memaki
bukan pada malam
bukan tetangga
bukan pak RT

ah… malam masih saja ngintip

kita terus berjuang melawan malam
tapi tak kutemukan cinta dalam senggama kita
masih kucari
berjuang melawan malam

oh… ternyata
ternyata oh…

cinta masih nyangkut
di tali kutangmu

1 desember ‘05

Dijumput dari: http://indiarmanggara.blogspot.com/

Kamis, 13 Oktober 2011

Puisi-Puisi Mas Marco Kartodikromo

http://sastra-indonesia.com/
Sama Rasa dan Sama Rata

Sair inillah dari pendjara,
Waktoe kami baroe dihoekoemnja,
Di-Weltevreden tempat tinggalnja,
Doea belas boelan poenja lama,

Ini boekan sair Indie Weerbaar,
Sair mana jang bisa mengantar,
Dalam boei jang tidak sebentar,
Membikin hatinja orang gentar,

Kami bersair boekan krontjongan,
Seperti si orang pelantjongan,
Mondar mandir kebingoengan,
Jaitoe pemoeda Semarangan,

Doeloe kita soeka krontjongan,
Tetapi sekarang soeka terbangan,
Dalam S.I. Semarang jang aman,
Bergerak keras ebeng-ebengan.

Ini sair nama; “Sama rasa”
“Dan Sama rata” itoelah njata,
Tapi boekan sair bangsanja,
Jang menghela kami dipendjara.

Didalam pendjara tidak enak,
Tertjere dengan istri dan anak,
Koempoel maling dan perampok banjak,
Seperti bangsanja si pengampak.

Tapi dia djoega bangsa orang,
Seperti manoesia jang memegang,
Koeasa dan harta benda orang,
Dengan berlakoe jang tidak terang.

Ada perampoek aloer dan kasar,
Djoega perampok ketjil dan besar,
Bertopeng beschaving dan terpeladjar,
Dengan berlakoe jang tidak terang.

Dia itoelah sama perampoeknja,
Minta orang dengan lakoe paksa,
Tidak mengingat kebangsaannja,
Bangsa manoesia didoenia.

Hal ini baik kami koentjikan,
Lain hal jang kami bitjarakan,
Perkara jang mesti difahamkan,
Dan akhirnja kita melakoekan.

Banjak orang jang mengetahoei,
Doea kali kami kena doeri,
Artikel wetboek jang menakoeti,
Djoega panasnja seperti api.

Kakik kami soeda sama loekak,
Kena doeri jang koeintjak-intjak,
Djoega palang-palang jang koedoepak,
Soedah ada sedikit terboekak.

Haraplah soedarakoe di tendang,
Semoea barang jang malang-malang,
Soepaja kita berdjalan senang,
Ketempat kita jang amat terang.

Boeat sebentar kami berhenti,
Didjalan perempat tempat kami,
Merasakan ketjapaian diri,
Sambil melihati djalan ini.

Djangan takoet kami poetoes hasa,
Merasakan kotoran doenia,
Seperti anak jang beloem oesia,
Dan beloem bangoen dari tidoernja.

Kami sampe didjalan perempat,
Kami berdjalan terlaloe tjepat,
Temen kita jang berdjalan lambat,
Ketinggal misih djaoeh amat.

Kami berniat berdjalan teroes,
Tetapi kami berasa aoes,
Adapoen penharapan ta’ poetoes,
Kaloe perloe boleh sampe mampoes.

Djalan jang koetoedjoe amat panas,
Banjak doeri poen anginnja keras,
Tali-tali mesti kami tatas,
Palang-palang djoega kami papas,

Soepaja djalannja SAMA RATA,
Jang berdjalan poen SAMA me RASA,
Enak dan senang bersama-sama,
Ja’toe: “Sama rasa, sama rata.”

Sinar Djawa Rebo 10 April 1918 no. 81



Badjak Laoet

“Ha! ini tanah bagoes sekali,
Soedah tentoelah kita diami,
Djalan mana jang kita laloei,
Boeat merampas tanah ini!”

Begitoe berkata badjak laoet,
Melihat tanah toemboeh djoewawoet,
Jang bisa membikin kenjang peroet,
Dan bisa djoega membikin gendoet.

“Baik kita orang mendekati,
Poelo jang bagoes tertampak asri,
Berkenalan dengah orang boemi,
Dia oranglah jang mempoenjai”

Begitoelah kata kepalanja,
Badjak laoet bangsa jang doeraka,
Hendak mendekati ditepinja,
tanah jang penoeh harta doenia.

Badjak laoet poerak poerak dagang,
Barang makanan ditoekar oeang,
si Badjak Laoet merasa senang,
Dan timboel tabiat binatang.

Dia orang bikin hiroe hara,
Dia melakoekan dengan paksa,
Bertabiat seperti raksasa,
Pada orang jang tidak berdosa.

Toean tanah selaloe melawan
Dengan gagah dan keberanian,
Banjak badjak jang ditawan,
Diikat tali seperti chewan

Minta dame kepalanja badjak,
Dengan berdjandji jang enak enak,
Asal temannja tidak diroesak,
Ditendang dipoekoel atau didoepak.

Toean tanah djoega menoeroeti
Permintaannja dengan berdjandji,
Tiada boleh berlakoe kedji,
kepada semoea orang boemi.

Badjak, laoet poen soedah menoeroet
Berkata “baik” dan mangoet manggoet,
Bersanggoep tidak membikin kaloet,
Semoea prentah akan menoeroet.

Toean tanah poen soedah mendengar,
Dia poenja djandji jang keloear,
Dia diberi makan sekedar,
Oleh orang boemi jang ta’ besar,
Kamoe boleh berdiam disini,

“Kamoe menjadi sahabat kami”
Kata kepalanja orang boemi,
Jang dermawan lagi moerah hati,

Kepala disitoe menjiarkan,
Kepada orang jang di bawah kan,
Orang asing soedah diidinkan,
Bertempat tinggal didesa Bantan.

Semoea orang boemipoetera,
Menganggapnja seperti saudara,
Boleh berlakoe dengan merdika,
Tapi djangan membikin doeraka

“Disini banjak orang sabrang,
Mareka itoe sama berdagang,
Dia hidoep dengan kita senang,
Hidoep roekoen tidak dengan perang.”

Begitoe berkata toean tanah,
Pada badjak laoet jang menjerah,
Karena dia orang soedah lemah,
Dia poen soedah mengakoe kalah.

Badjak laoet berdaja oepaja,
Bersepakatan dengan temannja,
Soepaja Djafji kepoenjaannja,
Itoe tanah jang bagoes dan kaja.

Badjak laoet mengirimkan soerat,
Kepada temannja jang mof’akat,
Jang misih ada di tanah melarat,
Minta sendjata dan obat obat!!

Pekakas perang soedah sedia,
Goena merampas tanah jang kaja,
Dan jang poenja dibikin binasa,
Soepaja tanah djadi miliknja.

Banjak orang jang sama diboenoeh,
Oleh si badjak jang djadi tegoeh,
Ditanah itoe mendjadi roesoeh,
si badjak laoet mendjadi moesoeh.

Orang boemi banjak jang melawan
Menjerang keras mati matian,
Soedah tentoe banjak keroesakan,
Banjak orang jang sama di tawan,

Kepala orang boemi jang takoet,
Lebih senang marika menoeroet,
Kehendaknja badjak badjak laoet.
Maskipoen temannja kalang kaboet.

Banjak orang boemi jang ta’ soekak
Toeroet kepalanja jang mengadjak,
Berdamai dengan si badjak-badjak,
Dia ta’ soekak mendjadi boedoek.

“Lebih baik kita orang mati,
Dari pada kita menoeroeti,
Kehendak badjak jang amat kedji,”
Begitoe kata orang jang berani.

Si kepalanja mentjari akal,
Soepaja temannja ta’ menjangkal,
Menoeroet kehendaknja jang nakal,
Boeat menoeroet badjak jang brutaal.

Kepalanja orang boemi,
Tidak memikir dibelakang hari
Tjoema memikir diri sendiri,
Hidoep besar dan berasa moekti.

Marika itoe kena diboedjoek
Oleh temannja jang soedah maboek,
Pangkat besar, pajoeng koening, koeloek,
Itoe barang tanja dia takloek.

Dia takloek pada badjak laoet,
En toch mengakoe orang jang ketoea,
Merentah bangsanja jang menoeroet,
Sabetoelnja dia si pengetjoet.

Si badjak laoet tinggal tertawa,
Karena dia bisa memerentahnja,
Orang boemi jang djadi kepala,
Djoega di pandang seperti Radja,

Si badjak menanam pengaroehnja,
Pada orang jang di bawahkannja,
Agar dia gampang dipidjatnja,
Dan merampas harta bendanja.

Banjak orang tidak mengerti,
Tipoe moeslihat jang mengenai,
Kepada semoea orang boemi,
Sebab ta’ berpikir dalam hati.

Dari itoe orang-orang boemi,
Hidoep melarat setengah mati,
Dia bekerdja seperti sapi,
Tjoema mendapat oeang setali.

Si badjak laoet mendjadi gemoek,
Oeangnja banjak bertoempoek,
Hasilnja banjak tinggal menggaroek,
Saban hari moesti main maboek.

Apa kabar orang boemi sitoe?
Banjak jang mengoeli mikoel batoe,
Badannja roesak hatinja piloe,
Pikiran bingoeng mendjadi denggoe.

Saban hari bertambah tambah,
Bangsa badjak jang datang mitenah,
Ditanah itoe jang amat moerah,
Mentjari makan ta’ dengan soesah.

Djangan tanja lagi orang boemi,
Bertambah soesah mentjari nasi,
Sebab tanahnja jang keloear padi,
Banjak jang sama di djoeali.

Oentoeng sekali si badjak laoet,
Pinter menipoe bisa memikoel,
Soepaja dia bisa menoeroet,
Perentahnja jang tiada patoet.

Badjak laoet semangkin koat,
Pendjaga’annja poen soedah rapat,
Bertambah pinter pat pat goelipat,
Sampai marika itoe bersambat.

Dua sambat sambat minta makan,
Kerna dia soedah kelaperan,
Dan dihinakan seperti chewan,
Oleh bangsa orang pemaboekan.

Badjak laoet ta’ memperdoelikan,
Sambatnja orang jang kelaparan,
Si badjak selaloe meneroeskan,
Mengisap marika sampai pingsan,

Maka hal ini haroes dipikir,
Akan goenanja merobah takdir,
Soepaja kita bisa mengoesir,
Manoesia bangsa orang…..

Semarang, 23-1.2-18
Sinar Hindia 23 Desember 1918. No.255
Dijumput dari: http://manuskripdody.blogspot.com/2011/03/puisi-puisi-mas-marco-kartodikromo.html

Puisi-Puisi Ribut Wijoto

http://manuskripdody.blogspot.com/
SENGAJA AKU MENCINTAIMU

sengaja aku mencintaimu
lalu biarkan kukirim surat
seperti suratku yang tiada henti
mengalir ke tubuhmu

aku tak pernah menanti jawab
sebab aku belum selesai mengeja
bait bait sajak yang kautulis
tak juga sempat kutolak
sebab cinta adalah kesendirian

rindu aku jadi kekasihmu
sebab dari ada kuingin tiada

1996



DI PUCUK PUCUK

engkaukah itu
bening bergelantungan
di pucuk pucuk daun

dan akukah tuhan
tiap kali menyebut
namamu

1996



KABAR DARI PENGASINGAN

di paruh perjalanan
aku bertanya padamu
engkau kalijaga

sejarah merubah perahu
mencari cermin tanah
namun tanpa upacara
burung burung ketakutan

1996

Dijumput dari: http://manuskripdody.blogspot.com/2010/10/puisi-puisi-ribut-wijoto.html

Puisi-Puisi Dody Kristianto

http://sastra-indonesia.com/
Berbicara Tentang Kotamu yang Terlelap

berbicara tentang kotamu yang terlelap aku bangkitkan mayat mayat yang berbaris di lenganmu kesunyian di alismu perlahan bangkit dengan sungai yang lahir melalui wujud menara tapi bulan tumbuuh di rambutmu dan perlahan kawanan pemabuk menyentuhku mencekikku lewat keabadian goa yang terkutuk ribuan cahaya segera aku mati tanpa jasad dan segala kenanganku membentuk planet hijau di otakmu tapi begitulah, imajiku mengagungkan pelacur dan kaum surealis yang beku memaku birahiku persis kutunggui kupu kupu retak di alismu rupanya kesedihanku menggugurkan dedaun dan di ketinggian bulan retak, aku mencungkil matamu dan sayap laba laba yang kudengungkan berubah seseram jenazah seperti mimpiku yang lekas berlalu, begitu pula elang elang yang berdzikir di mulutmu aku kekalkan hari seperti kelak mayatku membiru memuja gairahmu dengan mulutku yang busuk

2007



Kuarungkan 1000 Surealita

jalan jalan angkasa telah mengaburkan
1000 langkahku. seperti warna sajak dengan kehitaman pekat
kesunyian yang kuterbangkan menjelma ikan dengan insang terbuka
tapi kota kesepianku sudah kadung terluka dan langkahku lebih terlunta dari para pemabuk
aku mendekam
dengan sayapku yang tersampir di bulan
serupa mayat pelacur dengan wajah ngeri
peri peri kecil di hatiku
menjadi ketakutan

katakanlah tentang cinta yang lebih sakit
ketimbang kemenawanan kota
dengan sejuta cahayanya
aku gagal menerbangkan mimpi surealita
setelah jauh kau tinggal dalam darahku
jutaan serigala menggasang
dan ekor ku mengayun alun berganti rupa
dengan laba laba yang kau ceritakan
pada saat kau hidup kan aroma parade hitam

sajak sajakku terluka dan aku
mengawang awang
seperti kegemaranmu menyalib burung
di musim hujan

2007

Puisi-Puisi Syifa Aulia

http://sastra-indonesia.com/
Sisa Purnama

Bulan telah sejengkal
di kepala
bintang-bintang telah
ada di genggaman
cuma yang kurasakan
temaram begitu mendalam

Pada cermin kupalingkan
muka
namun rengkah kaca
pecah
bersiap membidik
nyawa.

14-9-2011



Yang Tertunda

Sekali lagi
rindu menunda kedatangannya
meski jalan begitu di hapal
sesak kerikil dan kesiur angin
menghantam kecamuk
kekasih
dalam ruang perjanjian
yang sunyi

Ini kali bukan waktu
bagai pantai dan buih
hanya ombak menepi
dan bulan pun urung
tampak dimatanya.

24-9-2011



Layang Jingga (1)

Seribu putaran matahari telah kita lewati
kekasihku, dan satu purnama
lagi musti kita lalui untuk sampai pada
tempat yang kita sasar.
Ini kali kesekian saat suci bulan
menaungi dunia, kita masih saja
merapal jarak meniti jejak.

Gelombang telah
membesarkanmu, ombak
setia membelaimu
dalam rengkuhan luas
samudera
kau menyulam masa depan
yang kita impikan.
Kalau laut mendebur akulah yang paling khawatir
bila angin berkesiur akulah
yang paling menggigil,
biarpun tak lelah kau
menenangkan aku dengan
caramu
agar percaya pada kekuatan doa
dan kehendak-Nya, tapi hati
tak bisa dibohongi sebab
mengkhawatirkanmu
sama pentingnya dengan
makan tiga kali sehari.

Kau memang tak pandai
menulis seperti mereka,
juga bukan lelaki puisi yang
merayuku ditiap baitnya
tapi kau telah melukis sempurna
di jiwaku, memahat nama begitu
indah di hatiku.
Kau telah mengajariku cara paling
kasih perihal hati
untuk berhati-hati dalam menjaga hati,
untuk tidak bermain hati
baik secara diam-diam
maupun terus terang.
Kau mengajariku arti tanggung jawab
atas kepercayaan yang kita saling
embankan dipundak jiwa masing-masing,
kau mengajariku makna setia
bukan dengan kata-kata
tapi lakumu yang selalu madu.

Ah, betapa padamu aku
berkesudian menjadi pohon
paling gurun sebab kaulah
kekasihku yang paling hati.

19-8-2011



Layang Jingga (2)

Berpuluh purnama telah
terlewati
waktu telah berkesudian
menjadi saksi
atas luruhnya janji
yang terabaikan

Kau telah menggulung
seluruh ingatan
tentang masa depan
yang pernah kita bincangkan

Lihatlah setia itu telah menua
dan binasa diperjalanan
menujumu
terbujur dalam sunyi
paling tak terbagi

dan rindu yang begitu
biru padamu
kugantungkan diranting
perdu
kiranya hujan melarungnya
tanpa bermuara.

13-10-2011

Puisi-Puisi Mahmud Jauhari Ali

http://sastra-indonesia.com/
Bulan di Padang Lalang *

telah berdiri ribuan lalang pada tanah
oleh angin, tubuh mereka terhuyung-huyung
sebagiannya mati. mengering!
sedangkan di tengahnya, sebuah rumah berdiri kukuh
tiangnya beton,
atap bajanya antikarat, menahan hujan-panas,
lantainya yang wah, terlihat mengkilat
juga pagarnya, begitu mahal

Selasa, 11 Oktober 2011

Puisi-Puisi Rama Prabu

http://oase.kompas.com/
Sajak Manis di Mayang Rambutmu
:/untuk acep zamzam noor

angin berarak naik ke pundak
menepi mengibas mayang rambutmu
dan ketika baku pandang redup di bulan itu
kita sadari tubuh rekat di pelukmu

seperti sajak manis yang kau kirim itu
menafsir musim berganti
karena sajak adalah harapan
sajak adalah hidupku akan datang
sajak adalah danau tenang
tanpa sampan tanpa gelombang *)
kita mendayung dalam kenang

jika tak ada senyap antara celah
tingkap yang mengulurkan lembayung**)
kita masih tengadah, ada bintang menyaksikan
rindu ini tercurahkan

yang nyala dalam jiwa
kemudi dalam hidup***)
tak pernah sekali kita biarkan redup
walau malam mengirim serdadu hitam
bagai kabut menyusur laut

kesaksian jiwa yang lahir dari mata kita
terbaca dari titipan bunyi bait dan rima
seperti kwatrin malam pertemuan kata
pada kegelapan. malam yang mengalirkan badai
dan laut pasang. pada lagumu****)
balada kasih sebelum kita menjadi penyair lagi

note:
*) bait dari puisi Prelude, Acep Zamzam Noor, 1978 di buku Menjadi Penyair Lagi, 2011
**) bait dari puisi Lagu Senyap, Acep Zamzam Noor, 1979 di buku Menjadi Penyair Lagi, 2011
***) bait dari puisi Rindu, Acep Zamzam Noor, 1981 di buku Menjadi Penyair Lagi, 2011
****) bait dari puisi Kwatrin Malam,Acep Zamzam Noor, 1982 di buku Menjadi Penyair Lagi, 2011

Bandung, 21 September 2011



Cemara Berdaun Kata
:/untuk acep zamzam noor

cemara itu berdaun kata
berdiri memagari tepian makna
dari akarnya keluar bait puisi
setapak bagi pejalan kaki

yang sunyi membawa gerimis
hujan lebat di Pangrango
tak terlihat dari gundukan bukit Dago
jauh pandang seperti kemolekan ranum, sayup bagai gemintang
berkelebatan sepanjang malam purnama *)
di tubuh perempuan yang bibirnya telanjang

adakah masih seseorang menunggu dalam hujan **)
seperti kelam yang menutup tirai malam
lindap jejak tak terlagukan
karena malam ini kubangun lagi sajak
dari lelehan gelisahku ***)

note:
*) dari bait puisi Perempuan, 1980; Acep Zamzam Noor dalam buku Tamparlah Mukaku!, 1982
**) dari puisi Malam Yang Turun, 1981; Acep Zamzam Noor dalam buku Tamparlah Mukaku!, 1982
***) dari puisi Malam Ini Kubangun Lagi Sajak, 1981; Acep Zamzam Noor dalam buku Tamparlah Mukaku!, 1982

Bandung, 21 September 2011



Bengawan

cinta itu bagai air di bengawan
melaju terus ke hilir dari hulu bening dan sunyi
dari degup tanpa bunyi
dari desir merambat tepi bayangan

ke batu hitam aras palung
sering air itu memundak gaung
masuk lorong tanpa jendela
mencari senandung tanpa cela

yang tampak dari daratan
air itu terus bersilang warna
merajah menyatukan harapan dengan masa lalunya
tentang sucinya mimpi dan kenyataan

cinta itu bagai air di bengawan
mayang berhimpun di telaga
beriring pula hingga ke samudera
tak terhitung berapa jauh perjalanan

note:
*) Arai itu mayang, seperti arai enau
*) Aras itu menyentuh
*) Bengawan itu sungai besar

Bandung, 13 September 2011
_________________
Rama Prabu, Penyair tinggal di Bandung, Direktur Dewantara Institute “Lembaga Kajian Kebudayaan, Pendidikan dan Politik”. Karya berupa buku Sabda Sang Pencinta/Lovecode (limited edition/2006); Jogja Dalam Keistimewaan (Pendapa Press, 2007); Antologi Puisi Penyair Nusantara/Musibah Gempa Padang (KL, Malaysia, 2009); Negeri Cincin Api (PP Lesbumi NU, 2011).
Segera Terbit Buku Puisi 2011: Mata Rama, 151 Rubaiyat Rama Prabu, (Dewantara Institute & Asram Rama Prabu, 2011), Ramayana, 151 Jalan Cinta (Dewantara Institute & Asram Rama Prabu, 2011), Testamen Penyair Merah (Dewantara Institute & Asram Rama Prabu, 2011). Telah menulis kurang lebih 2000 bait puisi. Dapat ditemui di situs www.ramaprabu.org, http://www.facebook.com/ramaprabu, e-mail: lord.ramaprabu@yahoo.co.id ~lordramaprabu@gmail.com.

A. Mustofa Bisri A'yat Khalili Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Wachid B.S. Abi N. Bayan Abidah El Khalieqy Acep Syahril Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu AF Denar Daniar Afrizal Malna Agus Manaji Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Maltuf Syamsury Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Ala Roa Aldika Restu Pramuli Alfatihatus Sholihatunnisa Alfiyan Harfi Ali Makhmud Ali Subhan Amelia Rachman Amie Williams Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Andry Deblenk Anggie Melianna Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Aprinus Salam Ariandalu S Arieyoko Ksmb Arya Winanda As Adi Muhammad Asep Sambodja Atrap S. Munir Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Badaruddin Amir Bakdi Sumanto Bambang Darto Bambang Kempling Bambang Widiatmoko Beni Setia Beno Siang Pamungkas Bernando J. Sudjibto Bernard S. Y. Batubara Binhad Nurrohmat Budhi Setyawan Budi Palopo Bustan Basir Maras Chairul Abhsar Chavchay Saifullah Cut Nanda A. D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Afriady Dadang Ari Murtono Daisy Priyanti Daysi Priyanti Dea Anugrah Dea Ayu Ragilia Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Desti Fatin Fauziyyah Dewi Kartika Dharmadi Diah Budiana Diah Hadaning Dian Hartati Didik Komaidi Dimas Arika Mihardja Djoko Saryono Dody Kristianto Dorothea Rosa Herliany Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Edy Lyrisacra Effendi Danata Eimond Esya Eka Budianta Eko Hendri Saiful Eko Nuryono El Sahra Mahendra Ellie R. Noer Elly Trisnawati Emha Ainun Nadjib Endang Supriadi Endang Susanti Rustamadji Eny Rose Eppril Wulaningtyas R Esha Tegar Putra Esti Nuryani Kasam Etik Widya Evi Idawati Evi Melyati Evi Sefiani Evi Sukaesih Fadhila Ramadhona Fahmi Faqih Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fatimah Wahyu Sundari Fauzi Absal Felix K. Nesi Fikri MS Fina Sato Firman Wally Fitrah Anugerah Frischa Aswarini Gampang Prawoto Ghaffur Al-Faqqih Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Gunawan Maryanto Gunoto Saparie Gus tf Sakai Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamid Jabbar Hari Leo Haris del Hakim Hasan Al Banna Hasan Aspahani Hasta Indriyana Helga Worotitjan Heri Latief Heri Listianto Heri Maja Kelana Herlinatiens Hudan Hidayat Hudan Nur Ibnu Wahyudi Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilenk Rembulan Imam S Arizal Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santoso Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indrian Koto Isbedy Stiawan ZS Iwan Gunadi Javed Paul Syatha Jibna Sudiryo Johan Khoirul Zaman Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Saputro Jufri Zaituna Jusuf AN Kadek Wara Urwasi Kadjie Bitheng MM Kartika Kusworatri Kedung Darma Romansha Kika Syafii Kirana Kejora Kirdjomuljo Kurnia Effendi Kurniawan Junaedhie Kurniawan Yunianto Kusprihyanto Namma Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lailatul Muniroh Landung Rusyanto Simatupang Lela Siti Nurlaila Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Linus Suryadi AG Liza Wahyuninto Lubis Grafura Lutfi Mardiansyah M. Badrus Alwi M. Faizi Maghfur Munif Maghie Oktavia Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maqhia Nisima Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marwanto Mas Marco Kartodikromo Mashuri Mathori A. Elwa Matroni el-Moezany Maya Mustika K. Mega Vristian Miftahul Abrori Mohammad Yamin Muhammad Ali Fakih Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muntamah Cendani Mustiar AR Mustofa W Hasyim Mutia Sukma Nadjib Kartapati Z Nanang Suryadi Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Noor Sam Nunung S. Sutrisno Nur Iswantara Nur Lodzi Hady Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Pariyo Adi Pringadi AS Pringgo HR Puisi-Puisi Indonesia Purwadmadi Admadipurwa Puspita Rose Putri Sarinande R. Toto Sugiharto Rachmat Djoko Pradopo Raedu Basha Ragil Suwarno Pragolapati Rakai Lukman Rama Prabu Ramadhan KH Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Ribut Wijoto Rikard Diku Robin Al Kautsar Rozi Kembara Rudi Hartono Rusydi Zamzami S Yoga Sahaya Santayana Saiful Bakri Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Selendang Sulaiman Seli Desmiarti Sigit Sugito Sihar Ramses Simatupang Siska Afriani Sitok Srengenge Sitor Situmorang Slamet Rahardjo Rais Slamet Widodo Sosiawan Leak Sreismitha Wungkul Sri Harjanto Sahid Sri Jayantini Sri Setya Rahayu Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunardi KS Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutirman Eka Ardhana Syifa Aulia Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Ranusastra Asmara Teguh Triaton Tengsoe Tjahjono Tharie Rietha Thowaf Zuharon Timur Sinar Suprabana Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Ulfatin Ch Umbu landu Paranggi Unieq Awien Usman Arrumy W. Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyu Subuh Warih Wisatsana Wayan Sunarta Weni Suryandari Widi Astuti Wiji Thukul Winarni R. Y. Wibowo Yonathan Rahardjo Yosi M Giri Yudhi Herwibowo Yudhiono Aprianto Yurnaldi Yusri Fajar Yusuf Suharto Yuswan Taufiq Yuswinardi Zaenal Faudin Zainal Arifin Thoha Zamroni Allief Billah Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae