http://sastra-indonesia.com/
Kasidah Cinta
Fajar Alayubi
Ini pagi yang indah, saat yang tepat buat ku mengganti langit-langit kamarku yang penuh dengan lukisan air dan debu-debu. Ini hari bagi musim semi kita, dan kan kupindai hari ini seperti kupu-kupu yang mencium punggungmu -yang belum pernah kulihat sebelumnya.
aku tidur hanya sesaat. Telingaku semalam amat bergemuruh ketika bintang-jatuh di gerbang subuh. Sesuatu yang meletup-letup dalam dada begitu kuat setelah kukecup pipimu bagai kawah yang merah penuh bara gairah –ketika kau sandarkan tubuh di padang bahuku.
Saatku kusibuk dengan langit-langitku pagi ini, mungkin kau masih memetik bunga-bunga di taman mimpimu untuk kita rangkai jadi pandanan yang serasi dengan semesta jiwa. Bawalah yang banyak bunga-bunga, sampai keranjangmu sesak seperti dadaku.
Di meja kecilmu sudah kuletakan satu kuntum yang kudapat dari puncak malam, ke dalam vas bunga kesayanganmu, juga secarik tulisan ini yang kusandarkan padanya. semoga aroma secangkir coffee-latte dapat cepat menggugahmu, lalu kau basuh wajahmu dengan embun-embun yang kudapat beberapa tangkup dari relung-relungku.
Tanda Tangan Batu *
Mahmud Jauhari Ali
serpihan logam yang kauluncurkan ke jantungku
ialah risalah jelaga dari serambi hatimu yang merah saga
dan segumpal kabut di genggamanmu itu
tak ubahnya bom yang meledak!
menjungkilbalikkan kata
mematahkan langkah-langkah laju,
juga menenggelamkan tangan-tangan tembaga
di antara air-air yang menderas menjelma ombak
o! tampaknya benar kata seekor camar senja itu
bahwa aku, tak lagi manusia di depan matamu yang nanar
melainkan seekor ulat di antara gurat-gurat petaka
yang mudah kauracuni dengan kata-kata,
kaubakar di bawah tumpukan kayu retak, dan
kauhempas-hempaskan ke tanah keras,
melebihi kerasnya cadas di tanah jelata
dan, di bawah bola jingga dan perak ini
hari tetap abu-abu
hingar-bingar, jingkrak pesta pora hilang, lesap
darah impian pun berceceran di jalan-jalan
lalu, aku pun termangu dalam gengamanmu dan kabut yang pekat
Tanah Borneo, 2011
*) dari Akulah Musi, antologi puisi PPN V, Palembang.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Senin, 24 Oktober 2011
Puisi-Puisi Elly Trisnawati
http://oase.kompas.com/
Palung Cinta
Jika harus langkah kakiku terhenti
kuharap bukan terhenti karenamu
Jikapun suatu saat aku mati
kuharap pun bukan mati karenamu
Hati ini memang tak bisa ku ubah
jiwa dan pikiranku pun berakar sudah
Sepertinya cinta ini memang tercurah
hanya untukmu yang selalu buatku gundah
Tak aku peduli akan sakitku
tak aku peduli akan perihku
apalagi hanya dengan sikapmu
yang memang kutahu siapa dirimu
Harapan bisa kububung ke awan
asa bisa kubentang hingga ke seberang
tapi jiwa dan hatiku tak bisa lari
tak bisa pergi dari palung hati
karena dirimu erat mematri
menghabiskan seluruh rasa yang kumiliki
(Juni 2008)
Cintaku Pada M Everest
Huruf demi huruf aku belajar mengejamu
menghabiskan sewindu waktu untuk mengenali kalimat-kalimatmu
bait-baitmu masih samar dalam penjamahanku
aku masih tak mampu mengerti tentang puisi-puisimu
Sedalam palung di keluasan samudra terdalam
selayaknya aku berenang menyeberangi seluruh samudra yang ada
tak pernah mampu aku menyelam ke dasar samudra hatimu, dan
tak kutemui pula keberadaan dirimu yang sesungguhnya
Seluas langit angkasa yang tak mesti selalu biru
yang terbentang memayungi seluruh jagad raya
begitu kasihmu yang mampu kurasakan pada semesta
tanpa mampu membaca dimana batas cakrawalamu
Setinggi Everest dalam kebekuan salju yang menyelimutinya
sebatas itu pula aku mampu mengenalmu
tanpa mampu menggapai puncak duniamu
apalagi menghangatkan kebekuan yang selalu kau jaga
Layaknya mentari yang selalu menyapa bumi di setiap pagi
membawakan kehangatan yang dinanti penduduk bumi
begitulah aku mengerti dirimu
tanpa mampu menyentuh kulit jiwamu
Kekaguman seolah terus saja memelukku
memberikan kehangatan selalu dalam pelukan saljumu
tanpa berpikir apa dan siapa dirimu
aku terlanjur….
tenggelam dan karam di palung terdalam
yang menyimpan sejuta pesona bayanganmu
HK, 10-11-’07
EVEREST
Everest yang angkuh
tinggi menantang langit ini
akhirnya meleleh
meski tidak sepenuhnya dan
masih berjaga diri dengan
benteng berlapis disekitarnya
berjaga dari lelehan salju yang
mungkin malah meluntakkan dunia
atau menistakan sang Everest dengan sendirinya
Lembar-lembar baru
menjadi selimut yang melingkupi
dari kebekuan abadi yang hampir tak terkutik
hembuskan kehangatan di jantung gunung keangkuhan
membuka diri pada peziarah
yang mencari berkah atau
sekedar bersandar dari penat perjalanan
Belajar merabai tapak yang tertinggal
merasai denyut jantung dari punggung -punggung yang tersandar
membuka mata dari kisah-kisah pengelana yang bercerita
mengambil makna dari perjuangan pendaki yang tak menyerah
diantara kebisuan dan gejolak yang
kadang tiba-tiba menggelegak panas
Ada sela jendela yang tak terlihat jelas
ada pintu yang siap terbuka menampung cerita
samar ditengarai lilin yang kadang terkibas tertiup angin
ada kehangatan dalam lirih bisik yang terlontar
ada makna ditengah kisah yang dirangkumnya
ada asa diujung tumpukan rasa yang pernah dipendamnya
Everest tak lagi beku
meski dingin masih bertahan dalam parasnya
meski masih ada sisa keangkuhan yang tak tergoyah
jiwa bekunya kini
terleleh dalam tebar hangatnya persahabatan
HK, March 3, 2009
Rinduku Untuk Bunda
Jauh kulemparkan diri ke seberang samudra tak bernama
lewati batas garis seribu negeri loh jinawi
henyakkan diri dengan rodi-rodi tak bertepi
ruhku tergantung dalam dekapan pertiwi
Luluh lungsai tubuh terkikis erosi sang waktu
terlindas musim yang bergilir berantai
butir-butir rindu seruaki kalbu yang terbeku
terjepit geliat dunia yang tak terangkai
Sejuta waktu aku membalutnya
kututup luka dengan tawa untuk mereka di seberang sana
tiriskan gerimis yang membanjiri ruang jiwa
hilangkan resahnya yang khawatirkan aku terendam dalam perodian
Hembusan musim buncahkan rindu yang tak pernah layu
kuntum-kuntum cinta kugelar di permadani jiwa
gempita langkah kulebarkan menuju ranah tercinta
berharap bunda sambutku pulang diberanda
terhambur aku dalam belai yang sejukkan nirwana
HK, 10-10-’08
Kami di Depan KJRI
Kami datang berpuluh-puluh kali
Dengan seribu wajah yang berganti- ganti
Menggedor pintu-pintu hari tak berhati
Yang mengagungkan kuasa imperialis sejati
Kami menangis dalam teriak di kaki-kaki langit
Senandungkan ritme elegi dipucuk-pucuk duri
Sendu mendayu merutuki kelalaianmu
hadirkan damai di sanubari rakyatmu
Mana keadilan yang kau janjikan
Mana janji perlindungan yang kau rencanakan
Mana rencana kerja yang yang telah kau tetapkan
Mana undang-undang yang kau bicarakan
Janjimu hanyalah iming-iming palsu yang kau selipkan dalam setiap impian rakyatmu
Peraturanmu hanyalah sekedar huruf-huruf yang memenuhi setiap lembar kertas yang menumpuk dimejamu
Keadilan hanyalah slogan kosong yang kau tanam bersama pohon kekuasaan
Kami juga anak negeri
Yang seharusnya kau perhatikan
Bukan kau anak-tirikan
Bukan kau ikat kedua kaki dan tangan
Kemudian kau biarkan terserak di pasaran
Seperti ikan-ikan yang di obral
Disini, kami bernyanyi
Melagukan ketidak-adilan
Melagukan penindasan
Melagukan pemerasan
Melagukan kesemenaan
Kau masih saja tak menggubrisnya
Tenggelam dalam kebutaan hatimu
Terlelap dalam ketulianmu
Menutup pintu-pintu jiwa
Yang seharusnya terbuka lebar
Dan memberikan kehangatan
Untuk anak-anakmu yang membutuhkan
HK, 14 Desember 2008
===========
Elly Trisnawati, 30 th, Rt. 01/08, Kalilusi, Pecekelan, Sapuran, Wonosobo, Jawa Tengah. Aktif di jurnal IMWU, Hong Kong dan karya tulisnya banyak di muat di media berbahasa Indonesia di Hong Kong.
Palung Cinta
Jika harus langkah kakiku terhenti
kuharap bukan terhenti karenamu
Jikapun suatu saat aku mati
kuharap pun bukan mati karenamu
Hati ini memang tak bisa ku ubah
jiwa dan pikiranku pun berakar sudah
Sepertinya cinta ini memang tercurah
hanya untukmu yang selalu buatku gundah
Tak aku peduli akan sakitku
tak aku peduli akan perihku
apalagi hanya dengan sikapmu
yang memang kutahu siapa dirimu
Harapan bisa kububung ke awan
asa bisa kubentang hingga ke seberang
tapi jiwa dan hatiku tak bisa lari
tak bisa pergi dari palung hati
karena dirimu erat mematri
menghabiskan seluruh rasa yang kumiliki
(Juni 2008)
Cintaku Pada M Everest
Huruf demi huruf aku belajar mengejamu
menghabiskan sewindu waktu untuk mengenali kalimat-kalimatmu
bait-baitmu masih samar dalam penjamahanku
aku masih tak mampu mengerti tentang puisi-puisimu
Sedalam palung di keluasan samudra terdalam
selayaknya aku berenang menyeberangi seluruh samudra yang ada
tak pernah mampu aku menyelam ke dasar samudra hatimu, dan
tak kutemui pula keberadaan dirimu yang sesungguhnya
Seluas langit angkasa yang tak mesti selalu biru
yang terbentang memayungi seluruh jagad raya
begitu kasihmu yang mampu kurasakan pada semesta
tanpa mampu membaca dimana batas cakrawalamu
Setinggi Everest dalam kebekuan salju yang menyelimutinya
sebatas itu pula aku mampu mengenalmu
tanpa mampu menggapai puncak duniamu
apalagi menghangatkan kebekuan yang selalu kau jaga
Layaknya mentari yang selalu menyapa bumi di setiap pagi
membawakan kehangatan yang dinanti penduduk bumi
begitulah aku mengerti dirimu
tanpa mampu menyentuh kulit jiwamu
Kekaguman seolah terus saja memelukku
memberikan kehangatan selalu dalam pelukan saljumu
tanpa berpikir apa dan siapa dirimu
aku terlanjur….
tenggelam dan karam di palung terdalam
yang menyimpan sejuta pesona bayanganmu
HK, 10-11-’07
EVEREST
Everest yang angkuh
tinggi menantang langit ini
akhirnya meleleh
meski tidak sepenuhnya dan
masih berjaga diri dengan
benteng berlapis disekitarnya
berjaga dari lelehan salju yang
mungkin malah meluntakkan dunia
atau menistakan sang Everest dengan sendirinya
Lembar-lembar baru
menjadi selimut yang melingkupi
dari kebekuan abadi yang hampir tak terkutik
hembuskan kehangatan di jantung gunung keangkuhan
membuka diri pada peziarah
yang mencari berkah atau
sekedar bersandar dari penat perjalanan
Belajar merabai tapak yang tertinggal
merasai denyut jantung dari punggung -punggung yang tersandar
membuka mata dari kisah-kisah pengelana yang bercerita
mengambil makna dari perjuangan pendaki yang tak menyerah
diantara kebisuan dan gejolak yang
kadang tiba-tiba menggelegak panas
Ada sela jendela yang tak terlihat jelas
ada pintu yang siap terbuka menampung cerita
samar ditengarai lilin yang kadang terkibas tertiup angin
ada kehangatan dalam lirih bisik yang terlontar
ada makna ditengah kisah yang dirangkumnya
ada asa diujung tumpukan rasa yang pernah dipendamnya
Everest tak lagi beku
meski dingin masih bertahan dalam parasnya
meski masih ada sisa keangkuhan yang tak tergoyah
jiwa bekunya kini
terleleh dalam tebar hangatnya persahabatan
HK, March 3, 2009
Rinduku Untuk Bunda
Jauh kulemparkan diri ke seberang samudra tak bernama
lewati batas garis seribu negeri loh jinawi
henyakkan diri dengan rodi-rodi tak bertepi
ruhku tergantung dalam dekapan pertiwi
Luluh lungsai tubuh terkikis erosi sang waktu
terlindas musim yang bergilir berantai
butir-butir rindu seruaki kalbu yang terbeku
terjepit geliat dunia yang tak terangkai
Sejuta waktu aku membalutnya
kututup luka dengan tawa untuk mereka di seberang sana
tiriskan gerimis yang membanjiri ruang jiwa
hilangkan resahnya yang khawatirkan aku terendam dalam perodian
Hembusan musim buncahkan rindu yang tak pernah layu
kuntum-kuntum cinta kugelar di permadani jiwa
gempita langkah kulebarkan menuju ranah tercinta
berharap bunda sambutku pulang diberanda
terhambur aku dalam belai yang sejukkan nirwana
HK, 10-10-’08
Kami di Depan KJRI
Kami datang berpuluh-puluh kali
Dengan seribu wajah yang berganti- ganti
Menggedor pintu-pintu hari tak berhati
Yang mengagungkan kuasa imperialis sejati
Kami menangis dalam teriak di kaki-kaki langit
Senandungkan ritme elegi dipucuk-pucuk duri
Sendu mendayu merutuki kelalaianmu
hadirkan damai di sanubari rakyatmu
Mana keadilan yang kau janjikan
Mana janji perlindungan yang kau rencanakan
Mana rencana kerja yang yang telah kau tetapkan
Mana undang-undang yang kau bicarakan
Janjimu hanyalah iming-iming palsu yang kau selipkan dalam setiap impian rakyatmu
Peraturanmu hanyalah sekedar huruf-huruf yang memenuhi setiap lembar kertas yang menumpuk dimejamu
Keadilan hanyalah slogan kosong yang kau tanam bersama pohon kekuasaan
Kami juga anak negeri
Yang seharusnya kau perhatikan
Bukan kau anak-tirikan
Bukan kau ikat kedua kaki dan tangan
Kemudian kau biarkan terserak di pasaran
Seperti ikan-ikan yang di obral
Disini, kami bernyanyi
Melagukan ketidak-adilan
Melagukan penindasan
Melagukan pemerasan
Melagukan kesemenaan
Kau masih saja tak menggubrisnya
Tenggelam dalam kebutaan hatimu
Terlelap dalam ketulianmu
Menutup pintu-pintu jiwa
Yang seharusnya terbuka lebar
Dan memberikan kehangatan
Untuk anak-anakmu yang membutuhkan
HK, 14 Desember 2008
===========
Elly Trisnawati, 30 th, Rt. 01/08, Kalilusi, Pecekelan, Sapuran, Wonosobo, Jawa Tengah. Aktif di jurnal IMWU, Hong Kong dan karya tulisnya banyak di muat di media berbahasa Indonesia di Hong Kong.
Puisi-Puisi Daysi Priyanti
http://www.suarakarya-online.com/
Kulihat Kau
Ketika kudengar
kharisma suaramu
di hamparan luas
tak bertepi
kulihat kau tegak
di puncaknya
sementara dari bgawah
kucoba mngais tapak
tapi rasaku tak sampai
dan tak pernah
hanya pekik suaramu
terdengar meggelegar
dan sampai padaku
kini tengah
kunikmati gemanya
akan suara suara ini luruh
dalam kerlip bisu malam
ketika malam bertaut
ketika bintang berbinar
sungguh aku tak tahu lagi
dan tetap termangu
nyalamu sampai
di atas sinarku
dan tetap pada
pijakmuyang penuh bara
dalam lintasan
keabadian alam
entah sampai kapan
kabut menggumpal
menutupi segala misteri alam
dan akan tetap sosokmu
menggilas kabut dan awan
Medan, Maret 2011
Untukmu 1
Dari kalah dan memang
sampai dalam
lingkungan keabadian
yang kau tinggalkan
telah hilang segala cahaya
alam aini tak pernah
siap kau tinggalkan
Meski pergimu
tanpa kerlip bintang
dan tanda jasa
namamu tetap membumbung
dan terus ke awan
kau tak kan pernah ada
dalam daftar panjang
sang penindas
atau pendusta
sebab keberadaan mu
selalu di antara mereka
yang terindas
karyamu menjadi
cermin abadi
meski sajakku
tak pernah sampai
aku akan selalu
merangkaikannya
sampai sembab ujung mataku
masihkah kau tak percaya
tentang surga atau neraka
setelah pergimu?
yang pasti di sini
aku selalu berdoa
untuk surgamu
Medan, Januari 2011
Kepada Putri
Dalam bilur waktu
kau terus tumbuh
mengakrabi hidup
kukenalkan kau
pada Sang Khalik
pemilik sumbu kehidupan
jadilah lentera
tak kunjung padam
rendah hati
dan selalu jadi dirimu
panggil aku ibu anakku
bukan yang lain
disana ada bayangan, surga
di tengah gelap dan air mata
ku iringi langkahmu
memecah sunyi
menembus malam
di genggammu segala langkah
dibalik riuh tawa dan tangismu
akan ada tanah daratan
langit di mana mana
juga Tuhan
Brastagi, April 2011
Kulihat Kau
Ketika kudengar
kharisma suaramu
di hamparan luas
tak bertepi
kulihat kau tegak
di puncaknya
sementara dari bgawah
kucoba mngais tapak
tapi rasaku tak sampai
dan tak pernah
hanya pekik suaramu
terdengar meggelegar
dan sampai padaku
kini tengah
kunikmati gemanya
akan suara suara ini luruh
dalam kerlip bisu malam
ketika malam bertaut
ketika bintang berbinar
sungguh aku tak tahu lagi
dan tetap termangu
nyalamu sampai
di atas sinarku
dan tetap pada
pijakmuyang penuh bara
dalam lintasan
keabadian alam
entah sampai kapan
kabut menggumpal
menutupi segala misteri alam
dan akan tetap sosokmu
menggilas kabut dan awan
Medan, Maret 2011
Untukmu 1
Dari kalah dan memang
sampai dalam
lingkungan keabadian
yang kau tinggalkan
telah hilang segala cahaya
alam aini tak pernah
siap kau tinggalkan
Meski pergimu
tanpa kerlip bintang
dan tanda jasa
namamu tetap membumbung
dan terus ke awan
kau tak kan pernah ada
dalam daftar panjang
sang penindas
atau pendusta
sebab keberadaan mu
selalu di antara mereka
yang terindas
karyamu menjadi
cermin abadi
meski sajakku
tak pernah sampai
aku akan selalu
merangkaikannya
sampai sembab ujung mataku
masihkah kau tak percaya
tentang surga atau neraka
setelah pergimu?
yang pasti di sini
aku selalu berdoa
untuk surgamu
Medan, Januari 2011
Kepada Putri
Dalam bilur waktu
kau terus tumbuh
mengakrabi hidup
kukenalkan kau
pada Sang Khalik
pemilik sumbu kehidupan
jadilah lentera
tak kunjung padam
rendah hati
dan selalu jadi dirimu
panggil aku ibu anakku
bukan yang lain
disana ada bayangan, surga
di tengah gelap dan air mata
ku iringi langkahmu
memecah sunyi
menembus malam
di genggammu segala langkah
dibalik riuh tawa dan tangismu
akan ada tanah daratan
langit di mana mana
juga Tuhan
Brastagi, April 2011
Puisi-Puisi Evi Melyati
http://www.suarakarya-online.com/
Langit Semakin Tua
Langit ada dimana mana
melingkupi segala
tak peduli rupa
bumi terbentang rasa
kita hanya bebas menapak
tanpa bisa memiliki
ketika langit semakin tua
bumi semakin sesak
rumput semakin tinggi
semakin menusuk
bencana tak jera mendera
rindu bara kepada Tuhan
kemana perginya
Tangerang, Januari 2011
Kemiskinan
Jika cawan telah kering
seperti jiwamu
jangan lagi berlari
kemiskinan yang mengekang
membuatmu lebih suka
menarik kutang,
membuka paha
kutahu itu bukan dirimu
mengadulah pada langit
pesantren tempatmu dibesarkan
kibarkan bendera
setengah tiang
kembalilah sahabatku
sebelum sesal
datang membayang
berhentilah
seperti kapal
merindukan dermaga
Tangerang, Fabruari 2011
Untukmu Guruku
Guratan luka adalah kepedihan
ketika rindu memanggil
memasung segala benci
dan dendam kala itu,
kami adalah
deretan kertas putih
tanpa makna
selama itu kita berpagut
dalam harapan
masa depan yang terbentang
begitu jauh begitu samar
kini kurangkai kata
untuk segala kebersamaan
yang pernah ada
tanah ini telah menjadi saksi
tentang ulah
prestasi dan kenakalanku
aku rindu pada segala
yang kulewati
gemuruh angin
dan tanah berdebu
sungguh deras suaramu
memanggil
membawaku keluar
dari kegelapan
dari kebodohan
seperti tak ada
untuk terima kasihku
kepada bapak guru
kepada ibu guru
pembawa cahaya
penerang gelapku
esok masih sangat panjang
jalan masih begitu jauh
cita-cita harus ditegakkan
temaram di kaki langit
mengiringi langkah
tiada berujung
Tangerang, Maret 2011
Untukmu
Dari kamah dan memang
sampai dalam lingkungan keabadian
yang kau tinggalkan
telah hilang segala cahaya
alam ini tak pernah
siap kau tinggalkan
tetapi kini
di persimpangan itu
kau benar sampaidan aku tetap terpaksa
di ujungnya
aku tetap berharap
akan ada cahaya
melingkupi lingkungan
keabadianmu
dan hanya doa
untuk segala perjuanganmu
Tangerang, Desember 2010
Langit Semakin Tua
Langit ada dimana mana
melingkupi segala
tak peduli rupa
bumi terbentang rasa
kita hanya bebas menapak
tanpa bisa memiliki
ketika langit semakin tua
bumi semakin sesak
rumput semakin tinggi
semakin menusuk
bencana tak jera mendera
rindu bara kepada Tuhan
kemana perginya
Tangerang, Januari 2011
Kemiskinan
Jika cawan telah kering
seperti jiwamu
jangan lagi berlari
kemiskinan yang mengekang
membuatmu lebih suka
menarik kutang,
membuka paha
kutahu itu bukan dirimu
mengadulah pada langit
pesantren tempatmu dibesarkan
kibarkan bendera
setengah tiang
kembalilah sahabatku
sebelum sesal
datang membayang
berhentilah
seperti kapal
merindukan dermaga
Tangerang, Fabruari 2011
Untukmu Guruku
Guratan luka adalah kepedihan
ketika rindu memanggil
memasung segala benci
dan dendam kala itu,
kami adalah
deretan kertas putih
tanpa makna
selama itu kita berpagut
dalam harapan
masa depan yang terbentang
begitu jauh begitu samar
kini kurangkai kata
untuk segala kebersamaan
yang pernah ada
tanah ini telah menjadi saksi
tentang ulah
prestasi dan kenakalanku
aku rindu pada segala
yang kulewati
gemuruh angin
dan tanah berdebu
sungguh deras suaramu
memanggil
membawaku keluar
dari kegelapan
dari kebodohan
seperti tak ada
untuk terima kasihku
kepada bapak guru
kepada ibu guru
pembawa cahaya
penerang gelapku
esok masih sangat panjang
jalan masih begitu jauh
cita-cita harus ditegakkan
temaram di kaki langit
mengiringi langkah
tiada berujung
Tangerang, Maret 2011
Untukmu
Dari kamah dan memang
sampai dalam lingkungan keabadian
yang kau tinggalkan
telah hilang segala cahaya
alam ini tak pernah
siap kau tinggalkan
tetapi kini
di persimpangan itu
kau benar sampaidan aku tetap terpaksa
di ujungnya
aku tetap berharap
akan ada cahaya
melingkupi lingkungan
keabadianmu
dan hanya doa
untuk segala perjuanganmu
Tangerang, Desember 2010
Puisi-Puisi M. Badrus Alwi
http://sastra-indonesia.com/
Sajak Ibu 6
Sejak umur di sekitar pasar
nyenyak tidurku
aku ingin tetap di sana
tapi kasihan ibu yang rindu terlepasnya aku
dan beban
Sejak umur di atas dua tangan
melayang rasaku
aku ingin tetap
tapi kasihan ibu yang rindu umurku bertambah di bawah tangan
Sejak umur di atas KTP
bingung hadiriku
selalu, aku ingin cari
tapi kasihan ibu yang rindu baju-bajuku rapi.
Bibit Rindu pada mendung
Kulihat awan adalah kaca dan bayangku, di sebelah yang hitam.
tadinya biru, lalu hitam beku itu aku, mendung mengurung rindu.
di setiap tahunnya di setiap tepinya ada organisasi rindu yang eksis
aku di sana seperti air yang bergumpal, ingin tinggalkan batas penjara
kondensasi dan hindari evaporasi pemisah. Antara aku dan kau
adalah tempat terbang burung bercanda, bercinta yang menanam iri
di hening penjara.
Kau kuhayal tanah terasuki, terselimuti sebagai singgah sesaatku.
dan air itu aku, yang kau resap dan pelembap kulitmu sebagai penantian
langganan, yang dievaporasi ke tempat beda.
(aku di atas dan kau di bawah) hening kulihat langit.
dan aku heningkan kejadian tadi
kala turun hujan, kala kemarau hujan embun, kala aku hapus rindu jatuh
ke tubuhmu, memeluk, menyelinap sampai ke dasar jiwamu, kala aku dievaporasi
dan di penjara kondensasi, kembali merawat jamur rindu.
di setiap tahun berturut-turut, dan tak di globalisasi ini.
15 Februari 2011
Sumber: Jurnal Sastra dan Budaya “Jombangana,” Edisi III 2011 [Dewan Kesenian Jombang].
Sajak Ibu 6
Sejak umur di sekitar pasar
nyenyak tidurku
aku ingin tetap di sana
tapi kasihan ibu yang rindu terlepasnya aku
dan beban
Sejak umur di atas dua tangan
melayang rasaku
aku ingin tetap
tapi kasihan ibu yang rindu umurku bertambah di bawah tangan
Sejak umur di atas KTP
bingung hadiriku
selalu, aku ingin cari
tapi kasihan ibu yang rindu baju-bajuku rapi.
Bibit Rindu pada mendung
Kulihat awan adalah kaca dan bayangku, di sebelah yang hitam.
tadinya biru, lalu hitam beku itu aku, mendung mengurung rindu.
di setiap tahunnya di setiap tepinya ada organisasi rindu yang eksis
aku di sana seperti air yang bergumpal, ingin tinggalkan batas penjara
kondensasi dan hindari evaporasi pemisah. Antara aku dan kau
adalah tempat terbang burung bercanda, bercinta yang menanam iri
di hening penjara.
Kau kuhayal tanah terasuki, terselimuti sebagai singgah sesaatku.
dan air itu aku, yang kau resap dan pelembap kulitmu sebagai penantian
langganan, yang dievaporasi ke tempat beda.
(aku di atas dan kau di bawah) hening kulihat langit.
dan aku heningkan kejadian tadi
kala turun hujan, kala kemarau hujan embun, kala aku hapus rindu jatuh
ke tubuhmu, memeluk, menyelinap sampai ke dasar jiwamu, kala aku dievaporasi
dan di penjara kondensasi, kembali merawat jamur rindu.
di setiap tahun berturut-turut, dan tak di globalisasi ini.
15 Februari 2011
Sumber: Jurnal Sastra dan Budaya “Jombangana,” Edisi III 2011 [Dewan Kesenian Jombang].
Puisi-Puisi Daisy Priyanti
http://www.suarakarya-online.com/
Cerita I
ada seekor lalat jantan
yang meneburkan dirinya
ke kolam api
karena ia tak dapat hinggap
dis ebuah ikan asin
idamannya
adakah sedikit tempat untuknya?
* Tangerang, Juli 2011
Cerita II
di sana
sudah jadi buah bibir
negeriku makmur
serta subur katanya
di sanadi kota besarku
mereka gembira
menyanyi lagu kesedihan
sementara di pelosok itu
seorang bocah
berlutut menanti batu
rebus di depannya.
* Tangerang, Juli 2011
Ketika Kudengar Radio
Dengan Berbagai Berita
Di antaranya Berita Korupsi
Dan aku pun berkata:
Tuhan, kapankah kau
mulai menertibkan negeri
yang penuh sebab akibat ini?
aku kan menantikannya
untuk segera
sebab, dosa dan doaku
sudah penuh di lemari
sementaratersisih
terjepit oleh keangkuhan
bersama semangat dalam lapar
* Tangerang, Januari 2011
Kelereng Anak Kecil
kita adalah kelereng
yang dilemparkan anak kecil
menggelindung, berpusing
cepat sekali bertabrakan
mungkin retak, tak apa
kita adalah kelereng anak kecil
yang dilemparkan
deras sekali menerjang
tahi ayam
mungkin berbau, tak apa
kita adalah kelereng
yang dilemparkan anak kecil
lalu, diambilnya
dan, dikantonginya
mungkin pengab, tak apa
kita adalah kelereng anak kecil
yang dilemparkan
retak dan berbau, tak apa
anak kecil itu Tuhan?
* Tangerang, Oktober 2010
Doa Anakku
Tuhan
Lindungi kami
dalam perjalanan
semoga selamat sampai disekolah
Tuhan
jadikanlah keberhasilan pada kami
dalam mencapai cita-cita
dalam menjalankan kewajiban
kami sebagai pelajar
Tuhan
lindungi kami
jika ada ulangan ulangan
atau mendapat kesulitan
supaya kami dapat menyelesaikannya
* Tangerang, Nopember 2010
Maafkan Aku
Sebenarnya masih banyak
yang akan dan harus
kukatakan
Dan,
inilah
sebagian
dari itu semua.
* Tangerang, Desember 2010
Cerita I
ada seekor lalat jantan
yang meneburkan dirinya
ke kolam api
karena ia tak dapat hinggap
dis ebuah ikan asin
idamannya
adakah sedikit tempat untuknya?
* Tangerang, Juli 2011
Cerita II
di sana
sudah jadi buah bibir
negeriku makmur
serta subur katanya
di sanadi kota besarku
mereka gembira
menyanyi lagu kesedihan
sementara di pelosok itu
seorang bocah
berlutut menanti batu
rebus di depannya.
* Tangerang, Juli 2011
Ketika Kudengar Radio
Dengan Berbagai Berita
Di antaranya Berita Korupsi
Dan aku pun berkata:
Tuhan, kapankah kau
mulai menertibkan negeri
yang penuh sebab akibat ini?
aku kan menantikannya
untuk segera
sebab, dosa dan doaku
sudah penuh di lemari
sementaratersisih
terjepit oleh keangkuhan
bersama semangat dalam lapar
* Tangerang, Januari 2011
Kelereng Anak Kecil
kita adalah kelereng
yang dilemparkan anak kecil
menggelindung, berpusing
cepat sekali bertabrakan
mungkin retak, tak apa
kita adalah kelereng anak kecil
yang dilemparkan
deras sekali menerjang
tahi ayam
mungkin berbau, tak apa
kita adalah kelereng
yang dilemparkan anak kecil
lalu, diambilnya
dan, dikantonginya
mungkin pengab, tak apa
kita adalah kelereng anak kecil
yang dilemparkan
retak dan berbau, tak apa
anak kecil itu Tuhan?
* Tangerang, Oktober 2010
Doa Anakku
Tuhan
Lindungi kami
dalam perjalanan
semoga selamat sampai disekolah
Tuhan
jadikanlah keberhasilan pada kami
dalam mencapai cita-cita
dalam menjalankan kewajiban
kami sebagai pelajar
Tuhan
lindungi kami
jika ada ulangan ulangan
atau mendapat kesulitan
supaya kami dapat menyelesaikannya
* Tangerang, Nopember 2010
Maafkan Aku
Sebenarnya masih banyak
yang akan dan harus
kukatakan
Dan,
inilah
sebagian
dari itu semua.
* Tangerang, Desember 2010
Puisi-Puisi Dwi Rejeki
http://www.suarakarya-online.com/
Dalam Rasa
Ada kesan indah ceria
yang kutemui
pada wajah senja
pada pelataran akhir pekan
pada jejak angin Jakarta
pada titian nafas
kau dan aku pada sela-sela
gegas waktu
wahai rindang
pucuk angsana
tingkaplah segala
sengketa nelangsa
agar kibar keceriaan
bisa tahan agar suasana alam
bisa sepadan
berikutnya sepakat
kita berkata:
perabuan sudah menjadi
milik kita
* Jakarta, Januari 2011
Saat mampir Di Kotamu
Hari pertama
saat berada di kotamu
aku tersentuh sebuah negeri
yang jauh
tekukur berdendang
di pematang lumut dan pakul
danau kemilau
hari kedua, kutatap
seorang adikmu
melintas di rerumputan
kakinya basah oleh embun
di tangannya beruntai
anggrek hutan
bagai mimpi anggur tua
terakhir, bagai terlompat
dari jendela
kicau burung angun gunung
jenjang jenjang denyut kotamu
lembaran lukisan negerikuyang jauh
kawan, di kotamu
kebunku bertunas
di kotamu rinduku
terasa tuntas
* Tangsel, Pebruari 2011
Hidup
sentak jantung
menggetarkan isi jiwa
keget, kejut, lalu diam
masih diam tetap diam
ada juga sepi yang luka
mengusik diam
lalu kutanya:
"di mana wilayahmu
kedamaian?
aku tak bisa bersikap
bagus sekarang!"
lalu jawabmu:"memang suatu problema
memikirkan hidup dan maknanya
hanya kewajiban selanjutnya
yang mesti terselenggara"
(hidup memang
misterius, ujarku)
* Serpong, Maret 2011
Sajak Buat Winda I
Winda, jalan
menuju ke seberang
masih lengang
bara di genggamanku
habis sia-sia
akankah kita tempuh juga
sementara luka
semakin memerah
* Mall Karawaci, Mei 2011
Sajak Buat Winda II
Saat ku menunggu
hari baikuntuk merayakan
hari pernikahanmu
akan aku teriakkan
kepada alam semesta
untuk menyaksikannya
dua Tuhan
untuk merestuinya:
biar papa dan mamamu tahu
kita tak sendiri
* Cikokol, Juni 2011
Dalam Rasa
Ada kesan indah ceria
yang kutemui
pada wajah senja
pada pelataran akhir pekan
pada jejak angin Jakarta
pada titian nafas
kau dan aku pada sela-sela
gegas waktu
wahai rindang
pucuk angsana
tingkaplah segala
sengketa nelangsa
agar kibar keceriaan
bisa tahan agar suasana alam
bisa sepadan
berikutnya sepakat
kita berkata:
perabuan sudah menjadi
milik kita
* Jakarta, Januari 2011
Saat mampir Di Kotamu
Hari pertama
saat berada di kotamu
aku tersentuh sebuah negeri
yang jauh
tekukur berdendang
di pematang lumut dan pakul
danau kemilau
hari kedua, kutatap
seorang adikmu
melintas di rerumputan
kakinya basah oleh embun
di tangannya beruntai
anggrek hutan
bagai mimpi anggur tua
terakhir, bagai terlompat
dari jendela
kicau burung angun gunung
jenjang jenjang denyut kotamu
lembaran lukisan negerikuyang jauh
kawan, di kotamu
kebunku bertunas
di kotamu rinduku
terasa tuntas
* Tangsel, Pebruari 2011
Hidup
sentak jantung
menggetarkan isi jiwa
keget, kejut, lalu diam
masih diam tetap diam
ada juga sepi yang luka
mengusik diam
lalu kutanya:
"di mana wilayahmu
kedamaian?
aku tak bisa bersikap
bagus sekarang!"
lalu jawabmu:"memang suatu problema
memikirkan hidup dan maknanya
hanya kewajiban selanjutnya
yang mesti terselenggara"
(hidup memang
misterius, ujarku)
* Serpong, Maret 2011
Sajak Buat Winda I
Winda, jalan
menuju ke seberang
masih lengang
bara di genggamanku
habis sia-sia
akankah kita tempuh juga
sementara luka
semakin memerah
* Mall Karawaci, Mei 2011
Sajak Buat Winda II
Saat ku menunggu
hari baikuntuk merayakan
hari pernikahanmu
akan aku teriakkan
kepada alam semesta
untuk menyaksikannya
dua Tuhan
untuk merestuinya:
biar papa dan mamamu tahu
kita tak sendiri
* Cikokol, Juni 2011
Puisi-Puisi Zamroni Allief Billah
http://sastra-indonesia.com/
Antara Berhalaberhala
Kau jumputi sisasisa jamuan semalam, saat hiruk pikuk pertemuan menyusur gulita dan gempita kemusykilan. Sekejap kemudian kau berlari ke tanah lapang dan berorasi sebelum sejurus lalu kau kumpulkan berhala mengelilingimu.
“Aku telah datang di perjamuan dan bertemu,” katamu meyakinkan dan segera menghardik sekawanan rusa yang tibatiba datang bertanya
“Bertemu dengan apakah wahai kepala berhala, semalam engkau di perjamuan?” kau sekejap melirik rusa lalu kau palingkan wajah dan lanjutkan ocehan
“Macam itulah contoh kekonyolan yang tak termaafkan! Jangan kalian macam rusa gila itu, terlalu banyak bertanya tentang sesuatu hal yang belum saatnya di buka” bersedekap engkau bicara, sesekali membenarkan letak surban yang kau pinjam dariku siang tadi “Untuk ceramah,” katamu.
Tak terjawab pertanyaan rusa, dan sekawanan binatang itu pergi meninggalkan jejak tajam yang kuyakin tak mampu kau baca sebagai tanda, sebab matamu tak pernah beralih dari berhala barumu yang baru saja kau buat dari gundukan tanah pekuburan.
“Wanita cantik ini lebih dari sekedar penghibur laraku,” ucapmu pada patung perempuan setengah telanjang itu. “Tetapi perempuan ini adalah bidadariku yang tak kan kubiarkan siapapun menyakitinya bahkan nyamuk sekalipun menadi musuhku bila….” belum selesai kau bicara, datang sekawanan burung gereja salah satu di antaranya yang berparuh rajawali bermata elang dan mengenakan gelang kaki serupa dirimu, hinggap di kepala patung perempuan itu dan berkata.
“Wahai engkau yang telah terpedaya warna, ketahuilah bahwa dirimu sedang menjadi seperti yang sebagaimana kau hayalkan, sebab kau tak hadir semalam maka manalah bisa kau ceritakan perjumpaan yang bahkan kaupun tak mengerti jalan mana yang mesti kau susuri saat hendak hadir di perjamuan. Asal kau tahu saja bahwa kau aungguh gila!.” Kulihat merah mukamu entah marah sebab aku ragu apakah kau masih punya malu. Lalu kau jumput batu dari dalam tas lusuh warna merah tua yang tak pernah lepas selalu kau bawa.
“Pyarrrr…..” sejenak kemudian berhala itu pecah saat kau hendak melempar burung gereja yang bertengger di kepala perempuan telanjang, berhalamu. Air matamu menetes namun tak sempat disaksikan sekawanan burung gereja yang sejenak tadi menyapamu.
“Bila tidak memiliki pemahaman tinggi beginilah jadinya,” kau tergugu antara berhalamu yang setia.
“Maka bila tak mengerti, bertanyalah dan cukup diam saja manakala engkau telah memahami sesunguh maksud yang selama ini baru kepada engkau saja aku bercerita. Sebab bila tidak, akan lebih banyak lagi korban berjatuhan.” Seperti harihari lalu lantas kau bercerita bahwa kau telah berjumpa.
Malam ini hujan, angin, petir dan kepedihan tak mampu lagi kau tahan mendapati diri yang hanya mampu berlari bersembunyi antara berhalaberhala yang tak henti kaucipta.
Rembang, 12 Februari 2011
Izinkan Kutemani Kau di Sepimu
Kulihat purnama lindap
saat kau diamdiam mengendap
mencariku di detak jantungmu
lebih dalam kutelah larut
bersenyawa dalam darah
di perawanmu yang mengalir
hangat berpagut di cengkerama
antara mantra dan doa
yang jamak dalam jimak
kau menari lagi
saat kugelar sajadah
di sudut bibirmu
merekah dalam hasrat
lalu tasbih kuputar
seirama degup dan debar
masih kau rogoh lagi mencari
di belahan dadamu
: membuncah
usah kau cari lagi
sebab di sepi pasti
kutemani kau dalam geliat dupa
Rembang, 02 November 2010
Jurnal Sastra dan Budaya “Jombangana,” Edisi III 2011 [Dewan Kesenian Jombang].
Antara Berhalaberhala
Kau jumputi sisasisa jamuan semalam, saat hiruk pikuk pertemuan menyusur gulita dan gempita kemusykilan. Sekejap kemudian kau berlari ke tanah lapang dan berorasi sebelum sejurus lalu kau kumpulkan berhala mengelilingimu.
“Aku telah datang di perjamuan dan bertemu,” katamu meyakinkan dan segera menghardik sekawanan rusa yang tibatiba datang bertanya
“Bertemu dengan apakah wahai kepala berhala, semalam engkau di perjamuan?” kau sekejap melirik rusa lalu kau palingkan wajah dan lanjutkan ocehan
“Macam itulah contoh kekonyolan yang tak termaafkan! Jangan kalian macam rusa gila itu, terlalu banyak bertanya tentang sesuatu hal yang belum saatnya di buka” bersedekap engkau bicara, sesekali membenarkan letak surban yang kau pinjam dariku siang tadi “Untuk ceramah,” katamu.
Tak terjawab pertanyaan rusa, dan sekawanan binatang itu pergi meninggalkan jejak tajam yang kuyakin tak mampu kau baca sebagai tanda, sebab matamu tak pernah beralih dari berhala barumu yang baru saja kau buat dari gundukan tanah pekuburan.
“Wanita cantik ini lebih dari sekedar penghibur laraku,” ucapmu pada patung perempuan setengah telanjang itu. “Tetapi perempuan ini adalah bidadariku yang tak kan kubiarkan siapapun menyakitinya bahkan nyamuk sekalipun menadi musuhku bila….” belum selesai kau bicara, datang sekawanan burung gereja salah satu di antaranya yang berparuh rajawali bermata elang dan mengenakan gelang kaki serupa dirimu, hinggap di kepala patung perempuan itu dan berkata.
“Wahai engkau yang telah terpedaya warna, ketahuilah bahwa dirimu sedang menjadi seperti yang sebagaimana kau hayalkan, sebab kau tak hadir semalam maka manalah bisa kau ceritakan perjumpaan yang bahkan kaupun tak mengerti jalan mana yang mesti kau susuri saat hendak hadir di perjamuan. Asal kau tahu saja bahwa kau aungguh gila!.” Kulihat merah mukamu entah marah sebab aku ragu apakah kau masih punya malu. Lalu kau jumput batu dari dalam tas lusuh warna merah tua yang tak pernah lepas selalu kau bawa.
“Pyarrrr…..” sejenak kemudian berhala itu pecah saat kau hendak melempar burung gereja yang bertengger di kepala perempuan telanjang, berhalamu. Air matamu menetes namun tak sempat disaksikan sekawanan burung gereja yang sejenak tadi menyapamu.
“Bila tidak memiliki pemahaman tinggi beginilah jadinya,” kau tergugu antara berhalamu yang setia.
“Maka bila tak mengerti, bertanyalah dan cukup diam saja manakala engkau telah memahami sesunguh maksud yang selama ini baru kepada engkau saja aku bercerita. Sebab bila tidak, akan lebih banyak lagi korban berjatuhan.” Seperti harihari lalu lantas kau bercerita bahwa kau telah berjumpa.
Malam ini hujan, angin, petir dan kepedihan tak mampu lagi kau tahan mendapati diri yang hanya mampu berlari bersembunyi antara berhalaberhala yang tak henti kaucipta.
Rembang, 12 Februari 2011
Izinkan Kutemani Kau di Sepimu
Kulihat purnama lindap
saat kau diamdiam mengendap
mencariku di detak jantungmu
lebih dalam kutelah larut
bersenyawa dalam darah
di perawanmu yang mengalir
hangat berpagut di cengkerama
antara mantra dan doa
yang jamak dalam jimak
kau menari lagi
saat kugelar sajadah
di sudut bibirmu
merekah dalam hasrat
lalu tasbih kuputar
seirama degup dan debar
masih kau rogoh lagi mencari
di belahan dadamu
: membuncah
usah kau cari lagi
sebab di sepi pasti
kutemani kau dalam geliat dupa
Rembang, 02 November 2010
Jurnal Sastra dan Budaya “Jombangana,” Edisi III 2011 [Dewan Kesenian Jombang].
Puisi-Puisi Nur Lodzi Hady
http://sastra-indonesia.com/
Embun
sejarah sudah ajar kala jarak terlampau dekat antara manusia dan hewan, dan tetap saja ada yang tak dengar..
kebingungan dan kesederhanaan itu menjadi petaka karna ia berubah jadi mesin kristal demi kutukan. Kutukan lantaran kesederhanaan yang tak sempat bertemu titik embun… jika pun iya pasti belum tuntas tatkala ia ajarkan makna yang kadang tiada butuh retori kata kata…
dan di suatu pagi aku tak tidur, pula jaga. sorenya aku terpekur… saat embun mengerlingkan matanya yang senyap dan membunuh!: kelembutan..! ..dan gema suaranya kutangkap selayak kemustian yang tak terbendung: kau siapa dan materi apa yang tengah mempertemukan kita…
embunkah?
Malang, 5 Maret 2010
Petisi Burung Burung
Petisi ini lahir dari pertemuan burung burung
Dan hutan tergetar oleh nyanyiannya
Ketika restu langit telah pasti tiba
Burung burung kembali ke sarangnya
Matahari telah di curi dari rumah kami
Bulan pula tak pernah purnama lagi
Segera siapkan bendera kita
Besok tumpah kita serbu cakrawala
Siapa akan berjaga malam ini
Burung hantu mengerdipkan matanya yang lebar
Di mana alamat kelelawar sang penghuni sunyi
Sudah lama kepaknya tak terdengar
Petisi ini sudah ditandatangani
Burung burung telah siap menyongsong hari
Malam ini dalam hati kita berjanji
Kelak terbang merebut mimpi
Siapa tinggal
Siapa akan mati
Aku memilih bergabung
Menjadi rajawali
Malang, 11 Maret 06
Jurnal Sastra dan Budaya “Jombangana,” Edisi III 2011 [Dewan Kesenian Jombang].
Embun
sejarah sudah ajar kala jarak terlampau dekat antara manusia dan hewan, dan tetap saja ada yang tak dengar..
kebingungan dan kesederhanaan itu menjadi petaka karna ia berubah jadi mesin kristal demi kutukan. Kutukan lantaran kesederhanaan yang tak sempat bertemu titik embun… jika pun iya pasti belum tuntas tatkala ia ajarkan makna yang kadang tiada butuh retori kata kata…
dan di suatu pagi aku tak tidur, pula jaga. sorenya aku terpekur… saat embun mengerlingkan matanya yang senyap dan membunuh!: kelembutan..! ..dan gema suaranya kutangkap selayak kemustian yang tak terbendung: kau siapa dan materi apa yang tengah mempertemukan kita…
embunkah?
Malang, 5 Maret 2010
Petisi Burung Burung
Petisi ini lahir dari pertemuan burung burung
Dan hutan tergetar oleh nyanyiannya
Ketika restu langit telah pasti tiba
Burung burung kembali ke sarangnya
Matahari telah di curi dari rumah kami
Bulan pula tak pernah purnama lagi
Segera siapkan bendera kita
Besok tumpah kita serbu cakrawala
Siapa akan berjaga malam ini
Burung hantu mengerdipkan matanya yang lebar
Di mana alamat kelelawar sang penghuni sunyi
Sudah lama kepaknya tak terdengar
Petisi ini sudah ditandatangani
Burung burung telah siap menyongsong hari
Malam ini dalam hati kita berjanji
Kelak terbang merebut mimpi
Siapa tinggal
Siapa akan mati
Aku memilih bergabung
Menjadi rajawali
Malang, 11 Maret 06
Jurnal Sastra dan Budaya “Jombangana,” Edisi III 2011 [Dewan Kesenian Jombang].
Minggu, 23 Oktober 2011
Puisi-Puisi Chairul Abhsar
http://www.suarakarya-online.com/
Ramadhan
Seperti Ramadhan yang lalu
aku tetap bersimpuh dalam tetes keringat
kepasrahan seorang hamba
meski hati tertasa teduh
oleh tembang tembang
memuji kekuasaan illahi
kesepian telah luruh menghimpit sanubari
jika dunia tak kidapatkan
bawakan saja janji surga
tapi apa jadi mungkin
jika khilaf seluruh mendera
jangan tinggalkan aku
ya Robbi, penguasa alam
dalam awal perjalanan
hingga akhi Ramadhan
biarkan aku terjerat dalam kasihMu
Jika dengan tangis harus kudapat
dimana engkau sembunyikan diri
dimana engkau berhenti pendarkan cahaya
meski malam larut dilindungi
barisan Malaikat
lagu pujian tetap mengalun
melupakan duka dunia
aku tetap merapat dalam sajakku
berniat melupakan
kepahitan malam Ramadhan
dan hidup yang singkat
Bukittinggi, Juli 2011
Kesucian Ramadhan
Malam merangkak Naik
bulan berbinar sungguh
dalam balutan kesucian Ramadhan
aku tetap termangu
sekejab hati luruh dalam tanya
meretas hidup tanpa syukur
selalu dirambati kekesalan hilaf
semua kini tampak nyata
Ya Rabbi, aku rindu ampunanmu
beri aku kesempatan lagi
jangan jadikan ini Ramadhan terakhir
belum cukup ibadahku
Jika ini yang terakhir
beri berkah pintu maafMu
untuk ibadahku yang sangat sederhana
dan cerita hidup yang kelam
Ya Rabbi, beri aku waktu
merajut hati di jalanMu
mengais hari yang telah disia-siakan
kudamba cahaya penerang gelapku
tolong aku Ya rabbi…
Padang, Juli 2011
Rindu
Angin masih bertiup
membawa setiap kecemasan
ada ranting yang luruh menerpa wajah wajah
kering dibawahnya
hendak kemanakah perahu
ini berlayar jika ombak begini kencang
disudut manakah aku hendak berlindung
jika perahu ini tak lagi bertepi
ada butiran luka ketika rindu jauh memanggil
membasuh setiap kepenatan
acapkali kekerasan menikam
melumatkan batas kesabaran
tidakkah itu cukup tidakkah itu menyesakkan
awan tersandar di kaki langit
gemuruh rindumu terus memanggil
tangis pilu sederet saudaraku
yang terpasung di tanah kelahiran
sejarah manis berlaku beku
tinggal sepotong awan
peluh menetes di dahinya
meratapi angkara tak kunjung usai
bersandar pada cinta yang tercampakkan
ketika malam bertaut
dalam lintasan keabadian alam
ku ingin rinduku sampai
menguak gelap mencurahkan sinar
membawa perahuku kembali berlayar
di tengah jagad tak bertepi
Padang, Mei 2011
Ramadhan
Seperti Ramadhan yang lalu
aku tetap bersimpuh dalam tetes keringat
kepasrahan seorang hamba
meski hati tertasa teduh
oleh tembang tembang
memuji kekuasaan illahi
kesepian telah luruh menghimpit sanubari
jika dunia tak kidapatkan
bawakan saja janji surga
tapi apa jadi mungkin
jika khilaf seluruh mendera
jangan tinggalkan aku
ya Robbi, penguasa alam
dalam awal perjalanan
hingga akhi Ramadhan
biarkan aku terjerat dalam kasihMu
Jika dengan tangis harus kudapat
dimana engkau sembunyikan diri
dimana engkau berhenti pendarkan cahaya
meski malam larut dilindungi
barisan Malaikat
lagu pujian tetap mengalun
melupakan duka dunia
aku tetap merapat dalam sajakku
berniat melupakan
kepahitan malam Ramadhan
dan hidup yang singkat
Bukittinggi, Juli 2011
Kesucian Ramadhan
Malam merangkak Naik
bulan berbinar sungguh
dalam balutan kesucian Ramadhan
aku tetap termangu
sekejab hati luruh dalam tanya
meretas hidup tanpa syukur
selalu dirambati kekesalan hilaf
semua kini tampak nyata
Ya Rabbi, aku rindu ampunanmu
beri aku kesempatan lagi
jangan jadikan ini Ramadhan terakhir
belum cukup ibadahku
Jika ini yang terakhir
beri berkah pintu maafMu
untuk ibadahku yang sangat sederhana
dan cerita hidup yang kelam
Ya Rabbi, beri aku waktu
merajut hati di jalanMu
mengais hari yang telah disia-siakan
kudamba cahaya penerang gelapku
tolong aku Ya rabbi…
Padang, Juli 2011
Rindu
Angin masih bertiup
membawa setiap kecemasan
ada ranting yang luruh menerpa wajah wajah
kering dibawahnya
hendak kemanakah perahu
ini berlayar jika ombak begini kencang
disudut manakah aku hendak berlindung
jika perahu ini tak lagi bertepi
ada butiran luka ketika rindu jauh memanggil
membasuh setiap kepenatan
acapkali kekerasan menikam
melumatkan batas kesabaran
tidakkah itu cukup tidakkah itu menyesakkan
awan tersandar di kaki langit
gemuruh rindumu terus memanggil
tangis pilu sederet saudaraku
yang terpasung di tanah kelahiran
sejarah manis berlaku beku
tinggal sepotong awan
peluh menetes di dahinya
meratapi angkara tak kunjung usai
bersandar pada cinta yang tercampakkan
ketika malam bertaut
dalam lintasan keabadian alam
ku ingin rinduku sampai
menguak gelap mencurahkan sinar
membawa perahuku kembali berlayar
di tengah jagad tak bertepi
Padang, Mei 2011
Puisi-Puisi Nadjib Kartapati Z
http://www.suarakarya-online.com/
KANGEN I
di dalam kelopak kembang randu tubuhku angslup dalam tubuhmu
napasku setubuhi darah dan darah ku senggamai hastari jingga
lepaskan gairah menahun yang mengendap
di sela sela kerisik rumpun bambu
seekor kupu kupu hinggap di sini:di pusat birahi
kepakkan sayapnya (lalu kangen pun tertebah sepuluh pisau) mesra!
Jakarta, 2009
KANGEN II
berjajar hari-hari panjang dan jauh kakiku
menari-nari hingga ujung paling rapuh
kuhirupi harum cintamu di kerontang pedestrian
zaman senyum yang kurindu tak tersua betapa kangenku!
Jakarta, 2010
KANGEN III
pertemuan dua rindu yang kau usung di tahun-tahun lalu
kini jadi ujung bayonet menikam dada
dan menyudet beku sepiku yang sendu
membumpat drainese biru cintaku adakah gelepar ini menyapamu?
Jakarta, 2010
AKU BERSERU
ada cinta teronggok bisu
di pojok beku memorimu
ia bernama kenangan
ada hasrat bertengger biru
di ujung deru anganmu
ia bernama harapan
ada sayat kepedihan
ketika kau berpaling
ke belakang ada ngilu kecemasan
ketika kau tatap jauh ke depan
izinkan aku berseru:
hela semuanya tancapkan
di episentrum kinimu
Jakarta, 2011
BIRAHI SENJA
awalnya kau tak terlalu yakin pada rayu
yang terucap kelu sekerat cinta mengajakmu kembara
kendarai khayal dan birahi senja tujuh
ciuman melabuh-labuh luruh ke dalam seribu lenguh
tubuhnya lapar akan tubuhmu tenggelam ludes dalam pelukmu
lalu ia berkata:sayangku, ini ungkapan cintaku
dan jangan kau sebut nafsu dan wadag lelakinya
kau asah jua hingga rebah ke dasar dukana
akhirnya kau tahu juga rayu dapat sewaktu-waktu terucap
untuk layla atau sri ayupersis saat kau kenang
cintanya di ranjang suami yang tak lagi berjiwa bara
yang kau simpan bernama rindu membakarmu
menjadi luka nanah
dan cinta hanyalah
kepingan duka terserak bagai koral di proyek tua
Jakarta, 2008
KANGEN I
di dalam kelopak kembang randu tubuhku angslup dalam tubuhmu
napasku setubuhi darah dan darah ku senggamai hastari jingga
lepaskan gairah menahun yang mengendap
di sela sela kerisik rumpun bambu
seekor kupu kupu hinggap di sini:di pusat birahi
kepakkan sayapnya (lalu kangen pun tertebah sepuluh pisau) mesra!
Jakarta, 2009
KANGEN II
berjajar hari-hari panjang dan jauh kakiku
menari-nari hingga ujung paling rapuh
kuhirupi harum cintamu di kerontang pedestrian
zaman senyum yang kurindu tak tersua betapa kangenku!
Jakarta, 2010
KANGEN III
pertemuan dua rindu yang kau usung di tahun-tahun lalu
kini jadi ujung bayonet menikam dada
dan menyudet beku sepiku yang sendu
membumpat drainese biru cintaku adakah gelepar ini menyapamu?
Jakarta, 2010
AKU BERSERU
ada cinta teronggok bisu
di pojok beku memorimu
ia bernama kenangan
ada hasrat bertengger biru
di ujung deru anganmu
ia bernama harapan
ada sayat kepedihan
ketika kau berpaling
ke belakang ada ngilu kecemasan
ketika kau tatap jauh ke depan
izinkan aku berseru:
hela semuanya tancapkan
di episentrum kinimu
Jakarta, 2011
BIRAHI SENJA
awalnya kau tak terlalu yakin pada rayu
yang terucap kelu sekerat cinta mengajakmu kembara
kendarai khayal dan birahi senja tujuh
ciuman melabuh-labuh luruh ke dalam seribu lenguh
tubuhnya lapar akan tubuhmu tenggelam ludes dalam pelukmu
lalu ia berkata:sayangku, ini ungkapan cintaku
dan jangan kau sebut nafsu dan wadag lelakinya
kau asah jua hingga rebah ke dasar dukana
akhirnya kau tahu juga rayu dapat sewaktu-waktu terucap
untuk layla atau sri ayupersis saat kau kenang
cintanya di ranjang suami yang tak lagi berjiwa bara
yang kau simpan bernama rindu membakarmu
menjadi luka nanah
dan cinta hanyalah
kepingan duka terserak bagai koral di proyek tua
Jakarta, 2008
Puisi-Puisi Indiar Manggara
ROMANTIKA
I
aku telah bangunkan kau
gerbang-gerbang luka
yang kita mulai dengan romantika tua
seperti persetubuhan senja
memberi jejak-jejak
pada malam,
mungkin siang
pada setiap angka kalender kita
yang semakin tua
kau kirimkan namamu
yang kau kalungkan di leherku
seperti celurit
kau perkosai kata-kataku
dengan mimpi
basah – air mata - darah
II
ruhku menangis
seperti senja yang rapuh
aku acuhkan malam yang angkuh
menari di atas kafan hitam
dalam gelap
kurangkul malaikat-malaikat maut dengan air mata
ku selimutkan bunga duka di atas sejarah
III
samadimu kini telah sudah
tapi masih kau bakar
dupa kemenyan birahi
di atas ruang kosong mimpiku
kau cabut pusaka yang lalu
kau apitkan di sela pahamu
bersama waktu yang terbunuh puisi
masih terbakar
dupa kemenyan birahi
di atas ruang kosong penuh luka
26 november ‘05
SEBUAH MUSIM AKU RINDU
hadirkan aku dalam luka-lukamu
serupa horizon waktu
yang takkan kau tampaki raut riwayatnya;
habis terkubur daun-daun rapuh
sebab tlah kau teguk bingkai sejarahku
dalam selimut musim dingin
yang kau rentangkan di pohon rindu
seperti gerimis yang lama tak kukecup
aku tadahi keringatmu sore itu
buat aku buka lagi lembaran-lembaran
peluh ngiluku dalam album kenangan tua
kau tuangkan tanda tanya
aku minum gelisahku
29 november ‘05
HANYA LINTAS
aku temukan nafasmu
bergulat seiring aroma vodka
terbakar birahi
hingga purnama mencumbui kita
di pesisir pulau biru
malam ngintip …
kita saling pecahkan teka-teki
antara lembah yang kuarungi
dengan peluh ngilu
merajam pusaran langsat tertutup
bayangan kelam berhala yang kau puja
lalu kita temukan puncak di ujung cakrawala
yang seperti baru saja kita singggahi
kita bercumbu memecah malam
seperti kita saling meneriakan puisi-puisi kita
yang tak pernah mati teredam malam
ah…. malam masih saja ngintip
kita terus berjuang melawan malam
saling memaki
bukan pada malam
bukan tetangga
bukan pak RT
ah… malam masih saja ngintip
kita terus berjuang melawan malam
tapi tak kutemukan cinta dalam senggama kita
masih kucari
berjuang melawan malam
oh… ternyata
ternyata oh…
cinta masih nyangkut
di tali kutangmu
1 desember ‘05
Dijumput dari: http://indiarmanggara.blogspot.com/
I
aku telah bangunkan kau
gerbang-gerbang luka
yang kita mulai dengan romantika tua
seperti persetubuhan senja
memberi jejak-jejak
pada malam,
mungkin siang
pada setiap angka kalender kita
yang semakin tua
kau kirimkan namamu
yang kau kalungkan di leherku
seperti celurit
kau perkosai kata-kataku
dengan mimpi
basah – air mata - darah
II
ruhku menangis
seperti senja yang rapuh
aku acuhkan malam yang angkuh
menari di atas kafan hitam
dalam gelap
kurangkul malaikat-malaikat maut dengan air mata
ku selimutkan bunga duka di atas sejarah
III
samadimu kini telah sudah
tapi masih kau bakar
dupa kemenyan birahi
di atas ruang kosong mimpiku
kau cabut pusaka yang lalu
kau apitkan di sela pahamu
bersama waktu yang terbunuh puisi
masih terbakar
dupa kemenyan birahi
di atas ruang kosong penuh luka
26 november ‘05
SEBUAH MUSIM AKU RINDU
hadirkan aku dalam luka-lukamu
serupa horizon waktu
yang takkan kau tampaki raut riwayatnya;
habis terkubur daun-daun rapuh
sebab tlah kau teguk bingkai sejarahku
dalam selimut musim dingin
yang kau rentangkan di pohon rindu
seperti gerimis yang lama tak kukecup
aku tadahi keringatmu sore itu
buat aku buka lagi lembaran-lembaran
peluh ngiluku dalam album kenangan tua
kau tuangkan tanda tanya
aku minum gelisahku
29 november ‘05
HANYA LINTAS
aku temukan nafasmu
bergulat seiring aroma vodka
terbakar birahi
hingga purnama mencumbui kita
di pesisir pulau biru
malam ngintip …
kita saling pecahkan teka-teki
antara lembah yang kuarungi
dengan peluh ngilu
merajam pusaran langsat tertutup
bayangan kelam berhala yang kau puja
lalu kita temukan puncak di ujung cakrawala
yang seperti baru saja kita singggahi
kita bercumbu memecah malam
seperti kita saling meneriakan puisi-puisi kita
yang tak pernah mati teredam malam
ah…. malam masih saja ngintip
kita terus berjuang melawan malam
saling memaki
bukan pada malam
bukan tetangga
bukan pak RT
ah… malam masih saja ngintip
kita terus berjuang melawan malam
tapi tak kutemukan cinta dalam senggama kita
masih kucari
berjuang melawan malam
oh… ternyata
ternyata oh…
cinta masih nyangkut
di tali kutangmu
1 desember ‘05
Dijumput dari: http://indiarmanggara.blogspot.com/
Kamis, 13 Oktober 2011
Puisi-Puisi Mas Marco Kartodikromo
http://sastra-indonesia.com/
Sama Rasa dan Sama Rata
Sair inillah dari pendjara,
Waktoe kami baroe dihoekoemnja,
Di-Weltevreden tempat tinggalnja,
Doea belas boelan poenja lama,
Ini boekan sair Indie Weerbaar,
Sair mana jang bisa mengantar,
Dalam boei jang tidak sebentar,
Membikin hatinja orang gentar,
Kami bersair boekan krontjongan,
Seperti si orang pelantjongan,
Mondar mandir kebingoengan,
Jaitoe pemoeda Semarangan,
Doeloe kita soeka krontjongan,
Tetapi sekarang soeka terbangan,
Dalam S.I. Semarang jang aman,
Bergerak keras ebeng-ebengan.
Ini sair nama; “Sama rasa”
“Dan Sama rata” itoelah njata,
Tapi boekan sair bangsanja,
Jang menghela kami dipendjara.
Didalam pendjara tidak enak,
Tertjere dengan istri dan anak,
Koempoel maling dan perampok banjak,
Seperti bangsanja si pengampak.
Tapi dia djoega bangsa orang,
Seperti manoesia jang memegang,
Koeasa dan harta benda orang,
Dengan berlakoe jang tidak terang.
Ada perampoek aloer dan kasar,
Djoega perampok ketjil dan besar,
Bertopeng beschaving dan terpeladjar,
Dengan berlakoe jang tidak terang.
Dia itoelah sama perampoeknja,
Minta orang dengan lakoe paksa,
Tidak mengingat kebangsaannja,
Bangsa manoesia didoenia.
Hal ini baik kami koentjikan,
Lain hal jang kami bitjarakan,
Perkara jang mesti difahamkan,
Dan akhirnja kita melakoekan.
Banjak orang jang mengetahoei,
Doea kali kami kena doeri,
Artikel wetboek jang menakoeti,
Djoega panasnja seperti api.
Kakik kami soeda sama loekak,
Kena doeri jang koeintjak-intjak,
Djoega palang-palang jang koedoepak,
Soedah ada sedikit terboekak.
Haraplah soedarakoe di tendang,
Semoea barang jang malang-malang,
Soepaja kita berdjalan senang,
Ketempat kita jang amat terang.
Boeat sebentar kami berhenti,
Didjalan perempat tempat kami,
Merasakan ketjapaian diri,
Sambil melihati djalan ini.
Djangan takoet kami poetoes hasa,
Merasakan kotoran doenia,
Seperti anak jang beloem oesia,
Dan beloem bangoen dari tidoernja.
Kami sampe didjalan perempat,
Kami berdjalan terlaloe tjepat,
Temen kita jang berdjalan lambat,
Ketinggal misih djaoeh amat.
Kami berniat berdjalan teroes,
Tetapi kami berasa aoes,
Adapoen penharapan ta’ poetoes,
Kaloe perloe boleh sampe mampoes.
Djalan jang koetoedjoe amat panas,
Banjak doeri poen anginnja keras,
Tali-tali mesti kami tatas,
Palang-palang djoega kami papas,
Soepaja djalannja SAMA RATA,
Jang berdjalan poen SAMA me RASA,
Enak dan senang bersama-sama,
Ja’toe: “Sama rasa, sama rata.”
Sinar Djawa Rebo 10 April 1918 no. 81
Badjak Laoet
“Ha! ini tanah bagoes sekali,
Soedah tentoelah kita diami,
Djalan mana jang kita laloei,
Boeat merampas tanah ini!”
Begitoe berkata badjak laoet,
Melihat tanah toemboeh djoewawoet,
Jang bisa membikin kenjang peroet,
Dan bisa djoega membikin gendoet.
“Baik kita orang mendekati,
Poelo jang bagoes tertampak asri,
Berkenalan dengah orang boemi,
Dia oranglah jang mempoenjai”
Begitoelah kata kepalanja,
Badjak laoet bangsa jang doeraka,
Hendak mendekati ditepinja,
tanah jang penoeh harta doenia.
Badjak laoet poerak poerak dagang,
Barang makanan ditoekar oeang,
si Badjak Laoet merasa senang,
Dan timboel tabiat binatang.
Dia orang bikin hiroe hara,
Dia melakoekan dengan paksa,
Bertabiat seperti raksasa,
Pada orang jang tidak berdosa.
Toean tanah selaloe melawan
Dengan gagah dan keberanian,
Banjak badjak jang ditawan,
Diikat tali seperti chewan
Minta dame kepalanja badjak,
Dengan berdjandji jang enak enak,
Asal temannja tidak diroesak,
Ditendang dipoekoel atau didoepak.
Toean tanah djoega menoeroeti
Permintaannja dengan berdjandji,
Tiada boleh berlakoe kedji,
kepada semoea orang boemi.
Badjak, laoet poen soedah menoeroet
Berkata “baik” dan mangoet manggoet,
Bersanggoep tidak membikin kaloet,
Semoea prentah akan menoeroet.
Toean tanah poen soedah mendengar,
Dia poenja djandji jang keloear,
Dia diberi makan sekedar,
Oleh orang boemi jang ta’ besar,
Kamoe boleh berdiam disini,
“Kamoe menjadi sahabat kami”
Kata kepalanja orang boemi,
Jang dermawan lagi moerah hati,
Kepala disitoe menjiarkan,
Kepada orang jang di bawah kan,
Orang asing soedah diidinkan,
Bertempat tinggal didesa Bantan.
Semoea orang boemipoetera,
Menganggapnja seperti saudara,
Boleh berlakoe dengan merdika,
Tapi djangan membikin doeraka
“Disini banjak orang sabrang,
Mareka itoe sama berdagang,
Dia hidoep dengan kita senang,
Hidoep roekoen tidak dengan perang.”
Begitoe berkata toean tanah,
Pada badjak laoet jang menjerah,
Karena dia orang soedah lemah,
Dia poen soedah mengakoe kalah.
Badjak laoet berdaja oepaja,
Bersepakatan dengan temannja,
Soepaja Djafji kepoenjaannja,
Itoe tanah jang bagoes dan kaja.
Badjak laoet mengirimkan soerat,
Kepada temannja jang mof’akat,
Jang misih ada di tanah melarat,
Minta sendjata dan obat obat!!
Pekakas perang soedah sedia,
Goena merampas tanah jang kaja,
Dan jang poenja dibikin binasa,
Soepaja tanah djadi miliknja.
Banjak orang jang sama diboenoeh,
Oleh si badjak jang djadi tegoeh,
Ditanah itoe mendjadi roesoeh,
si badjak laoet mendjadi moesoeh.
Orang boemi banjak jang melawan
Menjerang keras mati matian,
Soedah tentoe banjak keroesakan,
Banjak orang jang sama di tawan,
Kepala orang boemi jang takoet,
Lebih senang marika menoeroet,
Kehendaknja badjak badjak laoet.
Maskipoen temannja kalang kaboet.
Banjak orang boemi jang ta’ soekak
Toeroet kepalanja jang mengadjak,
Berdamai dengan si badjak-badjak,
Dia ta’ soekak mendjadi boedoek.
“Lebih baik kita orang mati,
Dari pada kita menoeroeti,
Kehendak badjak jang amat kedji,”
Begitoe kata orang jang berani.
Si kepalanja mentjari akal,
Soepaja temannja ta’ menjangkal,
Menoeroet kehendaknja jang nakal,
Boeat menoeroet badjak jang brutaal.
Kepalanja orang boemi,
Tidak memikir dibelakang hari
Tjoema memikir diri sendiri,
Hidoep besar dan berasa moekti.
Marika itoe kena diboedjoek
Oleh temannja jang soedah maboek,
Pangkat besar, pajoeng koening, koeloek,
Itoe barang tanja dia takloek.
Dia takloek pada badjak laoet,
En toch mengakoe orang jang ketoea,
Merentah bangsanja jang menoeroet,
Sabetoelnja dia si pengetjoet.
Si badjak laoet tinggal tertawa,
Karena dia bisa memerentahnja,
Orang boemi jang djadi kepala,
Djoega di pandang seperti Radja,
Si badjak menanam pengaroehnja,
Pada orang jang di bawahkannja,
Agar dia gampang dipidjatnja,
Dan merampas harta bendanja.
Banjak orang tidak mengerti,
Tipoe moeslihat jang mengenai,
Kepada semoea orang boemi,
Sebab ta’ berpikir dalam hati.
Dari itoe orang-orang boemi,
Hidoep melarat setengah mati,
Dia bekerdja seperti sapi,
Tjoema mendapat oeang setali.
Si badjak laoet mendjadi gemoek,
Oeangnja banjak bertoempoek,
Hasilnja banjak tinggal menggaroek,
Saban hari moesti main maboek.
Apa kabar orang boemi sitoe?
Banjak jang mengoeli mikoel batoe,
Badannja roesak hatinja piloe,
Pikiran bingoeng mendjadi denggoe.
Saban hari bertambah tambah,
Bangsa badjak jang datang mitenah,
Ditanah itoe jang amat moerah,
Mentjari makan ta’ dengan soesah.
Djangan tanja lagi orang boemi,
Bertambah soesah mentjari nasi,
Sebab tanahnja jang keloear padi,
Banjak jang sama di djoeali.
Oentoeng sekali si badjak laoet,
Pinter menipoe bisa memikoel,
Soepaja dia bisa menoeroet,
Perentahnja jang tiada patoet.
Badjak laoet semangkin koat,
Pendjaga’annja poen soedah rapat,
Bertambah pinter pat pat goelipat,
Sampai marika itoe bersambat.
Dua sambat sambat minta makan,
Kerna dia soedah kelaperan,
Dan dihinakan seperti chewan,
Oleh bangsa orang pemaboekan.
Badjak laoet ta’ memperdoelikan,
Sambatnja orang jang kelaparan,
Si badjak selaloe meneroeskan,
Mengisap marika sampai pingsan,
Maka hal ini haroes dipikir,
Akan goenanja merobah takdir,
Soepaja kita bisa mengoesir,
Manoesia bangsa orang…..
Semarang, 23-1.2-18
Sinar Hindia 23 Desember 1918. No.255
Dijumput dari: http://manuskripdody.blogspot.com/2011/03/puisi-puisi-mas-marco-kartodikromo.html
Sama Rasa dan Sama Rata
Sair inillah dari pendjara,
Waktoe kami baroe dihoekoemnja,
Di-Weltevreden tempat tinggalnja,
Doea belas boelan poenja lama,
Ini boekan sair Indie Weerbaar,
Sair mana jang bisa mengantar,
Dalam boei jang tidak sebentar,
Membikin hatinja orang gentar,
Kami bersair boekan krontjongan,
Seperti si orang pelantjongan,
Mondar mandir kebingoengan,
Jaitoe pemoeda Semarangan,
Doeloe kita soeka krontjongan,
Tetapi sekarang soeka terbangan,
Dalam S.I. Semarang jang aman,
Bergerak keras ebeng-ebengan.
Ini sair nama; “Sama rasa”
“Dan Sama rata” itoelah njata,
Tapi boekan sair bangsanja,
Jang menghela kami dipendjara.
Didalam pendjara tidak enak,
Tertjere dengan istri dan anak,
Koempoel maling dan perampok banjak,
Seperti bangsanja si pengampak.
Tapi dia djoega bangsa orang,
Seperti manoesia jang memegang,
Koeasa dan harta benda orang,
Dengan berlakoe jang tidak terang.
Ada perampoek aloer dan kasar,
Djoega perampok ketjil dan besar,
Bertopeng beschaving dan terpeladjar,
Dengan berlakoe jang tidak terang.
Dia itoelah sama perampoeknja,
Minta orang dengan lakoe paksa,
Tidak mengingat kebangsaannja,
Bangsa manoesia didoenia.
Hal ini baik kami koentjikan,
Lain hal jang kami bitjarakan,
Perkara jang mesti difahamkan,
Dan akhirnja kita melakoekan.
Banjak orang jang mengetahoei,
Doea kali kami kena doeri,
Artikel wetboek jang menakoeti,
Djoega panasnja seperti api.
Kakik kami soeda sama loekak,
Kena doeri jang koeintjak-intjak,
Djoega palang-palang jang koedoepak,
Soedah ada sedikit terboekak.
Haraplah soedarakoe di tendang,
Semoea barang jang malang-malang,
Soepaja kita berdjalan senang,
Ketempat kita jang amat terang.
Boeat sebentar kami berhenti,
Didjalan perempat tempat kami,
Merasakan ketjapaian diri,
Sambil melihati djalan ini.
Djangan takoet kami poetoes hasa,
Merasakan kotoran doenia,
Seperti anak jang beloem oesia,
Dan beloem bangoen dari tidoernja.
Kami sampe didjalan perempat,
Kami berdjalan terlaloe tjepat,
Temen kita jang berdjalan lambat,
Ketinggal misih djaoeh amat.
Kami berniat berdjalan teroes,
Tetapi kami berasa aoes,
Adapoen penharapan ta’ poetoes,
Kaloe perloe boleh sampe mampoes.
Djalan jang koetoedjoe amat panas,
Banjak doeri poen anginnja keras,
Tali-tali mesti kami tatas,
Palang-palang djoega kami papas,
Soepaja djalannja SAMA RATA,
Jang berdjalan poen SAMA me RASA,
Enak dan senang bersama-sama,
Ja’toe: “Sama rasa, sama rata.”
Sinar Djawa Rebo 10 April 1918 no. 81
Badjak Laoet
“Ha! ini tanah bagoes sekali,
Soedah tentoelah kita diami,
Djalan mana jang kita laloei,
Boeat merampas tanah ini!”
Begitoe berkata badjak laoet,
Melihat tanah toemboeh djoewawoet,
Jang bisa membikin kenjang peroet,
Dan bisa djoega membikin gendoet.
“Baik kita orang mendekati,
Poelo jang bagoes tertampak asri,
Berkenalan dengah orang boemi,
Dia oranglah jang mempoenjai”
Begitoelah kata kepalanja,
Badjak laoet bangsa jang doeraka,
Hendak mendekati ditepinja,
tanah jang penoeh harta doenia.
Badjak laoet poerak poerak dagang,
Barang makanan ditoekar oeang,
si Badjak Laoet merasa senang,
Dan timboel tabiat binatang.
Dia orang bikin hiroe hara,
Dia melakoekan dengan paksa,
Bertabiat seperti raksasa,
Pada orang jang tidak berdosa.
Toean tanah selaloe melawan
Dengan gagah dan keberanian,
Banjak badjak jang ditawan,
Diikat tali seperti chewan
Minta dame kepalanja badjak,
Dengan berdjandji jang enak enak,
Asal temannja tidak diroesak,
Ditendang dipoekoel atau didoepak.
Toean tanah djoega menoeroeti
Permintaannja dengan berdjandji,
Tiada boleh berlakoe kedji,
kepada semoea orang boemi.
Badjak, laoet poen soedah menoeroet
Berkata “baik” dan mangoet manggoet,
Bersanggoep tidak membikin kaloet,
Semoea prentah akan menoeroet.
Toean tanah poen soedah mendengar,
Dia poenja djandji jang keloear,
Dia diberi makan sekedar,
Oleh orang boemi jang ta’ besar,
Kamoe boleh berdiam disini,
“Kamoe menjadi sahabat kami”
Kata kepalanja orang boemi,
Jang dermawan lagi moerah hati,
Kepala disitoe menjiarkan,
Kepada orang jang di bawah kan,
Orang asing soedah diidinkan,
Bertempat tinggal didesa Bantan.
Semoea orang boemipoetera,
Menganggapnja seperti saudara,
Boleh berlakoe dengan merdika,
Tapi djangan membikin doeraka
“Disini banjak orang sabrang,
Mareka itoe sama berdagang,
Dia hidoep dengan kita senang,
Hidoep roekoen tidak dengan perang.”
Begitoe berkata toean tanah,
Pada badjak laoet jang menjerah,
Karena dia orang soedah lemah,
Dia poen soedah mengakoe kalah.
Badjak laoet berdaja oepaja,
Bersepakatan dengan temannja,
Soepaja Djafji kepoenjaannja,
Itoe tanah jang bagoes dan kaja.
Badjak laoet mengirimkan soerat,
Kepada temannja jang mof’akat,
Jang misih ada di tanah melarat,
Minta sendjata dan obat obat!!
Pekakas perang soedah sedia,
Goena merampas tanah jang kaja,
Dan jang poenja dibikin binasa,
Soepaja tanah djadi miliknja.
Banjak orang jang sama diboenoeh,
Oleh si badjak jang djadi tegoeh,
Ditanah itoe mendjadi roesoeh,
si badjak laoet mendjadi moesoeh.
Orang boemi banjak jang melawan
Menjerang keras mati matian,
Soedah tentoe banjak keroesakan,
Banjak orang jang sama di tawan,
Kepala orang boemi jang takoet,
Lebih senang marika menoeroet,
Kehendaknja badjak badjak laoet.
Maskipoen temannja kalang kaboet.
Banjak orang boemi jang ta’ soekak
Toeroet kepalanja jang mengadjak,
Berdamai dengan si badjak-badjak,
Dia ta’ soekak mendjadi boedoek.
“Lebih baik kita orang mati,
Dari pada kita menoeroeti,
Kehendak badjak jang amat kedji,”
Begitoe kata orang jang berani.
Si kepalanja mentjari akal,
Soepaja temannja ta’ menjangkal,
Menoeroet kehendaknja jang nakal,
Boeat menoeroet badjak jang brutaal.
Kepalanja orang boemi,
Tidak memikir dibelakang hari
Tjoema memikir diri sendiri,
Hidoep besar dan berasa moekti.
Marika itoe kena diboedjoek
Oleh temannja jang soedah maboek,
Pangkat besar, pajoeng koening, koeloek,
Itoe barang tanja dia takloek.
Dia takloek pada badjak laoet,
En toch mengakoe orang jang ketoea,
Merentah bangsanja jang menoeroet,
Sabetoelnja dia si pengetjoet.
Si badjak laoet tinggal tertawa,
Karena dia bisa memerentahnja,
Orang boemi jang djadi kepala,
Djoega di pandang seperti Radja,
Si badjak menanam pengaroehnja,
Pada orang jang di bawahkannja,
Agar dia gampang dipidjatnja,
Dan merampas harta bendanja.
Banjak orang tidak mengerti,
Tipoe moeslihat jang mengenai,
Kepada semoea orang boemi,
Sebab ta’ berpikir dalam hati.
Dari itoe orang-orang boemi,
Hidoep melarat setengah mati,
Dia bekerdja seperti sapi,
Tjoema mendapat oeang setali.
Si badjak laoet mendjadi gemoek,
Oeangnja banjak bertoempoek,
Hasilnja banjak tinggal menggaroek,
Saban hari moesti main maboek.
Apa kabar orang boemi sitoe?
Banjak jang mengoeli mikoel batoe,
Badannja roesak hatinja piloe,
Pikiran bingoeng mendjadi denggoe.
Saban hari bertambah tambah,
Bangsa badjak jang datang mitenah,
Ditanah itoe jang amat moerah,
Mentjari makan ta’ dengan soesah.
Djangan tanja lagi orang boemi,
Bertambah soesah mentjari nasi,
Sebab tanahnja jang keloear padi,
Banjak jang sama di djoeali.
Oentoeng sekali si badjak laoet,
Pinter menipoe bisa memikoel,
Soepaja dia bisa menoeroet,
Perentahnja jang tiada patoet.
Badjak laoet semangkin koat,
Pendjaga’annja poen soedah rapat,
Bertambah pinter pat pat goelipat,
Sampai marika itoe bersambat.
Dua sambat sambat minta makan,
Kerna dia soedah kelaperan,
Dan dihinakan seperti chewan,
Oleh bangsa orang pemaboekan.
Badjak laoet ta’ memperdoelikan,
Sambatnja orang jang kelaparan,
Si badjak selaloe meneroeskan,
Mengisap marika sampai pingsan,
Maka hal ini haroes dipikir,
Akan goenanja merobah takdir,
Soepaja kita bisa mengoesir,
Manoesia bangsa orang…..
Semarang, 23-1.2-18
Sinar Hindia 23 Desember 1918. No.255
Dijumput dari: http://manuskripdody.blogspot.com/2011/03/puisi-puisi-mas-marco-kartodikromo.html
Puisi-Puisi Ribut Wijoto
http://manuskripdody.blogspot.com/
SENGAJA AKU MENCINTAIMU
sengaja aku mencintaimu
lalu biarkan kukirim surat
seperti suratku yang tiada henti
mengalir ke tubuhmu
aku tak pernah menanti jawab
sebab aku belum selesai mengeja
bait bait sajak yang kautulis
tak juga sempat kutolak
sebab cinta adalah kesendirian
rindu aku jadi kekasihmu
sebab dari ada kuingin tiada
1996
DI PUCUK PUCUK
engkaukah itu
bening bergelantungan
di pucuk pucuk daun
dan akukah tuhan
tiap kali menyebut
namamu
1996
KABAR DARI PENGASINGAN
di paruh perjalanan
aku bertanya padamu
engkau kalijaga
sejarah merubah perahu
mencari cermin tanah
namun tanpa upacara
burung burung ketakutan
1996
Dijumput dari: http://manuskripdody.blogspot.com/2010/10/puisi-puisi-ribut-wijoto.html
SENGAJA AKU MENCINTAIMU
sengaja aku mencintaimu
lalu biarkan kukirim surat
seperti suratku yang tiada henti
mengalir ke tubuhmu
aku tak pernah menanti jawab
sebab aku belum selesai mengeja
bait bait sajak yang kautulis
tak juga sempat kutolak
sebab cinta adalah kesendirian
rindu aku jadi kekasihmu
sebab dari ada kuingin tiada
1996
DI PUCUK PUCUK
engkaukah itu
bening bergelantungan
di pucuk pucuk daun
dan akukah tuhan
tiap kali menyebut
namamu
1996
KABAR DARI PENGASINGAN
di paruh perjalanan
aku bertanya padamu
engkau kalijaga
sejarah merubah perahu
mencari cermin tanah
namun tanpa upacara
burung burung ketakutan
1996
Dijumput dari: http://manuskripdody.blogspot.com/2010/10/puisi-puisi-ribut-wijoto.html
Puisi-Puisi Dody Kristianto
http://sastra-indonesia.com/
Berbicara Tentang Kotamu yang Terlelap
berbicara tentang kotamu yang terlelap aku bangkitkan mayat mayat yang berbaris di lenganmu kesunyian di alismu perlahan bangkit dengan sungai yang lahir melalui wujud menara tapi bulan tumbuuh di rambutmu dan perlahan kawanan pemabuk menyentuhku mencekikku lewat keabadian goa yang terkutuk ribuan cahaya segera aku mati tanpa jasad dan segala kenanganku membentuk planet hijau di otakmu tapi begitulah, imajiku mengagungkan pelacur dan kaum surealis yang beku memaku birahiku persis kutunggui kupu kupu retak di alismu rupanya kesedihanku menggugurkan dedaun dan di ketinggian bulan retak, aku mencungkil matamu dan sayap laba laba yang kudengungkan berubah seseram jenazah seperti mimpiku yang lekas berlalu, begitu pula elang elang yang berdzikir di mulutmu aku kekalkan hari seperti kelak mayatku membiru memuja gairahmu dengan mulutku yang busuk
2007
Kuarungkan 1000 Surealita
jalan jalan angkasa telah mengaburkan
1000 langkahku. seperti warna sajak dengan kehitaman pekat
kesunyian yang kuterbangkan menjelma ikan dengan insang terbuka
tapi kota kesepianku sudah kadung terluka dan langkahku lebih terlunta dari para pemabuk
aku mendekam
dengan sayapku yang tersampir di bulan
serupa mayat pelacur dengan wajah ngeri
peri peri kecil di hatiku
menjadi ketakutan
katakanlah tentang cinta yang lebih sakit
ketimbang kemenawanan kota
dengan sejuta cahayanya
aku gagal menerbangkan mimpi surealita
setelah jauh kau tinggal dalam darahku
jutaan serigala menggasang
dan ekor ku mengayun alun berganti rupa
dengan laba laba yang kau ceritakan
pada saat kau hidup kan aroma parade hitam
sajak sajakku terluka dan aku
mengawang awang
seperti kegemaranmu menyalib burung
di musim hujan
2007
Berbicara Tentang Kotamu yang Terlelap
berbicara tentang kotamu yang terlelap aku bangkitkan mayat mayat yang berbaris di lenganmu kesunyian di alismu perlahan bangkit dengan sungai yang lahir melalui wujud menara tapi bulan tumbuuh di rambutmu dan perlahan kawanan pemabuk menyentuhku mencekikku lewat keabadian goa yang terkutuk ribuan cahaya segera aku mati tanpa jasad dan segala kenanganku membentuk planet hijau di otakmu tapi begitulah, imajiku mengagungkan pelacur dan kaum surealis yang beku memaku birahiku persis kutunggui kupu kupu retak di alismu rupanya kesedihanku menggugurkan dedaun dan di ketinggian bulan retak, aku mencungkil matamu dan sayap laba laba yang kudengungkan berubah seseram jenazah seperti mimpiku yang lekas berlalu, begitu pula elang elang yang berdzikir di mulutmu aku kekalkan hari seperti kelak mayatku membiru memuja gairahmu dengan mulutku yang busuk
2007
Kuarungkan 1000 Surealita
jalan jalan angkasa telah mengaburkan
1000 langkahku. seperti warna sajak dengan kehitaman pekat
kesunyian yang kuterbangkan menjelma ikan dengan insang terbuka
tapi kota kesepianku sudah kadung terluka dan langkahku lebih terlunta dari para pemabuk
aku mendekam
dengan sayapku yang tersampir di bulan
serupa mayat pelacur dengan wajah ngeri
peri peri kecil di hatiku
menjadi ketakutan
katakanlah tentang cinta yang lebih sakit
ketimbang kemenawanan kota
dengan sejuta cahayanya
aku gagal menerbangkan mimpi surealita
setelah jauh kau tinggal dalam darahku
jutaan serigala menggasang
dan ekor ku mengayun alun berganti rupa
dengan laba laba yang kau ceritakan
pada saat kau hidup kan aroma parade hitam
sajak sajakku terluka dan aku
mengawang awang
seperti kegemaranmu menyalib burung
di musim hujan
2007
Puisi-Puisi Syifa Aulia
http://sastra-indonesia.com/
Sisa Purnama
Bulan telah sejengkal
di kepala
bintang-bintang telah
ada di genggaman
cuma yang kurasakan
temaram begitu mendalam
Pada cermin kupalingkan
muka
namun rengkah kaca
pecah
bersiap membidik
nyawa.
14-9-2011
Yang Tertunda
Sekali lagi
rindu menunda kedatangannya
meski jalan begitu di hapal
sesak kerikil dan kesiur angin
menghantam kecamuk
kekasih
dalam ruang perjanjian
yang sunyi
Ini kali bukan waktu
bagai pantai dan buih
hanya ombak menepi
dan bulan pun urung
tampak dimatanya.
24-9-2011
Layang Jingga (1)
Seribu putaran matahari telah kita lewati
kekasihku, dan satu purnama
lagi musti kita lalui untuk sampai pada
tempat yang kita sasar.
Ini kali kesekian saat suci bulan
menaungi dunia, kita masih saja
merapal jarak meniti jejak.
Gelombang telah
membesarkanmu, ombak
setia membelaimu
dalam rengkuhan luas
samudera
kau menyulam masa depan
yang kita impikan.
Kalau laut mendebur akulah yang paling khawatir
bila angin berkesiur akulah
yang paling menggigil,
biarpun tak lelah kau
menenangkan aku dengan
caramu
agar percaya pada kekuatan doa
dan kehendak-Nya, tapi hati
tak bisa dibohongi sebab
mengkhawatirkanmu
sama pentingnya dengan
makan tiga kali sehari.
Kau memang tak pandai
menulis seperti mereka,
juga bukan lelaki puisi yang
merayuku ditiap baitnya
tapi kau telah melukis sempurna
di jiwaku, memahat nama begitu
indah di hatiku.
Kau telah mengajariku cara paling
kasih perihal hati
untuk berhati-hati dalam menjaga hati,
untuk tidak bermain hati
baik secara diam-diam
maupun terus terang.
Kau mengajariku arti tanggung jawab
atas kepercayaan yang kita saling
embankan dipundak jiwa masing-masing,
kau mengajariku makna setia
bukan dengan kata-kata
tapi lakumu yang selalu madu.
Ah, betapa padamu aku
berkesudian menjadi pohon
paling gurun sebab kaulah
kekasihku yang paling hati.
19-8-2011
Layang Jingga (2)
Berpuluh purnama telah
terlewati
waktu telah berkesudian
menjadi saksi
atas luruhnya janji
yang terabaikan
Kau telah menggulung
seluruh ingatan
tentang masa depan
yang pernah kita bincangkan
Lihatlah setia itu telah menua
dan binasa diperjalanan
menujumu
terbujur dalam sunyi
paling tak terbagi
dan rindu yang begitu
biru padamu
kugantungkan diranting
perdu
kiranya hujan melarungnya
tanpa bermuara.
13-10-2011
Sisa Purnama
Bulan telah sejengkal
di kepala
bintang-bintang telah
ada di genggaman
cuma yang kurasakan
temaram begitu mendalam
Pada cermin kupalingkan
muka
namun rengkah kaca
pecah
bersiap membidik
nyawa.
14-9-2011
Yang Tertunda
Sekali lagi
rindu menunda kedatangannya
meski jalan begitu di hapal
sesak kerikil dan kesiur angin
menghantam kecamuk
kekasih
dalam ruang perjanjian
yang sunyi
Ini kali bukan waktu
bagai pantai dan buih
hanya ombak menepi
dan bulan pun urung
tampak dimatanya.
24-9-2011
Layang Jingga (1)
Seribu putaran matahari telah kita lewati
kekasihku, dan satu purnama
lagi musti kita lalui untuk sampai pada
tempat yang kita sasar.
Ini kali kesekian saat suci bulan
menaungi dunia, kita masih saja
merapal jarak meniti jejak.
Gelombang telah
membesarkanmu, ombak
setia membelaimu
dalam rengkuhan luas
samudera
kau menyulam masa depan
yang kita impikan.
Kalau laut mendebur akulah yang paling khawatir
bila angin berkesiur akulah
yang paling menggigil,
biarpun tak lelah kau
menenangkan aku dengan
caramu
agar percaya pada kekuatan doa
dan kehendak-Nya, tapi hati
tak bisa dibohongi sebab
mengkhawatirkanmu
sama pentingnya dengan
makan tiga kali sehari.
Kau memang tak pandai
menulis seperti mereka,
juga bukan lelaki puisi yang
merayuku ditiap baitnya
tapi kau telah melukis sempurna
di jiwaku, memahat nama begitu
indah di hatiku.
Kau telah mengajariku cara paling
kasih perihal hati
untuk berhati-hati dalam menjaga hati,
untuk tidak bermain hati
baik secara diam-diam
maupun terus terang.
Kau mengajariku arti tanggung jawab
atas kepercayaan yang kita saling
embankan dipundak jiwa masing-masing,
kau mengajariku makna setia
bukan dengan kata-kata
tapi lakumu yang selalu madu.
Ah, betapa padamu aku
berkesudian menjadi pohon
paling gurun sebab kaulah
kekasihku yang paling hati.
19-8-2011
Layang Jingga (2)
Berpuluh purnama telah
terlewati
waktu telah berkesudian
menjadi saksi
atas luruhnya janji
yang terabaikan
Kau telah menggulung
seluruh ingatan
tentang masa depan
yang pernah kita bincangkan
Lihatlah setia itu telah menua
dan binasa diperjalanan
menujumu
terbujur dalam sunyi
paling tak terbagi
dan rindu yang begitu
biru padamu
kugantungkan diranting
perdu
kiranya hujan melarungnya
tanpa bermuara.
13-10-2011
Puisi-Puisi Mahmud Jauhari Ali
http://sastra-indonesia.com/
Bulan di Padang Lalang *
telah berdiri ribuan lalang pada tanah
oleh angin, tubuh mereka terhuyung-huyung
sebagiannya mati. mengering!
sedangkan di tengahnya, sebuah rumah berdiri kukuh
tiangnya beton,
atap bajanya antikarat, menahan hujan-panas,
lantainya yang wah, terlihat mengkilat
juga pagarnya, begitu mahal
Bulan di Padang Lalang *
telah berdiri ribuan lalang pada tanah
oleh angin, tubuh mereka terhuyung-huyung
sebagiannya mati. mengering!
sedangkan di tengahnya, sebuah rumah berdiri kukuh
tiangnya beton,
atap bajanya antikarat, menahan hujan-panas,
lantainya yang wah, terlihat mengkilat
juga pagarnya, begitu mahal
Selasa, 11 Oktober 2011
Puisi-Puisi Rama Prabu
http://oase.kompas.com/
Sajak Manis di Mayang Rambutmu
:/untuk acep zamzam noor
angin berarak naik ke pundak
menepi mengibas mayang rambutmu
dan ketika baku pandang redup di bulan itu
kita sadari tubuh rekat di pelukmu
seperti sajak manis yang kau kirim itu
menafsir musim berganti
karena sajak adalah harapan
sajak adalah hidupku akan datang
sajak adalah danau tenang
tanpa sampan tanpa gelombang *)
kita mendayung dalam kenang
jika tak ada senyap antara celah
tingkap yang mengulurkan lembayung**)
kita masih tengadah, ada bintang menyaksikan
rindu ini tercurahkan
yang nyala dalam jiwa
kemudi dalam hidup***)
tak pernah sekali kita biarkan redup
walau malam mengirim serdadu hitam
bagai kabut menyusur laut
kesaksian jiwa yang lahir dari mata kita
terbaca dari titipan bunyi bait dan rima
seperti kwatrin malam pertemuan kata
pada kegelapan. malam yang mengalirkan badai
dan laut pasang. pada lagumu****)
balada kasih sebelum kita menjadi penyair lagi
note:
*) bait dari puisi Prelude, Acep Zamzam Noor, 1978 di buku Menjadi Penyair Lagi, 2011
**) bait dari puisi Lagu Senyap, Acep Zamzam Noor, 1979 di buku Menjadi Penyair Lagi, 2011
***) bait dari puisi Rindu, Acep Zamzam Noor, 1981 di buku Menjadi Penyair Lagi, 2011
****) bait dari puisi Kwatrin Malam,Acep Zamzam Noor, 1982 di buku Menjadi Penyair Lagi, 2011
Bandung, 21 September 2011
Cemara Berdaun Kata
:/untuk acep zamzam noor
cemara itu berdaun kata
berdiri memagari tepian makna
dari akarnya keluar bait puisi
setapak bagi pejalan kaki
yang sunyi membawa gerimis
hujan lebat di Pangrango
tak terlihat dari gundukan bukit Dago
jauh pandang seperti kemolekan ranum, sayup bagai gemintang
berkelebatan sepanjang malam purnama *)
di tubuh perempuan yang bibirnya telanjang
adakah masih seseorang menunggu dalam hujan **)
seperti kelam yang menutup tirai malam
lindap jejak tak terlagukan
karena malam ini kubangun lagi sajak
dari lelehan gelisahku ***)
note:
*) dari bait puisi Perempuan, 1980; Acep Zamzam Noor dalam buku Tamparlah Mukaku!, 1982
**) dari puisi Malam Yang Turun, 1981; Acep Zamzam Noor dalam buku Tamparlah Mukaku!, 1982
***) dari puisi Malam Ini Kubangun Lagi Sajak, 1981; Acep Zamzam Noor dalam buku Tamparlah Mukaku!, 1982
Bandung, 21 September 2011
Bengawan
cinta itu bagai air di bengawan
melaju terus ke hilir dari hulu bening dan sunyi
dari degup tanpa bunyi
dari desir merambat tepi bayangan
ke batu hitam aras palung
sering air itu memundak gaung
masuk lorong tanpa jendela
mencari senandung tanpa cela
yang tampak dari daratan
air itu terus bersilang warna
merajah menyatukan harapan dengan masa lalunya
tentang sucinya mimpi dan kenyataan
cinta itu bagai air di bengawan
mayang berhimpun di telaga
beriring pula hingga ke samudera
tak terhitung berapa jauh perjalanan
note:
*) Arai itu mayang, seperti arai enau
*) Aras itu menyentuh
*) Bengawan itu sungai besar
Bandung, 13 September 2011
_________________
Rama Prabu, Penyair tinggal di Bandung, Direktur Dewantara Institute “Lembaga Kajian Kebudayaan, Pendidikan dan Politik”. Karya berupa buku Sabda Sang Pencinta/Lovecode (limited edition/2006); Jogja Dalam Keistimewaan (Pendapa Press, 2007); Antologi Puisi Penyair Nusantara/Musibah Gempa Padang (KL, Malaysia, 2009); Negeri Cincin Api (PP Lesbumi NU, 2011).
Segera Terbit Buku Puisi 2011: Mata Rama, 151 Rubaiyat Rama Prabu, (Dewantara Institute & Asram Rama Prabu, 2011), Ramayana, 151 Jalan Cinta (Dewantara Institute & Asram Rama Prabu, 2011), Testamen Penyair Merah (Dewantara Institute & Asram Rama Prabu, 2011). Telah menulis kurang lebih 2000 bait puisi. Dapat ditemui di situs www.ramaprabu.org, http://www.facebook.com/ramaprabu, e-mail: lord.ramaprabu@yahoo.co.id ~lordramaprabu@gmail.com.
Sajak Manis di Mayang Rambutmu
:/untuk acep zamzam noor
angin berarak naik ke pundak
menepi mengibas mayang rambutmu
dan ketika baku pandang redup di bulan itu
kita sadari tubuh rekat di pelukmu
seperti sajak manis yang kau kirim itu
menafsir musim berganti
karena sajak adalah harapan
sajak adalah hidupku akan datang
sajak adalah danau tenang
tanpa sampan tanpa gelombang *)
kita mendayung dalam kenang
jika tak ada senyap antara celah
tingkap yang mengulurkan lembayung**)
kita masih tengadah, ada bintang menyaksikan
rindu ini tercurahkan
yang nyala dalam jiwa
kemudi dalam hidup***)
tak pernah sekali kita biarkan redup
walau malam mengirim serdadu hitam
bagai kabut menyusur laut
kesaksian jiwa yang lahir dari mata kita
terbaca dari titipan bunyi bait dan rima
seperti kwatrin malam pertemuan kata
pada kegelapan. malam yang mengalirkan badai
dan laut pasang. pada lagumu****)
balada kasih sebelum kita menjadi penyair lagi
note:
*) bait dari puisi Prelude, Acep Zamzam Noor, 1978 di buku Menjadi Penyair Lagi, 2011
**) bait dari puisi Lagu Senyap, Acep Zamzam Noor, 1979 di buku Menjadi Penyair Lagi, 2011
***) bait dari puisi Rindu, Acep Zamzam Noor, 1981 di buku Menjadi Penyair Lagi, 2011
****) bait dari puisi Kwatrin Malam,Acep Zamzam Noor, 1982 di buku Menjadi Penyair Lagi, 2011
Bandung, 21 September 2011
Cemara Berdaun Kata
:/untuk acep zamzam noor
cemara itu berdaun kata
berdiri memagari tepian makna
dari akarnya keluar bait puisi
setapak bagi pejalan kaki
yang sunyi membawa gerimis
hujan lebat di Pangrango
tak terlihat dari gundukan bukit Dago
jauh pandang seperti kemolekan ranum, sayup bagai gemintang
berkelebatan sepanjang malam purnama *)
di tubuh perempuan yang bibirnya telanjang
adakah masih seseorang menunggu dalam hujan **)
seperti kelam yang menutup tirai malam
lindap jejak tak terlagukan
karena malam ini kubangun lagi sajak
dari lelehan gelisahku ***)
note:
*) dari bait puisi Perempuan, 1980; Acep Zamzam Noor dalam buku Tamparlah Mukaku!, 1982
**) dari puisi Malam Yang Turun, 1981; Acep Zamzam Noor dalam buku Tamparlah Mukaku!, 1982
***) dari puisi Malam Ini Kubangun Lagi Sajak, 1981; Acep Zamzam Noor dalam buku Tamparlah Mukaku!, 1982
Bandung, 21 September 2011
Bengawan
cinta itu bagai air di bengawan
melaju terus ke hilir dari hulu bening dan sunyi
dari degup tanpa bunyi
dari desir merambat tepi bayangan
ke batu hitam aras palung
sering air itu memundak gaung
masuk lorong tanpa jendela
mencari senandung tanpa cela
yang tampak dari daratan
air itu terus bersilang warna
merajah menyatukan harapan dengan masa lalunya
tentang sucinya mimpi dan kenyataan
cinta itu bagai air di bengawan
mayang berhimpun di telaga
beriring pula hingga ke samudera
tak terhitung berapa jauh perjalanan
note:
*) Arai itu mayang, seperti arai enau
*) Aras itu menyentuh
*) Bengawan itu sungai besar
Bandung, 13 September 2011
_________________
Rama Prabu, Penyair tinggal di Bandung, Direktur Dewantara Institute “Lembaga Kajian Kebudayaan, Pendidikan dan Politik”. Karya berupa buku Sabda Sang Pencinta/Lovecode (limited edition/2006); Jogja Dalam Keistimewaan (Pendapa Press, 2007); Antologi Puisi Penyair Nusantara/Musibah Gempa Padang (KL, Malaysia, 2009); Negeri Cincin Api (PP Lesbumi NU, 2011).
Segera Terbit Buku Puisi 2011: Mata Rama, 151 Rubaiyat Rama Prabu, (Dewantara Institute & Asram Rama Prabu, 2011), Ramayana, 151 Jalan Cinta (Dewantara Institute & Asram Rama Prabu, 2011), Testamen Penyair Merah (Dewantara Institute & Asram Rama Prabu, 2011). Telah menulis kurang lebih 2000 bait puisi. Dapat ditemui di situs www.ramaprabu.org, http://www.facebook.com/ramaprabu, e-mail: lord.ramaprabu@yahoo.co.id ~lordramaprabu@gmail.com.
Langganan:
Postingan (Atom)
A. Mustofa Bisri
A'yat Khalili
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Wachid B.S.
Abi N. Bayan
Abidah El Khalieqy
Acep Syahril
Acep Zamzam Noor
Adi Toha
Adrian Balu
AF Denar Daniar
Afrizal Malna
Agus Manaji
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Maltuf Syamsury
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Ala Roa
Aldika Restu Pramuli
Alfatihatus Sholihatunnisa
Alfiyan Harfi
Ali Makhmud
Ali Subhan
Amelia Rachman
Amie Williams
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Andry Deblenk
Anggie Melianna
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Aprinus Salam
Ariandalu S
Arieyoko Ksmb
Arya Winanda
As Adi Muhammad
Asep Sambodja
Atrap S. Munir
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Badaruddin Amir
Bakdi Sumanto
Bambang Darto
Bambang Kempling
Bambang Widiatmoko
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Bernando J. Sudjibto
Bernard S. Y. Batubara
Binhad Nurrohmat
Budhi Setyawan
Budi Palopo
Bustan Basir Maras
Chairul Abhsar
Chavchay Saifullah
Cut Nanda A.
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Afriady
Dadang Ari Murtono
Daisy Priyanti
Daysi Priyanti
Dea Anugrah
Dea Ayu Ragilia
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Desti Fatin Fauziyyah
Dewi Kartika
Dharmadi
Diah Budiana
Diah Hadaning
Dian Hartati
Didik Komaidi
Dimas Arika Mihardja
Djoko Saryono
Dody Kristianto
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Edy Lyrisacra
Effendi Danata
Eimond Esya
Eka Budianta
Eko Hendri Saiful
Eko Nuryono
El Sahra Mahendra
Ellie R. Noer
Elly Trisnawati
Emha Ainun Nadjib
Endang Supriadi
Endang Susanti Rustamadji
Eny Rose
Eppril Wulaningtyas R
Esha Tegar Putra
Esti Nuryani Kasam
Etik Widya
Evi Idawati
Evi Melyati
Evi Sefiani
Evi Sukaesih
Fadhila Ramadhona
Fahmi Faqih
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Fikri MS
Fina Sato
Firman Wally
Fitrah Anugerah
Frischa Aswarini
Gampang Prawoto
Ghaffur Al-Faqqih
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gunawan Maryanto
Gunoto Saparie
Gus tf Sakai
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hari Leo
Haris del Hakim
Hasan Al Banna
Hasan Aspahani
Hasta Indriyana
Helga Worotitjan
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Maja Kelana
Herlinatiens
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Ibnu Wahyudi
Ikarisma Kusmalina
Ike Ayuwandari
Ilenk Rembulan
Imam S Arizal
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santoso
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indrian Koto
Isbedy Stiawan ZS
Iwan Gunadi
Javed Paul Syatha
Jibna Sudiryo
Johan Khoirul Zaman
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Saputro
Jufri Zaituna
Jusuf AN
Kadek Wara Urwasi
Kadjie Bitheng MM
Kartika Kusworatri
Kedung Darma Romansha
Kika Syafii
Kirana Kejora
Kirdjomuljo
Kurnia Effendi
Kurniawan Junaedhie
Kurniawan Yunianto
Kusprihyanto Namma
Kuswaidi Syafi’ie
L.K. Ara
Lailatul Muniroh
Landung Rusyanto Simatupang
Lela Siti Nurlaila
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Linus Suryadi AG
Liza Wahyuninto
Lubis Grafura
Lutfi Mardiansyah
M. Badrus Alwi
M. Faizi
Maghfur Munif
Maghie Oktavia
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maman S. Mahayana
Maqhia Nisima
Marcellus Nur Basah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marwanto
Mas Marco Kartodikromo
Mashuri
Mathori A. Elwa
Matroni el-Moezany
Maya Mustika K.
Mega Vristian
Miftahul Abrori
Mohammad Yamin
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muntamah Cendani
Mustiar AR
Mustofa W Hasyim
Mutia Sukma
Nadjib Kartapati Z
Nanang Suryadi
Nezar Patria
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Noor Sam
Nunung S. Sutrisno
Nur Iswantara
Nur Lodzi Hady
Nur Wahida Idris
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Pariyo Adi
Pringadi AS
Pringgo HR
Puisi-Puisi Indonesia
Purwadmadi Admadipurwa
Puspita Rose
Putri Sarinande
R. Toto Sugiharto
Rachmat Djoko Pradopo
Raedu Basha
Ragil Suwarno Pragolapati
Rakai Lukman
Rama Prabu
Ramadhan KH
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Ribut Wijoto
Rikard Diku
Robin Al Kautsar
Rozi Kembara
Rudi Hartono
Rusydi Zamzami
S Yoga
Sahaya Santayana
Saiful Bakri
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Selendang Sulaiman
Seli Desmiarti
Sigit Sugito
Sihar Ramses Simatupang
Siska Afriani
Sitok Srengenge
Sitor Situmorang
Slamet Rahardjo Rais
Slamet Widodo
Sosiawan Leak
Sreismitha Wungkul
Sri Harjanto Sahid
Sri Jayantini
Sri Setya Rahayu
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sumargono SN
Suminto A. Sayuti
Sunardi KS
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Sutirman Eka Ardhana
Syifa Aulia
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Triaton
Tengsoe Tjahjono
Tharie Rietha
Thowaf Zuharon
Timur Sinar Suprabana
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Ulfatin Ch
Umbu landu Paranggi
Unieq Awien
Usman Arrumy
W. Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Hidayat
Wahyu Subuh
Warih Wisatsana
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Widi Astuti
Wiji Thukul
Winarni R.
Y. Wibowo
Yonathan Rahardjo
Yosi M Giri
Yudhi Herwibowo
Yudhiono Aprianto
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Yuswan Taufiq
Yuswinardi
Zaenal Faudin
Zainal Arifin Thoha
Zamroni Allief Billah
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae