Kamis, 29 September 2011

Puisi-Puisi Ahmad Zaini

http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/
Cicak Bernyanyi

cicak di langit rumah
tersenyum
saat melihat seonggok hati
mengeras
menghitung ketika ia bernyanyi
ya dan tidak

Sabtu, 17 September 2011

Puisi-Puisi Fikri MS

http://sastra-indonesia.com/
Nafsuku Tenggelam ke Dasar Samudra Penciptaan
Kepada Nurel Javissyarqi

Kumamah Kitab Para Malaikat di bibir fajar
Ranum seperti bibir perawan sehabis mandi
Sambil menunggu matahari beranjak dari seberang timur

Aku berlayar
Dan terus berlayar mengembangkan layar menuju teluk tersembunyi
Dihujani embun kegadisan

Di atas gelombang yang merawat pantai
Kapalku pecah berderak
Gelisah menghantam liar

Lalu patahlah kayuh tintahku

Terombang-ambing
Tak tahu ke mana arah.

Dan nafsuku tenggelam ke dasar samudra penciptaan.

September, 2011



Matamu Berkabar Lelah
Kepada EL

Pernah kutuliskan sebuah sajak tentang kau EL
Apakah kau tak menduganya?

Malam yang sempurna
Bait-bait bercakap
Bersama mimpi dan ujung pena
Ada suara yang berbisik tentang kau di telingaku
“terjagalah” katanya.

Saat matahari terlelap di bagian ufuk
Aku tafakur mengurai kehadiran dari asal yang pernah
Kuanggap sia-sia belaka

Satu malam dan surya beranjak
Ada bayangan tentang semangatmu yang kukagumi
Meski waktu memperdebatkannya
Aku tak peduli
Karna kau gairah itu
Pertanda perempuan melawan

Ah…
Ibarat melukiskan awan di atas bukit
Dengan hadiah segumpal emas dan secarik
Surat dari penyair
Takkan ku mau
Tersebab bukan maksudku untuk meraih keperawananmu

Di saat matamu berkabar lelah
Gejolak menggelegak kasihan
Rupa-rupanya tidak demikian
Kau adalah kemakmuran bagi mata yang terpesona
Dan hati yang membuncah rindu

Kutulis sajak kedua ini
Sebagai waktu aku teringat
Kabar yang kau sampaikan itu,
Maka tetaplah menari untuk kami di sini sebagai kawan

Di sela waktu dan gesekan biolamu.

29 Juli 2011



Semburat Purnama Bulan Kuasa

Dalam bayangan matahari usiaku berkaca-kaca
Bekerja meramu makna sebagai manusia
Mengabdi pada keabadian
Sebagai mahluk yang mencari kesempurnaan

Kugapai seorang diri dalam malam yang bisu
Berucap kalimat rindu kasih
Di lembar lembut bergelang tasbih di jari
Memanjakan yang memanjakan
Menjamu yang menghidangkan
Memulikan yang telah mulia

Aku berserah bukan karna pengampunan
Keinginanku adalah perjalanan
Menghiruf nafas menghela kepadaNYA
Usiaku bertambah rapat ke waktu yang menunggu
Di lembar akhir langkah menuju

Semburat purnama bulan Kuasa
Silih berganti gelap gulita
Malam yang sepi bertambah pekat
Aku menepi di bibir fajar
Menguyah niat dalam awalan
Menuju senja sesudahnya

Lalu malamku bertasbih kembali,

01 Agustus 2011

____________________
Fikri MS, lahir di Muara Enim, Sumatera Selatan, 12 November1982. sejak th 1998 melanjutkan pendidikan di Jombang, Jatim sampai lulus kuliah th 2008 S-1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di STKIP PGRI Jombang.
Berbekal pengalaman ‘main’ teater di Komunitas Tombo Ati (KTA) Jombang, Agustus 2008 mendirikan Sanggar Teater Gendhing (STG), mengelola kedai baca (Beranda) di kampung halaman sampai sekarang.

Puisi-Puisi Linda Sarmili

http://www.suarakarya-online.com/
Rindu

Hati putihmu yang aku dambakan
jiwa sepi tanpa pegangan
kini membuat redam
nanar hati bisu semua penantian
yang kutunggu adalah kasihnya

ingatlah padaku selama itu menunggu
deru angin malam membasuh jiwa
kering tanpa tanya membasuh rindu ini
terkapar dalam ragu

bila masa telah berganti tak mungkin
kutukar hatiku sekalipun harus
dengan airmata aku tetap menunggu
selama itu aku hanya memiliki
hati yang rindu

Jakarta, Desember 2010



Dalam Derit Malam

Dalam derit malam tikus tikus berbaris
dalam gelap menyusun langkah
satukan kata

suara tikus adalah kepedihan
mewnjadsi paduan suara ketimpangan
seperti juga jeritan hati sang nyonya

rakyat menjadi tanpa daya
harus menerima meski tak suka
harus mau meskitak setuju
rakyat kelu kaku bisu
malam kian larut
tikus tikus makin kusut
hendak kemana
suara ditumpahkan
jika dunia tak lagi berpintu

ketika subsidi jadi kompensasi
apalah artinya
jika harga-harga
terus melambung tinggi
merangkak mencekik nafas
yang tinggal setengah jalan
derita tikus derita nyonya

jika kiamat telah dekat
kabarkan pada dunia
untuk membuka pintu

Jakarta, Januari 2011



Kehadiranmu

Aku merasa sepi ini
adalah anugerahmu
aku juga merasa
ngilu ini adalah juga berkahmu
ketika segala harapan
telah menjauh
aku seperti terlempar
dari alam yang kau ciptakan
Tapi ini bukan mimpi
satu jeda telah
menghilang dihadapanku
inikah hidup yang merintih
dan bergelimang keraguan
satu masa telah pergi
kini padang ilalang
luas membentang
menantang seluruh nyali
dan isi hati
barangkali ini jeda terakhir
yang harus dilewati
ketika jalan setapak
telah dipenuhi duri
ini jalan penghabisan
ada sebaris kerinduan
yang membentang
seperti tangis
pangeran kesepian
menanti harap diujung sunyi
hendak merajut temali
yang tergeraiinikah permainan nasib
diarak gelombang tanpa daya
menyambut badai
dalam harap, dalam doa khusuk
selalu untuk menyebutMu
dan hanya itu kekuatanku.

Jakarta, Pebruari 2011

Puisi-Puisi Zawawi Se

http://sastra-indonesia.com/
namamu disebut

tuhan
aku dengar
namamu

disebut-teriakkan
dalam
geram
adakah,

adakah engkau
tertawa-tawa
ditengah-tengah
mereka
dalam
gemuruh
dada
gemuruh
suara

mempertahankan
egonya

Juli 2008

[sajak diatas semula saya posting di milis apresiasi sastra dengan larik-larik yang agak memanjang. lalu mendapat respon dari Hudan Hidayat (novelis dan esais) dengan penataan larik-lariknya menjadi sebagaimana diatas. respon lain adalah bahwa sajak tersebut terlalu verbal, saya disarankan untuk menggunakan metafora-metafora, tapi saya memang belum bisa membuat sajak yang kaya dengan metafora-metafora, baru belajar menulis, semoga dapat dinikmati meskipun terlalu verbal]



Persinggahan
~ belah jiwaku ~

aku rasa beginilah kita
seperti jurang terkikis perlahan
oleh arus deras dan dalam
kita pun diantara tepian
semakin asing memandang
semua peristiwa mengalir
ke muara

sebagaimana detik-detik berlalu
masih kusinggahi perhentian
mengantarku dari waktu ke waktu
melabuhkan segala harap dan cemas
kepadamu.

Juni 2008



Sajak Caci Maki

“hormatilah cicak cicak di dinding rumahmu”
(Sajak Cicak, Saut Situmorang, otobiografi, 2007)

di tanah kami
caci maki adalah bahasa
sorga. keluar menggelegar diantara dua katup
putih seperti lingkaran asap udut
dari akar hati yang paling mawar

di ranah kami
tak terbiasa bertebu muka
sambil menekuk kata di sebalik dada
menuai luka di akhir cerita

di ranah kami
tak terbiasa bertebu muka
sambil bertepuk dada lalu bersuara
sebagai pewaris tunggal
peradaban dunia

April 2008

Puisi-Puisi Binhad Nurrohmat

http://jurnalnasional.com/
Makan Malam Lima Pengarang di Busan

Mereka menyimpan bahasa yang berbeda dalam tubuhnya
dan rasa lapar menyatukan mereka di sebuah meja makan.
Semerbak Asia, Arab, Eropa, Afrika, dan Amerika Selatan
larut bersama denting mangkok, sumpit, dan garpu logam.
Binhad, Ines, Zhamby, Andres Solano, dan Adania Shibli
menyantap hidangan yang sama seakrab lima orang saudara.
Mereka saling bicara dengan kosakata dan tatabahasa asing
yang didapat dari bangku sekolah di negeri masing-masing.
Lidah mereka bermain drama sambil beradu gelas minuman
tanpa bisa menyembunyikan aroma muasal bangsa mereka.

“By the way, Binhad tak makan daging babi
tapi Andres gentar melahap cabe pedas ini.
Apakah ini yang membuat pengarang Asia
sulit menggondol Hadiah Nobel Sastra?”

“Listen to me my dear all friends.
Hadiah Nobel terlalu murah harganya
dibanding emas dan lada kami yang pernah dijarah orang Eropa.
Hadiah sastra dunia tak bakal bisa melunasi hutang mereka.”

Tubuh mereka melingkari meja makan dengan kelakar riang
hingga lupa paspor yang tersembunyi dalam saku celananya.
Mereka menguasai meja makan dengan gairah penaklukan
dan menikmati kunyahan dengan perasaan paling merdeka.
Masa silam mengalir dalam darah mereka yang harum anggur
membuat kata kerap sulit dipercaya malam itu tapi menghibur.
Tak ada dentuman bom atau meja perundingan yang tegang
ketika membincang ukuran payudara dan percintaan penyair.
Hasrat mereka tak mengenal batas politik, ras, dan kebudayaan
seintim jabat tangan mereka yang hangat dan menyenangkan.

“Dear all authors, love across the universe.
Neruda pernah bercinta dengan perempuan asing di Batavia.
Barangkali itu jadi sumber ilham menulis sajak-sajaknya
sehingga dia bisa menerima Hadiah Nobel Sastra.”

“That’s a good idea, man.
Malam ini kita bersama para perempuan pengarang
yang bukan sekadar perempuan asing yang suka boros belanja.
Apakah kita melampaui Neruda setelah bercinta dengan mereka?”

Segala yang dingin menjadi hangat dalam girang kebersamaan
dan bahasa dalam tubuh mereka terasa bangkit namun tertahan.
Mata mereka tampak merahasiakan sesuatu yang ingin dikatakan
serapat perasaan yang indah diucapkan dalam saat-saat yang lain.
Penyair dari Asia tampak asyik menulis sesuatu di selembar tisu
– barangkali puisi atau surat cinta untuk salah satu dari mereka.
Lalu sajian penutup datang dengan aroma yang sulit terlupakan
dan seketika merangsang kelenjar mereka sesedap gelora ilham.
Ketika sisa kerakusan tubuh mereka terserak di atas meja makan
mereka bercanda tentang Amerika yang suka mengirim senapan.



Sharapova

Rambutmu yang pirang menyihir kata-kataku seketika girang
dan sekujurku yang telentang malas di ranjang terbangkitkan.
Bukan lantaran ancaman runcing anggar dan bidikan senapan
tiada cintaku bagimu sekasmaran Pushkin kepada istri orang.
Dalam tiap aroma vodka dan kaviar segar yang mendebarkan
kupancangkan pal tapal batas perasaan yang membahayakan.
Hasratku padamu terlunaskan lewat puisi pujangga negerimu
dan kau jadi jantung mimpi yang memompa darah kenyataan.
Atas nama cinta dan untuk penindasan di pengasingan Siberia
kukirim pendar sajakku dari bara Selatan yang hangat tropika.

“Ingin kuteriakkan padamu gairahku terbakar bukan untukmu
supaya aku jadi musuhmu yang menyala sepanjang hidupmu.”

Peluh membasahi bugar bahumu yang terbakar kobar matahari
membangunkan mimpi yang lama tidur dalam ketiak umurku.
Aku terkesima tanpa ingin mengingat asin keringat percintaan
selain membaca lagi roman perang dari desa Yasnaya Polyana.
Aroma tubuhmu lembut menyelusup ke relung angin kemarau
membujuk sekujur angan-angan yang tergeletak mati di Gulag.
Binatang hasrat merontakan pendaman impian dalam aortaku
dan liar menerkam tiupan gusar musim dingin di luar Kremlin.
Aku bukan jelmaan Rasputin dari pedalaman negeri kepulauan
atau bedil tentara Bolshevik yang mengakhiri Nikolai Gumilev.

“Ingin kucakar pundakku dengan kukumu yang merah jambu
supaya aku tak mengerti kau tak rela menerima ketakutanku.”

Sekujur lenganmu yang hangat dan kukuh menyambut dunia
menciptakan kejadian yang tak terduga dan memerangahkan.
Kau sungguh mengerti atau sama sekali tak pernah menduga
peristiwa cuma tiruan cinta yang lahir di luar pagar wasangka.
Jelaga Chernobyl tak mencemarkan kemurnianmu yang sahaja
menghisap siuran waktu ke lekuk sekujurmu yang segar susu.
Kutatap masa depan mengalir di lorong ototmu yang kebiruan
di balik kulitmu yang tak pernah bisa berdusta pada gairahmu.
Aku sering bercermin di situ serta kepayang menatap wajahku
yang begitu brengsek dan sakral dalam selimut kata-kata binal.

“Kauusap keberanianku yang gentar pada sorot mata kenyataan
seteguh kibasan lenganmu menyongsong takdir di depanmu.”

Senyumanmu yang riang menerima kemenangan dan kekalahan
membuatmu selalu hadir menjadi tubuh dan gelora yang hidup.
Kau tak ingin ragu pada peristiwa yang pergi serta menemuimu
setiap waktu dan mengendap dalam tubuhmu yang tanpa pintu.
Sepatumu berkejaran di atas bumi renta yang panas bersamamu
memburu dan menghadang nasib yang berlesatan dalam angin.
Kaulihat tubuhmu sesudah bercinta dan menemukan mata sajak
menguntit binar kebajikan yang tak henti dinistakan kepalsuan.
Di Gorky Park nafasmu menghangatkan udara Rusia yang beku
dan mencibir kelebat hantu Lenin dan Trotsky yang mengerikan.

“Kau menampikku menipu waktu yang terlumur kegamangan
seperti tubuh manusia terselangkupi maknanya dalam dusta.”

Pinggangmu begitu sempurna merahasiakan rengkuhan mesra
yang dulu penuh debar menjamahkan cinta dan menguasaimu.
Ingin kupelukkan sajakku di situ dan aku tahu itu tak bijaksana
karena kehangatanmu bakal menerima tanpa lagi melepasnya.
Kebebasan ingin kuberikan dan kudapatkan tanpa menyentuh
apapun yang akan membuatku tak pernah bisa melupakannya.
Aku tak kuasa perkasa menghadapimu dengan keseluruhanku
maka ada yang kutelanjangi serta kusimpan dalam sekujurku.
Aku bukan Karl Marx yang hendak membakar impian proletar
dan berterus-terang memijarkan kembali harapan yang pudar.

“Ingin selalu kubilang padamu perasaanku menjadi mata belati
yang kusemayamkan dalam sarungnya dan kusimpan di saku.”

Deburan jantungmu menggetarkan tembok perbatasan hayalan
mendesakku merasakan teduh matamu menyala dan berkobar.
Telinga kata-kataku mendengar hamburan kemarahan cintamu
melabrak sajak yang bergejolak menahanmu di sebentang jarak.
Di Lapangan Merah ada jejak revolusi yang berisik di masa lalu
yang hiruknya tak tersingkir oleh kesibukanku memikirkanmu.
Tapi aku cuma sebatas mengingat ingatan yang kuingin darimu
dan telah kucukupkan semua itu dengan seluruh keteguhanku.
Aku tak ingin ragu saat bangkit keraguanku akan kupadamkan
serta kukaramkan bersama bangkai kapal selam di Laut Hitam.

“Aku telah bersalah padamu demi keyakinan yang kuhunuskan
dan kutujahkan ke dadaku bila tatapanmu menggoyahkanku.”

Puisi-Puisi Gus tf Sakai

Kompas, 3 Oktober 2010
Susi: Merah Padam

Telinga yang terang, antarlah Susi menyaksikan
tubuh tak berbayang. Jarak ini, alangkah mustahil
dicapai dengan mata. Bermilyar tahun cahaya: kau
dibungkus orbit terendah. Semua cakra melingkar
hanya mencecah, melayang di punggung tanah.
Tak cukup kata untuk rasa yang kau indera. Susi
menangis, merintih, tetapi tak sedih. Susi meraung,
memukul-mukul dada, namun tertawa. Apakah kata
untuk rasa semacam riang, namun pilu? Semacam
rindu, tetapi sendu? Susi bergetar, lampus prana.

Cahaya menyentuh apa pun rupa. Getar melepas
apa pun rasa. Jalan ke Sang Sumber, nikmat aduh
tak terkira. ”Susi, ah Susi, siapa terbakar—merah
padam, karena cinta?” Semua menanti, engkau
kembali: membawakan kami kabar gembira*.

Payakumbuh, 2009 * Dari QS 2:119.



Susi: Sengal Perahu

genting tampukmu, gelantung rawan kami meragu.
Gugurmu, Susi, ”Pucat gemerincing dalam seratku.”
anyir usiamu, geronggang musim yang tak kautahu.
Benihmu, Susi, ”Liar mendengking dalam sarafku.”
puting jantanmu, timpangan laku kami menggancu.
Sengalmu, Susi, ”Kerongkong gatal tersedak debu.”
ranum dagingmu, muara dan hulu di bandul waktu.
Kekalmu, Susi, ”Dayunglah dayung perahumu laju.”

Padang, 2009



Susi: Jerat Jantan

kenapa mesti dengan Susimu—untuk melihat
tiap sentimeter kubik dagingku. Biarkan saja dia,
Si Kehendak Bebas itu, beterbangan bagai debu:
liar gemerincing, dalam buluh-buluh daging.
kenapa harus dengan Susimu—untuk berlepas
dari jerat jantan Susiku. Biarkan saja dia, Si Kata
Pemisah, memilah, mencari sendiri dirinya: dari
kehendak bebas, dari kelamin yang dia suka.

kenapa mesti dengan Kata Pemisah, kenapa harus
dari Kehendak Bebas—kau mengikat Susi berlepas.
Lima milyar tahun, kau amuba Susi primata. Jerat
jantanku, DNA itu, kau membeku Susi meluber,
ah, sejak dari Sanskrit: ya Patr ya Pater ya Father.

Payakumbuh, 2009



Susi: Belaka Orbit

Engkau yang tidur dalam mimpi buruk Susi, masih juga
tak menyadari: akankah Kami lelah dengan ciptaan pertama?
Tidak! Tetapi mereka meragukan adanya ciptaan baru*. Yeah,
gunung-gunung menggembung, lempeng-lempeng bergeser.
Planet-planet meraung, sujud tafakur pada Sang Sumber.
Tidurkah kau dalam Susi, tidur purba mimpi buruk kami?
Empat ribu tahunmu, saat dikembalikan planet kesepuluh,
engkau melepuh. Mimpi buruk Susi: tanah-batu mengerang.
Kau pun ditandai dari dahi, dari ubun-ubun yang terang. Tak!
Tak materi, tidak pula anti-materi, yang kemudian diangkat.
Atom bergetar, melesat, panen jiwa-jiwa yang selamat**.
Tidurkah kau dalam kami, tidur purba mimpi buruk Susi?



Susi: Belaka Orbit

Engkau lepaskan diri, dari orbit, bintang quasar tepi galaksi.
Tak ada yang diangkat, katamu, di tempat materi hilang berat.
Mimpi buruk Susi: hanya orbit! Belaka orbit semesta ini. Yeah,
kesulitan itu, persoalan terbesar kami: menyelamatkan orang
yang tak tahu bahaya apa celaka apa yang mereka hadapi.

Payakumbuh, 2009

* Dari QS 50:15.
** Dari Matius 13:39

Gus tf lahir di Payakumbuh, Sumatera Barat, 13 Agustus 1965. Kolektor dan pekerja puisi. Buku puisinya yang telah terbit adalah Sangkar Daging (1997), Daging Akar (2005), dan Akar Berpilin(2009).

Sabtu, 03 September 2011

Puisi-Puisi Goenawan Mohamad

Kompas, 21 Feb 2010
Sekhak

Pada pukul 16:00, di bawah jembatan itu ia dengar ”sekhak”. Seperti bunyi waktu.
Seorang pemain catur selalu mengatakan kata itu
sebelum saatnya.

Dan seekor kuda rubuh.
Dua bidak lari ke sudut.

Puisi-Puisi Syifa Aulia

http://sastra-indonesia.com/
Sepotong doa untuk kepala yang dipenggal paksa

Darah kembali bersimbah
di Bumi para Nabi
mengalirkan sungai
disudut mata Bunda Pertiwi
BMI berduka lagi.

Bersama hukum pancung
seluruh asa pun terpasung
setulus doa terpanjat
serupa kidung agung
menghantar ketempatmu
yang abadi dan terlindung.

Hai Rembulan
belikan kami telpon genggam
untuk menghubungi Tuhan
bikin perjanjian, bahwa
hidup bukan hanya milik
tuan-tuan berseragam safari
di gedung dewan perwakilan.

Sebab rancangan undang-undang
yang kesekian
nama-nama kami tidak
disebutkan sebagai anak
Negara
yang satu tumpah
air mata darah.

20-6-2011
(puisi untuk ibu Ruyati BMI/TKW yang dihukum pancung di Arab Saudi)



Aku Kau dan Jarak

Jarak ini bentangan waktu,
sayang
pulau-pulau yang bakal
kita lewati adalah
sejumput harapan
tentang rumah, juga
pepohonan yang melilitnya
laut-laut tumpah di matamu,
bahwa kita kehilangan
dayung
hanya layar mengantar
sampai ke Negeri siapa
kita sasar.

Kita bukan orang tepian
sayang
kita pernah jadi
nahkoda pada kapal
sendiri
gagahi lautan, tunjuk
bintang, tak kenal
labuhan
juga menyelam pada
karang-karang.

Garis tangan kita adalah
garis khatulistiwa
maka musim tak akan
berpihak
sebelum kita temukan
alamat
pada peta tak bernama.

03-Sep-11



Berproses

Tidak mudah untuk sampai
pada titik ini
dimana mata tumpah
di ujung telapak kaki sendiri
mencandui kebengisanmu
yang selalunya
membuatku makin tak terlihat
oleh mata sekalipun.

Jika mencintaimu adalah
kesalahan
biarlah terus menjadi salah
tak harus menjadi benar
untuk membenarkan
segala salah
dan menciptakan surga
sebagai bentuk kelit
dari setiap masalah
sebab dalam diam aku menang.

Tak perlu kutanyakan lagi
mengapa cinta dan harapan
lahir seluruhnya padamu
takkan kubiarkan
diriku menjadi keparat
untuk memilikimu.

23-7-2011



Mamoar Rindu

Aku enyahkan rindu itu
yang melubangi tubuhku
bagai bongkah-bongkah harap
tertelan gelombang pasang.

Aku bukan dewi
yang bisa kau puji
dan sesekali kau bohongi.

Aku butuh persembahan
paling naif
dari angka-angka
yang tak sempat diperhitungkan
dan jalan pulang
sudah terlanjur bercabang
ketika singgahmu tertunda.

Tak kuberi makna padanya
hanya senja yang sesekali
mengirim gerimis
bagi pualamku
atas namamu.

14-3-2011



Senja

Di hening yang sempurna
mencipta bening
direlung sukma
kutatap senja di bentang
cakrawala
dalam arakan mega
kembali berpulang kepelukan malam gulita
membiarkan Matahari
menjadi piatu karenanya

dan
aku masih saja di sini
mencumbui kata yang tak
sempat tereja
hingga karatan makna
sebab ada rengkah kaca
menghalang raga
untuk meraba warna
menjelma sulur jiwa
tapi masih ada tangan-tangan rapuh
yang akan senantiasa merapal doa.

26-8 -2011

Puisi-Puisi Afrizal Malna

Kompas, 13 Juni 2010
Stasiun Terakhir
Untuk Slamet Gundono

Aku hanya gombal yang tergeletak di lantai 230 kg namaku. Nama yang setengahnya terbuat dari air mata dan azan subuh. Gombal yang bisa tertawa dan bernyanyi dari hidupku sendiri. Gombal dari tembang-tembang pesisiran yang membuatku bisa tertawa bersama Tuhan. Melihat surga dari orang-orang yang bertanya, kenapa ada gema kesunyian ketika aku berdiri dan menggapai semua yang buta di sekitarku, kenapa aku bertanya seperti tidak mengatakan apapun.

30 hari aku lupa caranya tidur. Dinding-dinding mulai berbicara, membuat gravitasi terbalik antara tubuhku dan malam yang tersisa pada jam 11 siang. Seluruh dunia datang dan berebut masuk ke dalam telingaku. Aku tarik rem kereta api, berderit, besi berjalan itu berhenti mendadak, berderit, seperti besi besar membentur stasiun terakhir. Aku muntahkan tubuhku bersama dengan suara-suara yang ingin mendapatkan nama dari kerinduan.

Aku hidup bersama Bisma yang berjalan dengan 1000 panah di punggungnya, kesetiaan dan kejujuran buta 23.000 kaki di atas permukaan laut. Kesunyian memukul-mukul 230 kg berat tubuhku. Istana Jawa yang terbuat dari gamelan, seorang perempuan menari dengan air susu yang terus tumpah dari buah dadanya: aku berada antara batu yang akan pecah dan belum pecah.

Telapak tanganku telah penuh cairan ludahku sendiri. Satu mangkuk teh untuk sintren yang tersesat dalam tembangku. Aku lihat tubuhku dalam TV seperti sebuah negeri yang sedang diperkosa rakyatnya sendiri. Gravitasi TV yang membuat tubuhku jadi 2 meter, sompret, kencing dalam celana.

Di stasiun terakhir itu, aku menggambar paru-paruku sendiri, tanah terus mengelupas tak henti-henti mengelupas tanah mengelupas. Hingga aku mencium bau hujan dari wayang- wayang yang bermain sendiri, antara batu yang akan pecah dan belum pecah, antara tembang yang akan mantra dan belum mantra, antara keris yang berjatuhan dari kesunyianku dan belum berjatuhan.



Naik Motor ke Suroloyo

Lehernya mengeluarkan warna biru kelabu. Ia coret lagi warna merah di dadanya, seperti stempel pos 50 tahun yang lalu. Besok kita akan ke gunung lagi besok, melihat kabut memindah-mindahkan kaki gunung. Jiwa di puncaknya yang tetap ingin sendiri, yang ingin menggunakan suara-suara serangga sebagai telinganya. Yang ingin kunang-kunang memindahkan bintang-bintang di malam hari. Yang ingin sapi terbang dari bukit-bukit ke bukit. Dan aku memotretmu setelah merapi mengeluarkan kabut merah.

Lehernya mengeluarkan warna biru kelabu. Ia tanam lagi udara dingin di dadanya, bau cengkeh dan tembakau dari mulut anjing. Besok kita akan menjadi kunang-kunang, menziarahi orang- orang gua dari mata air. Melihat kabut perak turun seperti sihir dari kesunyian. Yang mendengar air mata menyelimuti tempat tidurnya. Yang mendengar bau gunung dari dongeng- dongeng tua. Yang mendengar suara motor membelah bukit. Yang mendengar bau bunga melati di telapak tangannya. Dan aku memotretmu dari atas bukit ini ke bawah, ke bawah, ke bawah, tempat kunang-kunang menanam bintang.



Berita Rahasia dari Darmo Gandul

Ia mengatakan 100 tahun, aku ingin jadi manusia baik ia mengatakan. Dan aku menyimpan lidahku di dahan pohon randu di halaman belakang rumahku aku mengatakan. Ia mengatakan 100 tahun, aku ingin jadi manusia yang indah ia mengatakan. Dan aku menyimpan mataku dalam sebuah lampu neon di halaman belakang rumahku aku mengatakan. Ia mengatakan 100 tahun, aku ingin jadi manusia yang mengucapkan selamat datang kepada setiap yang datang ia mengatakan. Dan aku menyimpan kakiku dalam sebuah batu tempat hantu-hantu mengenang manusia.

Aku ingin jadi manusia yang mengatakan semoga kamu selamat kepada setiap orang yang ditemui ia mengatakan 100 tahun. Dan aku menyimpan tanganku di sebuah sungai tempat ikan-ikan dan pasir mengenang manusia. Kini tubuhku tanpa mata lidah kaki tangan aku simpan dalam hujan di halaman belakang rumahku. Aku berbisik pada ginjal dan paru-paruku aku berbisik pada jantung dan ususku aku berbisik … kaulah hujan dari sebuah senja yang belum pernah diciptakan.

Kini kau bawa senja itu sebuah telinga dari keheningan paling bening. Telinga yang terbuat dari rumah yang telah dihancurkan dari tanah yang mengeras angin yang tidak bisa lagi berhembus. Daun-daun membuat pohon dari awan. Aku memasuki berita rahasia untuk melupakan diri sendiri. Dan besok–mari–aku telah menjadi dia yang melupakan bahasa.



Mantel Hujan Dua Kota

Kota itu telah jadi Semarang sejak air laut ingin mendaki bukit, dan pesta tahun baru di ruang dalam bangunan- bangunan kolonial. Minum persahabatan dan melukis fotomu pada dinding musim hujan. Sepanjang malam ia mengenakan mantel dari listrik: kota yang mengapung 45 derajat di atas sejarah. Dalam mantelnya rokok kretek dan kartu atm. Mahasiswa bergerombol di warung kopi, mengambil ilmu sastra, ilmu komunikasi, antropologi dan jam-jam belajar dari pecahan kaca. Akulah anak muda yang bisa memainkan bas elektrik, blues dengan sisa-sisa kerusuhan dan sisir yang patah. Aku telah banjir di lapangan kerja dan kenaikan gaji pegawai negeri. Para arsitek yang membuat desain kota bersama air laut dan hujan.

Biarlah aku sampai ke batas tepi ini, untuk jejak yang membuat lubangnya sendiri.

Kereta keluar dari mulut stasiun Yogyakarta, bau tembakau dari pesta seni rupa dan sapi goreng. Aku kembali bernapas setelah ribuan billboard kota adalah mataku yang terus berputar, waktu yang terasa perih. Rel kereta masih menyimpan saham-saham VOC sampai Semarang. Tanah keraton yang menyimpan telur ayam, mantel biru masih menyanyikan keroncong Portugis. Bau tebu, bau padi, bata merah yang dibakar. Aku telah Yogyakarta setelah berhasil menjadi orang sibuk tidak mandi 2 hari, menggunakan excel untuk agenda-agenda padat. Dan bir dingin di antara janji- anji.

Aku telah dua kota dalam perjalanan dua jam bersambung sepeda jam 6 pagi. Biarlah aku sampai ke batas tepi ini, untuk jejak yang membuat lubangnya sendiri. Sebuah kota yang terbuat dari jam 6 pagi, dan aku mempercayainya seperti genta yang berbunyi tanpa berbunyi, bayangan gunungsebelum biru dan sebelum kelabu dan sebelum di sini.
____________
Afrizal Malna lahir di Jakarta, dan kini tinggal di Yogyakarta. Kumpulan puisinya antara lain Abad yang Berlari (1984), Arsitektur Hujan (1995), Dalam Rahim Ibuku Tak Ada Anjing (2002), dan Teman-temanku dari Atap Bahasa (2008).

Puisi-Puisi Heri Latief

http://sastra-indonesia.com/
Jakarta

kota lama eh stamboel tjatja
cahaya kota gemerlap berlian
laron pacaran di lampu jalanan

ibu kota sinetron politik uang
koruptor ngantre ambil nomor
penjara penuh penjahat berdasi

apalagi yang disandiwarakan nanti?
judulnya penyalahgunaan kekuasaan
diatur tangan tangan yang tak kelihatan

Amsterdam, 27/08/2011



Amsterdam

kota pelabuhan asal muasal kolonial
seperti puisi surrealis yang tragis?
kerajaan bukan sekedar lambang
konflik politik siapa yang menang?

kota misteri dilingkari jalan trem
berbecak dayung bermotor listrik
campuran budaya patatje oorlog
nasi goreng di lagunya wong indo

kota tua dan gedung gedung antiknya
eh ada angsa putih berenang di kanal
rumah kaca di daerah lampu merah
legitimasi sejarah budak masa lalunya

Amsterdam, 24/08/2011



Bling Bling MImpi

meraung sirene merobek keramaian
lukisan kota tua yang jauh di sana
kanal tempat orang buang sampah

saat hujan sekejap memberi ingat
dunia materi bukan jadi ukuran
bling bling di dunia miskin meratap

bayi bayi kering mati kelaparan
harga diri warga dunia yang sakit
obatnya dicari dalam mimpi mimpi

rakyat rajin ngapalin jajnji janji
harga sembako terbang ke langit
jika sekolah adalah ilmu yg mahal

awas! doa dendam orang kelaparan
jangan lupakan hari pembalasan
mari kita kemon nyadarkan napsu!

Amsterdam, 05/08/2011



Mata air Mata

adakah puisi surrealis yang bukan tragis?
tak ada yang tau apa maunya musim
jangan mau lagi terjebak mimpi sepi

menulislah sesuai apa kata hati
kata bersayap tak menunggu cerita
syairnya meleleh dari mata air mata

rindunya menulis sajak tanpa basa basi
siapa yang bisa membaca langit berawan?
dan badai emosi datang bersama hujan!

Amsterdam, 30/07/2011



Disihir puisi misteri hujan

tak ada yang tau kapan jadinya
sebaris sajak melupakan hujan
mungkin kau bermimpi lagi
dan siapa mampu merayu emosi?

di sihir puisi kata pemujaan
menghancurkan segala yang terbilang
membekas di hati terluka sayangku?
menunggu jawaban yang tak pernah selesai

mari kita menyontek dosa di kitab suci
cinta, siapa itu yang takut kehilangan?
mengganas badai tanpa setetes airmata

tarian mistik memuja sajak rembulan
jangan kau ragu merobek malam
dan jangan mau tersesat dalam diam!

amsterdam, 24/07/2011

Puisi-Puisi Acep Zamzam Noor

Kompas, 31 Jan 2010
Pada Sebuah Kafe (1)

Apakah kau sedang menyanyi untukku, atau tidak untuk siapa-siapa
Hanya kau sendiri yang tahu. Suaramu terdengar sayup-sayup
Di antara raung gitar dan gemuruh organ. Kulihat ada yang melayang
Seperti gumpalan awan, meliuk-liuk di udara, memasuki ceruk-ceruk sepi
Mengembara dari tiang ke tiang, menyambangi meja demi meja
Hingga ruang pun bergetar. Gelas-gelas berdentingan
Apakah kau sedang menyanyi untukku, atau menyuarakan luka dulu
Apakah sedang menghiburku, atau diam-diam menikam jantungku
Hanya kau sendiri yang tahu. Di atas lantai detik-detik menggenang
Menit-menit mengendap, lalu menguap pelan-pelan, menjadi detak jam
Yang berulang. Kata-kata yang didesiskan, nada-nada yang didesahkan
Seperti berasal dari keabadian. ”Mengapa cinta ini terlarang…” tanyamu
Hanya kau sendiri yang tahu. Hanya waktu yang akan mengerti lagu itu



Pada Sebuah Kafe (2)

Apa yang sedang kulakukan? Seperti biasa aku hanya diam
Memandangmu dari kejauhan sambil membayangkan silhuet senja
Bergerak-gerak di cakrawala. Atau tersenyum mendengar syair demi syair
Yang sebenarnya sederhana namun entah kenapa jadi begitu menggetarkan
Setiap kali kaunyanyikan. Ah, aku menyukai seleramu memilih warna pakaian
Dan ikat pinggang. Kuning, biru, merah, hitam, semuanya sedap dipandang
Apa yang harus kulakukan? Sungguh aku hanya ingin menikmati
Setiap keindahan yang teronggok di pojok-pojok sunyi. Aku sekedar ingin
Melihat semua yang lewat, mencatat semua yang nampak, merekam semua
Yang mengalun lamat-lamat. Kadang kecantikan mendekatkanku pada maut
Warna rambut mengingatkanku pada kefanaan, sedang ikat pinggang itu
Yang nyalanya berkedipan mengisyaratkanku pada batas ruang dan waktu
”Tuhan, berikan aku hidup satu kali lagi…” kudengar refrein itu berulang-ulang



Pada Sebuah Kafe (3)

Ketika kau mendekat ke mejaku dan melemparkan senyum kecil
Enam jerawat kulihat di wajahmu. Satu di atas alis, dua di dekat hidung
Serta tiga di sekitar rahang, dagu dan bibir yang warnanya merah marun
Tiba-tiba aku merasa sendirian di tengah gurun, di bawah lengkung langit
Dengan enam bintang yang berkedipan, yang jauh dari jangkauan tanganku
Musik menghentak lagi. ”Cinta mati, harus dijaga sampai mati…” teriakmu
Kini aku benar-benar sendirian di tengah gurun. Kulihat kau bergerak ringan
Di antara gumpalan awan, menggeliat di sela keremangan dan kegelapan
Enam jerawat membuat wajahmu semburatkan fajar meski yang nampak
Hanya samar-samar. Ketika gerimis berhamburan aku tak mengaduh
Ketika kilat berlesatan aku tak melenguh. Namun jauh di balik dadaku
Jauh di lubuk kesepian dan kerinduan enam bintang nyaris padam
”Hati-hati menjaga hati…” suaramu terdengar serak dan lamat-lamat



Pada Sebuah Kafe (4)

Ah, aku suka caramu tersenyum, caramu menengok, caramu
Mengangguk, caramu mengibaskan rambut, caramu menggerakkan
Kepala, caramu melangkahkan kaki, juga caramu berjoget ketika dangdut
Terpaksa kaubawakan juga. Kadang senyummu malu-malu, namun tangan
Yang kaukibarkan, bahu yang kaugerakkan, pinggul yang kauputarkan
Membuat dunia yang renta ini bergetar. Membuat semuanya kembali wajar
Ah, ah, aku suka gayamu mengedipkan mata, gayamu memonyongkan bibir
Gayamu menjulurkan lidah, gayamu menggenggam mikrofon, juga gayamu
Menunjuk-nunjuk dada sambil cemberut. Ah, ah, aku suka sepatu kuningmu
Yang tumitnya runcing, yang menarik sebuah garis lengkung pada lekuk betis
Aku suka celana ketatmu yang menjadikan garis tersebut seperti meliuk-liuk
Menyusuri tepi tubuhmu yang tipis. ”Aku bukan wonder woman…” desahmu
Hanya kau yang tahu siapa sebenarnya dirimu. Dunia memang lucu



Pada Sebuah Kafe (5)

Teruslah menyanyi untukku, atau untuk siapapun
Teruslah menyuarakan hatiku, atau hati ngungun siapapun
Sampai gelas-gelas kosong di meja, sampai tak ada lagi bunyi
Di bumi. Sampai tak ada lagi sisa nada, tak ada lagi sampah kata-kata
Yang masih bisa dijeritkan ke udara. Sampai gunung-gunung runtuh
Sampai tujuh lautan menjadi hamparan kebisuan yang utuh
Teruslah menyanyi untukku, atau untuk semua orang
Teruslah menggetarkan dadaku, atau dada rawan semua orang
Tapi lampu-lampu sudah dipadamkan. Tak ada lagi senyum manis itu
Tak ada lagi sorot mata indah itu, tak ada lagi rambut sebahu itu
Tak ada lagi tubuh ramping itu, tak ada lagi betis runcing berisi itu
Tinggal ujung lagu yang gemanya masih bersahutan jauh di selatan
”Aku harus kembali menjadi ibu,” bisikmu sambil melepas semua pakaian



Pada Sebuah Kafe (6)

Sore itu aku minum kopi panas, kafe masih sepi, lampu belum dinyalakan
Sepasang anak muda berpelukan. Terdengar denting dari arah organ
Entah siapa yang mengirimkan kesedihan itu ke mari, sebuah instrumentalia
Yang sudah lama kujauhkan dari telinga. Sore itu aku menghabiskan
Dua bungkus rokok kretek serta tiga cangkir kopi. Kau belum datang juga
Atau kau memang tak pernah datang sore-sore begini
Malam itu aku memesan bir dingin, tiga bungkus rokok kretek kusiapkan
Untuk melawan bosan. Meja-meja masih kosong, musik belum dimainkan
Organ menjadi makhluk yang menyendiri di sudut, anggun sekaligus terasing
Aku ingin menjadi bunyi yang muncul dari kekosongan, yang melenting sepi
Dari ruang ke ruang tak berhuni. Malam itu aku mereguk empat botol bir
Tiga bungkus rokok kretek kuisap sendirian. Kau belum datang juga
Atau kau memang tak pernah datang malam-malam begini

====
Acep Zamzam Noor adalah penyair dan pelukis kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat.
Kumpulan puisinya yang terbaru, Menjadi Penyair Lagi, meraih Khatulistiwa Literary Award 2006-2007. Sedang kumpulan puisinya yang lain, Jalan Menuju Rumahmu, mendapat SEA Write Award 2005 dari Kerajaan Thailand.

Puisi-Puisi Lina Kelana

http://sastra-indonesia.com/
BULAN KESIANGAN

geletar itu menjadi redam. bulan yang jatuh di kasurnya, menolak tumbuh di halaman. telah dibaginya surat dari sungai hingga terakhir sesapan. mata-mata yang dilajunya sepekan lalu, kini lunglai lututnya. tersungkur dengan dengkur yang mengubur setengah tubuhnya jadi lebih lebam dan biru. sungai telah berpindah ke tubuhnya.

bulan yang jatuh di kasurnya itu, Luruh sebelum amanatku sempat.

2010 – 2011



KOTA SUNYI

kota ini hantu, Bingo.
kusaksikan tubuh ibuku tanggal dari kalender.
kulitnya hitam, launnya luruh dari rahim napasku.

“setengah jiwamu dicuri sunyi, anakku.
temui sejarah. di sana sebagian jiwamu tinggal.
namun perjalanan, bukan kisah yang menyenangkan
di pagi hari,” kata ibuku sebelum hilang hening

kota ini hantu, bingo.
kusaksikan tubuh ibuku tanggal dari kalender.
kulitnya hitam, daunnya luruh dari rahim napasku.

2010-2011



SESEORANG YANG MENCARI PECAHAN KISAHNYA

pernah aku mencuri cahaya dari kerling matamu. ia berteriak, tentang detaknya yang hilang sebelum mekar pagi. lalu kuletak bolamataku untuk menggantikannya. lagi-lagi ia berteriak, tentang kilau yang tak habis membakar denyut yang hampir tumbuh. ia bercerita pada mata yang kosong. dunia yang tak genap, kisah pertemuan dengan masa lalu yang retak. lagi-lagi ia berteriak.

ia adalah pecahan dari masa yang tak ingin dikenang lagi.
ia adalah serpihan yang menyimpan racun pada tiap pecahan. ia lagi-lagi berteriak,
: “jangan ambil hidupku, jangan ambil hidupku!”

ia pantas berteriak,
dan sekali lagi.

2011

Puisi-Puisi Sapardi Djoko Damono

cetak.kompas.com 11 Jan 2009
 
Sonet 5
 
Malam tak menegurmu, bergeser agak ke samping
ketika kau menuangkan air mendidih ke poci;
ada yang sudah entah sejak kapan tergantung di dinding
bergegas meluncur di pinggang gelas-waktu ini.
Dingin menggeser malam sedikit ke sudut ruangan;

Puisi-Puisi Joko Pinurbo

Kompas, 21 Maret 2010
Embun

Subuh nanti aku akan jadi sebutir embun
di atas daun talas di sudut kebun.

Pungut dan sembunyikan di kuncup matamu
sehingga matamu jadi mata embun.
Atau masukkan ke celah bibirmu
sehingga bibirmu jadi bibir embun.

Sabar…, aku harus pergi dulu menjenguk
seorang bocah perantau yang sedang tertidur pulas
di bawah pohon besi di sudut kotamu.
Aku akan menetes di atas luka hatinya
yang merah menganga sampai ia terjaga:
“Terima kasih, telah kausangatkan perihku.”

Mungkin aku tetes terakhir dari hujan semalam
yang belum rela sirna sebelum bertemu
dengan ibusunyi dari bocah perantau itu.

Mungkin kau hanya akan memandangiku berkilau
di atas daun talas di sudut kebun
sampai aku menguap, lenyap, ke cerlap matamu.

(2010)



Orang Gila Baru

Sesungguhnya saya malas membaca sajak-sajak saya sendiri.
Setiap saya membaca sajak yang saya tulis, dari balik
gerumbul kata-kata tiba-tiba muncul orang gila baru
yang dengan setengah waras berkata,
“Numpang tanya, apakah anda tahu alamat rumah saya?”

Kuantar ia ke rumah sakit jiwa dan dengan lembut kukatakan,
“Ini rumahmu. Beristirahatlah dalam damai.”
Gila, ia malah mencengkeram leher baju saya dan meradang,
“Ini rumahmu, bukan rumahku.”

Pernah saya mendapatkannya sedang berlari-lari kecil
di jalanan panas, lalu mendadak berhenti, mendongak ke langit,
menghormat matahari. Kali lain saya menemukannya
sedang tercenung di pinggir jalan sambil tersenyum terus,
seperti orang malang sedang menertawakan nasibnya sendiri.
Saya hanya bisa berdoa dalam hati, semoga ia tidak pulang
ke dalam sajak-sajak saya.

Mungkin cara terbaik untuk mencegah kemunculannya
dan terhindar dari gangguannya adalah berhenti menulis.
Tapi kawan saya bilang, “Tanpa dia, sudah lama kamu mati.”

(2010)



Mas

Kota telah memberikan segala yang saya minta,
tapi tak pernah mengembalikan sebagian hati saya
yang ia curi saat tubuh saya dimabuk kerja.
Saya perempuan cantik, cerdas, sukses, dan kaya.
Semua sudah saya raih dan miliki kecuali diri saya sendiri.

Ah, akhir pekan yang membosankan. Ingin sekali
saya tinggalkan kota dan pergi menemuimu, mas.
Pergi ke pantai terpencil yang tak seorang pun bisa
menjangkaunya selain kita berdua. Saya ingin mengajakmu
duduk-duduk di bangku yang menghadap ke laut.
Akan saya bacakan sajak-sajak seorang penyair
yang tanpa sengaja menyampaikan cintamu kepada saya.

Wah, mas sudah lebih dulu tiba. Ia tampak gelisah
dan mondar-mandir saja di pantai. Saya segera memanggilnya:
“Ke sinilah, mas, jangan mandir-mondar melulu.”

Mas mendekat ke arah saya dan saya menyambutnya:
“Mas boleh pilih, mau duduk di sebelah kiri atau di sebelah
kanan saya.” Ia sedikit terperangah: “Apa bedanya?”
“Kiri: bagian diri saya yang dingin dan suram.
Kanan: belahan jiwa saya yang panas dan berbahaya.”

Diam-diam mas memeluknya dari belakang dan berbisik
di telinganya: “Kalau begitu, aku duduk di pangkuanmu saja.
Aku ingin lelap sekejap sebelum lenyap ke balik matamu
yang hangat dan sunyi. Sebelum aku tinggal ilusi.”
Perempuan itu merinding dan menjerit: “Maaasss….”

Pantai dan bangku mulai hampa. Senja yang ia panggil mas
lambat-laun sirna. Ah, begitu cepat ia rindukan lagi kota.

(2008)



Durrahman

Mengenakan kemeja dan celana pendek putih,
Durrahman berdiri sendirian di beranda istana.
Dua ekor burung gereja hinggap di atas bahunya,
bercericit dan menari riang.
Senja melangkah tegap, memberinya salam hormat,
kemudian berderap ke dalam matanya yang hangat dan terang.

Di depan mikrofon Durrahman mengucapkan pidato singkatnya:
“Hai umatku tercinta, dalam diriku ada seorang presiden
yang telah kuperintahkan untuk turun tahta
sebab tubuhku terlalu lapang baginya.
Hal-hal yang menyangkut pemberhentiannya
akan kubereskan sekarang juga.”

Dua ekor burung gereja menjerit nyaring di atas bahunya.
Durrahman berjalan mundur ke dalam istana.
Dikecupnya telapak tangannya, lalu dilambai-lambaikannya
ke arah ribuan orang yang mengelu-elukannya dari seberang.

Selamat jalan, Gus. Selamat jalan, Dur.
Dalam dirimu ada seorang pujangga yang tak binasa.
Hatimu suaka bagi segala umat yang ingin membangun kembali
puing-puing cinta, ibukota bagi kaum yang teraniaya.
Ketika kami semua ingin jadi presiden,
baju presidenmu sudah lebih dulu kautanggalkan.

(2010)



Doa Seorang Pesolek

Tuhan yang cantik,
temani aku yang sedang menyepi
di rimba kosmetik.

Nyalakan lanskap
pada alisku yang gelap.

Ceburkan bulan
ke lubuk mataku yang dalam.

Taburkan hitam
pada rambutku yang suram.

Hangatkan merah
pada bibirku yang resah.

Semoga kecantikanku tak lekas usai
dan cepat luntur seperti pupur.

Semoga masih bisa kunikmati hasrat
yang merambat pelan menghangatkanku

sebelum jari-jari waktu
yang lembut dan nakal
merobek-robek bajuku.
Sebelum Kausenyapkan warna.

Sebelum Kauoleskan lipstik terbaik
ke bibirku yang mati kata.

(2009)

Joko Pinurbo lahir 11 Mei 1962. Ia tinggal di Yogyakarta. Buku kumpulan puisinya antara lainCelana Pacarkecilku di Bawah Kibaran Sarung (2007).

Puisi-Puisi Denny Mizhar

Suara Pembaharuan 7 Agust 2011
Narasi-Narasi Kesepian

I
aku pacu kuda putih menyambut bulan yang hendak mengakhiri diri. ketika angka pada ekornya berubah wujudnya. di mana perawan aku kenang. dalam malam memampah waktu. siluet harum kenanga menyapa, memetiknya. menyelipkan di sela telinga. wajahmu masih wangi terasa bersetubuh dalam sembayangku yang sunyi.

II
satu persatu pergi. aku sendiri. tapi ini tak aku ingin. sebab kesepian bagiku mengerikan. di mana tuhan? dalam diriku pun tak ada: ada dalam tubuh perawan.

III
aku pernah membuat rumah dalam kepalamu. tetapi kerapuhan mengunjungi hingga roboh berkali-kali. aku pergi melambaikan senyum perpisahan–jarak fikir antara kita begitu absurd– aku tak menyesali: kepergian.

IV
satu persatu mereka pergi membawa mimpi dari hari yang dilewatinya. sedang aku masih di sini, sendiri. ah, tap apa. bukannya kesendirian juga punya ruang resonansi menembus langit. tetapi kadang juga mereka memaksaku berkemas menemui keramian yang tak kumaui. tidak, aku masih ingin sepi berkasih dengan Tuhan Yang Maha Suci.

V
jikalau langit sudah kau rebahi. bercintalah dengan perawan surga. segera kembali pada tanah yang kau pijaki. gembalakan anak-anak menuju rumahNya. aku masih menyaksikan tangis luka atas kemlaratan yang dihimpun dari kekuasaan tiran.

Malang, 2010



Ritus Kerinduan

I
sesayap matamu terbang pada keheningan malam
mengabarkan kerinduan pada sukmaku yang parau
dihimpit pertanyaan akan purnama sang perawan
memadu kasih dengan kesyaduhan suci

aku menelanjangi tubuhku, membelahnya hingga mata batinku
mengurai dosa-dosa adam dan hawa atas keterjatuhannya di bumi fana
memanggil Yusuf, belajar darinya arti kesetiaan atas godaan
berkeluh kesah pada Nuh, menumpakkan kerinduan yang membadai
persiapkan kapal guna arungi gelisah

adakah yang perawan selain Maryam
padanya aku mengaduh tentang persetubuhan

II
Tuhan, dalam diriku ada catatan dusta
hingga kerinduan tak dapat aku eja sempurna

ritus-ritus aku lafadzkan
bebunga mawar dan melati aku rangkai
merajut sepi menjadi mantra pemuja-Mu

kemana Halaj, Rumi, Rabi’ah?
aku ingin mabuk dengan mereka
aku siapkan anggur yang kucampur
dengan darahku

hingga hatiku bercinta dengan-Nya

Malang, 2011



Narasi-Narasi Hujan

I
pada pintu kesadaran
hujan rintik membimbingku
basah aku menuju pintu waktu

II
rerintiknya,
aku berteduh bersamamu
pada kepulangan ketika senja
menyapa dengan gelisah

III
aku basah, kau basah, kita sama-sama basah
dengan kebasahan aku mengecup bibirmu
ada sajak jelita di matamu

IV
pada sebuah warung saat hujan menderas
air matamu jatuh di cangkir kopiku
kuteguk berlahan dengan kisah lukamu

V
hujan, aku dan kamu
menjadi satu dengan sisa tanya
yang berkejaran dalam ruang sepiku

Malang, 2011

A. Mustofa Bisri A'yat Khalili Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Wachid B.S. Abi N. Bayan Abidah El Khalieqy Acep Syahril Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu AF Denar Daniar Afrizal Malna Agus Manaji Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Maltuf Syamsury Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Ala Roa Aldika Restu Pramuli Alfatihatus Sholihatunnisa Alfiyan Harfi Ali Makhmud Ali Subhan Amelia Rachman Amie Williams Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Andry Deblenk Anggie Melianna Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Aprinus Salam Ariandalu S Arieyoko Ksmb Arya Winanda As Adi Muhammad Asep Sambodja Atrap S. Munir Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Badaruddin Amir Bakdi Sumanto Bambang Darto Bambang Kempling Bambang Widiatmoko Beni Setia Beno Siang Pamungkas Bernando J. Sudjibto Bernard S. Y. Batubara Binhad Nurrohmat Budhi Setyawan Budi Palopo Bustan Basir Maras Chairul Abhsar Chavchay Saifullah Cut Nanda A. D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Afriady Dadang Ari Murtono Daisy Priyanti Daysi Priyanti Dea Anugrah Dea Ayu Ragilia Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Desti Fatin Fauziyyah Dewi Kartika Dharmadi Diah Budiana Diah Hadaning Dian Hartati Didik Komaidi Dimas Arika Mihardja Djoko Saryono Dody Kristianto Dorothea Rosa Herliany Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Edy Lyrisacra Effendi Danata Eimond Esya Eka Budianta Eko Hendri Saiful Eko Nuryono El Sahra Mahendra Ellie R. Noer Elly Trisnawati Emha Ainun Nadjib Endang Supriadi Endang Susanti Rustamadji Eny Rose Eppril Wulaningtyas R Esha Tegar Putra Esti Nuryani Kasam Etik Widya Evi Idawati Evi Melyati Evi Sefiani Evi Sukaesih Fadhila Ramadhona Fahmi Faqih Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fatimah Wahyu Sundari Fauzi Absal Felix K. Nesi Fikri MS Fina Sato Firman Wally Fitrah Anugerah Frischa Aswarini Gampang Prawoto Ghaffur Al-Faqqih Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Gunawan Maryanto Gunoto Saparie Gus tf Sakai Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamid Jabbar Hari Leo Haris del Hakim Hasan Al Banna Hasan Aspahani Hasta Indriyana Helga Worotitjan Heri Latief Heri Listianto Heri Maja Kelana Herlinatiens Hudan Hidayat Hudan Nur Ibnu Wahyudi Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilenk Rembulan Imam S Arizal Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santoso Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indrian Koto Isbedy Stiawan ZS Iwan Gunadi Javed Paul Syatha Jibna Sudiryo Johan Khoirul Zaman Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Saputro Jufri Zaituna Jusuf AN Kadek Wara Urwasi Kadjie Bitheng MM Kartika Kusworatri Kedung Darma Romansha Kika Syafii Kirana Kejora Kirdjomuljo Kurnia Effendi Kurniawan Junaedhie Kurniawan Yunianto Kusprihyanto Namma Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lailatul Muniroh Landung Rusyanto Simatupang Lela Siti Nurlaila Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Linus Suryadi AG Liza Wahyuninto Lubis Grafura Lutfi Mardiansyah M. Badrus Alwi M. Faizi Maghfur Munif Maghie Oktavia Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maqhia Nisima Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marwanto Mas Marco Kartodikromo Mashuri Mathori A. Elwa Matroni el-Moezany Maya Mustika K. Mega Vristian Miftahul Abrori Mohammad Yamin Muhammad Ali Fakih Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muntamah Cendani Mustiar AR Mustofa W Hasyim Mutia Sukma Nadjib Kartapati Z Nanang Suryadi Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Noor Sam Nunung S. Sutrisno Nur Iswantara Nur Lodzi Hady Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Pariyo Adi Pringadi AS Pringgo HR Puisi-Puisi Indonesia Purwadmadi Admadipurwa Puspita Rose Putri Sarinande R. Toto Sugiharto Rachmat Djoko Pradopo Raedu Basha Ragil Suwarno Pragolapati Rakai Lukman Rama Prabu Ramadhan KH Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Ribut Wijoto Rikard Diku Robin Al Kautsar Rozi Kembara Rudi Hartono Rusydi Zamzami S Yoga Sahaya Santayana Saiful Bakri Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Selendang Sulaiman Seli Desmiarti Sigit Sugito Sihar Ramses Simatupang Siska Afriani Sitok Srengenge Sitor Situmorang Slamet Rahardjo Rais Slamet Widodo Sosiawan Leak Sreismitha Wungkul Sri Harjanto Sahid Sri Jayantini Sri Setya Rahayu Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunardi KS Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutirman Eka Ardhana Syifa Aulia Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Ranusastra Asmara Teguh Triaton Tengsoe Tjahjono Tharie Rietha Thowaf Zuharon Timur Sinar Suprabana Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Ulfatin Ch Umbu landu Paranggi Unieq Awien Usman Arrumy W. Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyu Subuh Warih Wisatsana Wayan Sunarta Weni Suryandari Widi Astuti Wiji Thukul Winarni R. Y. Wibowo Yonathan Rahardjo Yosi M Giri Yudhi Herwibowo Yudhiono Aprianto Yurnaldi Yusri Fajar Yusuf Suharto Yuswan Taufiq Yuswinardi Zaenal Faudin Zainal Arifin Thoha Zamroni Allief Billah Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae