Selasa, 19 Juli 2011

Parade Puisi dari Hong Kong

Puisi-Puisi Menyambut Hari Buruh
http://nasional.kompas.com/

Pekerja Migran Indonesia
Mega Vristian

akulah pekerja migran Indonesia
ya kamilah mereka
yang sekarang kau lecehkan
yang kau pandang dengan penghinaan
karena meleceh dan memicingkan mata
adalah kesanggupanmu terunggul para pejabat negeriku
dunia pun tahu
dan dikenal hanya jago berdalih
hanya pintar munafik
-- budaya mutakhir globalisasi
ujud modernitas
kau bilang
saat kami tak lain dari budaknya

ketika negeri makin merosot kerja jadi fatamorgana
pengangguran di mana-mana silangsiur diantara kepapaan
membiarkan kami jadi korban pembunuhan dan jadi obyek seksual
para pejabat bungkam pandai mereka cuma berhitung
dari segi pembukuan devisa
tapi tak menjumlah duka nestapa kami
membiarkan siksa dan ajal menggoda mencemar harapan
Pikiran pejabat kami hanyalah unsur pantas diabaikan
karna pejabat makin rakus korupsi menghisap darah rakyat

Mari kita cermat berhitung menggantang keindonesiaan
patriotisme dan kemanusiaan
siapa yang khianat
siapa yang kkn
siapa yang merampok dan tidak
siapa yang minum darah dan tidak
siapa yang menjadikan bistik daging rakyatnya
siapa yang mengancam bangsa dan negeri
jabatan dan pangkat terlalu nisbi
apalagi uang bagiku hanyalah takaran semu
terlalu munafik bagi hakekat

akulah pekerja migran Indonesia
ya kamilah mereka
tak kukhianati Indonesia kampung-halaman
dengan caraku mencintai negeri
kendati tak pernah kau hitung
dan akupun memang tak bersandar pada hitunganmu

kau lecehkan aku
tapi aku bukan pengemis walau kau hinakan
aku bukan kuruptor negeriku walau kemiskinan membantai
tapi dengan keringat sendiri ingin membangun masa depan
kami terpaksa merantau dari pada menambah angka pengangguran
sebab para pejabat cuma sibuk memperkaya diri
tak serius memikirkan nasib rakyat miskin

akulah pekerja migran Indonesia ya kamilah mereka
kalian katakan budak kekinian disingkirkan negeri
tapi catat!
dan kuucatat sudah memang di lembaran siang dan malam
kitab harian bumi
siapa budak sesungguhnya
siapa indonesia yang sejati
di sini jabatan dan pangkat
tak lagi jadi takaran kemanusiaan!
aku masih indonesia kutunjukkan sudah bangsaku
dengan duka dan luka tercatat di parut dahi
dan kuterakan di lembaran waktu
Indonesia milik kami juga
Indonesia bukan monopoli para pejabat koruptor
maka kami yang pekerja migran Indonesia ini
bertekad bersatu bangkit melawan ketidak adilan

Hong Kong, Hung Hong, Mei 2010



Masih Terus Berjuang
Puspita Rose

masih..masih seperti semula
ranum angin berhembus mesra
batu karang tetap bertahan
mentari pagi belum bosan bersinar
bintang gemintangpun masih setia

air mengalir ketitik muara
daun-daun bertasbih mengagungkan nama-Nya
burung-burung terbang bebas keangkasa
pun bulan masih pamer keelokannya

sedang kami juga masih disini
menyemai harapan yang tiada pasti
entah mengapa sedikitpun tak beranjak pergi
padahal tahun telah berganti

masih..masih disini
dengan beribu harap yang ada dihati
menantimu mengurai janji
dalam tuntutan kami

jangan anggap kami tak bisa apa-apa
jangan anggap kami tak punya nyali
buruh kasar bergaji rendah
ingat dan camkan..buruh kasar
sekali maju maka tak gentar

bersatu demi keadilan
berjuang untuk kesejahteraan
mari terus berjuang kawan
demi hak dan kewajiban

Couseway bay,17 April 2010



Manusia Separuh Setan
Unieq Awien

Apa itu demokrasi
Apa itu hak azasi
Keadilan ?!
Ah . . .

Mereka bilang kami ini pahlawan devisa
Itu yang digembar gemborkan di koran koran
Kenyataan ?
Harga kami tak lebih dari hewan
Di penampungan, di terminal terminal
Di gedung pengesahan, bahkan di bandar bandar kehidupan
Kami diperas kami dimanfaatkan
Para pejabat dan menteri
Cuma sekilas mengenal tak mau memahami permasalahn kami
Abang preman ikut merampas hak kami
perut mereka menagih makan

Ya !
Penghisap darah buruh, rakus
Berubah menjadi manusia separuh setan

Tai Hang Drive, 23 maret 2010



Pengorbanan Tiada Henti
Sreismitha Wungkul

Kutarik nafas lega
Setelah ku lihat lebatnya buah pada pohon yang kutanam
Kulitku yang menghitam
Tanganku yang kapalan
Urat-urat yang menonjol dibetisku
Semua tak kurasakan kehadirannya.
Senyum bangga tersungging dari bibir keringku
Ketika kusadari
Tunai sudah tugas yang ku emban
Perjuangan panjang kulalui
walau kadang diiringi keluh kesah.
Tapi aku tetap berjalan.
merangkak
terseok
terperosok dengan sigap ku berdiri kembali diatas kaki kurusku
Walau orang-orang disekitarku menyebutku lilin yang mampu menerangi sekitar,
tapi pelan namun pasti badan meleleh habis terbakar
Aku rela... Aku ikhlas...
Demi ku lihat pohon dengan ranum buahnya.

(Hang Hau. 22 April 2010)



Aku Masih Perempuan
Maqhia Nisima

Saat lahir aku perempuan
hingga kini tetap perempuan
Besokpun aku juga masih perempuan
Bahkan ajal menjemput dengan tegas tetap perempuan

Tapi
Semangatku ganda
Perjuanganku bagai dua insan
Tugas adilku juga menduakan

Hingga...aku sadar...
Bahwa aku adalah seorang perempuan
masih butuhkan kasih sayang
masih rindukan sebuah perlindungan

Benarkah semua ini?
Tanya ku dan kujawab sendiri
Memang benar
semua benar

Bahwa aku wanita
Yang seharusnya mengaku
tetap wanita.
sekuat apapun diriku tetap perempuan

Lalu...
Apakah kita sejajar menikmati hidup
Ya..sejajar dengan laki-laki
bahwa wanita punya hak bahagia

Hong Kong, Mei 2010



Ratapan Srikandi Negeri
Tharie Rietha

Kami tinggalkan tanah lahir dengan getir
Menuju rantau yang berkilau seperti mata pisau
Butir-butir harap kami semai
Di tanah indah penuh duri
Namun tangan-tangan rakusmu mulai menjarah
Menjamah kecambah-kecambah asa yang masih belia
kau gugurkan harapan
Membuat kami hidup dalam kelaparan
Lapar akan keadailan,yg kau jelmakan dengan nama peraturan
harga jual kau hitung setiap nyawa
Itukah peraturanmu? keadilannu?
Yg telah mencekik leher-leher srikandi berbudi
Kau agung-agung jasa kami menopang ekonomi negeri
Bahkan kau gelari kami setara pahlawan
Dusta!
Bagimu kami hanya sapi perah
Yang kau rodikan hingga airmata ini berdarah
Ingatlahhari ini kau boleh tertawa gagah
Tapi kami para srikandi negeri
takkan pernah menyerah kalah walau harus meregang nyawa

Sheung Shui, 17 April 2010



Kepada Bapak Penguasa
Etik Widya

Bapak-bapak berdasi
Dengarlah keluh kesah kami

Bapak-bapak bergaji tinggi
Rasakanlah kegetiran batin kami

Bapak-bapak penguasa bangsa
Lihatlah, kami masih menderita

Ah
Sudahlah
Beribu kali mengiba
Berjuta kali meminta
Kau masih diam saja

Kau bangga Ketika rakyatmu berbondong-bondong menjual jasa
Kau kian sibuk
Menghitung banyaknya kucuran devisa

Kau palingkan muka
Ketika kami mengadu tanpa lampiran bukti
Kau pura-pura peduli
Ketika segala penyiksaan terkuak ke permukaan
Kau pura-pura berduka
Ketika kawan kami pulang tanpa nyawa

Bapak-bapak penguasa negeri
Masih banyak lagi
Derita yang menyita kebahagiaan kami

Kami tak butuh gelar pahlawan
Kami hanya butuh perlindungan.

Aberdeen, 24 april 2010



Ronce Bunga Putih
El Sahra Mahendra

Teronce bunga putih
Tergantung di sisi rumah kabung
Ketika gadis kecil itu masih belum tau arti kepergiannya
Namun ketika pulang dia tau emaknya tak mampu lagi tersenyum

Gadis kecil dengan gaun kuning menata lurus
Disitu emaknya tertidur
Pulas memeluk mimpi mimpi indah
Dalam sangka dia bertanya " Seperti inikah cita-cita emak ?"

Tetes air surga dari matanya yang bening
Jatuh mengaliri lekuk wajah polosnya
" Dari negeri seberang sana emak telah bisu ."
Emaknya adalah saksi sejarah yang tak ingin bicara

Ronce bunga putih telah layu
tergeletak di nisan tanpa tanda kebesaran
sebagai penanda pahlawan devisa

Tsuen-Wan 25, April 2O1O



Jeritan Buruh Migran
Muntamah Cendani

Kawan
Mari kita berjuang
Bersatu merapatkan barisan
Satukan hati dalam tekad
Bersama kita songsong perbaikan
Untuk merengkuh hak-hak kita
Yang terenggut dan terkebiri

Sebersit tanya menguak rasa
Dimana mereka yang selalu berkata kepentingan rakyat ?
Dimana mereka yang berkata menyejahterakan rakyat ?
Mengapa mereka menutup mata?
Mengapa mereka berlalu tanpa kata ?
Mengapa mereka diam mendengar jerit kami ?
Mendengar ratap kami yang terhina di luar negeri ?

Tetes peluh membasah ditingkah amarah
Jeritan membara dari yang tertindas
Gejolak berkobar berkelindan geram
Kami bukan dagangan !
Kami bukan komoditi !
Kami bukan obyek eksploitasi !
Kami manusia yang punya harga diri
Mengapa tak satupun berpihak terhadap kami ?

Yuen Long 18-4-2010



Aku Seorang Pekerja!
Elly Trisnawati

aku tak punya ketrampilan, katamu
aku tak pantas disebut pekerja, katamu
aku tak pantas dilindungi, katamu
aku kau perlakukan sebagai budakmu

lalu, siapa yang selama ini mengurus anakmu?
siapa yang selama ini mengurus kakek-nenekmu yang telah renta itu?
siapa yang selama ini menjadi koki di rumahmu dengan menu kegemaranmu?
siapa yang selama ini menjadi cleaning service pribadimu?
siapa pula yang selama ini menjadi akuntan belanja harian pribadimu?

tak cukupkah itu disebut sebagai pekerjaan?
sedang kau sendiri tak bisa melakukannya
tak cukupkah itu disebut sebagai ketrampilan?
sedang kau sendiri tak mungkin mampu melakukannya

aku tak pernah menginginkan sebuah pujian
cukuplah sebuah pengakuan
aku seorang pekerja!
cukuplah sebuah pengertian
aku bukan budakmu!
cukuplah sepatah kata
kita manusia tanpa beda!

Hong Kong, Sai Ying Pun

Biografi Para Penulis: Mega Vristian, Puspita Rose, Sreismitha Wungkul, Maqhia Nisima, Tharie Rietha, Etik Widya, El Sahra Mahendra, Muntamah Cendani, Elly Trisnawati, Unieq Awien: Adalah pekerja migran Indonesia di Hong Kong. Di antara kesibukan kerja selalu menyempatkan menulis sebagai usaha menghidupkan kecintaan kepada sastra Indonesia.

Silakan kirim tulisan/karya anda ke jodhi@kompas.com .Redaksi tidak menyediakan honorarium untuk karya yang dimuat. Harap maklum.
Sumber: http://nasional.kompas.com/read/2010/05/01/03562038/

Senin, 18 Juli 2011

Puisi-Puisi Gita Nuari

http://www.suarakarya-online.com/
SEBUAH CATATAN

setelah yang ada tiada
aku baru mulai merasakan
betapa hidup
adalah sebuah pergerakan.
seperti angin di kamarmu,
datang mendinginkan dirimu
pergi memanaskan hatimu
meski kau dapat bernyanyi
tapi untuk siapa lagu itu
lelaki yang terpuruk di ujung jalan
barangkali ia penyebab
engkau mengurung diri di antara ada dan tiada
dan kau ingin menjelma jadi sebuah legenda
bagi masa seratus tahun ke depan
untuk dicatat, dilegendakan kembali
sebagai perempuan pendongeng bagi para lelaki hidung belang
dan tanganmu yang berlumpur itu
menggambarkan sebuah peta pikiran yang kusut.
juga cincin di jarimu
yang kau bilang dari lelaki
yang nekat mengikatmu
adalah janji semu
yang mungkin akan terbakar
saat ia terkapar
di atas ranjang milik wanita lainya, mungkin
aku takkan hadir saat engkau merindukan sebuah taman
yang dapat membalut
tubuhmu dari kepungan asap
yang memerihkan mata.
tapi jalanmu telah mati
juga arah yang menuju taman itu
telah tertutup ilalang.
dan kau tak mungkin
menyibaknya dengan tanganmu
yang berlumpur itu,
yang tiba-tiba mengeras seperti batu
aku akan membiarkanmu lagi
sampai kau kembali jadi sebuah mimpi
yang kerap muncul dalam tidurku membawa ranting kering
dimana pada tangkainya
menggelantung bangkai pikiranku
yang tak sudi kau dengar sebelumnya.

Depok, 2011



MATAHARI DI JARI MANISMU

aku melihat di jari manismu
matahari melingkar
seperti akar kehidupan
yang dirindukan para pecundang.
tapi kau meninggalkan perahumu
begitu saja tanpa ikutan
atau tonggak di pantai
pelangi menyepuh rambutmu.
anak-anak mengara
kobor di jalan raya,
membentuk iring-iringan seperti burung bangau
di atas awan nan kering
seperti mencari keabadian
di antara belukar hidup
yang bergelombang
kuaminkan setiap langkah.
kota-kota yang tergerus di wilayah yang tandus
mengulum wajah-wajah letih
biarlah keringatku menjadi
lembaran surat agar langkah
tetap kembali ke rumah.

Depok, 2011



MENUAI BAYANGANMU

aku menuai bayanganmu
dari dinding pintu
sampai ujung sungai.
tak betah lagi aku
sebagai busa
yang hanya bisa menyimpan
bayangmu sekejap.
berilah aku langit sepotong
agar aku punya awan.
berilah aku laut sepotong
agar aku punya gelombang
kini aku telah jadi
tangkai di halaman rumahmu.
terayun-ayun oleh tingkah
burung-burung liar.
aku ingin tertanam di dadamu
dengan air sungai
yang terus mengalir
dari pori-porimu
maka aku akan tumbuh
selalu di tubuhmu.

Depok, 2011



SEEKOR KUPU KUPU

seekor kupu-kupu terperangkap
di dalam komputermenabraki dinding monitor.
segelas kopi menyulappagi jadi hitam,
seperti rambutmu yang engkaugeraikan ke udara.
jam 9 aku harus ke rumah sakit,katamu. menjenguk orang-orang
yang kehilangan matahari.
aku titip slang infus dan oksigen.
jiwa ini begitu pengap
oleh propaganda kepalsuan, kataku langkahmu
di teras tanpa jejak.
begitu cepat kehilangan.bayang. kehadiran sering sungsang.
kopi hitam dalam gelasmengapungkan aroma gamang.
jalan-jalan dilintasi parapelayat nasib.
mereka meneriaki mimpinya
yang terbakar semalam.
sudah dapatkah slang infus
untuk jiwaku yang ikut terjebak di dalam komputer
kehidupan yang rancu ini?

Depok, 2011

Puisi-Puisi Syifa Aulia

http://sastra-indonesia.com/
WAKIL RAKYAT

Selamat menjalankan ibadah puasa Pak SBY…
bapak Presidenku yang gagah dan dikagumi ibu-ibu.

Semoga rasa lapar menjadikan bapak rendah diri
dan ingat mereka yang di kolong jembatan,

pernahkah bapak memikirkan
apa menu mereka buat buka puasa nanti?

Terlintaskah di pikiran bapak akan nasib mereka? Ataukah bapak
menganggap mereka hanya mengotori indahnya Ibu Kota?

Saat bapak shalat tarawih di masjid Istiqlal
adakah bapak mendoakan mereka?…



MALAM

ketika matahari berpulang
pertanda hadirmu

lelaplah di atas tubuh
yang ku serahkan
pada bumi untukmu

hadirmu…

sejenak membuat ruh-ruh
meninggalkan raga
melayang menikam langit petang
merajut mimpi yang ternisbikan

gelapmu…

menandai sang kupu-kupu malam
telah siap mengepakkan sayap
menuju selangkangan
di ujung simpang jalang

indahmu…

selalunya bersambutkan
berjuta bintang
dengan gempita turut menyaksikan
pengaduan atas dosa-dosa termuda

25-07-2010



PERSAMAAN YANG BATU

betapa persamaan itu
mengundang prahara pada
akhirnya

mengaburkan makna dan arti
sesungguhnya

persamaan yang terpaksa
membuat hati pecah
karena lidah yang pedang

sungguh setelahnya
tiada lelap kuraih

terus kusebut namamu
diam-diam sekaligus terus terang

sebab telaga matamu
mengapungkan
dosa-dosa atas namaku

28-06-2010



BETINA ITU

kau hampir saja berhasil
membuat aku gila

kau pembawa kering dan terik
penghisap bintik-bintik
air dari arakan mega

kau datang dengan
tawa bahakmu

berhasil merobohkan
tangga dalam rumahku

paku-paku yang begitu kuat
tertancap tercerabut serta

kau perbesar simpang siur
dan lalu lintas
dalam penderitaanku

27-06-2010



MANUSIA GAGAL

betapa nyaman
bersandar di bahuMu

mengadukan segala
gundah termuda

hanya di saat butuh
aku mencariMu
memuji kebesaranMu

apakah aku layak
di sebut manusia?

sementara aku dengan sadar
melanggar garis
batas perintahMu

aku dengan segala ke”aku”anku
selalu menuntut lebih
atas pemberianMu

manusiakah aku?

A. Mustofa Bisri A'yat Khalili Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Wachid B.S. Abi N. Bayan Abidah El Khalieqy Acep Syahril Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu AF Denar Daniar Afrizal Malna Agus Manaji Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Maltuf Syamsury Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Ala Roa Aldika Restu Pramuli Alfatihatus Sholihatunnisa Alfiyan Harfi Ali Makhmud Ali Subhan Amelia Rachman Amie Williams Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Andry Deblenk Anggie Melianna Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Aprinus Salam Ariandalu S Arieyoko Ksmb Arya Winanda As Adi Muhammad Asep Sambodja Atrap S. Munir Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Badaruddin Amir Bakdi Sumanto Bambang Darto Bambang Kempling Bambang Widiatmoko Beni Setia Beno Siang Pamungkas Bernando J. Sudjibto Bernard S. Y. Batubara Binhad Nurrohmat Budhi Setyawan Budi Palopo Bustan Basir Maras Chairul Abhsar Chavchay Saifullah Cut Nanda A. D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Afriady Dadang Ari Murtono Daisy Priyanti Daysi Priyanti Dea Anugrah Dea Ayu Ragilia Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Desti Fatin Fauziyyah Dewi Kartika Dharmadi Diah Budiana Diah Hadaning Dian Hartati Didik Komaidi Dimas Arika Mihardja Djoko Saryono Dody Kristianto Dorothea Rosa Herliany Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Edy Lyrisacra Effendi Danata Eimond Esya Eka Budianta Eko Hendri Saiful Eko Nuryono El Sahra Mahendra Ellie R. Noer Elly Trisnawati Emha Ainun Nadjib Endang Supriadi Endang Susanti Rustamadji Eny Rose Eppril Wulaningtyas R Esha Tegar Putra Esti Nuryani Kasam Etik Widya Evi Idawati Evi Melyati Evi Sefiani Evi Sukaesih Fadhila Ramadhona Fahmi Faqih Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fatimah Wahyu Sundari Fauzi Absal Felix K. Nesi Fikri MS Fina Sato Firman Wally Fitrah Anugerah Frischa Aswarini Gampang Prawoto Ghaffur Al-Faqqih Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Gunawan Maryanto Gunoto Saparie Gus tf Sakai Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamid Jabbar Hari Leo Haris del Hakim Hasan Al Banna Hasan Aspahani Hasta Indriyana Helga Worotitjan Heri Latief Heri Listianto Heri Maja Kelana Herlinatiens Hudan Hidayat Hudan Nur Ibnu Wahyudi Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilenk Rembulan Imam S Arizal Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santoso Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indrian Koto Isbedy Stiawan ZS Iwan Gunadi Javed Paul Syatha Jibna Sudiryo Johan Khoirul Zaman Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Saputro Jufri Zaituna Jusuf AN Kadek Wara Urwasi Kadjie Bitheng MM Kartika Kusworatri Kedung Darma Romansha Kika Syafii Kirana Kejora Kirdjomuljo Kurnia Effendi Kurniawan Junaedhie Kurniawan Yunianto Kusprihyanto Namma Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lailatul Muniroh Landung Rusyanto Simatupang Lela Siti Nurlaila Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Linus Suryadi AG Liza Wahyuninto Lubis Grafura Lutfi Mardiansyah M. Badrus Alwi M. Faizi Maghfur Munif Maghie Oktavia Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maqhia Nisima Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marwanto Mas Marco Kartodikromo Mashuri Mathori A. Elwa Matroni el-Moezany Maya Mustika K. Mega Vristian Miftahul Abrori Mohammad Yamin Muhammad Ali Fakih Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muntamah Cendani Mustiar AR Mustofa W Hasyim Mutia Sukma Nadjib Kartapati Z Nanang Suryadi Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Noor Sam Nunung S. Sutrisno Nur Iswantara Nur Lodzi Hady Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Pariyo Adi Pringadi AS Pringgo HR Puisi-Puisi Indonesia Purwadmadi Admadipurwa Puspita Rose Putri Sarinande R. Toto Sugiharto Rachmat Djoko Pradopo Raedu Basha Ragil Suwarno Pragolapati Rakai Lukman Rama Prabu Ramadhan KH Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Ribut Wijoto Rikard Diku Robin Al Kautsar Rozi Kembara Rudi Hartono Rusydi Zamzami S Yoga Sahaya Santayana Saiful Bakri Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Selendang Sulaiman Seli Desmiarti Sigit Sugito Sihar Ramses Simatupang Siska Afriani Sitok Srengenge Sitor Situmorang Slamet Rahardjo Rais Slamet Widodo Sosiawan Leak Sreismitha Wungkul Sri Harjanto Sahid Sri Jayantini Sri Setya Rahayu Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunardi KS Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutirman Eka Ardhana Syifa Aulia Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Ranusastra Asmara Teguh Triaton Tengsoe Tjahjono Tharie Rietha Thowaf Zuharon Timur Sinar Suprabana Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Ulfatin Ch Umbu landu Paranggi Unieq Awien Usman Arrumy W. Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyu Subuh Warih Wisatsana Wayan Sunarta Weni Suryandari Widi Astuti Wiji Thukul Winarni R. Y. Wibowo Yonathan Rahardjo Yosi M Giri Yudhi Herwibowo Yudhiono Aprianto Yurnaldi Yusri Fajar Yusuf Suharto Yuswan Taufiq Yuswinardi Zaenal Faudin Zainal Arifin Thoha Zamroni Allief Billah Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae