Senin, 13 September 2010

Puisi-Puisi Hamid Jabbar

http://www.sastra-indonesia.com/
LAPANGAN RUMPUT, SISA EMBUN DAN MASA KANAK-KANAK

Lapangan rumput, sisa embun dan masa kanak-
kanak menggelinding bagai bola, serangga tak
bernama, impian-impian dan entah apa-apa.
Menggelinding bagai bola, sebuah lomba tentang
bahagia, gol dan sukses, tetapi yang terjaring adalah
nasib dan bukan tidak apa-apa. Peluit tidak
berbunyi, aturan-aturan dibuat dan dimakan,
mengenyangkan isi kepala yang menggelinding dari
sudut ke sudut. Tendang dan kejar. Tendang dan
menggelepar. Batu dan kaca. Kaca dan mata. Pecah
dan luka. Menggelinding bagai bola, sebuah lomba
tentang bahagia, tetapi dunia jadi embun masa
kanak-kanak, rumputan dan serangga dan sejuta
suara warna-warna dan impian-impian
menggelembung jadi sesuatu yang bernama luka,
tetapi bahagia, bukan, bukan-bukan, ternyata kuda-
kuda memakan rumput dan meninggalkan embun
dalam ringkiknya.

“Hidup bung, merdeka atau mati…”

1978
Horison, no. 4, th XVIII, April 1983



DI TAMAN BUNGA, LUKA TERCINTA

Di taman bunga, cinta dan luka
mekar juga bersama. Para pelayat
melebur-cucurkan rindunya bersama
gaung serangga. Seperti berlagu

Kanak-kanak dari surga menyapa
embun dan kabut. Seperti malaikat
hinggap pada mainan kanak-kanak
di taman bunga, luka tercinta

Dan kau terbaring di sana, kekasih
di kelopak mimpi, kemanusiaan, masih…

1981
Horison, no. 4, th XVIII, April 1983



BANYAK ORANG MENANGIS KEKASIH

banyak orang menangis, kekasih, banyak orang
menangis sepanjang gang sepanjang hari-hari
menangis seperti ayam, di matamu, banyak orang
mengalir sepanjang lambai sepanjang sangsai
meleleh di pipimu, kekasih, di pipimu sayang
banyak orang dalam tangis rasa-tak-sampai
membadai

badai orang begitu perih menagis sepanjang gang
badai ayam begitu letih berkotek berkandang-
kandang
badai pipimu begitu pedih meraih sesayat terang
kekasih, sementara hanyalah ini: gerimis sunyi dan sekalah matamu dan eramlah telur
Columbusmu
benua sayang
surga yang hilang!

1981
Horison, no. 4, th XVIII, April 1983
Keterangan postingan PuJa: tiga puisi di atas di ambil dari buku bertitel TONGGAK, Antologi Puisi Indonesia Modern 4, editor Linus Suryadi AG.

Hamid Jabbar, Lahir tanggal 27 Juli 1949 di Kota Gadang, Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Meninggal dunia di atas panggung, kala membaca puisi di Universitas Islam Negeri Jakarta, pada pukul 23.00, tanggal 29 Mei 2004 dalam usia 55 tahun.

Puisi-Puisi A. Mustofa Bisri

budhisetyawan.wordpress.com
STASIUN

kereta rinduku datang menderu
gemuruhnya meningkahi gelisah dalam kalbu
membuatku semakin merasa terburu-buru
tak lama lagi bertemu, tak lama lagi bertemu

sudah kubersih-bersihkan diriku
sudah kupatut-patutkan penampilanku
tetap saja dada digalau rindu
sabarlah rindu, tak lama lagi bertemu

tapi sekejap terlena
stasiun persinggahan pun berlalu
meninggalkanku sendiri lagi
termangu



GELISAHKU

gelisahku adalah gelisah purba
adam yang harus pergi mengembara tanpa diberitahu
kapan akan kembali
bukan sorga benar yang kusesali karena harus kutinggalkan
namun ngungunku mengapa kau tinggalkan
aku sendiri
sesalku karena aku mengabaikan kasihmu yang agung
dan dalam kembaraku di mana kuperoleh lagi kasih
sepersejuta saja kasihmu
jauh darimu semakin mendekatkanku kepadamu
cukup sekali, kekasih
tak lagi,
tak lagi sejenak pun
aku berpaling
biarlah gelisahku jadi dzikirku

Jakarta, 2002

(diambil dari buku: NEGERI DAGING, karya A. MUSTOFA BISRI, penerbit Bentang Budaya, cetakan pertama, September 2002)

Puisi-Puisi Ramadhan KH

http://budhisetyawan.wordpress.com/
3

bumi ini dibawa ke alam hijau
dan perang tiada
di atas tali-tali kayu berlubang

sumur segala derita,
bersamaan semua berpelukan

bumi ini dibawa ke alam hijau
dan perang tiada
di atas hati-hati dara terluka

sumur segala sayatan,
penampung tangis bertukaran

[dari sub-kumpulan Dendang Sayang]



3

penyair
kayu pertama
di tumpukan pembakaran

penyair
abu landasan
di tumpukan reruntuhan

dara!
bimbang hanya
mencekik diri sendiri!

dara!
takut hanya
buat makhluk pengecut!

[dari sub-kumpulan Pembakaran]

(diambil dari buku: Priangan Si Jelita, Kumpulan sajak 1956 Ramadhan KH, Penerbit Pustaka Jaya, cetakan keempat, tahun 2000)

Puisi-Puisi Sitor Situmorang

http://budhisetyawan.wordpress.com/
SURAT KERTAS HIJAU

segala kedaraannya tersaji hijau muda
melayang di lembaran surat musim bunga
berita dari jauh
sebelum kapal angkat sauh

segala kemontokan menonjol di kata-kata
menepis dalam kelakar sonder dusta
harum anak dara
menghimbau dari seberang benua

mari, dik, tak lama hidup ini
semusim dan semusim lagi
burung pun berpulangan

mari, dik, kekal bisa semua ini
peluk goreskan di tempat ini
sebelum kapal dirapatkan



DUKA
kepada Chairil Anwar

manakah lebih sedih?
nenek terhuyung tersenyum
jelma sepi abadi
takkan bertukar rupa

atau petualang muda sendiri?
gapaian rindu tersia-sia
tak sanggup hidup rukun
antara anak minta ditayang

sekali akan tiba juga
takkan ada gerbang membuka
hanya jalan merentang
sungguh sayang cinta sia-sia

manakah lebih sedih?
nenek terhuyung tersenyum
atau petualang mati muda
mengumur duka telah dinujum

(diambil dari buku: SURAT KERTAS HIJAU, kumpulan sajak SITOR SITUMORANG, Penerbit Dian Rakyat, cetakan ketiga, tahun 1985)

Puisi-Puisi Hamdy Salad

http://www.jawapos.com/
BULAN MELAYANG

Guyur aku dengan darah panasmu
dan biarkan kompor gas itu menyala
mematangkan butiran beras
daging cinta dan urat-urat biru
sekujur tubuhku. Bulan melayang
lepas cahaya dari ikatan malam
menyusup tanganmu ke dalam dada
memeras pahit empedu
dekat jantungku. Luka pun berbunga
menari-nari di ujung tangkai
tegak berdiri menghunjam tanah
saat langit menggambar wajahmu
dan bumi bersinar di telapak kakiku

Duhai penjaga asmara yang setia
kibarkan tujuhpuluh sayapmu
agar aku bisa terbang kembali
menempuh rindu tanpa nafsu bidadari

(2010)



MIMPI BERJALAN

Di atas gelombang samuderaku
mimpi-mimpi berjalan tanpa kaki
menolak dandan pengantin baru
melepas jubah dan pakaian
bagai perahu sedang berlabuh
pulang dan pergi ke tepi pantai
mencari pangkal segala ruh
di antara topan dan badai

Separuh bayang-bayang meregang
dan melenguh di sisi ranjang
suntuk jiwaku dalam dekapan
harum lempung dadamu
kuhirup sampai hilang purnama
di antara kekalahan dan kemenangan
di antara kehidupan dan kematian

Suara sembilu bertalu-talu di udara
membawa pergi semua yang terluka

(2010)



BINTANG PAGI

Bintang pagi wajahmu
masih juga berseri di langit itu
walau fajar telah merekah
dan bumi berdarah-darah

Tapi entah, kapan aku bisa bertemu
dekap erat kilau tubuhmu
sepanjang mimpi yang diberkahi

Angin lalu menggulung kesepian
dingin matamu menjelma jam tangan

Bau rindu menyengat pernafasanku

(2010)



TAK MATI-MATI

Kenapa cinta itu tak mati-mati
di sini, di lambung kosong ini
terus menari bersama usus duabelas jari
mengaduk biji-biji cabe dan tomat merah
sampai duka kembali ke rahim sunyi
dan pohon berbuah di dalam rumah
mengusap airmata doa
mengucap doa airmata
tepati janji di ujung sajadah

Sebilah pisau berkilat dari pinggangmu
tapi darahku telah mengalir lebih dahulu
melukis resahmu di empat penjuru

(2010)



KUPU-KUPU TERBANG

Kupu-kupu terbang sendirian
mencari jejakmu yang berbunga
di atas pundak batu karang
kala cermin membuka kelambu
rahasia ombak dan gelombang

Lalu usia menumbuk waktu
hingga pasir dan debu bersinar
di tepi lautmu. Masa lalu kelaparan
meminta dagingku jadi cincangan
saat senja mulai bertandang
menabuh dadaku bagai genderang

Maka itu kasihku, medekatlah!
peluk jiwaku dalam selimutmu
jangan tinggalkan aku sendirian
jangan biarkan aku kebingungan

(2010)


Hamdy Salad, dosen Creative Writing Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta. Menerbitkan kumpulan puisi: Sebutir Debu Di Tepi Jurang (2004), Rubaiyyat Sebiji Sawi (2004), Sajadah di Pipi Mawar (2005), Mahar Cinta Bagi Kekasih (2005), Dzikir Logam (Dami, 2009).

Puisi-Puisi Indra Tjahyadi

http://www.jawapos.co.id/
HIKAYAT BAJAK LAUT
: trombol

berdayungkan ombak berlayarkan angin
: ”hai! mau ke mana, bung?”
rambut kuncir ekor kuda tumbuh uban satu satu
lengan kekar sebesar akar sengon tua
bersanding bangkai tikus busuk
kota masih seperti dulu, bung
: lampu-lampu kuning,
jalan yang menderu lantas hening
angin yang ditiup musim
dan jatuh mendenging
sapi yang dikarap selalu lebih cepat ketimbang laju
memburaikan debu
menusuki mripatku
di tengkuk
udara selalu terasa lebih ringan
lebih rinding lebih riang ketimbang dingin, bung
selalu mengingatkanku pada hikayat seorang bajak laut
yang terdampar di ujung teluk
waktu itu:
jukung-jukung pikun tak melaju
orang-orang pantai menekur
terpekur
jalan ngelindur
lalai melaut
”moyangku datang
dari sebuah pulau tandus
di timur bandar besar yang kumuh
datang dengan berperahu.”
(sungguh) kau (pernah) berkata seperti itu
seperti bunyi lesung
yang ditumbuk perempuan-perempuan kampung
perempuan-perempuan yang kakinya kurus
yang menjejak tanah berlumpur
konon:
dulu seorang raja
pernah membangun
seonggok candi
tempat istirah
dari tanah berlumpur itu
sehabis menaklukan
para perusuh
tapi mengapa kau
masih saja mengingatkanku
pada hikayat seorang bajak laut
yang terdampar
di ujung teluk itu, bung
tiap kali gelombang debum
membentur karang
menabrak terumbu?
orang-orang gunung ngluyur-turun
berselempang sarung dan kabut
gadis-gadis berpupur di balik warung
mengikuti tabuh
menggoyangkan pinggul
seorang pengemis berdeku gagu
di sudut samun tidur
ada kereta melesat
tak jauh dari duduk
derunya
seperti pekik sakratul
di malam-malam
seusai gestapu
”bukankah kau datang
dari bandar besar yang kumuh itu
adakah kau juga datang
berperahu?”
”bukan,
aku datang dari sebuah sudut lusuh penuh hantu
datang sebagai buruh
datang sebagai menantu.”
seorang lelaki
menyelipkan uang di kutang ungu
seorang penabuh
melihat langit dilingkari bisu
seorang pemabuk
limbung, alpa arah, lalai tuju
seekor kucing garong
melompati pagar –mencari setubuh
kiranya ada pernah
kau beri pesan sebelum dengkur
sebelum guntur merobek halimun:
”peluh boleh beku
mengeras di atas kasur
arak segendul ayo lekas teguk
: panasnya
pahitnya
sialnya
tak lebih dari hidup!”
eit! sebentar! mau kemana, bung
adakah kau seorang bajak laut
yang terdampar di ujung teluk itu?

2007-2009.



Empat Pantun Rindu dan Satunya Maut

1
Malam duda duduk di beranda
tercium harum sunyi kamboja
hatiku adik perih bergada
dilalai peluk sakit meraja.

2
Bulan di langit kilau semata
bintang berkelip terang percuma
kenangan wajahmu adik kekal meronta
memanggil perih kencang bergema.

3
Siapa mampu petik bunga di hari gulita
jalan berkelok dipagar sepi mendera
aku sendiri adik dibakar airmata
raga sekujur dipasung hati penuh cedera.

4
Kulihat bulan kuingat ranjang
tubuhku adik sakit meregang
makin jauh kau dari pulang
makin perih hati rindu mengenang.

5
Lanun sunyi labuh di hulu puisi
di hulu puisi berenang ikan mati
hati siapa adik tak kecut tak pasi
lihat maut dalam tidur menanti.

2008-2009.

Indra Tjahyadi, lahir di Jakarta, 21 Juni 1974. Dosen di Program Studi Sastra Inggris Fakultas Sastra & Filsafat Universitas Panca Marga. Alumnus Fakultas Sastra Universitas Airlangga Surabaya. Aktif bergiat di Forum Studi Sastra & Seni Luar Pagar (FS3LP) Surabaya. Menulis esai, puisi dan cerpen.

Puisi-Puisi Noor Sam

http://www.suarakarya-online.com/
sebuah mimpi

ada seutas tali
tempatku panjatkan harap
tapi terlampau rapuh
terlalu besar kuberharap
darinya
inikah jalan
yang kau bentangkan itu?

aku tetap berharap
akan ada cahaya
dalam gelap
menepis segala pikiran buruk
masih adakah celah suaramu
membelah batu
mengikis tanah tandus
ketika jalan kiat surut?

segumpal harapan masih kutebar
mimpi semakin jauh
semakin tertinggal
ini jadi pecundang sejati
yang terkapar

* Januari 2008/2009



Topeng

ada batu cadas
yang terbelah hujan
angin dan matahari
ketika inginku menelikung deras
menerba seribu wajah
yang tertekan

mestikah melepas jati diri
terpuruk angan semu
angin tetap berjalan
mengitari rasa
yang terpendam

bayangan hitam hari sunyi
membelit setiap nafas dan harap
keinginan berlalu beku
dalam bayang
yang memagari rupa

tak sanggup aku teruskan
memasangi wajah dengan topeng
berteman dengan dusta
dan sandiwara
hati telah jauh tertinggal

ingin kudekap malam
dalam sahaja
ingin kureguk hari
apa adanya tanpa topeng

* Pebruari 2008/2009



getaran jiwa

ini kali pertama
kurasa getaran yang sama
seperti kali pertama bertemu
kubertanya pada diri
kubertanya pada hati
getaran apakah ini?

sementara rinduku terus mendera
ada rasa yang tumbuh kian dalam
barulah kusadari
jika cinta tak mengenal syarat
dan tak pernah bertanya
ia datang menerpa seperti angin
seperti perangkap
yang tak bermata
menjerat dan membangkitkan
segala rindu

kini hasrat terasa meluap
mengaliri inci demi inci
detak jantungku
meski kuingin mengakhirinya
ku masih tak mampu

* Maret 2008/2009



di bawah purnama

pada batas langit dan bumi
pada kali pertama
tali gendewa dilesatkan
menikam cinta
di bawah purnama

ku berguru pada alam
pada setiap kesedihan
terhujam aura gelap
yang mesti dipunahkan

mengapa selalu hadir gelisah
diantara degub yang menderu
ada selalu rasa itu
memnghantui nafas dan malamku

kini aku bersujud pada waktu
menyerahkan gairah
dan janji semu pada segala tatap
yang penuh tanya
ini kali menyergap di ujung hati

* April 2008/2009

Puisi-Puisi Agus Sunarto

http://www.suarakarya-online.com/
jalang

ketika jalang merusak sukma
nafsu berpacu mendobrak batas
mengoyak dada, meretak kepala
membuta mata, menuli telinga
membebal rasa

duh, gusti
mengapa aku selalu jadi pecundang
ketika harus melawan jarang?

Surabaya, Januari 2009



skenario 1

kalau aku bicara
akulah rakyat jelata yang terengah engah
kalau kamu bicara
kamulah penguasa pongah
dengan mulut berbuncah
kalau mereka bicara
mrekalah politikus rakus
yang terus mengendus
ketika aku diam
suara rakyat terbungkam
ketika kamu tak mau diam
tangan penguasa main bekap
ketika mereka tak bisa diam
lidah politikus saling tikam

Surabaya, Desember 2009



Skenario 2

bicara atau diam
apa bedanya?
aku bicara
rakyat bicara
sampai mulut berbusa
aku diam
rakyat bungkam
bersama leleh airmata
tiada telinga mendengar
tiada gaung menggema

ketika bicara menjadi diam
riuh berubah bisu
panggung kehilangan riuh
dalang kehabisan cerita

Surabaya, Desember 2009



Ibarat kaca

hidup ibarat kaca
kadang begitu rapuh
dan kadang begitu angkuh
bila pun ia pecah berserakan
itu bukanlah akhir dari
keindahan
karena masih ada harapan
dalam perjalanan panjang kehidupan
kan ada yang menyusunnya kembali utuh

hidup adalah arti
akan jati diri
bilakah ia tak selars dengan mimpi
maka biarlah aku berdiri
bukan berhenti
karena hidup sendiri
tak kenal kompromi

Surabaya, Pebruari 2010



meteor

tidakkah kau sadari
hari begitu cepat berlari
bsgai meteor lepas
tak terkendali

tidakkah kau sadari
berapa banyak orang berharap
waktu dapat terulang
kembali?

Surabaya, Nopember 2009

Puisi-Puisi Deny Tri Aryanti

http://www.jawapos.com/
Karena Tahun Tak Pernah Berulang

saat kukenang kelahiranku yang terselip butiran tanah merah
yang nampak hanya roncean semboja
di antara keabadian tak terbaca
seperti teriakan ku yang masih saja menjadi teka-teki ”cinta maya”
adakah kemolekan dari sebuah tarian sunyi
saat berputar-putar mengelilingi mimpi
bercinta dengan abjad yang semakin renta
dan memberikan bayang-bayang sebuah ironi
adakah engkau di sini
saat tetesan pelangi mulai melahirkan kereta kencana
menembus fatamorgana
seolah merantas segala kemuskilan yang tengah kau tawarkan
munkin kelahiranku adalah tawa
munkin juga mengenangnya adalah sebuah luka dari seonggok nyawa
tapi aku mampu menundukkanmu dalam siluet kata-kata
dari detak angka dari detik waktu
semua legenda hanya sebuah dinasti tak bertuan
mungkin masa lalu adalah kesiaan
saat hanya kesepian yang mampu memberikan senyuman
Aku sadar doamu adalah sajak tanpa nyawa
melesatkan waktu dalam hentakan abad
saat terjalku menjelma mimpi dalam lorong masa lalu
dan bayanganmu hanya cerita yang sia
karena tahun tak pernah berulang

Sby- dari seberang mimpi



Dalam Diamku

Kubungkus resahmu dalam gulungan mimpi
Kutorehkan kematian pada sudut pelangi
Hingga sunyi pun tak mampu membaca tanda koma
Lautku mulai memerah
merapatkan sayap senja tanpa perisai kata
menuangkan buihnya pada lengkung cadas
Aku kehilangan luka
tentang darah
yang pernah engkau ceritakan pada air mata
tentang lorong
yang pernah kau sembunyikan di ketiak burung hantu
Aku memungut serpihan kaca
yang kau sebar di wajahku
kurajut dalam untaian fatamorgana
menjelmakannya pada sebuah siluet tentang kemuskilan
Aku masih berharap
laut menuangkan vodka di ujung bibirku
Aku masih berharap
buihnya akan menjadi kemabukan yang indah
aku pun masih ingin menganggap
tebingmu adalah kebosanan yang terlelap dalam resah
Aku masih menunggu detik ini
di ujung jarum jam yang menenggelamkanku pada kebisuan
Aku resah di ujung waktumu
aku gelisah di ketiak lentera angan-angan
Mimpi kita adalah dosa yang indah
Waktu kita…hanya malam tanpa kelambu
hanya sejarah tanpa tanda baca
yang tak mampu mengeja setiap kisah
tentang doa dan dosa

Oktober 2009

Deny Tri Aryanti, lahir di Trenggalek, 7 April 1980. Jebolan D3 Pariwisata Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga Surabaya. Belajar berkesenian dan menulis di Teater GAPUS Surabaya, tergabung dalam komunitas @rek pilem Surabaya.

Puisi-Puisi Tjahjono Widijanto

http://www.jawapos.com/
Lukisan Perempuan di Museum Blanco

debu berebut merajam waktu
aku terpenjara mata perempuan
semata perempuan dalam kanvasmu
mata yang menari entah dalam irama
gamelan, jazz, bosanava atau salsa.
mata yang samar serupa kabut
memucat pada lembar biografi
mefosil dalam geletar ingatan
mata perawan menyimpan rahasia api
buah larangan yang disembunyikan dewa-dewa
pada bilik-bilik kahyangan yang pengap
ruas tubuhnya bergetar menafsiri rahasia malam
jejak-jajak malaikat tersesat
pada rambut yang berkibar-kibar
meramu wangi udara serupa harum sesajen
ditaburkan pada pori-pori di tubuhmu
di tengah ranum bola matanya
jalan-jalan rumpil berkelok-kelok,
sungai dengan jenggot sulur yang getas
di antara akar-akarnya
bayangmu bergoyang-goyang
bungkuk dan batuk-batuk di bangku batu
menganyam senja, jarak, peristiwa
juga warna malam dan awan
menunggu menjadi hantu di taman tua
merajam sunyi menjadi bunyi

Ubud-Ngawi, 09/010



Camar Mencari Ceruk Karang

waktu yang digaris gerimis mengingatkanku
ketika tapak kaki bergilir satu-satu menapak jalan setapak
mendadak matahari begerak pelan terbenam di wajahmu
bersama kleneng lonceng yang ditabuh bergantian
mengiringi lumut-lumut liar dibesarkan embun
bertumbuhan menggerogoti batu-batu tepian
”kuiringi perjalananmu bersama dongeng ibu selepas senja” bisikmu lamat-lamat
sebongkah mesiu rindu meledak di pusat jantung: amis keringat bapa,
harum rambutmu, juga suara bocah-bocah main jamuran di pelataran
sebelum mengabur dalam lembar kalender yang berlepasan
dan kita terperangkap cuaca bersama getar kuncup bunga
kenangan purba yang berhamburan dalam warna tanah
selangkah lagi sampai di ujung belawan
angin menuliskan pesan di ranting-ranting: ini tak akhir perjalanan!
mendadak danau di kelopak matamu mengobarkan api
membuka kembali rute-rute perjalanan yang mesti dilalui
meski bumi menjadi murung kehilangan kata-kata
di ujung belawan di awal malam, seekor camar berputar-putar dalam gelap
mencari sisa ceruk karang yang akan ditatahnya jadi sarang terakhir

Ngawi, 2009/2010



Kunti di Tepi Kali

ranjang batu, ayunan batu, lumut di atas batu
kenangan yang akan setia mengunjungimu
dia akan mengingatkanmu tentang kalender yang pernah tanggal
segera musnah oleh taring rayap tapi angkanya tetap tinggal
alir kali jalan kenangan terpanjang
lurung waktu tak bisa dipagar kawat berduri
di laut gericiknya akan sampai
di hulu-hulunya kau akan menemu sampan
melayarinya seperti nahkoda haus mengangkat sauh
menitip rindu pada tajam cadas karang
rindu yang beku dan kelu
meledak dalam palung paling arus
kenangan akan turut meledak dijakunmu
membayangkan ibu mengibar-ngibarkan sejarah
pada secarik kutang di kain jemuran
melambai-lambaimu bersama angin
mendekam ngilu di sebujur pori-porimu
”Radeya, eja dan rapal namamu dengan benar meski lidahmu beku!”
Di gudang tua itu suatu saat akan kau dapati potretmu
ibu meletakkannya di samping pigura laki-laki
yang disebut-sebut sebagai suami
”Radeya, tak usah kau risau
toh sebuah nama adalah fana
seperti debu kelak turut larut
dibawa lari kereta kudamu
menuju dunia yang lain lagi”

Ngawi, 2008/2010

Tjahjono Widijanto, lahir di Ngawi, 18 April 1969. Buku puisi tunggalnya: Ekstase Jemari (1995) dan Dunia Tanpa Alamat (DKJT, 2003). Diundang menjadi pengajar di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan (Juni, 2009), peserta Festival Sastra Internasional Ubud Writter and Reader Festival 2009.

Puisi-Puisi Pringadi AS

http://www.sastra-indonesia.com/
Sebuah Jawaban di Stasiun Kereta
: wan anwar

dari Ampera, aku tidak pernah berpikir akan lupa pada seporsi
mpek-mpek yang asam, dan manisnya segelas es campur di keruhnya
wajahmu. tiga puluh menit, Wan, tiga puluh menit saja aku sudah
sampai di kereta membawa sebuah koper yang berisikan wangi
parfummu tetapi aku masih meninggalkan selembar kertas kosong
atas pertanyaanmu dulu. aku duduk di gerbong ke tiga,
sebuah televisi menyala menampilkan sakit yang sama saat aku berjanji
takkan lagi pernah menemuimu yang rubuh
di jalan raya,
di sekitaran air mancur dekat masjid Agung yang luntur
sebab mata ibu tak lagi merunduk mencari aku
di sekitaran lampu merah
di pinggir-pinggir ibukota dengan sandal jepit
dan pikiran yang selalu sempit.

dari Ampera, Wan, aku merindukan kepergianmu yang angslup
di balik dua garis sejajar yang bertemu
di satu titik milikmu, titik yang menyampaikan pesan terakhirmu

di kertas kosong itu.



Suatu Malam di Cianjur
: wan anwar

Menguburmu malam-malam, aku teringat mpek-mpek kapal selam. Sagu
Yang putih berbanding lurus dengan ikan yang digiling tirus. Sebutir telur
Sudah siap dikubur dalam adonan yang gembur, membayangkan ia
Terendam dalam cuka yang masam. Aku tak mengenal perihal ombak,
Gunung, dan seribu satu gedung yang menjulang dan kau tanyakan dulu
Di sebuah kepulangan di sebuah stasiun parahyangan. Jalan
Ke kertapati ini memang tak bisa dilalui oleh kereta. Tetapi mungkin kata
Sudah sembunyi di balik koper seorang pria yang merindukan pinggir
Sungai musi yang cokelat seperti bibirmu. Aku tak mengerti
Kenapa gurih itu mengingatkanku akan sepasang puisi di surat-suratmu
Yang menceritakan Tuan dan masa silam. Sebab di kota ini, Wan
Aku bisa saja menjadi seorang Hindhi yang meluruhkan tubuhmu
Menjadi abu di sepanjang hulu. Tapi malam ini, di langit Cianjur, aku
Terlanjur lupa bagaimana caranya menyalakan api di kedua tanganku ini. Aku
Terlanjur duka melihat kafan putih yang seperti terigu bercampur belida
Telah membungkus tubuhmu yang kerap mata sapi sempurna.

Menguburmu malam-malam, aku sebenarnya adalah pohon kamboja
Yang lupa caranya tersenyum sejak aku dilahirkan.



Perihal Hatiku

…………………..perihal perih……………………….dan rasa sakit
…………..aku ingin sekali pergi ke gurun……….ke laut ke gunung ke goa
……….lalu jatuh di dua benua yang urung …terbelah diguncang angin jelek
……..angin yang kadung iri pada jemuran di tiang gantungan dengan kepalamu
………..yang tersenyum atau marah karena aku telah diam-diam lupa kepada
…………..janji dulu di taman bunga, ketika kenari mekar dan kau berupaya
……………jadi lebah yang membelah kancing-kancing bajuku yang sudah
……………….terbuka setengahnya meminta bibirmu lepas atau mata
…………………itu keranjang yang sampah bekas makan siang dulu
……………………saat segala sesuatu masih aku masih dadaku
…………………………masih malam minggu dengan remang
………………………….lampu yang nakal dan genit itu
………………………………..aku ingin sekali pergi ke
……………………………………gurun ke laut ke
……………………………………..gunung ke
………………………………………..goa ke
…………………………………………kau



Waru

…………………….sebab
….. ……………mencintaimu
……………adalah seperti ranting
………….yang tabah menjaga helai
…………………….daun
………………yang sebenarnya
…………………ingin rebah
…………………..di basah……………..di helai
…………………….tanah………….yang lain angin
………………………api………..tak bisa menahan ingin
…………………………………….gugur musim, jatuh
……………………………………..ulat-ulat daun itu
……………………………………..aku mencintaimu
………………………………………sebelum segala
…………………………………………..sesuatu
……………………………………………waktu
………………………………………………itu



Jalan Kenangan

sejak kemarau satu tahun lalu itu, bangau dan burung-burung nasar tak lagi pernah
hinggap di pohon jambu belakang rumah. sebab kandang ayam di sebelahnya sudah
kosong tak berpenghuni direnggut influenza yang tak tahu caranya menyerang kami.
daun-daun ranggas, ulat-ulat yang tabah mencerna angin sudah melanggar sumpah
untuk setia pada batang pohon yang mulai mengenal kematian. seekor lebah tengah
membangun rumah dari kotoran hidung, dan laba-laba masih menunggu tanpa
kepastian kapan seekor nyamuk berani singgah untuk dibuatkan secangkir kopi.

sejak kemarau satu tahun lalu itu, kami sudah tak pernah duduk di kursi lapuk dan
tidur di atas kasur kapuk. kami berdiri dengan berani di atas genting menangkap
kabar angin dari negeri seberang yang sudah mencuri layang-layang kami dulu.

Puisi-Puisi Zen Hae

http://cetak.kompas.com/
naga

ketika kau tertidur di bawah ancaman awan hitam aku menjagamu. aku yang menunggu di
balik tabir berabad-abad lamanya hingga kau menyebutku si mendiang, hanya hidup di dalam
kitab, pada lelembar dongengan. aku yang tidak pernah kausebut dalam doamu meski
kaurupakan aku dalam kayu dan perunggu. kuajak pula leluhurmu yang lain agar berjaga-jaga
bersama sampan abu-abu, pelantar hitam, rumah coklat tua, dermaga yang baka oleh garam.
kami akan mencium kau yang letih, memulihkan mimpi anakmu, menjaga guci-guci abu,
melantunkan gurindam—tapi beri kami kopi susu barang seteguk.

lidahku menyemburkan api. aku bisa menghanguskan bahtera dan mendidihkan samudra
paling biru. telah kulumat para lanun, musuh-musuhmu, atau kubuat mereka gila hingga
seluruh rasi bintang menyesatkan mereka. satu legiun memang telah menaklukkan sebuah
kota tapi setelah mereka meminjam lidah-apiku. tapi itu dulu. sebelum badai waktu
menumpasku dan kau melupakan aku. maka aku mati—tidur panjang, sebenarnya—sampai
sisa-sisa abu menepuk punggungku. tubuhku seperti baru dicipta kembali, lembut dan teramat
muda: darahku merah jambu. maka kurapal kembali mantra-mantraku, kudaras lagi jurus-
jurusku, kunyalakan bola mustikaku. beri aku tiga sulur asap hio.

tapi kau telanjur melupakan aku. aku melata sendirian di angkasa dan turun sebagai seorang
penagih derma di perjamuanmu. aku telah menyaru sebagai kekasih paling memabukkan tapi
kautumpahkan aku hingga tubuhku menggenangi malam-malam yang belum dicipta. sebagai
pesulap termahir aku telah terusir di pesta ulang tahun anakmu. aku terlunta dan mengendap
di dasar tidurmu, mengutuki diriku hingga kau tenggelam dalam lautan airmataku, dalam
belitan mimpi buruk. kau menjerit-jerit dan terjaga dengan leher seperti baru dicekik. kau
memanggil-manggil namaku.

kini, sekali lagi, panggillah aku yang bersemayam di langit dan di bumi—dalam sumsum
tulang belakangmu. maka aku akan bangkit dengan kasih dan dendam yang tak mungkin
ditampung sajak ini.

2009



pengakuan pohon merah

1
setiap pagi aku bangkit dari mimpinya. seraya menggoyangkan rerantingku, lembar-lembar
daunku membuka-menutup. plak, plak, plak…. lantas alun serunai dari kelopak bungaku
memanggilnya ke taman itu. “inilah aubade penunda perang dan penuaan, nak.” ia lantas
berlari-lari seriang anak kambing, menikmati guguran tubuhku, dan begitu lelah ia tidur di
bawah timbunan dedaun merahku. sedang sebelumnya di atasnya adalah 1000 matahari,
langit kosong hingga lapis ketujuh. putih melulu. guguran tubuhku pula yang memerahkan
kertas putih ini dan membuat ia bermimpi tentang hujan merah yang menelan sebentang
gurun. begitu air surut segalanya memang tampak mati. tapi segera kembaranku tumbuh di
sana, berbiak banyak-banyak.

kini ia tahu kenapa sebatang pohon sepertiku lebih mulia ketimbang sebuah kitab suci. sebab
telah ia sesap kelezatan buahku agar ia paham mengapa ia telanjang. mengunyah daunku
membuat ia bermimpi tentang segala keajaiban. adapun getahku telah ia tenggak agar ia
senantiasa awas di malam-malam buta. sedang kitab suci membuat ia jadi renta, bermimpi
tentang perang dan neraka paling gila. menerakan dosa dan doa di mana ia bisa. pohon
sepertiku mengisap semuanya dan mengembalikannya sebagai udara termurni di pangkal
pagi.

di bawah guguran tubuhku ia segirang kitiran bambu yang terus berputar meski semesta
angin telah menyimpan seluruh tenaga mereka untuk badai esok pagi. maka ia berdoa untuk
segala kemerahanku, tuanku.

2
pada mulanya aku hanyalah rangka bening. lebih bening dari ubur-ubur, lebih sia-sia dari
arwah penasaran. sedang kau gumpalan getah merah yang mengambang dan pencemburu.
kau mengembang seluas alam yang baru dicipta hingga rangkaku tersedot dan lebur di dalam
merahmu. lantas aku tumbuh sebagai pohon merah dengan bebuah yang lezat dan
mencerdaskan, tak tertandingi oleh pohon lain. akulah yang menggoda anak itu, juga ular
pemalas itu, masuk ke taman ini. sebab ia dan kekasihnya terutama, kelewat lapar, terlalu
ingin tahu.

lantas mereka terusir. aku kesepian. sekujur tubuhku gatal. bebuahku merana dalam
keranuman….

iseng-iseng kudatangi seorang pelukis. kanvasnya seluas langit dan kuasnya sebatang pohon
raksasa dengan bebulu dari hewan paling buas. kuminta, “rupakan aku.” sebatang pohon
merah di ujung taman, atau mengambang di angkasa, akan tampak ajaib bukan? maka ia
melukis dengan penuh hasrat dan kehati-hatian. ia berhasil menggambar tubuhku tapi
merahku seperti enggan menampakkan diri. ia melukis bukan-pohon-merah, bukan-hutan- merah yang menyesaki langit dan bumi. lantas ia putus asa dan lari ke dalam hutan itu,
mengutuk seluruh merah yang pernah dan masih ada, membenamkan diri ke dalam lumpur
hitam.

aku adalah merah di atas kuasa kaum berkuas, tuanku.

kini aku tahu kenapa aku juga lebih mulia ketimbang kata. sebab pernah pula aku datangi
seorang penganyam kata, yang kata-katanya bisa memindahkan sorga ke dunia. kataku,
“katakan aku.” maka ia mengambil penanya dan mencelupkan ujungnya pada tinta hitam
(kenapa tidak getahku?) dan mulai menulis. aku menunggu ia berlama-lama hingga
tersusunlah kitab-kitabnya tentangku, tentang hutan dan pohon-pohon di seluruh dunia. kini aku tahu ia hanyalah seorang pemburu pikun yang gagal memerangkap aku meski dengan
jaring dari mimpinya sendiri. ia terus menulis hingga penanya meneteskan api dan
terbakarlah ia dan kitab-kitabnya.

3
akulah biang kerok dari semua ini. jangan salahkan mereka yang kelewat lapar dan terlalu ingin tahu, tuanku. tapi kau telanjur telah mengusir mereka….

2009

Puisi-Puisi Mardi Luhung

http://www.sastra-indonesia.com/
PULAU

Pulau kita tak keliru. Tapi, memang terlalu cantik.
Padahal kita tak butuh kecantikan. Apalagi untuk
sebuah ketenggelaman yang akan tiba. Ketenggelaman
yang seluruh dirinya dibungkus asap dan kabut.

Yang cuma matanya saja menyala. Dan dengusnya
pernah mengisi setiap relung-lubang. Saat kita
yang telanjang mengingati kelalaian yang sering
merangsek. Sambil membidik bagian-tepi-pelipis.

Agar dapat mengusir si pengelabu. Memang pulau
kita tak keliru. Tapi, karena terlalu cantik, maka
banyak yang menyuntingnya. Dan banyak pula yang
akan menukarnya dengan puisi atau kembang.

Yang kelak akan berkhianat, atau menyingkap
pakaian kita di malam yang dingin. Agar kita
mematung di dermaga itu. Sambil menunjuk-nunjuk
jejak pesawat di angkasa yang memberat.

Yang pernah menyelinap di selimut-masa-kanak-kita.
Dan menidurkan kita seperti si waktu-apung.
Si waktu-apung yang selalu menjulurkan tangannya.
Untuk merapikan pulau kita. Pulau kita yang beda.

Memang, pulau kita tak keliru. Dan kita, kadang
ada baiknya membuka seluruh daya-peluk-lekuk. Dan
memahami, jika esok ketenggelaman itu tiba sudah,
tak ada yang boleh menyebut pulau kita sembarangan!

(Gresik, 2007)



KASTOBA

Ketika dia mati kepalanya aku letakkan di selatan.
Dan ketika aku mati kepalaku dia letakkan di utara.
Kami, berdua, adalah pasangan kekasih yang sesekali
waktu mengguriskan titian panjang. Terus sampai
pada mimpi yang merapat di kelokan-gelap-ranjang.

Dan di langit yang sengit, beribu biji api menyiagakan
tubuhnya. Mencoba mengejari kami. Seperti kejaran talkin
yang mujarab. Yang selalu berpendaran di ujung jukung.
Yang mencari pintu pantai. Tempat para-penyair-mabuk
kembali dari dunia yang lain yang kerap menyesatkannya.

Dunia yang pernah kami kunjungi. Dunia setiap yang
dipanggil dengan kegemetaran, selalu leluasa melepaskan
jerohannya. Dan menghantui siapa saja yang melintas
dengan nyawa tinggal seleher. Sambil terus menghafali
letak-liang-gelap yang bertuliskan nama sendiri.

Dan sebagai pasangan kekasih, kami memang mati bersamaan.
Padahal kami tak berjanji. Apalagi memarafkan amanat
di kersik-surat-segel. Kami hanya percaya, sejak lahir:
“Hidup kami memang menyatu,” Yang hanya terpisah
di dua wadag yang saling mengenal dan menyayang.

Seperti matahari dan bulan yang kerap mengintip. Dan
kerap saling mengirim kabar dan muslihat. Sampai
setiap ketakmungkinan yang benderang menetes. Di kedua
mata kami yang jingga. Dan makin menjingga oleh uluran
embun dari ujung saga. Embun yang menyemburi si penjaga.

Dan di hadapanmu, apa yang makin menjingga itu menyepuh.
Menyepuh setiap yang tak lagi kau ingat. Juga setiap
yang tak lagi membuatmu mampu menerakan teka-teki.
Tentang kepala, pasangan kekasih, selatan, utara dan
juga tentang beribu biji api yang menyiagakan tubuhnya.

Beribu biji api yang mencoba mengejari kami itu!

(Gresik, 2007)



KUDUK-KUDUK

Dan memang pantai masih tak bergeming. Tetap rapat pada kekelabuan. Pada setiap yang datang dari yang tak terpikir. Dan angkasa. Dan setiap yang telah merusak ketinggian angkasa, seperti ribuan igauan yang akan turun dan berpesta di sini. Seperti pesta para penerjang yang menyerak. Dengan napas tersenggal. Dengan keringat yang membanjir. Seperti ketika bayi 7 bulan turun ke tanah. Seekor korban dipotong. Dan yang mampu membaca lintasan angin pun menusuk-nusuk jantungnya sendiri: huh!

Ya, mereka memang menjaga bapak di bakau-bakau. Tapi, ibu dan kaumnya mereka jaga dimana? Arena telah digaris. Di sudutnya, sepasang mata yang dipenuhi rasa menyelidik pun telah mendatangkan sekian penghitung. Yang akan mengusir ketidak-beranian yang licin. “Siapa yang lari itu pengecut!” Dan kau, yang barangkali lari, telah kehilangan kaki dan tangan. Hanya lidahmu yang terus menggelinjang. Padahal di depanmu, mereka, si penerjang makin asik dengan lompatan dan ocehannya.

Dan mereka memang menghibur dan menyenangkan benturan. Wujudnya cadas. Liat dan keling. Dan sekian nama yang lolos pun diguritkan dalam-dalam. Sedang yang jatuh duluan dan terjebak, cuma bisa menangis sambil menjabak-jambak rambutnya. Nama mereka tak boleh disebut-sebut. Lihat, lihatlah, lidah mereka jadi tak terkontrol. Apa menggelinding atau digelinding selalu dipaku di tengah asap. Jutaan warna terus menyergap. Dan jutaan yang lain pun menyerbu. Tapi dari persembunyian yang rahasia, ada juga yang menyela: “Selalu saja letusan tak lumrah itu lahir belakangan!”

(Gresik, 2007)

*) Dari kumpulan puisi Mardi Luhung bertitel “BUWUN” diterbitkan PUstaka puJAngga, 2010.

Puisi-Puisi Bernando J. Sudjibto

http://www.sastra-indonesia.com/
Sehari Sebelum Ke-24
Eternal Reportage
Kepada Do2n

ibarat sebuah undakan
tangga hingar melingkar
satu hari sebelum menuju rumahku
engkau akan menemukan jalan buntu
hutan dan batu yang tak pernah kuberinama
kini menggenapkan peta
merampungkan rute
bagi perjalananku yang lain
jangan pernah resah
kepada yang akan engkau lewati
sebuah hutan, rawa, bunga dan savana
akan menyulammu, juga jalan-jalan
yang semakin senyap!
adakah engkau menunggu
bertanya tentang pejalan
yang kini jauh tersesat itu?
jika ia telah menemukan
bertadah kepada embun
di luar engkau yang tahu
bukanlah ia tersesat
ia hanya menyimpan harap
esok cemas dan tiarap
aku pernah berkata pada puisi
24-ku telah disakralkan
bagaimana engkau mengenaliku
wajah hitam di tengah malam batu?
inilah nyala itu
seperti yang engkau lihat
seperti yang tak kau lihat!

(bje, 2009)



Pemahat Gerimis

dalam lipatan gerimis
ada yang selalu memanggilku
ke tengah hujan yang lebih lebat
ia seperti mata seorang bocah
terkaca nama-nama baru
setiap pahatan gerimis
yang mengekal di pipinya
ia tak akan mengusik
selain memastikan
jika setiap gerimis
ada yang pasti terberai
o, basah ke telapak tanganku
di balik rintik
ia berdiri sendiri begidik
ada yang tak kunjung datang
–yang telah memahatnya!

(bje, 2009)



Katedral Batu 1

sebuah kitab di tanganku
menuliskan salju baris putih
kepingannya akan pecah
di kotamu
sebagai hujan
yang mengetuk
dan pintu-pintu akan terbuka….

(2008-2009)



Ihwal Serpihan Musim

hujan
ia mendiamkan ombak di lorong mataku
menuju tujuh lapis kepada satu langit
kelak ia akan menjejak di pipimu
menjadi peta anak-anakku
kemarau
ke tepi bukit, ke sawah bawah sana
petani menaksir buah simalakama
kabut
engkau lebih awal menghapus ingatan
adalah bayang-bayang di balik hujan
jejak
yang dihapus akan acap datang
lantaran angin menyeka beranda

(2008)



Malam Ketakutanku

jika malam telah melahirkan mimpi
aku akan datang sebagai tamu dalam ingatanmu
hingga engkau menerimaku sebagai lintasan waktu
dan orang-orang akan mendekapku ke sebuah puncak
tak ada hantu yang menyalak dalam kepalaku. Selain
kecemasan yang telah melahirkan jalan-jalan setapak
menjadi jejak dan peta untuk keberangkatan seterusnya
aku kerap tersesat di sini, di pundak puisiku sendiri
ada yang mencabut akarku saat buah dan kembangnya
sumarah. Ada yang selalu membakarku saat malam
memadatkan matahari menjadi logam-logam peta
tak ada anjing ataupun hantu dalam malam-malamku
entah yang tiba-tiba datang dan berteriak menggasakku
hingga kubunuh tubuh, ingatan dan mimpi. Juga engkau
telah lama kukuburkan dalam kabel listrik, hp, dan tv
namun engkau tetap menjelma sosok seirama. Merasuk
dan tenggelam dalam lipatan-lipatan atom yang sempurna
dalam ruang inkubasi, saat tubuhku telah batu, engkau datang
menceritakan ingatan dan mimpiku yang silam. Mengusap
ubunku dan mengedipkan hujan dari lentik matamu. Apakah
engkau sebagai hantu mesra malam ini? Aku ingin
pulang secepatnya. Menemukan sendiri ari-ari dan makam ibu
saat pertama aku dilahirkan dari pusara yang sama.
hapuslah ingatanmu mengingatku! Jangan ada yang datang
dan membunuhku setiap aku tenggelam memburumu

(2007-2008)

*) dari buku Antologi Puisi “Mazhab Kutub” terbitan PUstaka puJAngga 2010.

Puisi-Puisi Kurniawan Yunianto

http://www.sastra-indonesia.com/
PERTUNJUKAN KE SEKIAN

panggung adalah lautan
kilau lokan nyala ikan
suara ombak telan menelan

ada yang berhasil sampai ke dasar
meski berperan sebagai perahu
tapi bukannya karam

angin dengan kristal garam
mengajak orang tepuk tangan

heii kaukah itu sayang

duduk di deret kursi paling depan
melambaikan tangan kepadaku
yang mabuk sendirian

sebotol arak masih tergenggam
saat nyanyian air beraroma karang
meninggalkan ruang

lampulampu akhirnya padam

aku masih di sini
sibuk menangkar segala kegilaan

09.06.2010



MELEWATI KUTUB

tak hanya engkau yang merasa lega
aku seperti turut meluncur keluar dari mata
setelah sekian lama terperangkap dalam kacakaca

biarlah bayang kita saling meninggalkan
punyamu ke utara punyaku ke selatan
setelah melewati kutub pasti kembali bertemu bukan

di sini di ruang tanpa pintu tanpa jendela

meski telah berabadabad di dalamnya
kita tak lagi butuh waktu untuk menunggu
kerna jantungku sejarak detak dengan dadamu

08.06.2010



MENJELMA APA SAJA

bagaimana mungkin merindu
jika kau telah menjelma zat asam
terhirup di tiap nafas yang satu satu

jika bertemu adalah sebuah keinginan
maka persetan dengan rindu
kerna aku tidak ingin bernafas

seperti halnya saat buang kotoran
tak perlu diinginkan bukan.



MEMBUNUH

sudah berulang kali kau membunuhku tapi seperti yang sudahsudah aku kembali menyapamu
membuatmu terdiam sebelum kemudian menyeringai saat kau lihat aku memasuki jantungmu
dan dari dalam aku hanya tersenyum saat ujung belati hanya berjarak sesenti dengan dada kiri
sepertinya kau telah paham dan ngerti bagaimana membuatku benarbenar mati kali ini

meski setelahnya aku yakin kau yang akan lebih dulu tersenyum menyapaku

02.06.2010



TAHUN KE EMPAT PULUH

beku dan dingin
entah butuh berapa musim
untuk dapat mencair mengalir ke muara
ke pertemuan milyaran noktah

airmatakah yang ingin terasa payau di lidah

saat nyaris segala yang tumpah
tak lagi pada rumah

halamanmu tibatiba menjelma hutan belantara
betapapun pintu telah terbuka
tapi arah entah ke mana

inilah tahun ke empatpuluh
masih terbatabata mengeja usia
pada lipatan lemak yang mulai memadat

sebagaimana pula sebuah isyarat
bagi nafas yang kian berkarat
yang tiap helanya setapak mendekat

menuju kematian

02.06.2010

Puisi-Puisi Salman Rusydie Anwar

http://www.sastra-indonesia.com/
Tunas-Tunas
-santrihamasy

karena perihmu masih membelit akar pohonan
kubiarkan tanah ini menyerap lukanya
di langit mungkin matahari selalu muncul dari rasa gelisah,
takut dan kecemasan yang tak pernah selesai

sementara batu-batu itu masih menyimpan
gemuruh laut, tempatmu berjanji menautkan keinginan
pada lempengan waktu yang mengombak
dalam doaku

mesti kita kejar bintang itu
dan membiarkan cahayanya memintal sendiri
di dalam kegelapan yang menyayat sejarah air mata

atau biarkan saja kita tenggelam
sambil terus meneriakkan mimpi
untuk meredakan gelombang
dari sebuah jeruji malam yang begitu panjang

2006-2008



Menyentuh Langit Cintamu

seberapa tajam cadas yang hendak merobekku
saat Kau memberi ruang tunggu begitu lama

di sini, waktu menjadi jurang
tempat menampung segala gundah
berpintalan sebelum akhirnya pecah dalam darah

aku ingin pulang
pada asap yang mengalir dari rindu-Mu
membiarkan angin mengusung mautku
yang akan kembali menyala saat langit cinta-Mu berhasil kusentuh
dengan jemari air mata

mungkin juga guntur akan segera tumbuh
pada lipatan doa yang membias dari ketinggian harapku
namun siapa yang berani mengganti
kerinduanku pada serak nafas-Mu
yang kau kirim jauh sebelum aku lahir
dari garba ibu?

kunyalakan lilin pada sela-sela tulang rusukku
membiarkan seluruh darah daging mendidih
mematangkan rindu cinta dan air mata
lewat doa yang bergelantungan di ranting-ranting
malam panjangku

sujudku barangkali hanya sebatas diam
menampung keluh kesah yang Kau kirim
dalam selembar rindu yang mabuk oleh jumpa paling jeram

2007-2009



Jembatan Kecemasan

Di dadaku, jurang menepis hadir-Mu yang laut

Sebab aku lahir dari sedih yang baka
Maka tak ada kerinduan paling batu
Selain menjumpai-Mu dalam seluruh air mata

Hadirlah sesekali lewat senja
Yang selalu mengubur terik lukaku

Di perigi kenangan yang hampir rapuh
Aku masih memiliki kesempatan bertukar raga
Bawalah padaku sajak-sajak yang Kau penggal
Dengan geram gelombang
Biarkan darahnya menjelma kata
Sebelum jatuh basahnya di lambung cuaca

Meski jarak dariku kepada-Mu
Membilang renggang
Namun masih ada lukisan telanjang-Mu di mataku
Yang siap menggiring hadir-Mu
Kepadaku, utuh tanpa seutas penghalang

2008



Garba Usia

ia menyergapku dari udara
tepat ketika hujan menurunkan lendirnya
keceruk bata
dan aku, terlanjur berjanji untuk setia
pada langit lentur di rahim ibu
yang purba
sependar cahaya masih berkembang
melajukan getah getirku kegigir ruang
akupun terlupa, kapan kita bisa kembali mengulang
erang panjang
diranjang kerang
tubuhku meski masih sekokoh akasia
menanti-Mu membawa sarang-sarang usia
kita bertelur
sesudah bertegur
lalu melebur
sebelum sulur
memapah umur
ke sumur kubur

2006-2008



Percakapan

Pada malam Jum’at Kliwon yang sepi
Aku didatangi Malaikat yang penuh nyali
Ia mengajakku, menjumpai orang tua yang sudah lama sekali pergi
Dan sepertinya aku kenal orang tua itu
Jauh di masa-masa yang silam

“Kuantar manusia dekil ini menghadapmu,” kata Malaikat tanpa ragu
“Untuk apa kau bersusah payah melakukan itu?” tanya orang tua itu tak kalah ragu
“Agar kau ajari dia menulis puisi.”
“Mengapa harus diajari menulis puisi?”
“Supaya dia tahu diri.”
“Apakah dia tidak tahu diri?”
“Sangat tidak tahu diri.”
“Dari mana kau tahu?”
“Karena dia tidak bisa menulis puisi.”
“Apakah setiap orang yang bisa menulis puisi sudah pasti tahu diri?”
“Bisa ya, tetapi juga bisa tidak.”
“Kau lebih cenderung kemana, Malaikat, diantara dua kemungkinan itu?”
“Cenderung ke ya.”
“Artinya, setiap yang bisa menulis puisi sudah pasti ia manusia yang tahu diri?”
Malaikat itu mengangguk. Dan tiap-tiap anggukan kepalanya menyebabkan bumi bergoyang, angin-angin bertiup kencang.
“Kalau aku cenderung ke tidak, apa reaksimu Malaikat?”
“Terpaksa.”
“Terpaksa apa?”
“Terpaksa aku akan membawamu serta.”
“Kemana?”
“Ke sebuah tempat.”
“Sebuah tempat. Tempat apakah?”
“Tempat yang didiami oleh orang-orang yang selalu gagal menulis puisi.”
“Kenapa harus selalu gagal?”
“Karena kalau tidak selalu gagal, mereka tidak akan tahu cara terbaik untuk belajar.”
“Dimanakah tempat itu berada, Malaikat?”
“Diamlah! Kita sudah sampai dan ada di dalam tempat yang kumaksud itu.”*

*tempat yang dimaksud adalah markas Pondok Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy’arie

2010.

*) dari buku Antologi Puisi “Mazhab Kutub” terbitan PUstaka puJAngga 2010.

Puisi-Puisi AF Denar Daniar

http://www.sastra-indonesia.com/
Nelayan

jauh berlayar di laut mata-Mu
angin begitu dingin
mengayuh perahu kayu
menjauh dari tepian

: inilah perahuku
derai rerindu
dari bukit-bukit kelu

ooh…
betapa layar mengembang melebihi tiang
angin penuh derak
mengarak ombak kian bergejolak
perahuku mengambang gamang
ke laut karang bertepi gelombang

ah!
kuhempaskan saja batang dayung
ke ombak bergulung
biar lebih pandai angin mengungkap badai
biar perahuku lebur
terberai di laut impian

Jogja, 2009



Jalan Getir
; buat anak-anak jalanan

dari sudut matanya yang berawan
kulihat ada derai yang memuai
begitu giris gerimis tipis mengurai tangis
begitu deras merangkai derai
hingga ke entah

Jogja,2009



Soliloqui
:di tepi sungai Gajah Wong

kau lihat sungai bergolak itu
air menciprat sambil bergemuruh
serupa tangan-tangan mengembang
melambai….
kemudian tenggelam dalam keruh

tapi, aku bukan pelaut
yang mengerti bahasa sungai
hanya di kedalamannya
lumut makin coklat
mengakar ke tebing-tebing masa lalu
diraba, ia membengkak seperti luka
dikepal, banal menggumpal setebal hayal

air beriak makin serak
saling berdesak
keruhnya, hingga ke muara benak

Jogja, 2009



Aprilia Gadis Kecilku

aprialia
biarlah bola api di matamu
menyala, memerah
semerah darahmu yang mendidih

bukan karena akulah Ibrahim yang tak terbakar
tapi aku adalah diriku
seperti juga dirimu
tersekap dalam ruang dan waktu

hanya saja
di setiap yang meleleh dari tubuhku
adalah peluh waktu yang terus menguning

aprilia
apa yang kau tatap pada langit itu?
bukankah gerimis di awal musim
terlalu tipis melukis cuaca

atau
duduklah sejenak
mari berbagi ruang
lalu kita berunding dengan waktu

Jogja, 2009



Kerinduan

1#
___buat bunda

dari tepian timur
dari sebuah seberang yang jauh
angin bergegas
mengumbar bau tanah,
bau basah darah kelahiran

;ada yang terus mengalir
dari masa lalu
hingga ke lautan benak

2#
___buat LUCHA

oi….
akulah pasir di pantai
kering sebelum ombak
hanya angin makin deras
mengukir desir hingga ke benak

:ingin kusetubuhi biru laut
atau biru tubuhmu yang menyala

Jogja, 2008

*) dari buku Antologi Puisi “Mazhab Kutub” terbitan PUstaka puJAngga 2010.

Puisi-Puisi Ulfatin Ch

http://www.jawapos.co.id/
Belum Tuntas Kata

Belum tuntas kata
yang berkelok di tikungan itu
jejaknya masih lekat di lengkuk mataku
sebagaimana dulu kita mengurainya dari kelam
hingga malam
dari siang hingga petang
Dan matahari itu sudah meninggi
meninggalkan kita
menyisakan bayangan menghitam
di belakang

2009



Membaca Batu

Akhirnya, wajah kita yang tertunduk
membaca batu-batu di sepanjang jalan itu.
Dingin udara malam melangkahkan kaki kita
berputar seperti piringan di taman
tapi, tak juga sampai pada kata
pada nada yang terkemas. Hingga kudengar lagu
Mestinya Tuhan menciptakan kita bahagia, katamu
tapi, angin yang kesiur hanya menjawab rindu

2009



Laut dan Nelayan

Seberapa dalam lautan, nelayanku
ombak pun seperti diam
saat kausentuhkan jala ikan di atasnya.
Dan dengan kesabaran rindu
kau menunggu
berlayar bersama camar-camar timbul tenggelam di atas samudera
Seberapa dalam sudah kau selam lautan, nelayanku
hingga badai hingga gelombang
menahan kokang
rindu pada dendam

2009



Rindu Yang Kutanam

Tak ada lagi prasasti itu di sini
di antara subuh yang kauketuk
dan kehadiranmu di pintu
tak ada lagi surat bertuliskan alamat
tak ada
Rindu, biarkan kutanam dalam
jangan kautanya pada buta mataku

2009



Aku dan Ismet

Ini hari matahari meninggi
Jejak pejalan terseok ke belakang
di antara susunan malaikat
dan penghianat
Tapi, aku dan ismet terus bernyanyi
melahirkan puisi
menuntaskan sunyi
berdzikir malambertasbih bulan
aku dan ismet bernyanyi
hingga hari mengukir pagi

2009



Catatan Cinta Tiga Baris

1
Seberapa dalam cinta kautanam
hingga jera
merampas luka

2
Sungguh aku mencintaimu
hingga waktu memburu
api membakar jiwa



Catatan Beranda

1
Tak ada jejak di beranda
tak ada juga lukisan bunga ungu
di halaman depan buku itu
tinggal goresan yang bernama rindu
dan kelopak menunggu
hujan

2
Jika beranda yang kautanya
tolong jangan kauhapus dulu air mata
Sebab embun tak lagi sesejuk pagi
sebab subuh tak kauingat lagi
Jendela yang kutatap hanyalah kekosongan
dan tak ada kehadiran yang bisa diharapkan
Tolong jangan kauseka air mata

3
Selepas subuh
beranda pun sunyi
Sajadah merapat raka’at
saat tahiyat
dan salamku padamu

2010



Dan Bunga

1
Dan bunga telah mati
Dan hari pun suri
Dan mimpi tak ada lagi
Dan sunyi itu pun
abadi

2
Mungkin
aku yang merindukan
sebuah taman dengan bunga-bunga
di jambangan itu
matahari jingga di atas kepala
bagai payung nirwana
Mungkin
aku yang merindukan
Kesunyian perpustakaan
yang mengantar kita pada kata
dan lipatan-lipatan kertas
tak terbaca
pada cinta atau pun luka

2009



Sajak Gugur

Satu kelopak bunga di taman gugur
satu sahabat, satu teman, satu saudara
dan, entah siapa lagi
menggenapkan hitungan ini
hingga nol di tangkai mawar
Aku sendiri entah kapan sampai
di urutan terdepan mengambil komando
dan kubilang ’siap’
Sedang tangan kita masih meraba
dengan sangat hati-hati sekali
menyisihkan lembar demi lembar buram masa lalu
untuk kita bakar sebagai kenangan

2009



Hari Kusam

Adakah yang mesti kusiapkan saat kau pulang
sedang FB tak bisa kaulepaskan
Hari-hari penat di kepala yang ada hanya umpat



Setelah Kemarin

Setelah kemarin dan hari ini
apalagi yang kaupertanyakan tentang cinta
Keangkuhan telah menutup mata hati
hingga ke sudut paling tepi
Dan tak ada lagi bulan yang sempurna
Apalagi gerhana melunaskan igauan
tentang cahaya malam, riuh anak-anak
dan kelakar para santri di bilik sepi
Tinggal kepak kelelawar dan gema burung hantu
mengamini hingga subuh
tak ada lagi

2009



Akhir Tahun

Hari semakin tua membidik usia
bulan semakin dalam menusuk kelam
Jika kini kupilih sendiri
tak berarti aku kehilangan api
Terompet dan kembang apilah yang membuatku
sunyi menepi di akhir tahun ini
Orang-orang beramai-ramai datang
dari pelosok desa
bergerombol berpusat di kota
menunggu tengah malam tiba
Jika kini kupilih sendiri
tak berarti aku kehilangan api
Anak-anak dan suami membawaku
bermimpi berdzikir pagi



Catatan akhir

Semakin dalam kita
terperosok dalam lingkaran
semakin dalam cinta
menikam kelam



Usai Pesta Tahun Baru

Sudah tuntas bunga api semalam
anak-anak, aku dan suami bersama
dalam satu tikar dimusim durian
Di jalan Kaliurang di tempat para pendatang
bermalam
kami bersendau membelah malam
Dingin ilalang membawakan angin
dari puncak merapi hinggap ke pangkuan
Tak ada api di sana
hanya kerlip lampu dan riuh pejalan
mengantar lelah
pulang

2010

Biodata: ULFATIN CH. lahir di Pati, Jawa Tengah, menulis sejak SMA dan lebih serius ketika hijrah ke Yogya dan bergabung dengan komunitas seniman Yogya tahun 1989 di teater Eska IAIN Sunan Kalijaga (Sekarang UIN) dan SAS, Mitra Lirika, dll.
Karya-karyanya dipublikasikan di media lokal dan Nasional. Dan lebih dari dua puluh antologi bersama, al: Kafilah Angin (Eska), Sembilu (DKY, 1991)Delapan Penyair Baca Puisi (DKJ), Cakrawala (Horison), Festifal International (TUK, 2001), Antologi Puisi Indonesia-Portugal (2008), dll
Antologi Puisi tunggalnya: Selembar Daun jati, Konser Sunyi, Nyanyian Alamanda, Perempuan sunyi.
Sekarang tinggal di jl. Kaliurang Km 7 Gg. Anggrek I no.5 Babadan Baru, Condong Catur, Depok, Sleman, Yogyakarta Hp. 081578879255

Puisi-Puisi Muhammad Zuriat Fadil

http://www.sastra-indonesia.com/
MIMPI MASA LALU

Pada mimpiku tadi,
aku bertemu
dengan orang-orang dari
masa lalu
saat terbangun kusadari
ternyata masa lalu
itu mimpi
dan mimpi itu
masa lalu

maka
kuputuskan
dengarkan
suara panggilan
dan bertanya

mungkinkah dirimu
hanya seonggok daging dan
belulang
yang berenang
mengikuti aliran
sungai waktu?
lalu
di manakah muaramu?

Pada
samudera keabadian
pada
muara kekinian,
sesungguhnya
kekinianmu segera berlalu
tanpa kau sadari tanpa tahu

tubuhmu adalah hari
yang selalu berganti
dari subuh ke senja
dari senin ke minggu
terus berlalu

namun
tiapa-tiap anakpun tau
bahwa setiap hari
memang seperti itu
seolah tetap
namun gerak
seolah ganti
tapi abadi

hidup itu
masa kini
yang selalu berganti
tuhan hidup
pada masa kini yang tetap

maka
muarakan sungaimu
padanya
yang tak pernah berlalu
dan tak pernah
meninggalkanmu

ceburlah pada
samudera keabadian
samudera cinta sejati,
samudera kekinian
yang abadi

(15 September 2009, saat terbangun dari sebuah mimpi)



BATARA KALA

adakalanya sang kala
menancapkan taringnya
pada tubuhku
mengoyak
mencabik
daging sisa masa lalu

namun pertolongan selalu
datang dari Sang Wishnu
dengan cakranya

taring Batara Kala
adalah kutukan masa lalu
sedang
cakra wishnu
adalah lingkaran Keabadian
cahaya keillahian



RINDU

Tenggelam dalam samudera cinta sejati
Gairah berahi hanyalah buih
Onggok tubuh adalah batang sungai
Merindu pada muara muasal illahi

A. Mustofa Bisri A'yat Khalili Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Wachid B.S. Abi N. Bayan Abidah El Khalieqy Acep Syahril Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu AF Denar Daniar Afrizal Malna Agus Manaji Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Maltuf Syamsury Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Ala Roa Aldika Restu Pramuli Alfatihatus Sholihatunnisa Alfiyan Harfi Ali Makhmud Ali Subhan Amelia Rachman Amie Williams Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Andry Deblenk Anggie Melianna Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Aprinus Salam Ariandalu S Arieyoko Ksmb Arya Winanda As Adi Muhammad Asep Sambodja Atrap S. Munir Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Badaruddin Amir Bakdi Sumanto Bambang Darto Bambang Kempling Bambang Widiatmoko Beni Setia Beno Siang Pamungkas Bernando J. Sudjibto Bernard S. Y. Batubara Binhad Nurrohmat Budhi Setyawan Budi Palopo Bustan Basir Maras Chairul Abhsar Chavchay Saifullah Cut Nanda A. D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Afriady Dadang Ari Murtono Daisy Priyanti Daysi Priyanti Dea Anugrah Dea Ayu Ragilia Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Desti Fatin Fauziyyah Dewi Kartika Dharmadi Diah Budiana Diah Hadaning Dian Hartati Didik Komaidi Dimas Arika Mihardja Djoko Saryono Dody Kristianto Dorothea Rosa Herliany Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Edy Lyrisacra Effendi Danata Eimond Esya Eka Budianta Eko Hendri Saiful Eko Nuryono El Sahra Mahendra Ellie R. Noer Elly Trisnawati Emha Ainun Nadjib Endang Supriadi Endang Susanti Rustamadji Eny Rose Eppril Wulaningtyas R Esha Tegar Putra Esti Nuryani Kasam Etik Widya Evi Idawati Evi Melyati Evi Sefiani Evi Sukaesih Fadhila Ramadhona Fahmi Faqih Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fatimah Wahyu Sundari Fauzi Absal Felix K. Nesi Fikri MS Fina Sato Firman Wally Fitrah Anugerah Frischa Aswarini Gampang Prawoto Ghaffur Al-Faqqih Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Gunawan Maryanto Gunoto Saparie Gus tf Sakai Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamid Jabbar Hari Leo Haris del Hakim Hasan Al Banna Hasan Aspahani Hasta Indriyana Helga Worotitjan Heri Latief Heri Listianto Heri Maja Kelana Herlinatiens Hudan Hidayat Hudan Nur Ibnu Wahyudi Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilenk Rembulan Imam S Arizal Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santoso Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indrian Koto Isbedy Stiawan ZS Iwan Gunadi Javed Paul Syatha Jibna Sudiryo Johan Khoirul Zaman Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Saputro Jufri Zaituna Jusuf AN Kadek Wara Urwasi Kadjie Bitheng MM Kartika Kusworatri Kedung Darma Romansha Kika Syafii Kirana Kejora Kirdjomuljo Kurnia Effendi Kurniawan Junaedhie Kurniawan Yunianto Kusprihyanto Namma Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lailatul Muniroh Landung Rusyanto Simatupang Lela Siti Nurlaila Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Linus Suryadi AG Liza Wahyuninto Lubis Grafura Lutfi Mardiansyah M. Badrus Alwi M. Faizi Maghfur Munif Maghie Oktavia Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maqhia Nisima Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marwanto Mas Marco Kartodikromo Mashuri Mathori A. Elwa Matroni el-Moezany Maya Mustika K. Mega Vristian Miftahul Abrori Mohammad Yamin Muhammad Ali Fakih Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muntamah Cendani Mustiar AR Mustofa W Hasyim Mutia Sukma Nadjib Kartapati Z Nanang Suryadi Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Noor Sam Nunung S. Sutrisno Nur Iswantara Nur Lodzi Hady Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Pariyo Adi Pringadi AS Pringgo HR Puisi-Puisi Indonesia Purwadmadi Admadipurwa Puspita Rose Putri Sarinande R. Toto Sugiharto Rachmat Djoko Pradopo Raedu Basha Ragil Suwarno Pragolapati Rakai Lukman Rama Prabu Ramadhan KH Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Ribut Wijoto Rikard Diku Robin Al Kautsar Rozi Kembara Rudi Hartono Rusydi Zamzami S Yoga Sahaya Santayana Saiful Bakri Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Selendang Sulaiman Seli Desmiarti Sigit Sugito Sihar Ramses Simatupang Siska Afriani Sitok Srengenge Sitor Situmorang Slamet Rahardjo Rais Slamet Widodo Sosiawan Leak Sreismitha Wungkul Sri Harjanto Sahid Sri Jayantini Sri Setya Rahayu Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunardi KS Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutirman Eka Ardhana Syifa Aulia Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Ranusastra Asmara Teguh Triaton Tengsoe Tjahjono Tharie Rietha Thowaf Zuharon Timur Sinar Suprabana Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Ulfatin Ch Umbu landu Paranggi Unieq Awien Usman Arrumy W. Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyu Subuh Warih Wisatsana Wayan Sunarta Weni Suryandari Widi Astuti Wiji Thukul Winarni R. Y. Wibowo Yonathan Rahardjo Yosi M Giri Yudhi Herwibowo Yudhiono Aprianto Yurnaldi Yusri Fajar Yusuf Suharto Yuswan Taufiq Yuswinardi Zaenal Faudin Zainal Arifin Thoha Zamroni Allief Billah Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae