http://www.sastra-indonesia.com/
Sketsa Tak Bermantra
Terlukis sudah,
mawar bunga tiada estetika
dalam sebuah sketsa tak bermantra
langkah pena yang penuh bimbang
teduh tamanku kini mengerang.
Akulah sang pelukis mawar itu,
tangkai mawar bersembilu pilu
merah merona
warnanya yang belia
indah merekah,
tapi selaksa rekayasa.
Jombang, 2005
Berhias Mata Kaca
Saudara berhias mata kaca
Saksi mata tertawa
Seorang ibu tertusuk pedang busuk
Sebelah rumah, sebarkan kasak-kusuk.
Jombang, 2005
Pentas Malam
demikian keluhan pentas malam, babak-babak yang sukar ia tebak
syair-syair dari para penyihir
lakon-lakon yang tiada lagi ditonton.
nampak ia terjangkit insomnia, damai dan lelap tidurnya terampas hempas—mimpi-mimpi yang tak berbunga lagi; angin malam yang tak kabarkan temeram.
Aku selalu menunggu risalah dalam relung kalbu,
usir kemunafikan yang menderu.
Aku berguru pada fantasi
yang ku biarkan berlalu.
Jombang, 2008
Panggung Sampah
Mudah sekali engkau bersilat lidah. Mudah sekali engkau bersolek rona; berpose, kemudian berakting ketat
menari-nari di atas panggung sampah—si kecil kau bikin simpatik
dengan semerbak parfum wangi dan bibir berlipstik
Mudah sekali engkau jadi dalang. Mudah sekali engkau lihai mainkan gambang,
dengan bait-bait sekenario busuk, kemudian engkau mulai berkidung kusuk
si kecil kau jadikan dagelan dengan layar-layar dan cahaya bualan.
Jombang, 2008.
Berfilsafat Pada Gedung Tua
Nampak beringas dan sepi, gedung-gedung mulai bermadu diantara jejak-jejak yang retak—di puncak tiang-tiang logam, juga pepohon yang kini berkarat—tidak menambah spirit kanak-kanak dalam mempermainkan teori-teori tua.
Namun, Tuan dan para serdadu mulai bersatu. Berjalan tanpa mempedulikan apa pun, dan kelihatannya melangkah menuju meja sidang berbatu, dengan sedikit lembaran-lembaran daun keres berserakan—sepanjang bekas ledakan buahnya yang sudah meleleh.
Jombang, Juli 2008.
Semut Berselimut
Tersentak jasad ini lalu memberontak dari lelap mimpi gelap melahap,
bila malam mendongeng dengan cengeng
hanya menghadirkan hidup resah tiada asa
lekas kulihat, lewat tirai kamarku yang masih remang memikat
cahaya fajar itu telah tiba merekah tepat di atas bukit ia menyapa
hendak bangunkan seluruh penghuni mayapada.
Sekompi semut itu masih lembut berselimut dengan seekor beo yang masih
mengigau enggan berkicau.
Jiwaku telah sadar menggelegar bersama lengking gema ayam jantan berkobar
di atas kuncup harum mawar indah mekar.
Inilah awal pencerahan zaman, dunia bukan semata niscaya dan khayalan.
Singsingkan lengan lantang maju ke depan, tampilkan karyamu dengan begitu menawan
seelok gemilang fajar pagi ini gegap melawan.
Jombang, 2007
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Jumat, 08 Oktober 2010
Puisi-Puisi Dody Kristianto
http://www.jawapos.co.id/
Riam Hujan
ia akan kembali untuk yang lama
ia akan pergi bagi yang purba
sebab ia sekadar singgah
menemui Puan yang terus ia rindui
Puan yang lama menjejaki bumi
Puan yang tinggalkan segala benih
benih rindu yang kelak tak abadi
sebab ia akan terus kembali
2010
Gambar Hujan
sudah berkali-kali ia masih lupa
warna mata yang ditatapnya
di perjalanan
tak berkehendak ia serupa buta
tapi sekenangan kastil masih saja
menunggunya di senja pertama
sebelum malam sesekali menghapus namanya
sungguh, bimbang ia masih
pada sebidang putih
yang mengungkungnya
di akhir malam
2010
Kitab Hujan
serupa pencuri tandang tiba-tiba
ia sabar masih, terlampau sabar
untuk memindai genting yang alpa
pada salam yang ia ucapkan, semalam
sedang segenap malam masih berbenah
untuk pantun yang gagal ia lanturkan
2010
Detak Hujan
ia dan jantung purbanya sungguh dekat,
hanya sejejak, sejejak saja terpisah
lalu dalam sekejapan akan ia temui,
jejantungnya,
sekaligus seteru dan sekutu
yang selalu gagal ia retakkan
pada genggam pertama
sungguh, ia teramat rindu
sekaligus dendam
pada kembaran lamanya itu
2010
Tilas Hujan
ada yang senantiasa kami lupa :
ia selalu bertandang
dengan segala santun dan salam
para bangsawan
di tubuh kami ia gemar mengulur salam
lalu masuk dan menjelma badai
yang hantami kapal di hati kami
2010
Keroncong Hujan
di ketinggian ia masih
berpuluh rumah dipukulnya
terdiam ia masih
bebangkai tanah disiginya
memandang ia masih
sekembaran laut dilipatnya
2010
Mata Hujan
sedang gemar ia pandangi
setiap genting kami yang luka
lalu lilin kamar kami kian redup
dirundungi mantra yang ndentam
di pintu rumah
“selamat datang, bagi tuan
yang sesat di jalan pulang”
2010
Suluk Hujan
kami mengaji kitab api
yang tuntas di hari pagi
sementara ia masih bersendiri
menutup tirai putih matahari
2010
Memo Hujan
segeralah :
kaum lawan meradang Puan
sementara ia masyuk berdiam
setetesan pandangnya hendak ia peluk
segala yang ia temukan di perjalanan
sebab lama sudah ia rindukan
ia rindukan sang kerabat
yang tak kunjung merambat
ke ketinggian, tempat ia dan seterunya
terus dilahirkan
2010
*) Dody Kristianto , lahir di Surabaya, 3 April 1986. Lulus Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Giat pada Komunitas Rabo Sore (KRS) dan Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI).
Riam Hujan
ia akan kembali untuk yang lama
ia akan pergi bagi yang purba
sebab ia sekadar singgah
menemui Puan yang terus ia rindui
Puan yang lama menjejaki bumi
Puan yang tinggalkan segala benih
benih rindu yang kelak tak abadi
sebab ia akan terus kembali
2010
Gambar Hujan
sudah berkali-kali ia masih lupa
warna mata yang ditatapnya
di perjalanan
tak berkehendak ia serupa buta
tapi sekenangan kastil masih saja
menunggunya di senja pertama
sebelum malam sesekali menghapus namanya
sungguh, bimbang ia masih
pada sebidang putih
yang mengungkungnya
di akhir malam
2010
Kitab Hujan
serupa pencuri tandang tiba-tiba
ia sabar masih, terlampau sabar
untuk memindai genting yang alpa
pada salam yang ia ucapkan, semalam
sedang segenap malam masih berbenah
untuk pantun yang gagal ia lanturkan
2010
Detak Hujan
ia dan jantung purbanya sungguh dekat,
hanya sejejak, sejejak saja terpisah
lalu dalam sekejapan akan ia temui,
jejantungnya,
sekaligus seteru dan sekutu
yang selalu gagal ia retakkan
pada genggam pertama
sungguh, ia teramat rindu
sekaligus dendam
pada kembaran lamanya itu
2010
Tilas Hujan
ada yang senantiasa kami lupa :
ia selalu bertandang
dengan segala santun dan salam
para bangsawan
di tubuh kami ia gemar mengulur salam
lalu masuk dan menjelma badai
yang hantami kapal di hati kami
2010
Keroncong Hujan
di ketinggian ia masih
berpuluh rumah dipukulnya
terdiam ia masih
bebangkai tanah disiginya
memandang ia masih
sekembaran laut dilipatnya
2010
Mata Hujan
sedang gemar ia pandangi
setiap genting kami yang luka
lalu lilin kamar kami kian redup
dirundungi mantra yang ndentam
di pintu rumah
“selamat datang, bagi tuan
yang sesat di jalan pulang”
2010
Suluk Hujan
kami mengaji kitab api
yang tuntas di hari pagi
sementara ia masih bersendiri
menutup tirai putih matahari
2010
Memo Hujan
segeralah :
kaum lawan meradang Puan
sementara ia masyuk berdiam
setetesan pandangnya hendak ia peluk
segala yang ia temukan di perjalanan
sebab lama sudah ia rindukan
ia rindukan sang kerabat
yang tak kunjung merambat
ke ketinggian, tempat ia dan seterunya
terus dilahirkan
2010
*) Dody Kristianto , lahir di Surabaya, 3 April 1986. Lulus Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Giat pada Komunitas Rabo Sore (KRS) dan Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI).
Puisi-Puisi Arieyoko Ksmb
http://sastra-bojonegoro.blogspot.com/
Sajak Sabdopalon-Noyogenggong
Sebagai gedhibal alam, Sabdo dan Noyo terus menunggang angin.
Melayang bersama kabut, antara Gunung Semeru, Lawu, Merapi,
Slamet sampai Tangkuban Perahu. Ke duanya berdzikir pada tanah,
pada air, pada kayu, pada burung, pada bara
dan api.
“Aku tak hendak menagih janji, atas kesepakatan alam ruh dan
alam nyata, ketika itu. Aku hanya mengabarkan pada semua,
bahwa janji selalu menepati dirinya sendiri,” begitu mereka berbisik lirih.
Dari ujung kulon sampai ujung wetan.
Dari walang sampai kijang di hutan.
Di roda zaman, sebuah janji alam tak pernah berarti apa-apa.
Kecuali hanya sebuah pengertian tentang sejarah. Tanpa mau
mengerti, bahwa alam yang mencatatkan perjanjian
di tangga langit, selalu menyinarkan kebenaran atas janji
yang terlupa itu.
Sabdo dan Noyo terus berputar-putar di atas-atas rumah kita.
Mereka membawa obor kencana, yang bakal ditancap-tancapkan,
di pekarangan hati yang terbuka.
Siapa saja.
Jonegoro, 11/8/2010.
Republik Kata-Kata
Kita berdiri di negara kata-kata. Semuanya saling berebut kata-kata.
Tak peduli apakah itu bermakna atawa hanya sekadar membuat kata-kata.
Yang seluruhnya demikian terkesima dan memakan kata-kata,
dan meniru kata-kata, dan mendogma kata-kata.
Tanpa jeda…
Sebagai negara kata-kata, maka keadilan hanya ada di dalam kata-kata.
Kemakmuran hanya ada di kata-kata. Kesejahteraan pun cuma dalam kata-kata.
Kemanusiaan cukuplah sampai di kata-kata. Jangan tanyakan kata-kata lainnya.
Kerna tak ada…
Anak-anak kita diajari ilmu kata-kata. Karena setelah dewasa yang paling diperlukan
adalah kata-kata. Sebab selain kata-kata, itu disebut sebagai dosa dan berhala.
Yang pantas untuk ditumpas, tak perlu dikembangsuburkan dalam kata-kata…..
Pintar berkata-kata adalah kebudayaan baru. Berkata-kata salah dan keliru,
itu tak apa. Yang penting, sudah berkata-kata. Di rapat-rapat kerja.
Di peraturan-peraturan. Di sidang-sidang. Di ranjang-ranjang.
Mari saling mengobral kata-kata…
Bungkuslah apik kata-kata sebagai agama kita. Niatkan dan laksanakan
sepenuh-penuhnya sebagai hajat hidup yang luar biasa. Marilah membangun
Republik Kata-Kata dengan kata-kata. Toh semuanya telah sepakat,
bahwa kata-kata adalah prinsip-prinsip dasar bersama dalam
bernegara kata-kata…
Ayolah,
Teruslah berkata-kata.
Jangan berfikir yang lain, selain hanya kata-kata.
Hanya dengan begitulah, kita dapat kenyang
di Republik Kata-Kata.
(Aku menatah angin,
tak lagi mampu
berkata-kata)
Jonegoro, 8 Juli 2010
Perempuan Batu
layaknya tanda tanya dalam sebuah tanda baca
engkau selalu berkerut-kerut saat menakar matahari
saban hari…
entah tanpa sebab atawa hanya sekadar tanda-tanda semata
engkau mengaku luka pada siapa saja yang kebetulan bersua :
sejenak di hatimu…
tak jelas, kerap luka muncul begitu tiba-tiba
pada wajah, pada hati dan pada lidahmu
yang menjadi teramat tajam mengutuk-kutuk
apakah benar itu kamu?
yang kukenal gemulai di jejak-jejak tegar
ketika pertama saling:
menyapa…
benarkah itu dirimu yang demikian rapat
kamu sembunyikan pepat jiwamu:
dulu…
kamu menjadi mahluk asing
yang terlelap diketiakku
tadi malam…
Semarang, 29 mei 2010
Perempuan Haha Hihi
Ada gambuh berdesingan nyaring berputaran, perempuan paruh baya
terpelanting di teras jumawa penuh gaya. Roknya melambai layaknya
bendera, menawarkan harum paha, sembari merentang gigi-gigi
timun wanginya yang haha… hihi…
Bilah kakinya melompati waktu, ranjang, kamar mandi dan televisi.
Meruap helai rambutnya ditabrak tradisi, yang hanya sebagai gincu pemikat,
saban pagi, jika pergi. Lengking suaranya tetap saja tajam dan laknat,
menghardik yang dianggap pengkhianat, meski tak jelas jluntrungnya,
dicucupi yang dimauinya, sambil haha… hihi…
Di kota-kota, antara etalase-etalase dan kembang kemangi,
kemanusian cuma menjadi pelengkap pasamuan dan arisan.
Jerit kanak-kanak di kebun teh tak lebih dari nyanyian bebek di kandang,
yang hanya layak disantap-santap pada pesta keluarga. Selebihnya,
atas nama agama, semua menjadi halal untuk haha… hihi…
Perempuan haha hihi, adalah perempuan yang selalu melewati pintu hati
saban pagi. Lantas memunguti kerikil-kerikil sejarah milik siapa pun,
yang berceceran. Dikumpulkan pada sebuah janji, dan menjejak
pergi meninggalkan bau kentut haha… hihi…
Perempuan haha hihi, bukan perempuan durhaka pada keluarganya.
Ia hanya tak mampu menakar hatinya. Bahwa hidup tak sekadar memuaskan
nafsi-nafsi, sambil menghiba-hiba haha hihi mencari kudapan
untuk makan malamnya.
Perempuan haha hihi
terus menari tralala trilili
sepanjang-panjang matahari
dari pagi ke pagi kembali.
Jonegoro, 15/9/2010
Kue dan Sepatu
Kamu anggap cintamu selezat kue
nikmat mengecap kamu suka
pahit melegit kamu lupa.
Aku anggap cintaku layaknya sepatu
membongkar hidup tegar melaju
membajak sejarah tanpa kelu.
Kue dan sepatu tak melangkah
pada ujung matahari yang melempuh.
Jonegoro, 14/9/2010
Sajak Sabdopalon-Noyogenggong
Sebagai gedhibal alam, Sabdo dan Noyo terus menunggang angin.
Melayang bersama kabut, antara Gunung Semeru, Lawu, Merapi,
Slamet sampai Tangkuban Perahu. Ke duanya berdzikir pada tanah,
pada air, pada kayu, pada burung, pada bara
dan api.
“Aku tak hendak menagih janji, atas kesepakatan alam ruh dan
alam nyata, ketika itu. Aku hanya mengabarkan pada semua,
bahwa janji selalu menepati dirinya sendiri,” begitu mereka berbisik lirih.
Dari ujung kulon sampai ujung wetan.
Dari walang sampai kijang di hutan.
Di roda zaman, sebuah janji alam tak pernah berarti apa-apa.
Kecuali hanya sebuah pengertian tentang sejarah. Tanpa mau
mengerti, bahwa alam yang mencatatkan perjanjian
di tangga langit, selalu menyinarkan kebenaran atas janji
yang terlupa itu.
Sabdo dan Noyo terus berputar-putar di atas-atas rumah kita.
Mereka membawa obor kencana, yang bakal ditancap-tancapkan,
di pekarangan hati yang terbuka.
Siapa saja.
Jonegoro, 11/8/2010.
Republik Kata-Kata
Kita berdiri di negara kata-kata. Semuanya saling berebut kata-kata.
Tak peduli apakah itu bermakna atawa hanya sekadar membuat kata-kata.
Yang seluruhnya demikian terkesima dan memakan kata-kata,
dan meniru kata-kata, dan mendogma kata-kata.
Tanpa jeda…
Sebagai negara kata-kata, maka keadilan hanya ada di dalam kata-kata.
Kemakmuran hanya ada di kata-kata. Kesejahteraan pun cuma dalam kata-kata.
Kemanusiaan cukuplah sampai di kata-kata. Jangan tanyakan kata-kata lainnya.
Kerna tak ada…
Anak-anak kita diajari ilmu kata-kata. Karena setelah dewasa yang paling diperlukan
adalah kata-kata. Sebab selain kata-kata, itu disebut sebagai dosa dan berhala.
Yang pantas untuk ditumpas, tak perlu dikembangsuburkan dalam kata-kata…..
Pintar berkata-kata adalah kebudayaan baru. Berkata-kata salah dan keliru,
itu tak apa. Yang penting, sudah berkata-kata. Di rapat-rapat kerja.
Di peraturan-peraturan. Di sidang-sidang. Di ranjang-ranjang.
Mari saling mengobral kata-kata…
Bungkuslah apik kata-kata sebagai agama kita. Niatkan dan laksanakan
sepenuh-penuhnya sebagai hajat hidup yang luar biasa. Marilah membangun
Republik Kata-Kata dengan kata-kata. Toh semuanya telah sepakat,
bahwa kata-kata adalah prinsip-prinsip dasar bersama dalam
bernegara kata-kata…
Ayolah,
Teruslah berkata-kata.
Jangan berfikir yang lain, selain hanya kata-kata.
Hanya dengan begitulah, kita dapat kenyang
di Republik Kata-Kata.
(Aku menatah angin,
tak lagi mampu
berkata-kata)
Jonegoro, 8 Juli 2010
Perempuan Batu
layaknya tanda tanya dalam sebuah tanda baca
engkau selalu berkerut-kerut saat menakar matahari
saban hari…
entah tanpa sebab atawa hanya sekadar tanda-tanda semata
engkau mengaku luka pada siapa saja yang kebetulan bersua :
sejenak di hatimu…
tak jelas, kerap luka muncul begitu tiba-tiba
pada wajah, pada hati dan pada lidahmu
yang menjadi teramat tajam mengutuk-kutuk
apakah benar itu kamu?
yang kukenal gemulai di jejak-jejak tegar
ketika pertama saling:
menyapa…
benarkah itu dirimu yang demikian rapat
kamu sembunyikan pepat jiwamu:
dulu…
kamu menjadi mahluk asing
yang terlelap diketiakku
tadi malam…
Semarang, 29 mei 2010
Perempuan Haha Hihi
Ada gambuh berdesingan nyaring berputaran, perempuan paruh baya
terpelanting di teras jumawa penuh gaya. Roknya melambai layaknya
bendera, menawarkan harum paha, sembari merentang gigi-gigi
timun wanginya yang haha… hihi…
Bilah kakinya melompati waktu, ranjang, kamar mandi dan televisi.
Meruap helai rambutnya ditabrak tradisi, yang hanya sebagai gincu pemikat,
saban pagi, jika pergi. Lengking suaranya tetap saja tajam dan laknat,
menghardik yang dianggap pengkhianat, meski tak jelas jluntrungnya,
dicucupi yang dimauinya, sambil haha… hihi…
Di kota-kota, antara etalase-etalase dan kembang kemangi,
kemanusian cuma menjadi pelengkap pasamuan dan arisan.
Jerit kanak-kanak di kebun teh tak lebih dari nyanyian bebek di kandang,
yang hanya layak disantap-santap pada pesta keluarga. Selebihnya,
atas nama agama, semua menjadi halal untuk haha… hihi…
Perempuan haha hihi, adalah perempuan yang selalu melewati pintu hati
saban pagi. Lantas memunguti kerikil-kerikil sejarah milik siapa pun,
yang berceceran. Dikumpulkan pada sebuah janji, dan menjejak
pergi meninggalkan bau kentut haha… hihi…
Perempuan haha hihi, bukan perempuan durhaka pada keluarganya.
Ia hanya tak mampu menakar hatinya. Bahwa hidup tak sekadar memuaskan
nafsi-nafsi, sambil menghiba-hiba haha hihi mencari kudapan
untuk makan malamnya.
Perempuan haha hihi
terus menari tralala trilili
sepanjang-panjang matahari
dari pagi ke pagi kembali.
Jonegoro, 15/9/2010
Kue dan Sepatu
Kamu anggap cintamu selezat kue
nikmat mengecap kamu suka
pahit melegit kamu lupa.
Aku anggap cintaku layaknya sepatu
membongkar hidup tegar melaju
membajak sejarah tanpa kelu.
Kue dan sepatu tak melangkah
pada ujung matahari yang melempuh.
Jonegoro, 14/9/2010
Puisi-Puisi Kusprihyanto Namma
http://www.jawapos.com/
TELAGA
Di tempat seasing ini kudapatkan telaga
milik siapa ketenangan air yang jernih
sedang aku jadi malu seusai membuat kecipak
lalu duduk saja memandang cemara-cemara
yang berbaris membentuk bayangan raksasa yang lelap
oleh belaian angin bukit
Sebaiknya engkau datang kemari di saat pagi
saat ikan-ikan bermain dengan pucuk-pucuk ombak
tapi jangan membawa kail itu akan membunuh cacing
daerah ini suci dan merdeka
belum pernah ketumpahan darah, setetes pun
Kalau ingin ikan-ikan datang berkumpul
cukup dengan menyanyi, kau telah pula memanggil
murai, kutut, podang, tilang, jalak, dan emprit
yang membangun sarang di tengah telaga
semakin jelaslah kedamaian dan rasa bersama
berada jauh dari pusat kota
SARANGAN
Telaga itu masih seperti dahulu
jalan melingkar, kabut, cemara-cemara yang berisik
cipak ikan, kicau burung, dan angsa berenang
ketenangan ombaknya sesekali dipecahkan gerak sampan
Telaga itu masih seperti dahulu
pasangan demi pasangan lenyap di balik awan
ringkik kuda, dan pekik kagum para pengunjung
kalau ada yang berubah, kedatanganku tak lagi bersamamu
ELEGI ANGSA
Angsa yang mati kutembak semalam
subuh tadi kembali terbang mengisi awan
paruhnya bagai pedang
memotong sepotong rembulan di puncak bintang
Menatap ketinggian aku melihat gambar-gambar langit
ada gunung, ada pohon dan sarang-sarang
juga laut yang menari bersama
angsa yag mati kutembak semalam
METAMORFOSA
Hujan telah turun tapi engkau malah lenyap dari pandangan
selalu tak kau takut petir yang menyambar-nyambar
kemarin engkau bilang hendak menangkap capung
yang terjun dalam tidurmu
tapi ini bukan musim capung atau kupu-kupu
bahkan bunga-bunga yang kau tanam di pinggir telaga
belum juga mekar
seharusnya kau tidak berlari menembus kabut seorang diri
siapa tahu di belakang itu bersembunyi singa
atau serigala
yang langsung menerkammu ketika kau tak terjaga
Hujan belum reda, dan aku berniat mencarimu dalam hujan
namun tiba-tiba engkau muncul dari balik kabut
membawa seekor singa dan beberapa serigala
aku diam pesona, tak sanggup menatap tapi tak buta
KABUT
Begitu matahari muncul, kabut akan turun
perlahan-lahan
mengepung pepohonan memenuhi lembah dan hutan
kerbau-sapi melenguh kedinginan
Begitu kabut muncul, gunung tinggi menjulang
akan lenyap sekejapan
tak ada lagi sisa-sisa kegagahan
selain suara tilang dan podang yang bertindihan
MITOS
Kutut yang kau tangkap di pinggir hutan
sungguh menyenangkan
bulunya lembut, matanya redup
tak bosan-bosan kupandang penuh kekaguman
Kutut yang kutangkap di pinggir hutan
malam tadi menjelma ular
kulitnya putih-hitam berkilat menakutkan
lepas dari kurungan
POHON PISANG
Selama belum memberi buah
pohon pisang tak akan mati ditebang
kemuliaan seperti itu siapakah yang mewarisinya
pohon jambu atau pohon mangga
Walau matahari membakar kemarau panjang
dan penghujan melahirkan banjir bandang
selama belum memberi buah
pohon pisang tak akan mati ditebang
*) Kuspriyanto Namma, penyair kelahiran Ngawi, 30 Oktober 1965, guru bahasa Indonesia MAN Ngawi, dan pendiri Teater Magnit Ngawi
TELAGA
Di tempat seasing ini kudapatkan telaga
milik siapa ketenangan air yang jernih
sedang aku jadi malu seusai membuat kecipak
lalu duduk saja memandang cemara-cemara
yang berbaris membentuk bayangan raksasa yang lelap
oleh belaian angin bukit
Sebaiknya engkau datang kemari di saat pagi
saat ikan-ikan bermain dengan pucuk-pucuk ombak
tapi jangan membawa kail itu akan membunuh cacing
daerah ini suci dan merdeka
belum pernah ketumpahan darah, setetes pun
Kalau ingin ikan-ikan datang berkumpul
cukup dengan menyanyi, kau telah pula memanggil
murai, kutut, podang, tilang, jalak, dan emprit
yang membangun sarang di tengah telaga
semakin jelaslah kedamaian dan rasa bersama
berada jauh dari pusat kota
SARANGAN
Telaga itu masih seperti dahulu
jalan melingkar, kabut, cemara-cemara yang berisik
cipak ikan, kicau burung, dan angsa berenang
ketenangan ombaknya sesekali dipecahkan gerak sampan
Telaga itu masih seperti dahulu
pasangan demi pasangan lenyap di balik awan
ringkik kuda, dan pekik kagum para pengunjung
kalau ada yang berubah, kedatanganku tak lagi bersamamu
ELEGI ANGSA
Angsa yang mati kutembak semalam
subuh tadi kembali terbang mengisi awan
paruhnya bagai pedang
memotong sepotong rembulan di puncak bintang
Menatap ketinggian aku melihat gambar-gambar langit
ada gunung, ada pohon dan sarang-sarang
juga laut yang menari bersama
angsa yag mati kutembak semalam
METAMORFOSA
Hujan telah turun tapi engkau malah lenyap dari pandangan
selalu tak kau takut petir yang menyambar-nyambar
kemarin engkau bilang hendak menangkap capung
yang terjun dalam tidurmu
tapi ini bukan musim capung atau kupu-kupu
bahkan bunga-bunga yang kau tanam di pinggir telaga
belum juga mekar
seharusnya kau tidak berlari menembus kabut seorang diri
siapa tahu di belakang itu bersembunyi singa
atau serigala
yang langsung menerkammu ketika kau tak terjaga
Hujan belum reda, dan aku berniat mencarimu dalam hujan
namun tiba-tiba engkau muncul dari balik kabut
membawa seekor singa dan beberapa serigala
aku diam pesona, tak sanggup menatap tapi tak buta
KABUT
Begitu matahari muncul, kabut akan turun
perlahan-lahan
mengepung pepohonan memenuhi lembah dan hutan
kerbau-sapi melenguh kedinginan
Begitu kabut muncul, gunung tinggi menjulang
akan lenyap sekejapan
tak ada lagi sisa-sisa kegagahan
selain suara tilang dan podang yang bertindihan
MITOS
Kutut yang kau tangkap di pinggir hutan
sungguh menyenangkan
bulunya lembut, matanya redup
tak bosan-bosan kupandang penuh kekaguman
Kutut yang kutangkap di pinggir hutan
malam tadi menjelma ular
kulitnya putih-hitam berkilat menakutkan
lepas dari kurungan
POHON PISANG
Selama belum memberi buah
pohon pisang tak akan mati ditebang
kemuliaan seperti itu siapakah yang mewarisinya
pohon jambu atau pohon mangga
Walau matahari membakar kemarau panjang
dan penghujan melahirkan banjir bandang
selama belum memberi buah
pohon pisang tak akan mati ditebang
*) Kuspriyanto Namma, penyair kelahiran Ngawi, 30 Oktober 1965, guru bahasa Indonesia MAN Ngawi, dan pendiri Teater Magnit Ngawi
Puisi-Puisi Aming Aminoedhin
http://www.jawapos.com/
Aku Masih Melihat
catatan ramadhan 1431-h
aku masih melihat
orang-orang melangkah ke masjid
selepas magrib jelang isya tiba
berharap bisa tarawih dengan berjamaah
aku masih melihat
orang-orang melangkah ke mal dan plasa
melepas duit jelang hari raya
agar lebaran tampak gagah lupa hati pongah
aku masih melihat
mal dan plasa berjuta orang
mengigau berjamaah, hamburkan uang
tanpa pernah dirasa atau merasa
ada berjuta orang di luar sana
atau mungkin di sekitar kita
teramat miskin papa
aku masih melihat
jurang menganga
begitu dalam tak terjangkau
dari matabatin orang-orang mengigau
aku masih melihat
berjuta orang meracau dan mengigau
di negeriku yang kacau
Canggu, 19 Agustus 2010
Matematika Lailatul Qodar
pakar matematika pernah berhitung
jika seribu bulan
adalah 83 tahun lebih umurnya
sedang usia manusia
tak lebihi angka sejumlah itu
maka bersujud dan beramallah
pada saat lailatul qodar
hingga impaslah segala dosamu
dibayar oleh sujud-amalan
di malam qodar itu
aku termangu (mungkin ragu)
lantas kita semua terjaga
apa benar begitu?
Canggu, 19/8/2010
Dentang Suara
dentang suara benar itu tak selamanya enak didengar. hari-hari biasa kau bisa diburu langkahmu. hanya lantaran suara kebenaran yang kau kicaukan terasa sesakkan dada penguasa
dentang suara yang kaunyanyikan bukan lagu merdu bagi penguasa
langkahmu hari ini bisa terhenti. tapi berjuta politisi jalankan kembali langkahmu, yang kian mengarah suara benar tak enak didengar itu
dentang suaramu mendedah bagi penguasa berhati pongah (mungkin serakah) dalam hidup ini. mengalah bukan kalah, saudaraku
tapi kau semakin tak peduli. bahkan mungkin rakyat
juga kian ingin bukti kebenaran itu terungkap
dentang suaramu memang tak enak didengar
tapi benar yang kau tebar akan jadi bukti
nyanyian kau lantunkan adalah kebenaran
tak terbantahkan. tak terbantahkan!
Desaku Canggu, 13/4/2010
Peluit Itu Jadi Nyanyian
peluit kau tiup ketika para penguasa butuh atap tertutup
telah memporakporandakan negeri ini
peluit yang kau tiup bagai nyanyian indah tak terbantah
telah membelalakkan mata rakyat tak percaya
dunia memang telah jungkirbalik
polisi menangkap maling, dan malingnya
berbalik tangkap polisi
peluit itu terus bernyanyi, bagai peluit keretaapi
setiap stasiun berbunyi. setiap pejabat korup
peluit berbunyi. suara peluitmu, jadi hantu
bagi setiap pejabat korup jadi takut
adakah pada dirinya akan juga bernyanyi?
peluit kau tiup ketika para penguasa butuh atap tertutup
telah memporakporandakan negeri ini
peluit yang kau tiup bagai nyanyian indah tak terbantah
telah membelalakkan mata rakyat tak percaya
ternyata masih ada juga manusia berhati mulia
semulia nyanyian peluitmu terus memburu
para koruptor itu
Desaku Canggu, 13/4/2010
Telah Tamat
sp
persetan amat. semua telah tamat
hari berlalu beku. tawar tanpa makna
helatan kau tawarkan basi. tanpa makna arti
sebab segala acara, hanya bersandar pada takar harta
bukan getar jiwa. puisi adalah getar jiwa
bukan harga takar uang kau punya. bukan!
puisi berwarna dasar hati suci mewangi, sedang kau
coba tawarkan otak keledai berbungkus bangkai
busuk dan masai!
aku tak tahu ada juga ikut barisan itu
beriring-iringan bagai keledai nan bodoh
mengangkut berkarung kesalahan tak senonoh
tapi mereka tak paham, terus berjalan
ke mana arah dilangkahkan?
persetan amat. semua telah tamat
hari berlalu beku. tawar tanpa makna
gedung itu bisu. kau kian tambah bisu
hati kelu menimbun beribu-ribu, dan
barisan mereka hanya bilang setuju!
Sidoarjo, 8/6/2010
*) Aming Aminoedhin, staf Balai Bahasa Surabaya, penggagas malam sastra Surabaya (malsasa). Tinggal di Mojokerto
Aku Masih Melihat
catatan ramadhan 1431-h
aku masih melihat
orang-orang melangkah ke masjid
selepas magrib jelang isya tiba
berharap bisa tarawih dengan berjamaah
aku masih melihat
orang-orang melangkah ke mal dan plasa
melepas duit jelang hari raya
agar lebaran tampak gagah lupa hati pongah
aku masih melihat
mal dan plasa berjuta orang
mengigau berjamaah, hamburkan uang
tanpa pernah dirasa atau merasa
ada berjuta orang di luar sana
atau mungkin di sekitar kita
teramat miskin papa
aku masih melihat
jurang menganga
begitu dalam tak terjangkau
dari matabatin orang-orang mengigau
aku masih melihat
berjuta orang meracau dan mengigau
di negeriku yang kacau
Canggu, 19 Agustus 2010
Matematika Lailatul Qodar
pakar matematika pernah berhitung
jika seribu bulan
adalah 83 tahun lebih umurnya
sedang usia manusia
tak lebihi angka sejumlah itu
maka bersujud dan beramallah
pada saat lailatul qodar
hingga impaslah segala dosamu
dibayar oleh sujud-amalan
di malam qodar itu
aku termangu (mungkin ragu)
lantas kita semua terjaga
apa benar begitu?
Canggu, 19/8/2010
Dentang Suara
dentang suara benar itu tak selamanya enak didengar. hari-hari biasa kau bisa diburu langkahmu. hanya lantaran suara kebenaran yang kau kicaukan terasa sesakkan dada penguasa
dentang suara yang kaunyanyikan bukan lagu merdu bagi penguasa
langkahmu hari ini bisa terhenti. tapi berjuta politisi jalankan kembali langkahmu, yang kian mengarah suara benar tak enak didengar itu
dentang suaramu mendedah bagi penguasa berhati pongah (mungkin serakah) dalam hidup ini. mengalah bukan kalah, saudaraku
tapi kau semakin tak peduli. bahkan mungkin rakyat
juga kian ingin bukti kebenaran itu terungkap
dentang suaramu memang tak enak didengar
tapi benar yang kau tebar akan jadi bukti
nyanyian kau lantunkan adalah kebenaran
tak terbantahkan. tak terbantahkan!
Desaku Canggu, 13/4/2010
Peluit Itu Jadi Nyanyian
peluit kau tiup ketika para penguasa butuh atap tertutup
telah memporakporandakan negeri ini
peluit yang kau tiup bagai nyanyian indah tak terbantah
telah membelalakkan mata rakyat tak percaya
dunia memang telah jungkirbalik
polisi menangkap maling, dan malingnya
berbalik tangkap polisi
peluit itu terus bernyanyi, bagai peluit keretaapi
setiap stasiun berbunyi. setiap pejabat korup
peluit berbunyi. suara peluitmu, jadi hantu
bagi setiap pejabat korup jadi takut
adakah pada dirinya akan juga bernyanyi?
peluit kau tiup ketika para penguasa butuh atap tertutup
telah memporakporandakan negeri ini
peluit yang kau tiup bagai nyanyian indah tak terbantah
telah membelalakkan mata rakyat tak percaya
ternyata masih ada juga manusia berhati mulia
semulia nyanyian peluitmu terus memburu
para koruptor itu
Desaku Canggu, 13/4/2010
Telah Tamat
sp
persetan amat. semua telah tamat
hari berlalu beku. tawar tanpa makna
helatan kau tawarkan basi. tanpa makna arti
sebab segala acara, hanya bersandar pada takar harta
bukan getar jiwa. puisi adalah getar jiwa
bukan harga takar uang kau punya. bukan!
puisi berwarna dasar hati suci mewangi, sedang kau
coba tawarkan otak keledai berbungkus bangkai
busuk dan masai!
aku tak tahu ada juga ikut barisan itu
beriring-iringan bagai keledai nan bodoh
mengangkut berkarung kesalahan tak senonoh
tapi mereka tak paham, terus berjalan
ke mana arah dilangkahkan?
persetan amat. semua telah tamat
hari berlalu beku. tawar tanpa makna
gedung itu bisu. kau kian tambah bisu
hati kelu menimbun beribu-ribu, dan
barisan mereka hanya bilang setuju!
Sidoarjo, 8/6/2010
*) Aming Aminoedhin, staf Balai Bahasa Surabaya, penggagas malam sastra Surabaya (malsasa). Tinggal di Mojokerto
Langganan:
Postingan (Atom)
A. Mustofa Bisri
A'yat Khalili
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Wachid B.S.
Abi N. Bayan
Abidah El Khalieqy
Acep Syahril
Acep Zamzam Noor
Adi Toha
Adrian Balu
AF Denar Daniar
Afrizal Malna
Agus Manaji
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Maltuf Syamsury
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Ala Roa
Aldika Restu Pramuli
Alfatihatus Sholihatunnisa
Alfiyan Harfi
Ali Makhmud
Ali Subhan
Amelia Rachman
Amie Williams
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Andry Deblenk
Anggie Melianna
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Aprinus Salam
Ariandalu S
Arieyoko Ksmb
Arya Winanda
As Adi Muhammad
Asep Sambodja
Atrap S. Munir
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Badaruddin Amir
Bakdi Sumanto
Bambang Darto
Bambang Kempling
Bambang Widiatmoko
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Bernando J. Sudjibto
Bernard S. Y. Batubara
Binhad Nurrohmat
Budhi Setyawan
Budi Palopo
Bustan Basir Maras
Chairul Abhsar
Chavchay Saifullah
Cut Nanda A.
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Afriady
Dadang Ari Murtono
Daisy Priyanti
Daysi Priyanti
Dea Anugrah
Dea Ayu Ragilia
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Desti Fatin Fauziyyah
Dewi Kartika
Dharmadi
Diah Budiana
Diah Hadaning
Dian Hartati
Didik Komaidi
Dimas Arika Mihardja
Djoko Saryono
Dody Kristianto
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Edy Lyrisacra
Effendi Danata
Eimond Esya
Eka Budianta
Eko Hendri Saiful
Eko Nuryono
El Sahra Mahendra
Ellie R. Noer
Elly Trisnawati
Emha Ainun Nadjib
Endang Supriadi
Endang Susanti Rustamadji
Eny Rose
Eppril Wulaningtyas R
Esha Tegar Putra
Esti Nuryani Kasam
Etik Widya
Evi Idawati
Evi Melyati
Evi Sefiani
Evi Sukaesih
Fadhila Ramadhona
Fahmi Faqih
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Fikri MS
Fina Sato
Firman Wally
Fitrah Anugerah
Frischa Aswarini
Gampang Prawoto
Ghaffur Al-Faqqih
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gunawan Maryanto
Gunoto Saparie
Gus tf Sakai
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hari Leo
Haris del Hakim
Hasan Al Banna
Hasan Aspahani
Hasta Indriyana
Helga Worotitjan
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Maja Kelana
Herlinatiens
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Ibnu Wahyudi
Ikarisma Kusmalina
Ike Ayuwandari
Ilenk Rembulan
Imam S Arizal
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santoso
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indrian Koto
Isbedy Stiawan ZS
Iwan Gunadi
Javed Paul Syatha
Jibna Sudiryo
Johan Khoirul Zaman
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Saputro
Jufri Zaituna
Jusuf AN
Kadek Wara Urwasi
Kadjie Bitheng MM
Kartika Kusworatri
Kedung Darma Romansha
Kika Syafii
Kirana Kejora
Kirdjomuljo
Kurnia Effendi
Kurniawan Junaedhie
Kurniawan Yunianto
Kusprihyanto Namma
Kuswaidi Syafi’ie
L.K. Ara
Lailatul Muniroh
Landung Rusyanto Simatupang
Lela Siti Nurlaila
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Linus Suryadi AG
Liza Wahyuninto
Lubis Grafura
Lutfi Mardiansyah
M. Badrus Alwi
M. Faizi
Maghfur Munif
Maghie Oktavia
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maman S. Mahayana
Maqhia Nisima
Marcellus Nur Basah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marwanto
Mas Marco Kartodikromo
Mashuri
Mathori A. Elwa
Matroni el-Moezany
Maya Mustika K.
Mega Vristian
Miftahul Abrori
Mohammad Yamin
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muntamah Cendani
Mustiar AR
Mustofa W Hasyim
Mutia Sukma
Nadjib Kartapati Z
Nanang Suryadi
Nezar Patria
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Noor Sam
Nunung S. Sutrisno
Nur Iswantara
Nur Lodzi Hady
Nur Wahida Idris
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Pariyo Adi
Pringadi AS
Pringgo HR
Puisi-Puisi Indonesia
Purwadmadi Admadipurwa
Puspita Rose
Putri Sarinande
R. Toto Sugiharto
Rachmat Djoko Pradopo
Raedu Basha
Ragil Suwarno Pragolapati
Rakai Lukman
Rama Prabu
Ramadhan KH
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Ribut Wijoto
Rikard Diku
Robin Al Kautsar
Rozi Kembara
Rudi Hartono
Rusydi Zamzami
S Yoga
Sahaya Santayana
Saiful Bakri
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Selendang Sulaiman
Seli Desmiarti
Sigit Sugito
Sihar Ramses Simatupang
Siska Afriani
Sitok Srengenge
Sitor Situmorang
Slamet Rahardjo Rais
Slamet Widodo
Sosiawan Leak
Sreismitha Wungkul
Sri Harjanto Sahid
Sri Jayantini
Sri Setya Rahayu
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sumargono SN
Suminto A. Sayuti
Sunardi KS
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Sutirman Eka Ardhana
Syifa Aulia
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Triaton
Tengsoe Tjahjono
Tharie Rietha
Thowaf Zuharon
Timur Sinar Suprabana
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Ulfatin Ch
Umbu landu Paranggi
Unieq Awien
Usman Arrumy
W. Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Hidayat
Wahyu Subuh
Warih Wisatsana
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Widi Astuti
Wiji Thukul
Winarni R.
Y. Wibowo
Yonathan Rahardjo
Yosi M Giri
Yudhi Herwibowo
Yudhiono Aprianto
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Yuswan Taufiq
Yuswinardi
Zaenal Faudin
Zainal Arifin Thoha
Zamroni Allief Billah
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae