Jumat, 08 Oktober 2010

Puisi-Puisi Agus Sulton

http://www.sastra-indonesia.com/
Sketsa Tak Bermantra

Terlukis sudah,
mawar bunga tiada estetika
dalam sebuah sketsa tak bermantra
langkah pena yang penuh bimbang
teduh tamanku kini mengerang.

Akulah sang pelukis mawar itu,
tangkai mawar bersembilu pilu
merah merona
warnanya yang belia
indah merekah,
tapi selaksa rekayasa.

Jombang, 2005



Berhias Mata Kaca

Saudara berhias mata kaca
Saksi mata tertawa
Seorang ibu tertusuk pedang busuk
Sebelah rumah, sebarkan kasak-kusuk.

Jombang, 2005



Pentas Malam

demikian keluhan pentas malam, babak-babak yang sukar ia tebak
syair-syair dari para penyihir
lakon-lakon yang tiada lagi ditonton.

nampak ia terjangkit insomnia, damai dan lelap tidurnya terampas hempas—mimpi-mimpi yang tak berbunga lagi; angin malam yang tak kabarkan temeram.

Aku selalu menunggu risalah dalam relung kalbu,
usir kemunafikan yang menderu.

Aku berguru pada fantasi
yang ku biarkan berlalu.

Jombang, 2008



Panggung Sampah

Mudah sekali engkau bersilat lidah. Mudah sekali engkau bersolek rona; berpose, kemudian berakting ketat
menari-nari di atas panggung sampah—si kecil kau bikin simpatik
dengan semerbak parfum wangi dan bibir berlipstik

Mudah sekali engkau jadi dalang. Mudah sekali engkau lihai mainkan gambang,
dengan bait-bait sekenario busuk, kemudian engkau mulai berkidung kusuk
si kecil kau jadikan dagelan dengan layar-layar dan cahaya bualan.

Jombang, 2008.



Berfilsafat Pada Gedung Tua

Nampak beringas dan sepi, gedung-gedung mulai bermadu diantara jejak-jejak yang retak—di puncak tiang-tiang logam, juga pepohon yang kini berkarat—tidak menambah spirit kanak-kanak dalam mempermainkan teori-teori tua.
Namun, Tuan dan para serdadu mulai bersatu. Berjalan tanpa mempedulikan apa pun, dan kelihatannya melangkah menuju meja sidang berbatu, dengan sedikit lembaran-lembaran daun keres berserakan—sepanjang bekas ledakan buahnya yang sudah meleleh.

Jombang, Juli 2008.



Semut Berselimut

Tersentak jasad ini lalu memberontak dari lelap mimpi gelap melahap,
bila malam mendongeng dengan cengeng
hanya menghadirkan hidup resah tiada asa

lekas kulihat, lewat tirai kamarku yang masih remang memikat
cahaya fajar itu telah tiba merekah tepat di atas bukit ia menyapa
hendak bangunkan seluruh penghuni mayapada.

Sekompi semut itu masih lembut berselimut dengan seekor beo yang masih
mengigau enggan berkicau.
Jiwaku telah sadar menggelegar bersama lengking gema ayam jantan berkobar
di atas kuncup harum mawar indah mekar.

Inilah awal pencerahan zaman, dunia bukan semata niscaya dan khayalan.
Singsingkan lengan lantang maju ke depan, tampilkan karyamu dengan begitu menawan
seelok gemilang fajar pagi ini gegap melawan.

Jombang, 2007

Puisi-Puisi Dody Kristianto

http://www.jawapos.co.id/
Riam Hujan

ia akan kembali untuk yang lama
ia akan pergi bagi yang purba
sebab ia sekadar singgah
menemui Puan yang terus ia rindui
Puan yang lama menjejaki bumi
Puan yang tinggalkan segala benih
benih rindu yang kelak tak abadi
sebab ia akan terus kembali

2010



Gambar Hujan

sudah berkali-kali ia masih lupa
warna mata yang ditatapnya
di perjalanan
tak berkehendak ia serupa buta
tapi sekenangan kastil masih saja
menunggunya di senja pertama
sebelum malam sesekali menghapus namanya
sungguh, bimbang ia masih
pada sebidang putih
yang mengungkungnya
di akhir malam

2010



Kitab Hujan

serupa pencuri tandang tiba-tiba
ia sabar masih, terlampau sabar
untuk memindai genting yang alpa
pada salam yang ia ucapkan, semalam
sedang segenap malam masih berbenah
untuk pantun yang gagal ia lanturkan

2010



Detak Hujan

ia dan jantung purbanya sungguh dekat,
hanya sejejak, sejejak saja terpisah
lalu dalam sekejapan akan ia temui,
jejantungnya,
sekaligus seteru dan sekutu
yang selalu gagal ia retakkan
pada genggam pertama
sungguh, ia teramat rindu
sekaligus dendam
pada kembaran lamanya itu

2010



Tilas Hujan

ada yang senantiasa kami lupa :
ia selalu bertandang
dengan segala santun dan salam
para bangsawan
di tubuh kami ia gemar mengulur salam
lalu masuk dan menjelma badai
yang hantami kapal di hati kami

2010



Keroncong Hujan

di ketinggian ia masih
berpuluh rumah dipukulnya
terdiam ia masih
bebangkai tanah disiginya
memandang ia masih
sekembaran laut dilipatnya

2010



Mata Hujan

sedang gemar ia pandangi
setiap genting kami yang luka
lalu lilin kamar kami kian redup
dirundungi mantra yang ndentam
di pintu rumah
“selamat datang, bagi tuan
yang sesat di jalan pulang”

2010



Suluk Hujan

kami mengaji kitab api
yang tuntas di hari pagi
sementara ia masih bersendiri
menutup tirai putih matahari

2010



Memo Hujan

segeralah :
kaum lawan meradang Puan
sementara ia masyuk berdiam
setetesan pandangnya hendak ia peluk
segala yang ia temukan di perjalanan
sebab lama sudah ia rindukan
ia rindukan sang kerabat
yang tak kunjung merambat
ke ketinggian, tempat ia dan seterunya
terus dilahirkan

2010

*) Dody Kristianto , lahir di Surabaya, 3 April 1986. Lulus Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Giat pada Komunitas Rabo Sore (KRS) dan Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI).

Puisi-Puisi Arieyoko Ksmb

http://sastra-bojonegoro.blogspot.com/
Sajak Sabdopalon-Noyogenggong

Sebagai gedhibal alam, Sabdo dan Noyo terus menunggang angin.
Melayang bersama kabut, antara Gunung Semeru, Lawu, Merapi,
Slamet sampai Tangkuban Perahu. Ke duanya berdzikir pada tanah,
pada air, pada kayu, pada burung, pada bara
dan api.

“Aku tak hendak menagih janji, atas kesepakatan alam ruh dan
alam nyata, ketika itu. Aku hanya mengabarkan pada semua,
bahwa janji selalu menepati dirinya sendiri,” begitu mereka berbisik lirih.
Dari ujung kulon sampai ujung wetan.
Dari walang sampai kijang di hutan.

Di roda zaman, sebuah janji alam tak pernah berarti apa-apa.
Kecuali hanya sebuah pengertian tentang sejarah. Tanpa mau
mengerti, bahwa alam yang mencatatkan perjanjian
di tangga langit, selalu menyinarkan kebenaran atas janji
yang terlupa itu.

Sabdo dan Noyo terus berputar-putar di atas-atas rumah kita.
Mereka membawa obor kencana, yang bakal ditancap-tancapkan,
di pekarangan hati yang terbuka.
Siapa saja.

Jonegoro, 11/8/2010.



Republik Kata-Kata

Kita berdiri di negara kata-kata. Semuanya saling berebut kata-kata.
Tak peduli apakah itu bermakna atawa hanya sekadar membuat kata-kata.
Yang seluruhnya demikian terkesima dan memakan kata-kata,
dan meniru kata-kata, dan mendogma kata-kata.
Tanpa jeda…

Sebagai negara kata-kata, maka keadilan hanya ada di dalam kata-kata.
Kemakmuran hanya ada di kata-kata. Kesejahteraan pun cuma dalam kata-kata.
Kemanusiaan cukuplah sampai di kata-kata. Jangan tanyakan kata-kata lainnya.
Kerna tak ada…

Anak-anak kita diajari ilmu kata-kata. Karena setelah dewasa yang paling diperlukan
adalah kata-kata. Sebab selain kata-kata, itu disebut sebagai dosa dan berhala.
Yang pantas untuk ditumpas, tak perlu dikembangsuburkan dalam kata-kata…..

Pintar berkata-kata adalah kebudayaan baru. Berkata-kata salah dan keliru,
itu tak apa. Yang penting, sudah berkata-kata. Di rapat-rapat kerja.
Di peraturan-peraturan. Di sidang-sidang. Di ranjang-ranjang.
Mari saling mengobral kata-kata…

Bungkuslah apik kata-kata sebagai agama kita. Niatkan dan laksanakan
sepenuh-penuhnya sebagai hajat hidup yang luar biasa. Marilah membangun
Republik Kata-Kata dengan kata-kata. Toh semuanya telah sepakat,
bahwa kata-kata adalah prinsip-prinsip dasar bersama dalam
bernegara kata-kata…

Ayolah,
Teruslah berkata-kata.
Jangan berfikir yang lain, selain hanya kata-kata.
Hanya dengan begitulah, kita dapat kenyang
di Republik Kata-Kata.

(Aku menatah angin,
tak lagi mampu
berkata-kata)

Jonegoro, 8 Juli 2010



Perempuan Batu

layaknya tanda tanya dalam sebuah tanda baca
engkau selalu berkerut-kerut saat menakar matahari
saban hari…

entah tanpa sebab atawa hanya sekadar tanda-tanda semata
engkau mengaku luka pada siapa saja yang kebetulan bersua :
sejenak di hatimu…

tak jelas, kerap luka muncul begitu tiba-tiba
pada wajah, pada hati dan pada lidahmu
yang menjadi teramat tajam mengutuk-kutuk

apakah benar itu kamu?
yang kukenal gemulai di jejak-jejak tegar
ketika pertama saling:
menyapa…

benarkah itu dirimu yang demikian rapat
kamu sembunyikan pepat jiwamu:
dulu…

kamu menjadi mahluk asing
yang terlelap diketiakku
tadi malam…

Semarang, 29 mei 2010



Perempuan Haha Hihi

Ada gambuh berdesingan nyaring berputaran, perempuan paruh baya
terpelanting di teras jumawa penuh gaya. Roknya melambai layaknya
bendera, menawarkan harum paha, sembari merentang gigi-gigi
timun wanginya yang haha… hihi…

Bilah kakinya melompati waktu, ranjang, kamar mandi dan televisi.
Meruap helai rambutnya ditabrak tradisi, yang hanya sebagai gincu pemikat,
saban pagi, jika pergi. Lengking suaranya tetap saja tajam dan laknat,
menghardik yang dianggap pengkhianat, meski tak jelas jluntrungnya,
dicucupi yang dimauinya, sambil haha… hihi…

Di kota-kota, antara etalase-etalase dan kembang kemangi,
kemanusian cuma menjadi pelengkap pasamuan dan arisan.
Jerit kanak-kanak di kebun teh tak lebih dari nyanyian bebek di kandang,
yang hanya layak disantap-santap pada pesta keluarga. Selebihnya,
atas nama agama, semua menjadi halal untuk haha… hihi…

Perempuan haha hihi, adalah perempuan yang selalu melewati pintu hati
saban pagi. Lantas memunguti kerikil-kerikil sejarah milik siapa pun,
yang berceceran. Dikumpulkan pada sebuah janji, dan menjejak
pergi meninggalkan bau kentut haha… hihi…

Perempuan haha hihi, bukan perempuan durhaka pada keluarganya.
Ia hanya tak mampu menakar hatinya. Bahwa hidup tak sekadar memuaskan
nafsi-nafsi, sambil menghiba-hiba haha hihi mencari kudapan
untuk makan malamnya.

Perempuan haha hihi
terus menari tralala trilili
sepanjang-panjang matahari
dari pagi ke pagi kembali.

Jonegoro, 15/9/2010



Kue dan Sepatu

Kamu anggap cintamu selezat kue
nikmat mengecap kamu suka
pahit melegit kamu lupa.

Aku anggap cintaku layaknya sepatu
membongkar hidup tegar melaju
membajak sejarah tanpa kelu.

Kue dan sepatu tak melangkah
pada ujung matahari yang melempuh.

Jonegoro, 14/9/2010

Puisi-Puisi Kusprihyanto Namma

http://www.jawapos.com/
TELAGA

Di tempat seasing ini kudapatkan telaga
milik siapa ketenangan air yang jernih
sedang aku jadi malu seusai membuat kecipak
lalu duduk saja memandang cemara-cemara
yang berbaris membentuk bayangan raksasa yang lelap
oleh belaian angin bukit

Sebaiknya engkau datang kemari di saat pagi
saat ikan-ikan bermain dengan pucuk-pucuk ombak
tapi jangan membawa kail itu akan membunuh cacing
daerah ini suci dan merdeka
belum pernah ketumpahan darah, setetes pun

Kalau ingin ikan-ikan datang berkumpul
cukup dengan menyanyi, kau telah pula memanggil
murai, kutut, podang, tilang, jalak, dan emprit
yang membangun sarang di tengah telaga
semakin jelaslah kedamaian dan rasa bersama
berada jauh dari pusat kota



SARANGAN

Telaga itu masih seperti dahulu
jalan melingkar, kabut, cemara-cemara yang berisik
cipak ikan, kicau burung, dan angsa berenang
ketenangan ombaknya sesekali dipecahkan gerak sampan

Telaga itu masih seperti dahulu
pasangan demi pasangan lenyap di balik awan
ringkik kuda, dan pekik kagum para pengunjung
kalau ada yang berubah, kedatanganku tak lagi bersamamu



ELEGI ANGSA

Angsa yang mati kutembak semalam
subuh tadi kembali terbang mengisi awan
paruhnya bagai pedang
memotong sepotong rembulan di puncak bintang

Menatap ketinggian aku melihat gambar-gambar langit
ada gunung, ada pohon dan sarang-sarang
juga laut yang menari bersama
angsa yag mati kutembak semalam



METAMORFOSA

Hujan telah turun tapi engkau malah lenyap dari pandangan
selalu tak kau takut petir yang menyambar-nyambar
kemarin engkau bilang hendak menangkap capung
yang terjun dalam tidurmu
tapi ini bukan musim capung atau kupu-kupu
bahkan bunga-bunga yang kau tanam di pinggir telaga
belum juga mekar
seharusnya kau tidak berlari menembus kabut seorang diri
siapa tahu di belakang itu bersembunyi singa
atau serigala
yang langsung menerkammu ketika kau tak terjaga

Hujan belum reda, dan aku berniat mencarimu dalam hujan
namun tiba-tiba engkau muncul dari balik kabut
membawa seekor singa dan beberapa serigala
aku diam pesona, tak sanggup menatap tapi tak buta



KABUT

Begitu matahari muncul, kabut akan turun
perlahan-lahan
mengepung pepohonan memenuhi lembah dan hutan
kerbau-sapi melenguh kedinginan

Begitu kabut muncul, gunung tinggi menjulang
akan lenyap sekejapan
tak ada lagi sisa-sisa kegagahan
selain suara tilang dan podang yang bertindihan



MITOS

Kutut yang kau tangkap di pinggir hutan
sungguh menyenangkan
bulunya lembut, matanya redup
tak bosan-bosan kupandang penuh kekaguman

Kutut yang kutangkap di pinggir hutan
malam tadi menjelma ular
kulitnya putih-hitam berkilat menakutkan
lepas dari kurungan



POHON PISANG

Selama belum memberi buah
pohon pisang tak akan mati ditebang
kemuliaan seperti itu siapakah yang mewarisinya
pohon jambu atau pohon mangga

Walau matahari membakar kemarau panjang
dan penghujan melahirkan banjir bandang
selama belum memberi buah
pohon pisang tak akan mati ditebang

*) Kuspriyanto Namma, penyair kelahiran Ngawi, 30 Oktober 1965, guru bahasa Indonesia MAN Ngawi, dan pendiri Teater Magnit Ngawi

Puisi-Puisi Aming Aminoedhin

http://www.jawapos.com/
Aku Masih Melihat
catatan ramadhan 1431-h

aku masih melihat
orang-orang melangkah ke masjid
selepas magrib jelang isya tiba
berharap bisa tarawih dengan berjamaah
aku masih melihat
orang-orang melangkah ke mal dan plasa
melepas duit jelang hari raya
agar lebaran tampak gagah lupa hati pongah
aku masih melihat
mal dan plasa berjuta orang
mengigau berjamaah, hamburkan uang
tanpa pernah dirasa atau merasa
ada berjuta orang di luar sana
atau mungkin di sekitar kita
teramat miskin papa
aku masih melihat
jurang menganga
begitu dalam tak terjangkau
dari matabatin orang-orang mengigau
aku masih melihat
berjuta orang meracau dan mengigau
di negeriku yang kacau

Canggu, 19 Agustus 2010



Matematika Lailatul Qodar

pakar matematika pernah berhitung
jika seribu bulan
adalah 83 tahun lebih umurnya
sedang usia manusia
tak lebihi angka sejumlah itu
maka bersujud dan beramallah
pada saat lailatul qodar
hingga impaslah segala dosamu
dibayar oleh sujud-amalan
di malam qodar itu
aku termangu (mungkin ragu)
lantas kita semua terjaga
apa benar begitu?

Canggu, 19/8/2010



Dentang Suara

dentang suara benar itu tak selamanya enak didengar. hari-hari biasa kau bisa diburu langkahmu. hanya lantaran suara kebenaran yang kau kicaukan terasa sesakkan dada penguasa

dentang suara yang kaunyanyikan bukan lagu merdu bagi penguasa

langkahmu hari ini bisa terhenti. tapi berjuta politisi jalankan kembali langkahmu, yang kian mengarah suara benar tak enak didengar itu

dentang suaramu mendedah bagi penguasa berhati pongah (mungkin serakah) dalam hidup ini. mengalah bukan kalah, saudaraku

tapi kau semakin tak peduli. bahkan mungkin rakyat
juga kian ingin bukti kebenaran itu terungkap
dentang suaramu memang tak enak didengar
tapi benar yang kau tebar akan jadi bukti
nyanyian kau lantunkan adalah kebenaran
tak terbantahkan. tak terbantahkan!

Desaku Canggu, 13/4/2010



Peluit Itu Jadi Nyanyian

peluit kau tiup ketika para penguasa butuh atap tertutup
telah memporakporandakan negeri ini
peluit yang kau tiup bagai nyanyian indah tak terbantah
telah membelalakkan mata rakyat tak percaya
dunia memang telah jungkirbalik
polisi menangkap maling, dan malingnya
berbalik tangkap polisi
peluit itu terus bernyanyi, bagai peluit keretaapi
setiap stasiun berbunyi. setiap pejabat korup
peluit berbunyi. suara peluitmu, jadi hantu
bagi setiap pejabat korup jadi takut
adakah pada dirinya akan juga bernyanyi?
peluit kau tiup ketika para penguasa butuh atap tertutup
telah memporakporandakan negeri ini
peluit yang kau tiup bagai nyanyian indah tak terbantah
telah membelalakkan mata rakyat tak percaya
ternyata masih ada juga manusia berhati mulia
semulia nyanyian peluitmu terus memburu
para koruptor itu

Desaku Canggu, 13/4/2010



Telah Tamat
sp

persetan amat. semua telah tamat
hari berlalu beku. tawar tanpa makna
helatan kau tawarkan basi. tanpa makna arti
sebab segala acara, hanya bersandar pada takar harta
bukan getar jiwa. puisi adalah getar jiwa
bukan harga takar uang kau punya. bukan!
puisi berwarna dasar hati suci mewangi, sedang kau
coba tawarkan otak keledai berbungkus bangkai
busuk dan masai!
aku tak tahu ada juga ikut barisan itu
beriring-iringan bagai keledai nan bodoh
mengangkut berkarung kesalahan tak senonoh
tapi mereka tak paham, terus berjalan
ke mana arah dilangkahkan?
persetan amat. semua telah tamat
hari berlalu beku. tawar tanpa makna
gedung itu bisu. kau kian tambah bisu
hati kelu menimbun beribu-ribu, dan
barisan mereka hanya bilang setuju!

Sidoarjo, 8/6/2010

*) Aming Aminoedhin, staf Balai Bahasa Surabaya, penggagas malam sastra Surabaya (malsasa). Tinggal di Mojokerto

A. Mustofa Bisri A'yat Khalili Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Wachid B.S. Abi N. Bayan Abidah El Khalieqy Acep Syahril Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu AF Denar Daniar Afrizal Malna Agus Manaji Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Maltuf Syamsury Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Ala Roa Aldika Restu Pramuli Alfatihatus Sholihatunnisa Alfiyan Harfi Ali Makhmud Ali Subhan Amelia Rachman Amie Williams Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Andry Deblenk Anggie Melianna Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Aprinus Salam Ariandalu S Arieyoko Ksmb Arya Winanda As Adi Muhammad Asep Sambodja Atrap S. Munir Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Badaruddin Amir Bakdi Sumanto Bambang Darto Bambang Kempling Bambang Widiatmoko Beni Setia Beno Siang Pamungkas Bernando J. Sudjibto Bernard S. Y. Batubara Binhad Nurrohmat Budhi Setyawan Budi Palopo Bustan Basir Maras Chairul Abhsar Chavchay Saifullah Cut Nanda A. D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Afriady Dadang Ari Murtono Daisy Priyanti Daysi Priyanti Dea Anugrah Dea Ayu Ragilia Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Desti Fatin Fauziyyah Dewi Kartika Dharmadi Diah Budiana Diah Hadaning Dian Hartati Didik Komaidi Dimas Arika Mihardja Djoko Saryono Dody Kristianto Dorothea Rosa Herliany Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Edy Lyrisacra Effendi Danata Eimond Esya Eka Budianta Eko Hendri Saiful Eko Nuryono El Sahra Mahendra Ellie R. Noer Elly Trisnawati Emha Ainun Nadjib Endang Supriadi Endang Susanti Rustamadji Eny Rose Eppril Wulaningtyas R Esha Tegar Putra Esti Nuryani Kasam Etik Widya Evi Idawati Evi Melyati Evi Sefiani Evi Sukaesih Fadhila Ramadhona Fahmi Faqih Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fatimah Wahyu Sundari Fauzi Absal Felix K. Nesi Fikri MS Fina Sato Firman Wally Fitrah Anugerah Frischa Aswarini Gampang Prawoto Ghaffur Al-Faqqih Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Gunawan Maryanto Gunoto Saparie Gus tf Sakai Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamid Jabbar Hari Leo Haris del Hakim Hasan Al Banna Hasan Aspahani Hasta Indriyana Helga Worotitjan Heri Latief Heri Listianto Heri Maja Kelana Herlinatiens Hudan Hidayat Hudan Nur Ibnu Wahyudi Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilenk Rembulan Imam S Arizal Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santoso Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indrian Koto Isbedy Stiawan ZS Iwan Gunadi Javed Paul Syatha Jibna Sudiryo Johan Khoirul Zaman Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Saputro Jufri Zaituna Jusuf AN Kadek Wara Urwasi Kadjie Bitheng MM Kartika Kusworatri Kedung Darma Romansha Kika Syafii Kirana Kejora Kirdjomuljo Kurnia Effendi Kurniawan Junaedhie Kurniawan Yunianto Kusprihyanto Namma Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lailatul Muniroh Landung Rusyanto Simatupang Lela Siti Nurlaila Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Linus Suryadi AG Liza Wahyuninto Lubis Grafura Lutfi Mardiansyah M. Badrus Alwi M. Faizi Maghfur Munif Maghie Oktavia Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maqhia Nisima Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marwanto Mas Marco Kartodikromo Mashuri Mathori A. Elwa Matroni el-Moezany Maya Mustika K. Mega Vristian Miftahul Abrori Mohammad Yamin Muhammad Ali Fakih Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muntamah Cendani Mustiar AR Mustofa W Hasyim Mutia Sukma Nadjib Kartapati Z Nanang Suryadi Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Noor Sam Nunung S. Sutrisno Nur Iswantara Nur Lodzi Hady Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Pariyo Adi Pringadi AS Pringgo HR Puisi-Puisi Indonesia Purwadmadi Admadipurwa Puspita Rose Putri Sarinande R. Toto Sugiharto Rachmat Djoko Pradopo Raedu Basha Ragil Suwarno Pragolapati Rakai Lukman Rama Prabu Ramadhan KH Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Ribut Wijoto Rikard Diku Robin Al Kautsar Rozi Kembara Rudi Hartono Rusydi Zamzami S Yoga Sahaya Santayana Saiful Bakri Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Selendang Sulaiman Seli Desmiarti Sigit Sugito Sihar Ramses Simatupang Siska Afriani Sitok Srengenge Sitor Situmorang Slamet Rahardjo Rais Slamet Widodo Sosiawan Leak Sreismitha Wungkul Sri Harjanto Sahid Sri Jayantini Sri Setya Rahayu Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunardi KS Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutirman Eka Ardhana Syifa Aulia Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Ranusastra Asmara Teguh Triaton Tengsoe Tjahjono Tharie Rietha Thowaf Zuharon Timur Sinar Suprabana Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Ulfatin Ch Umbu landu Paranggi Unieq Awien Usman Arrumy W. Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyu Subuh Warih Wisatsana Wayan Sunarta Weni Suryandari Widi Astuti Wiji Thukul Winarni R. Y. Wibowo Yonathan Rahardjo Yosi M Giri Yudhi Herwibowo Yudhiono Aprianto Yurnaldi Yusri Fajar Yusuf Suharto Yuswan Taufiq Yuswinardi Zaenal Faudin Zainal Arifin Thoha Zamroni Allief Billah Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae