http://www.sastra-indonesia.com/
Aku Darah Sajak
aku bukan sajak yang ditatap matamu
dan dibaca bibirmu
aku sajak matamu dan bibirmu
dari darahku sendiri
ini bukan jalanmu
jalanku inilah kebahagiaan
kebahagiaan inilah jalan tuhan
manusia inilah jalanku
sedih luka adalah pengasingan
kebahagiaan yang tak kau punya
kebahagiaan yang menyiksa
pengasingan ke dalam kata ke luar semesta
aku darah sajak
tak akan menetes pada baju dan kain kafan
menetes pada mata dan bibirmu
menetes atas jalan sepanjang jalan
jalan yang mengalirkanku
pada air mata dan basah bibirmu
jika aku ada
aku tak ingin dibaca
aku tak ingin diucapkan
aku ingin mengalir saja menemukan cahaya
pada mata dan bibirmu
pada mata dan bibirku
di antara kelopak layu jiwa-jiwa
jika aku tiada
aku darah sajak
hanya ingin kembali menemui asalusulnya
dalam mata dan bibirmu
dalam mata dan bibirku
sebelum menetes menjadi kata
Yogya, 170408
Rahasia
dunia ada pada jalan segala sunyi
mataku menatap matamu
yang itu hanya pada mataku
yang ada rahasia matamu
seperti mataku menjelma rahasia
sepotong roti dan segelas anggur merah
atau aroma surga pada lembaran sejarah
namun, ini rahasia
semua rahasia
juga kata cinta
yang tak cukup untukmu
Yogya, 080408
Cermin Tinta
wajah-wajahku mutiara
sketsa kalimat berwarna
sebentuk kalimat cahaya
sebentuk warna surya
wajah-wajahku
tercipta dari tangan gemetar
teka-teki mata terdalam
sebuah aliran dunia
sebuah cermin yang mengalir
Yogyakarta, 2008
Matahari Bertangan Hampa
matahari sekuntum mekar bunga
mekar seribu mata tak nyata
matahari selembar hijau daun
hijau kulit warna juga tak nyata
tangan matahari menyentuh
ketiadaan tak bisa kusentuh
matahari tangan hampa
matahari kehampaan tangan
selembut sinar
udara cermin buram untuk tangan itu
tangan ini ingin menyentuhnya
menyentuh keutuhannya
sebagai keutuhan bahasa
sebagai bahasa tangan
sebagai tangan kosong
sebagai kosong cermin
sebagai cermin keutuhan
Yogyakarta, 2008
Aku Melukismu
aku melukismu
gelembung udara dan arus warna
sebentuk rupa udara dan rupa warna
kau lukisanku
lukisan udara warna lukisanku
lukisan warna udara lukisanku
namun ini bukan lukisanmu
ini percikan cat mengkilat
dari jemari berdarah tak merah
mungkin ini juga lukisanmu
lukisan mata warna buta
lukisan mulut warna bisu
Yogyakarta, 2008
*) dari buku Antologi Puisi “Mazhab Kutub” terbitan PUstaka puJAngga 2010.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Jumat, 09 Juli 2010
Puisi-Puisi Selendang Sulaiman
http://www.sastra-indonesia.com/
Malam Menggigil Dalam Suaraku
Jauh
Suara-suara itu mengembara
Mengembala cerita kisah usangku
Beranak-pinak
Demak, januari 2010
Bulan Sabit Dari Timur
Hanya butuh lima belas hari
Menjadikan rembulan menjelma purnama
Tetapi tidak dengan bulan sabit dari timur_
Butuh lima belas tahun
Untuk menjadi purnama di ranjang_
Pengantin
Yogyakrta, januari 2010.
Di Ujung Senja
Bayang kembang yang terbang
Menebar perih_duri merintih
Kenangan
Terapung di angan
Yogayakarta, November ‘09
Hujan
Malam meringkuk
Linta tergesa turun ke kali
Yogayakarta, Desember 2008
Padang Rindu Negeri Rantau
Daun-daun gugur bersama reranting;
Kata-kata berloncatan_menjadi rindu
Waktu ke waktu rindu membiru;
Cakrawala bersahaja
Kupilihkan kata dengan berjuta aksara
Rampaung seperti puisi duka_
Rindu tak tertunaikan
Kutulis nama jadi Oase
Tempat istirah hati yang dahaga_
Aku ingin bertahta; disana
Yogyakarta, oktober ‘09
Selembar Puisi Gemetar Dalam Dada
Selendang ini syukriya
Mengikat kenangan waktu;
Bulan-bulan melipat matahari
Menciumi bunga-bunga
Yogyakarta, Januari 2010
Sepucuk Salam Teruntuk Bulan Sabit
Kepadamu yang hendak pulang
Kutitip salam pada perempuan
Yang kau temui di simpang jalan!
Jika ia tersenyum
Katakan, aku merindukannya_
Jika diam
Cukup ditatap dengan satu kedipan
Kemudian, pergilah!
Biarkan dia mencariku.
Yogayakarta, november ‘09
*) dari buku Antologi Puisi “Mazhab Kutub” terbitan PUstaka puJAngga 2010.
Malam Menggigil Dalam Suaraku
Jauh
Suara-suara itu mengembara
Mengembala cerita kisah usangku
Beranak-pinak
Demak, januari 2010
Bulan Sabit Dari Timur
Hanya butuh lima belas hari
Menjadikan rembulan menjelma purnama
Tetapi tidak dengan bulan sabit dari timur_
Butuh lima belas tahun
Untuk menjadi purnama di ranjang_
Pengantin
Yogyakrta, januari 2010.
Di Ujung Senja
Bayang kembang yang terbang
Menebar perih_duri merintih
Kenangan
Terapung di angan
Yogayakarta, November ‘09
Hujan
Malam meringkuk
Linta tergesa turun ke kali
Yogayakarta, Desember 2008
Padang Rindu Negeri Rantau
Daun-daun gugur bersama reranting;
Kata-kata berloncatan_menjadi rindu
Waktu ke waktu rindu membiru;
Cakrawala bersahaja
Kupilihkan kata dengan berjuta aksara
Rampaung seperti puisi duka_
Rindu tak tertunaikan
Kutulis nama jadi Oase
Tempat istirah hati yang dahaga_
Aku ingin bertahta; disana
Yogyakarta, oktober ‘09
Selembar Puisi Gemetar Dalam Dada
Selendang ini syukriya
Mengikat kenangan waktu;
Bulan-bulan melipat matahari
Menciumi bunga-bunga
Yogyakarta, Januari 2010
Sepucuk Salam Teruntuk Bulan Sabit
Kepadamu yang hendak pulang
Kutitip salam pada perempuan
Yang kau temui di simpang jalan!
Jika ia tersenyum
Katakan, aku merindukannya_
Jika diam
Cukup ditatap dengan satu kedipan
Kemudian, pergilah!
Biarkan dia mencariku.
Yogayakarta, november ‘09
*) dari buku Antologi Puisi “Mazhab Kutub” terbitan PUstaka puJAngga 2010.
Puisi-Puisi Imam S Arizal
http://www.sastra-indonesia.com/
Malam di Perantauan
Ibu,
kau kah yang bernyanyi
di atas gelombang laut
saat malam gigil
dan bulan menjelma perahu?
angin telah lama tertidur
buih-buih semakin memutih
mengingatkanku pada kain kafan
yang dulu kau bisikkan di pemakaman
Ibu,
kalau saja bintang-bintang yang bernyanyi
pada siapakah ia belajar
tembang olle ollang
syair kecintaan para nelayan
pulau garam?
aku berlari
menyusuri lipatan-lipatan pasir
hingga bayang-bayangmu
menjelma pecahan fajar
Ibu,
kuharap engkau
masih menjadi matahari
dalam kembara panjangku
Yogyakarta, 2007-2008
Kupanggil Namamu
kupanggil namamu, mama
saat senja tiba
membawa kabar cinta
dan celoteh para pujangga
di atas gelombang laut yang menyala
camar-camar terbang sempurna
menciumi sisa matahari yang basah
sebelum malam menjadikannya tiada
ini bukanlah jingga pertama
kau dan aku memadu asmara
entahlah
setiap kali kupandangi wajahmu
selalu ada yang berbisik di dadaku
bahwa separuh jiwamu adalah mimpi-pimpiku
dan separuhnya lagi rahasia tuhan
yang mengikat jiwaku
untuk selalu mencari tahu tentang segala
yang melekat di tubuhmu
karena itulah
aku memburumu
Yogyakarta, 2009
Catatan Malam 1
mestinya malam ini
tak ada bulan
tapi karena mimpi kau tanggalkan
bintang-bintang pun berguguran
bumi bergeser
mencari titik semesta
cahaya api cinta
“… dan kita masih meminta pada yang tak bersuara,”
di langit,
malaikat-malaikat tertidur
sehabis membaca roman picisan
dan cerita telenovela
ia lupa bahwa ada hamba yang mengadu asmara
minta diamini ayah bunda
sementara sunyi dan udara dingin bertegur sapa
para pencinta berjejer rapi
di depan gerbang istana
lalu fajar pun terbuka
seperti sayap-sayap angsa putih
yang terbang di atas gelombang
laut yang menyala
angsa-angsa itu membawa kabar hari ini
: semalam, buku tamu harian Tuhan
tak ada yang mengisinya
entah, ini salah siapa?
Yogyakarta, 20 Juli 2008
Catatan Malam 2
maka beginilah aku
melewati malam-malam di rumahmu
mengamini jejak-jejak waktu
di malam yang pertama
angin mengabariku
tentang cinta dan ikhwal setia
“jika dalam mimpimu
malam ini kau menemukanku
dengan rambut terurai panjang
maka sungguh,
itu karena aku
ingin kau selalu ada di diriku”
ada yang tersembunyi
pada kelopak matamu
yang belum sempurna rekah
serupa gigir bintang-bintang
di langit biru
kudengar
nyanyian anak sungai
mengalir setia
di muara dadamu
tapi tak ada ikan-ikan
atau pohon-pohon berbuah di pinggirnya
di malam yang kedua,
kuseret tubuhku ke halaman
angin telah lama tertidur
bulan tersungkur di pohon mangga
selembar daun kering gugur
seolah bersabda
“cinta serupa cahaya
menusuki celah gulita
sedang setia adalah gulita
yang mengabdikan dirinya
pada cahaya”
di malam yang ketiga,
aku berlari ke anak sungai
membawa sajadah panjang
tempat jasadku tersungkur
menumpahkan air mata
kulayarkan ia
ke laut lepas
jika tiba waktu merindu
ia akan menjelma sebuah perahu
tempat kau dan aku
tidur dan bercumbu
sebelum anak-anak musim
berlari jauh
menafsiri selendang jingga
di cakrawala
Yogyakarta, Juli 2008
Malam Kian Panjang
tidur di pangkuanmu
ingin kutahan waktu
hingga rebah jejak rindu
kau, mungkin tak tahu
bukan karena sunyi aku takut sendiri
aku hanya ingin bersamamu
melewati malam panjang
di atas pasir-pasir putih
sambil menyaksikan anak gelombang
membasahi cakrawala
seperti sabda Jibril dalam kisah kecilmu,
langit akan terbuka
bila desah laut dan malam yang tersisa
bercumbu di batas cahaya
malam hanyalah sasmita-sasmita
atau rumah air mata
tempat para pencinta
menziarahi semesta
aku, membaca malam
di tubuhmu kian panjang
serupa sungai-sungai musim hujan
bulan dan bintang-bintang berotasi
memancarkan senyumnya pada pemimpi
Surabaya- Yogyakarta, 2008
Narasi Laut Kenjeran
alangkah sederhana buih-buih
laut kenjeran
perahu-perahu menepi
setelah beberapa episode
pasang gelombang dilalui
kita bercanda di atas dermaga
menerjemahkan luka-luka cahaya:
kerinduan atau penantian panjang
di malam-malam yang penuh hujan
aku suka cara matamu memandang!
camar-camar terbang
sederet laskar pelangi
melingkar nun
di batas hamparan ombak
yang kecoklatan
entah, adakah ia dewa-dewa
yang mengabarkan kabar cinta
dari pulau seberang
atau pulau yang kau hadirkan
di balik dadamu yang bergetar
saat jilbabmu terurai
mawar jingga bermekaran
kurasakan aromanya
dari desah bibirmu
sehangat nafas bulqis
Yogyakarta, Juli 2008
Senja di Beranda
tiba di beranda
setelah berpuluh purnama tak saling menyapa
ia menempelkan bibir pada kekasihnya
sepadat kue donat
seorang laki-laki yang hasratnya
lebih hangat dari bara api
akan mengiris-iris dengan pisau tajam
atau barangkali ia membiarkan
lidahnya melumat pelan-pelan
seperti kelembutan angin
mengantarkan wangi bunga-bunga
pada para pencinta
ada yang aneh pada pertemuan
yang entah ke berapa itu
dulu air liurnya terasa asin
tapi setelah ia hijrah ke kota
terasa semanis anggur
sampai ia mabuk dan lupa
seekor capung hinggap di ujung rambutnya
Yogyakarta, Mei 2007
*) dari buku Antologi Puisi “Mazhab Kutub” terbitan PUstaka puJAngga 2010.
Malam di Perantauan
Ibu,
kau kah yang bernyanyi
di atas gelombang laut
saat malam gigil
dan bulan menjelma perahu?
angin telah lama tertidur
buih-buih semakin memutih
mengingatkanku pada kain kafan
yang dulu kau bisikkan di pemakaman
Ibu,
kalau saja bintang-bintang yang bernyanyi
pada siapakah ia belajar
tembang olle ollang
syair kecintaan para nelayan
pulau garam?
aku berlari
menyusuri lipatan-lipatan pasir
hingga bayang-bayangmu
menjelma pecahan fajar
Ibu,
kuharap engkau
masih menjadi matahari
dalam kembara panjangku
Yogyakarta, 2007-2008
Kupanggil Namamu
kupanggil namamu, mama
saat senja tiba
membawa kabar cinta
dan celoteh para pujangga
di atas gelombang laut yang menyala
camar-camar terbang sempurna
menciumi sisa matahari yang basah
sebelum malam menjadikannya tiada
ini bukanlah jingga pertama
kau dan aku memadu asmara
entahlah
setiap kali kupandangi wajahmu
selalu ada yang berbisik di dadaku
bahwa separuh jiwamu adalah mimpi-pimpiku
dan separuhnya lagi rahasia tuhan
yang mengikat jiwaku
untuk selalu mencari tahu tentang segala
yang melekat di tubuhmu
karena itulah
aku memburumu
Yogyakarta, 2009
Catatan Malam 1
mestinya malam ini
tak ada bulan
tapi karena mimpi kau tanggalkan
bintang-bintang pun berguguran
bumi bergeser
mencari titik semesta
cahaya api cinta
“… dan kita masih meminta pada yang tak bersuara,”
di langit,
malaikat-malaikat tertidur
sehabis membaca roman picisan
dan cerita telenovela
ia lupa bahwa ada hamba yang mengadu asmara
minta diamini ayah bunda
sementara sunyi dan udara dingin bertegur sapa
para pencinta berjejer rapi
di depan gerbang istana
lalu fajar pun terbuka
seperti sayap-sayap angsa putih
yang terbang di atas gelombang
laut yang menyala
angsa-angsa itu membawa kabar hari ini
: semalam, buku tamu harian Tuhan
tak ada yang mengisinya
entah, ini salah siapa?
Yogyakarta, 20 Juli 2008
Catatan Malam 2
maka beginilah aku
melewati malam-malam di rumahmu
mengamini jejak-jejak waktu
di malam yang pertama
angin mengabariku
tentang cinta dan ikhwal setia
“jika dalam mimpimu
malam ini kau menemukanku
dengan rambut terurai panjang
maka sungguh,
itu karena aku
ingin kau selalu ada di diriku”
ada yang tersembunyi
pada kelopak matamu
yang belum sempurna rekah
serupa gigir bintang-bintang
di langit biru
kudengar
nyanyian anak sungai
mengalir setia
di muara dadamu
tapi tak ada ikan-ikan
atau pohon-pohon berbuah di pinggirnya
di malam yang kedua,
kuseret tubuhku ke halaman
angin telah lama tertidur
bulan tersungkur di pohon mangga
selembar daun kering gugur
seolah bersabda
“cinta serupa cahaya
menusuki celah gulita
sedang setia adalah gulita
yang mengabdikan dirinya
pada cahaya”
di malam yang ketiga,
aku berlari ke anak sungai
membawa sajadah panjang
tempat jasadku tersungkur
menumpahkan air mata
kulayarkan ia
ke laut lepas
jika tiba waktu merindu
ia akan menjelma sebuah perahu
tempat kau dan aku
tidur dan bercumbu
sebelum anak-anak musim
berlari jauh
menafsiri selendang jingga
di cakrawala
Yogyakarta, Juli 2008
Malam Kian Panjang
tidur di pangkuanmu
ingin kutahan waktu
hingga rebah jejak rindu
kau, mungkin tak tahu
bukan karena sunyi aku takut sendiri
aku hanya ingin bersamamu
melewati malam panjang
di atas pasir-pasir putih
sambil menyaksikan anak gelombang
membasahi cakrawala
seperti sabda Jibril dalam kisah kecilmu,
langit akan terbuka
bila desah laut dan malam yang tersisa
bercumbu di batas cahaya
malam hanyalah sasmita-sasmita
atau rumah air mata
tempat para pencinta
menziarahi semesta
aku, membaca malam
di tubuhmu kian panjang
serupa sungai-sungai musim hujan
bulan dan bintang-bintang berotasi
memancarkan senyumnya pada pemimpi
Surabaya- Yogyakarta, 2008
Narasi Laut Kenjeran
alangkah sederhana buih-buih
laut kenjeran
perahu-perahu menepi
setelah beberapa episode
pasang gelombang dilalui
kita bercanda di atas dermaga
menerjemahkan luka-luka cahaya:
kerinduan atau penantian panjang
di malam-malam yang penuh hujan
aku suka cara matamu memandang!
camar-camar terbang
sederet laskar pelangi
melingkar nun
di batas hamparan ombak
yang kecoklatan
entah, adakah ia dewa-dewa
yang mengabarkan kabar cinta
dari pulau seberang
atau pulau yang kau hadirkan
di balik dadamu yang bergetar
saat jilbabmu terurai
mawar jingga bermekaran
kurasakan aromanya
dari desah bibirmu
sehangat nafas bulqis
Yogyakarta, Juli 2008
Senja di Beranda
tiba di beranda
setelah berpuluh purnama tak saling menyapa
ia menempelkan bibir pada kekasihnya
sepadat kue donat
seorang laki-laki yang hasratnya
lebih hangat dari bara api
akan mengiris-iris dengan pisau tajam
atau barangkali ia membiarkan
lidahnya melumat pelan-pelan
seperti kelembutan angin
mengantarkan wangi bunga-bunga
pada para pencinta
ada yang aneh pada pertemuan
yang entah ke berapa itu
dulu air liurnya terasa asin
tapi setelah ia hijrah ke kota
terasa semanis anggur
sampai ia mabuk dan lupa
seekor capung hinggap di ujung rambutnya
Yogyakarta, Mei 2007
*) dari buku Antologi Puisi “Mazhab Kutub” terbitan PUstaka puJAngga 2010.
Puisi-Puisi Muhammad Ali Fakih
http://www.sastra-indonesia.com/
Kelahiran
dan mungkin untuk selamanya
waktu mengeras di kabut dingin
sedingin kematian
di dadaku yang hening
waktu yang asing untuk sebuah impian
tapi begitu dekat, begitu menyekap
dan aku mengakrabinya
seperti mengakrabi air mata:
sesuatu yang mungkin tercipta
untuk tanahnya sendiri
tanah yang sepi dan abadi
tanah di dadaku ini
jogja, 2009
Di Luar Jendela
di luar jendela
suara berlagu
di luar waktu
di dasar jiwa
seperti suaraMu
yang mungkin hanya lewat
bertalu-talu
mengetuk pintu yang berkarat
ada tangis, namun tidak air mata
ada iba, tak kunjung terbalas sapa
lalu kamar kotor ini
dan kabut yang memberat di mata
hanya tinggal mimpi
tuhan, tinggal sebak di dada
jogja, 2009-2010
Alienasi
dalam cahaya, adakah kau lihat mimpi itu
dalam kerling mataku
suara, adakah kau mendengarnya
antara diam dan berkata-kata
antara terang dan hitam cuaca
sesuatu tak mungkin terjadi, kekasihku
dalam sepi yang menyendiri
sebab pada ketakpastian
segalanya berasal
jogja, 2009
Dari Lukisan Anak Pantai
–teruntuk anak bangsa
aku ingin keluar dari lukisan ini
melihat-lihat pantai yang ramai oleh pedagang
dan berbincang-bincang dengan para nelayan
sudah suntuk rasanya aku mematung diri
di tengah pantai kota di mana pengunjungnya
hanya orang-orang bercawat dan berbeha
yang tidak menganggapku manusia
hanya karena pakaianku kumal dan asalku nusantara:
sebuah negeri yang dulu pernah punya bandar-bandar besar
dan kini telah dilenyapkan
aku sudah bosan mencium bau tanah
yang melekat di kulit dan pakaianku;
bergumul dengan waktu yang kian menarikku ke lubang langit
memendam seluruh kenangan dan peluh kuning nenek moyang
aku tak sudi selalu dianggap anak kecil
yang gampang dibuat senang, sementara dukanaku menganga
aku tak rela bila kerap dibuat terlena oleh berlian-berlian
yang hanya membuatku buta
aku ingin merdeka dari bayang-bayangku sendiri
meski akhirnya aku terasing, aku ingin keluar dari lukisan ini
melihat-lihat pantai yang ramai oleh pedagang
dan berbincang-bincang dengan para nelayan
jogja, 2009
Perantau Di Jalur Bantul-Sleman
– untuk anak-anak kutub
selalu, di jalan ini
orang-orang tak pernah selesai
melantunkan lagu-lagu kepahlawanan
wajah-wajah ranum bersungging sepi
memendam luka dalam diri
tubuh-tubuh ringkih setengah baya
meremah mimpi dan rahasia
mereka datang dari seberang yang jauh
dengan seribu bayang-bayang tentang kota tua
yang menjanjikan damai buat semua orang
mereka datang dari masa silam
berbekal peluh dan impian
demi kampung halaman, katanya
dan sketsa bangsa
yang tak harus selalu merasa kalah
demi kenangan pahit
orang-orang yang diperbudak rasa sakit
jalan ini senantiasa menjadi saksi
betapa hidup terasa asing
untuk sebuah impian:
segala yang datang, datanglah
segala yang berlalu, sudahlah
hari-hari mengalir begitu saja
bantul-sleman telah jadi halaman
atau catatan perjalanan
yang semoga tak hanya kekal dalam ingatan
jogja, 2009
*) dari buku Antologi Puisi “Mazhab Kutub” terbitan PUstaka puJAngga 2010.
Kelahiran
dan mungkin untuk selamanya
waktu mengeras di kabut dingin
sedingin kematian
di dadaku yang hening
waktu yang asing untuk sebuah impian
tapi begitu dekat, begitu menyekap
dan aku mengakrabinya
seperti mengakrabi air mata:
sesuatu yang mungkin tercipta
untuk tanahnya sendiri
tanah yang sepi dan abadi
tanah di dadaku ini
jogja, 2009
Di Luar Jendela
di luar jendela
suara berlagu
di luar waktu
di dasar jiwa
seperti suaraMu
yang mungkin hanya lewat
bertalu-talu
mengetuk pintu yang berkarat
ada tangis, namun tidak air mata
ada iba, tak kunjung terbalas sapa
lalu kamar kotor ini
dan kabut yang memberat di mata
hanya tinggal mimpi
tuhan, tinggal sebak di dada
jogja, 2009-2010
Alienasi
dalam cahaya, adakah kau lihat mimpi itu
dalam kerling mataku
suara, adakah kau mendengarnya
antara diam dan berkata-kata
antara terang dan hitam cuaca
sesuatu tak mungkin terjadi, kekasihku
dalam sepi yang menyendiri
sebab pada ketakpastian
segalanya berasal
jogja, 2009
Dari Lukisan Anak Pantai
–teruntuk anak bangsa
aku ingin keluar dari lukisan ini
melihat-lihat pantai yang ramai oleh pedagang
dan berbincang-bincang dengan para nelayan
sudah suntuk rasanya aku mematung diri
di tengah pantai kota di mana pengunjungnya
hanya orang-orang bercawat dan berbeha
yang tidak menganggapku manusia
hanya karena pakaianku kumal dan asalku nusantara:
sebuah negeri yang dulu pernah punya bandar-bandar besar
dan kini telah dilenyapkan
aku sudah bosan mencium bau tanah
yang melekat di kulit dan pakaianku;
bergumul dengan waktu yang kian menarikku ke lubang langit
memendam seluruh kenangan dan peluh kuning nenek moyang
aku tak sudi selalu dianggap anak kecil
yang gampang dibuat senang, sementara dukanaku menganga
aku tak rela bila kerap dibuat terlena oleh berlian-berlian
yang hanya membuatku buta
aku ingin merdeka dari bayang-bayangku sendiri
meski akhirnya aku terasing, aku ingin keluar dari lukisan ini
melihat-lihat pantai yang ramai oleh pedagang
dan berbincang-bincang dengan para nelayan
jogja, 2009
Perantau Di Jalur Bantul-Sleman
– untuk anak-anak kutub
selalu, di jalan ini
orang-orang tak pernah selesai
melantunkan lagu-lagu kepahlawanan
wajah-wajah ranum bersungging sepi
memendam luka dalam diri
tubuh-tubuh ringkih setengah baya
meremah mimpi dan rahasia
mereka datang dari seberang yang jauh
dengan seribu bayang-bayang tentang kota tua
yang menjanjikan damai buat semua orang
mereka datang dari masa silam
berbekal peluh dan impian
demi kampung halaman, katanya
dan sketsa bangsa
yang tak harus selalu merasa kalah
demi kenangan pahit
orang-orang yang diperbudak rasa sakit
jalan ini senantiasa menjadi saksi
betapa hidup terasa asing
untuk sebuah impian:
segala yang datang, datanglah
segala yang berlalu, sudahlah
hari-hari mengalir begitu saja
bantul-sleman telah jadi halaman
atau catatan perjalanan
yang semoga tak hanya kekal dalam ingatan
jogja, 2009
*) dari buku Antologi Puisi “Mazhab Kutub” terbitan PUstaka puJAngga 2010.
Puisi-Puisi Alfiyan Harfi
http://www.sastra-indonesia.com
Si Gila Pada Si Penanti
aku tahu kau merindukan
tanganku di atas tidurmu
cintaku di atas hidupmu
dan kau tahu
aku hidup di atas cintamu
cinta telah menguasai kita
bahkan sebelum kita
mampu mengucapkannya,
jiwaku dan jiwamu punya satu sayap
dan cinta kita yang menyatu
mengepakkan sepasang sayap kita
meninggalkan sepasang jasad yang rapuh
kau percaya
cintalah yang membawa kekasihmu
dan kesedihanmu dan kekuatanmu
membuat cinta mempercayaimu–
memilihmu jadi puterinya
di tanganku tersimpan abadi
detak jantung tidurmu
memberiku kekuatan
untuk menggoreskan nama kita
pada tiap benda
bahkan di atas otakku yang gila
bersyukurlah
pada ketidakwarasanku,
ia membawamu kemana aku pergi
untuk menyelamatkan hidupku
sebelum jasadku mengabu
ditelan bumi yang jauh
dan bila kau menemukanku
bersama hidup dan cintaku
tapi tidak bersama warasku
kau duduk bersandar kursi
mengamati dan menjagaku–
mengapa matamu basah
dan tubuhmu berguncang?
2006
Dengan Matahari
pada perjumpaan terakhir
kita bercerita tentang senja
pada parasmu yang muram
kudapati bola-bola api
digenggam alam tak berwarna
pada perjumpaan terakhir
kuceritakan dongeng-dongeng
agar kau terjaga dalam mimpimu
dan jasad melebur menjadi malam
ya senja, mari berpelukan dengan bulan
sebelum kita dapati wajah pagi telanjang
terbangun dari tidur, dan kita bertemu
di hari kedua yang asing
Cigaru 2004
Malam Pun Berjatuhan
Ke Dalam Gelapnya Hari
terlalu berbahaya bagi mereka
hidup dalam kilauan cahaya
ketika semua yang kelak sirna
tampak begitu nyata
untuk sekejap, hutan-hutan di langit
menyanyikan keperawanannya
untuk sekejap dan sekejap saja
malam pun berjatuhan ke dalam gelapnya hari
namun dalam hujan berat itu
semoga selalu ada yang bertahan
dalam kebebasan dari suka dan derita :
air mata pun mengalir dengan tabah ;
kebahagiaan menelusuri lekukan sungai
Cipari, 26 Agustus 2008
Planet Letih
tahun-tahun menjauhkanku
dari cahaya muasal—
ledak tangis yang suci.
setiap cinta kembali mengabu
ke dalam tubuh tuaku.
putaran-demi putaran
mengekalkan kebingunganku
demi kekuatan yang menguasai
getar setiap planet
demi planet yang menguasai
setiap getar abadi
demi setiap cahaya
yang melayari langit redup
demi mimpi
yang terbenam
di kerut mata tua
demi cinta yang letih
demi jiwa yang penuh
oleh anggur terpendam
demi air mata
yang menetas bagai kata
maafkan setiap duka
yang membusuk di tubuhku
tumbuhkanlah ia
menjadi bermacam warna
pada bermacam mahkota bunga
terimalah setiap warna
sebagai anugerah cinta
seperti cahaya melintasimu
o semesta abad-abad.
Cipari, 10 Januari 2008
Akhir Dunia
mari berpencar dan bersembunyi
mari, kau dan aku
dalam setiap diri
inilah akhir dunia
inilah sunyi kemenangan
akhirnya kita melihat
keajaiban dan kebahagiaan
dalam akhir kitab sejarah
kita pernah menjadi setiap manusia
menjadi seorang bayi
di pelukan seorang ibu
kita pernah menjadi apa saja:
ingatkah ketika kau menjadi bunga
ketika aku adalah akar-akarmu
ketika kau adalah cahaya
yang mengarsir bayanganku
pada setiap gerak dunia
bumi hancur dan tiada
rumah bagi jasad yang berat
kita tercerap hati masing-masing
dan kemahalembutan dan kemahaluasan
menjadi akhir yang bahagia.
namun dalam diriku dan dirimu
setiap kali dunia berakhir
ia membangun dirinya kembali
8 maret 2008
Subuh Yang Lain
di sana seseorang tengah tertidur
di dalamnya seberkas cahaya mungil
menemukan kebangkitan yang adalah dirinya
serupa air, ia pernah melewati pohonan, batu dan lautan
serupa manusia ia pernah menjadi semuanya
di langit yang lain ia melenguh dan kekuningan
di langit yang pertanyaan-pertanyaan telah mengabu
subuh yang anggun menjelma ke dalam tarian
namun semuanya terhenti
ketika seseorang menanyakan kesadarannya
dan siang yang sibuk pun melupakannya
di sana aku menemukan puisiku:
ribuan gadis turun dari langit bulan juni
dan sekuntum mawar kegaiban
memancar dari sebuah nama
yang aku tak kuasa memanggilnya
Juni 2008
Sajak Musafir
kau telah menjadi segalanya:
menjadi jalan
di mana tak dapat kukembali
menjadi cahaya
yang menghangatkan tulang-tulangku
menjadi malam
yang memberiku bintang-bintang
menjadi hujan
yang menyucikan hidupku
menjadi kebahagiaan
yang meluaskan jiwaku
menjadi duka derita
yang membuatku kaya
menjadi seribu mawar
yang menyebarkan wewangian
pada seribu musim
dan suatu saat nanti,
kau menjadi tanah
tempat aku istirah.
akan menjadi malam dan impian
ketika jasad tertidur
dan engkau dan aku
benar-benar menjadi satu
dalam bumi yang terus berputar
dalam bunga yang mekar
dalam senja yang bergetar
September 2007
*) dari buku Antologi Puisi “Mazhab Kutub” terbitan PUstaka puJAngga 2010.
Si Gila Pada Si Penanti
aku tahu kau merindukan
tanganku di atas tidurmu
cintaku di atas hidupmu
dan kau tahu
aku hidup di atas cintamu
cinta telah menguasai kita
bahkan sebelum kita
mampu mengucapkannya,
jiwaku dan jiwamu punya satu sayap
dan cinta kita yang menyatu
mengepakkan sepasang sayap kita
meninggalkan sepasang jasad yang rapuh
kau percaya
cintalah yang membawa kekasihmu
dan kesedihanmu dan kekuatanmu
membuat cinta mempercayaimu–
memilihmu jadi puterinya
di tanganku tersimpan abadi
detak jantung tidurmu
memberiku kekuatan
untuk menggoreskan nama kita
pada tiap benda
bahkan di atas otakku yang gila
bersyukurlah
pada ketidakwarasanku,
ia membawamu kemana aku pergi
untuk menyelamatkan hidupku
sebelum jasadku mengabu
ditelan bumi yang jauh
dan bila kau menemukanku
bersama hidup dan cintaku
tapi tidak bersama warasku
kau duduk bersandar kursi
mengamati dan menjagaku–
mengapa matamu basah
dan tubuhmu berguncang?
2006
Dengan Matahari
pada perjumpaan terakhir
kita bercerita tentang senja
pada parasmu yang muram
kudapati bola-bola api
digenggam alam tak berwarna
pada perjumpaan terakhir
kuceritakan dongeng-dongeng
agar kau terjaga dalam mimpimu
dan jasad melebur menjadi malam
ya senja, mari berpelukan dengan bulan
sebelum kita dapati wajah pagi telanjang
terbangun dari tidur, dan kita bertemu
di hari kedua yang asing
Cigaru 2004
Malam Pun Berjatuhan
Ke Dalam Gelapnya Hari
terlalu berbahaya bagi mereka
hidup dalam kilauan cahaya
ketika semua yang kelak sirna
tampak begitu nyata
untuk sekejap, hutan-hutan di langit
menyanyikan keperawanannya
untuk sekejap dan sekejap saja
malam pun berjatuhan ke dalam gelapnya hari
namun dalam hujan berat itu
semoga selalu ada yang bertahan
dalam kebebasan dari suka dan derita :
air mata pun mengalir dengan tabah ;
kebahagiaan menelusuri lekukan sungai
Cipari, 26 Agustus 2008
Planet Letih
tahun-tahun menjauhkanku
dari cahaya muasal—
ledak tangis yang suci.
setiap cinta kembali mengabu
ke dalam tubuh tuaku.
putaran-demi putaran
mengekalkan kebingunganku
demi kekuatan yang menguasai
getar setiap planet
demi planet yang menguasai
setiap getar abadi
demi setiap cahaya
yang melayari langit redup
demi mimpi
yang terbenam
di kerut mata tua
demi cinta yang letih
demi jiwa yang penuh
oleh anggur terpendam
demi air mata
yang menetas bagai kata
maafkan setiap duka
yang membusuk di tubuhku
tumbuhkanlah ia
menjadi bermacam warna
pada bermacam mahkota bunga
terimalah setiap warna
sebagai anugerah cinta
seperti cahaya melintasimu
o semesta abad-abad.
Cipari, 10 Januari 2008
Akhir Dunia
mari berpencar dan bersembunyi
mari, kau dan aku
dalam setiap diri
inilah akhir dunia
inilah sunyi kemenangan
akhirnya kita melihat
keajaiban dan kebahagiaan
dalam akhir kitab sejarah
kita pernah menjadi setiap manusia
menjadi seorang bayi
di pelukan seorang ibu
kita pernah menjadi apa saja:
ingatkah ketika kau menjadi bunga
ketika aku adalah akar-akarmu
ketika kau adalah cahaya
yang mengarsir bayanganku
pada setiap gerak dunia
bumi hancur dan tiada
rumah bagi jasad yang berat
kita tercerap hati masing-masing
dan kemahalembutan dan kemahaluasan
menjadi akhir yang bahagia.
namun dalam diriku dan dirimu
setiap kali dunia berakhir
ia membangun dirinya kembali
8 maret 2008
Subuh Yang Lain
di sana seseorang tengah tertidur
di dalamnya seberkas cahaya mungil
menemukan kebangkitan yang adalah dirinya
serupa air, ia pernah melewati pohonan, batu dan lautan
serupa manusia ia pernah menjadi semuanya
di langit yang lain ia melenguh dan kekuningan
di langit yang pertanyaan-pertanyaan telah mengabu
subuh yang anggun menjelma ke dalam tarian
namun semuanya terhenti
ketika seseorang menanyakan kesadarannya
dan siang yang sibuk pun melupakannya
di sana aku menemukan puisiku:
ribuan gadis turun dari langit bulan juni
dan sekuntum mawar kegaiban
memancar dari sebuah nama
yang aku tak kuasa memanggilnya
Juni 2008
Sajak Musafir
kau telah menjadi segalanya:
menjadi jalan
di mana tak dapat kukembali
menjadi cahaya
yang menghangatkan tulang-tulangku
menjadi malam
yang memberiku bintang-bintang
menjadi hujan
yang menyucikan hidupku
menjadi kebahagiaan
yang meluaskan jiwaku
menjadi duka derita
yang membuatku kaya
menjadi seribu mawar
yang menyebarkan wewangian
pada seribu musim
dan suatu saat nanti,
kau menjadi tanah
tempat aku istirah.
akan menjadi malam dan impian
ketika jasad tertidur
dan engkau dan aku
benar-benar menjadi satu
dalam bumi yang terus berputar
dalam bunga yang mekar
dalam senja yang bergetar
September 2007
*) dari buku Antologi Puisi “Mazhab Kutub” terbitan PUstaka puJAngga 2010.
Puisi-Puisi Ahmad Maltuf Syamsury
http://www.sastra-indonesia.com/
Payudan
tatap wajahku dan jadikan relief di dinding retakmu
aku rindu gerimis tak kunjung hujan pada kemarau
aku rindu pelepah terbang memasuki celah jantungmu
lubang yang aku telanjangi jangan kau sumbat dengan kebisuan
karena aku tidak bisa meraba Jokotole dan Potre Koneng
di pusara Bujuk Lanjang dengan kemenyan tujuh rupa
Bindara Saot akan menangis
akan menjelma kembali pada segumpal daging
akan tiada lagi yang menyapa kita dari rahim ibu
kalau saja kau terkubur bersama waktu
Yogyakarta, 2008
*) Joko Tole, Potre Koneng, Bujuk Lanjang, dan Bindara Saot adalah tokoh dalam dongeng sastra lisan Madura.
**) Payudan adalah goa bersejarah dan menjadi objek wisata di bagian timur pulau Madura.
Warung Tunggu
Di warung tunggu
ku teguk kopi mengental dalam hati
sepekat rindu
ada suara merdu wajah sendu
saat asap rokok membubung tinggi mengejar bayangmu
aku baca sajak
tentang ojek tentang anak kecil pembawa gitar kecil
matanya binar melihat deret bus berhenti di depannya
sepertiku menemukan bayangmu
tapi warung tunggu masih tetap menunggu
-burung bersayap putih yang akan membawaku padamu.
Jombang, Akhir 2008
Memeluk Pusara
kemenyan tujuh rupa tujuh hari
menitipkan luka pada gundukan tanah
dentingan langkah-langkah
menjelma angus pada tungku terpendam
kokok ayam rintihan kucing
adalah lubang menganga jantung ulat-ulat putih
semua telah berakhir
menyisakan luka membekas bara
Yogyakarta, 2008
Tentang Perpisahan
Angin ribut malam ini
membanting pintu hatiku
begitu keras
menimbulkan suara hantaman
aku terjaga dari lelapku
kau tinggalkan sebiji kopi di lidahku
begitu pahit
mengeruhkan ludah
memuntahkan lahar
aku panik
menuruni gunung kemelut yang kau cipta
mencari celah rimba matamu
mungkin ada yang tertinggal
menafsirkan mimpi tentang rindu
walau aku tahu
begitu hina membasuh muka dengan air matamu.
Bragung, Januari 2009
Mengenang yang Terlupa
-Maisaroh
Aku pernah hidup bersamanya
tapi sesaat setelah rindu mengekal
memanjat suara merdu memetik buah lupa
dia punya yang lain terpendam dalam
di dasar sumur menusuk kerak bumi
mari kita bermimpi lagi mungkin ada sisa
sejak pertama Adam rebah di sisi Hawa telanjang
cukup teduh selamanya malam tanpa siang.
Aku pernah berlayar di genangan air matanya
tapi sesaat sebelum kapal cantik Columbus hadir
membawa sekeranjang bunga melumat asin lautan
tiba di dermaga aku melenggang pergi ke hutan
aku jadi terbiasa tidak mengulurkan tangan ke belakang
sampai waktu sejak tangannya digenggam dibawa terbang.
Aku pernah memetik mawar sore untuknya
tapi sesaat sebelum tertusuk duri lancip bibirnya.
Yogyakarta, 2010
*) dari buku Antologi Puisi “Mazhab Kutub” terbitan PUstaka puJAngga 2010.
Payudan
tatap wajahku dan jadikan relief di dinding retakmu
aku rindu gerimis tak kunjung hujan pada kemarau
aku rindu pelepah terbang memasuki celah jantungmu
lubang yang aku telanjangi jangan kau sumbat dengan kebisuan
karena aku tidak bisa meraba Jokotole dan Potre Koneng
di pusara Bujuk Lanjang dengan kemenyan tujuh rupa
Bindara Saot akan menangis
akan menjelma kembali pada segumpal daging
akan tiada lagi yang menyapa kita dari rahim ibu
kalau saja kau terkubur bersama waktu
Yogyakarta, 2008
*) Joko Tole, Potre Koneng, Bujuk Lanjang, dan Bindara Saot adalah tokoh dalam dongeng sastra lisan Madura.
**) Payudan adalah goa bersejarah dan menjadi objek wisata di bagian timur pulau Madura.
Warung Tunggu
Di warung tunggu
ku teguk kopi mengental dalam hati
sepekat rindu
ada suara merdu wajah sendu
saat asap rokok membubung tinggi mengejar bayangmu
aku baca sajak
tentang ojek tentang anak kecil pembawa gitar kecil
matanya binar melihat deret bus berhenti di depannya
sepertiku menemukan bayangmu
tapi warung tunggu masih tetap menunggu
-burung bersayap putih yang akan membawaku padamu.
Jombang, Akhir 2008
Memeluk Pusara
kemenyan tujuh rupa tujuh hari
menitipkan luka pada gundukan tanah
dentingan langkah-langkah
menjelma angus pada tungku terpendam
kokok ayam rintihan kucing
adalah lubang menganga jantung ulat-ulat putih
semua telah berakhir
menyisakan luka membekas bara
Yogyakarta, 2008
Tentang Perpisahan
Angin ribut malam ini
membanting pintu hatiku
begitu keras
menimbulkan suara hantaman
aku terjaga dari lelapku
kau tinggalkan sebiji kopi di lidahku
begitu pahit
mengeruhkan ludah
memuntahkan lahar
aku panik
menuruni gunung kemelut yang kau cipta
mencari celah rimba matamu
mungkin ada yang tertinggal
menafsirkan mimpi tentang rindu
walau aku tahu
begitu hina membasuh muka dengan air matamu.
Bragung, Januari 2009
Mengenang yang Terlupa
-Maisaroh
Aku pernah hidup bersamanya
tapi sesaat setelah rindu mengekal
memanjat suara merdu memetik buah lupa
dia punya yang lain terpendam dalam
di dasar sumur menusuk kerak bumi
mari kita bermimpi lagi mungkin ada sisa
sejak pertama Adam rebah di sisi Hawa telanjang
cukup teduh selamanya malam tanpa siang.
Aku pernah berlayar di genangan air matanya
tapi sesaat sebelum kapal cantik Columbus hadir
membawa sekeranjang bunga melumat asin lautan
tiba di dermaga aku melenggang pergi ke hutan
aku jadi terbiasa tidak mengulurkan tangan ke belakang
sampai waktu sejak tangannya digenggam dibawa terbang.
Aku pernah memetik mawar sore untuknya
tapi sesaat sebelum tertusuk duri lancip bibirnya.
Yogyakarta, 2010
*) dari buku Antologi Puisi “Mazhab Kutub” terbitan PUstaka puJAngga 2010.
Puisi-Puisi Mahwi Air Tawar
http://www.sastra-indonesia.com/
Menyambut Kelahiran
:Are Timur Daya
Tangis pertamamu di batas hari
Menjadi rahasia
Impian memeram rindu
Dalam denyut jantung
dalam remasan tangan waktu
Beku, namun retih, mungkin pedih
Kelahiran jadi teka-teki di ruas batas
Maut mengabur, waktu bergelayut
Di puncak rindu
Hingga tangis pertamamu pecah
Kurahasiakan tangisku pada rintih pilu bundamu
Pada kilauan cahaya yang memeram rindu
Pada cakrawala yang terbingkai jendela
september 2007-oktober 2009
Riwayat Nyadar
kubaca riwayat siang dan malam, bumi dan bintang
di laut, di atas jukong:
potongan-potongan kisah menitikkan peluh sebelum
kelam menggiring kincir mercusuar dalam deras arus
sebelum jangkar dicebur,
sebelum menetas aroma asin garam,
tak kubiarkan jaring tergerus
tak habis terhempas gelombang
dan ketika angin buncahkan buih,
kubiarkan musim semayam mendekap harap
antara kelengangan pantai sebelum gerhana tumpah
di atas pusara kubur leluhur.
seusai mantra asap dupa menjelaga,
kulabuhkan jukong meski di laut tak kutemukan apa-apa
aku bersujud di atas sepetak tanah: tempat pandai besi
menempa hati, lidah-lidah menjulur api dari lubang tungku
dalam upacara penebusan agar asin garam tak setumpul ujung alu
maka kubiarkan catatan-catatan itu terus bergetar
di atas nampan sesaji nyadar
hingga maut merajut
dan rohku, rohmu, menjelma riak gelombang
menjelma ikan-ikan buat anak cucu
Gamping Kidul, 2009
Nyadar: upacara ritual di daerah Sumenep, Madura, sebagai wujud syukur masyarakat pesisir terhadap leluhur.
Pulung Gantung
dan aku tak ingin mengenang:
malam yang terus menetaskan kecemasan
pagi perih menanti di jagad waktu yang beku
sebab almanak penuh angka-angka merah
menjelma darah. luka terus menganga.
kubiarkan ari-ari
terpendam di bawah sejengkal tanah retak
sampai tuntas tangis dalam ratap sunyi
sebelum sesaji tali pati jadi persembahan abadi
sebab patut tak pernah terukir dalam wujud
beriring gegas matahari aku keluar
mengubur pagi ke balik tanah kapur
siul sumbang burung gagak terdengar berat
selarik cahaya menepi membuang bebayang pohon jauh ke barat
maka kubiarkan pulung gantung bertandang
ke lubuk gubuk yang tak pernah ingkar menanti
mengikatkan tali pada leher sendiri
mencari mati dalam sepi, menukar luka dengan duka
membiarkan rahasia musim
memeram dendam peziarah
Gamping Kidul, 2009
catatan: Pulung Gantung: kepercayaan masayarakat jawa terhadap sesuatu yang mistik
*) dari buku Antologi Puisi “Mazhab Kutub” terbitan PUstaka puJAngga 2010.
Menyambut Kelahiran
:Are Timur Daya
Tangis pertamamu di batas hari
Menjadi rahasia
Impian memeram rindu
Dalam denyut jantung
dalam remasan tangan waktu
Beku, namun retih, mungkin pedih
Kelahiran jadi teka-teki di ruas batas
Maut mengabur, waktu bergelayut
Di puncak rindu
Hingga tangis pertamamu pecah
Kurahasiakan tangisku pada rintih pilu bundamu
Pada kilauan cahaya yang memeram rindu
Pada cakrawala yang terbingkai jendela
september 2007-oktober 2009
Riwayat Nyadar
kubaca riwayat siang dan malam, bumi dan bintang
di laut, di atas jukong:
potongan-potongan kisah menitikkan peluh sebelum
kelam menggiring kincir mercusuar dalam deras arus
sebelum jangkar dicebur,
sebelum menetas aroma asin garam,
tak kubiarkan jaring tergerus
tak habis terhempas gelombang
dan ketika angin buncahkan buih,
kubiarkan musim semayam mendekap harap
antara kelengangan pantai sebelum gerhana tumpah
di atas pusara kubur leluhur.
seusai mantra asap dupa menjelaga,
kulabuhkan jukong meski di laut tak kutemukan apa-apa
aku bersujud di atas sepetak tanah: tempat pandai besi
menempa hati, lidah-lidah menjulur api dari lubang tungku
dalam upacara penebusan agar asin garam tak setumpul ujung alu
maka kubiarkan catatan-catatan itu terus bergetar
di atas nampan sesaji nyadar
hingga maut merajut
dan rohku, rohmu, menjelma riak gelombang
menjelma ikan-ikan buat anak cucu
Gamping Kidul, 2009
Nyadar: upacara ritual di daerah Sumenep, Madura, sebagai wujud syukur masyarakat pesisir terhadap leluhur.
Pulung Gantung
dan aku tak ingin mengenang:
malam yang terus menetaskan kecemasan
pagi perih menanti di jagad waktu yang beku
sebab almanak penuh angka-angka merah
menjelma darah. luka terus menganga.
kubiarkan ari-ari
terpendam di bawah sejengkal tanah retak
sampai tuntas tangis dalam ratap sunyi
sebelum sesaji tali pati jadi persembahan abadi
sebab patut tak pernah terukir dalam wujud
beriring gegas matahari aku keluar
mengubur pagi ke balik tanah kapur
siul sumbang burung gagak terdengar berat
selarik cahaya menepi membuang bebayang pohon jauh ke barat
maka kubiarkan pulung gantung bertandang
ke lubuk gubuk yang tak pernah ingkar menanti
mengikatkan tali pada leher sendiri
mencari mati dalam sepi, menukar luka dengan duka
membiarkan rahasia musim
memeram dendam peziarah
Gamping Kidul, 2009
catatan: Pulung Gantung: kepercayaan masayarakat jawa terhadap sesuatu yang mistik
*) dari buku Antologi Puisi “Mazhab Kutub” terbitan PUstaka puJAngga 2010.
Langganan:
Postingan (Atom)
A. Mustofa Bisri
A'yat Khalili
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Wachid B.S.
Abi N. Bayan
Abidah El Khalieqy
Acep Syahril
Acep Zamzam Noor
Adi Toha
Adrian Balu
AF Denar Daniar
Afrizal Malna
Agus Manaji
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Maltuf Syamsury
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Ala Roa
Aldika Restu Pramuli
Alfatihatus Sholihatunnisa
Alfiyan Harfi
Ali Makhmud
Ali Subhan
Amelia Rachman
Amie Williams
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Andry Deblenk
Anggie Melianna
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Aprinus Salam
Ariandalu S
Arieyoko Ksmb
Arya Winanda
As Adi Muhammad
Asep Sambodja
Atrap S. Munir
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Badaruddin Amir
Bakdi Sumanto
Bambang Darto
Bambang Kempling
Bambang Widiatmoko
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Bernando J. Sudjibto
Bernard S. Y. Batubara
Binhad Nurrohmat
Budhi Setyawan
Budi Palopo
Bustan Basir Maras
Chairul Abhsar
Chavchay Saifullah
Cut Nanda A.
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Afriady
Dadang Ari Murtono
Daisy Priyanti
Daysi Priyanti
Dea Anugrah
Dea Ayu Ragilia
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Desti Fatin Fauziyyah
Dewi Kartika
Dharmadi
Diah Budiana
Diah Hadaning
Dian Hartati
Didik Komaidi
Dimas Arika Mihardja
Djoko Saryono
Dody Kristianto
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Edy Lyrisacra
Effendi Danata
Eimond Esya
Eka Budianta
Eko Hendri Saiful
Eko Nuryono
El Sahra Mahendra
Ellie R. Noer
Elly Trisnawati
Emha Ainun Nadjib
Endang Supriadi
Endang Susanti Rustamadji
Eny Rose
Eppril Wulaningtyas R
Esha Tegar Putra
Esti Nuryani Kasam
Etik Widya
Evi Idawati
Evi Melyati
Evi Sefiani
Evi Sukaesih
Fadhila Ramadhona
Fahmi Faqih
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Fikri MS
Fina Sato
Firman Wally
Fitrah Anugerah
Frischa Aswarini
Gampang Prawoto
Ghaffur Al-Faqqih
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gunawan Maryanto
Gunoto Saparie
Gus tf Sakai
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hari Leo
Haris del Hakim
Hasan Al Banna
Hasan Aspahani
Hasta Indriyana
Helga Worotitjan
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Maja Kelana
Herlinatiens
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Ibnu Wahyudi
Ikarisma Kusmalina
Ike Ayuwandari
Ilenk Rembulan
Imam S Arizal
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santoso
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indrian Koto
Isbedy Stiawan ZS
Iwan Gunadi
Javed Paul Syatha
Jibna Sudiryo
Johan Khoirul Zaman
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Saputro
Jufri Zaituna
Jusuf AN
Kadek Wara Urwasi
Kadjie Bitheng MM
Kartika Kusworatri
Kedung Darma Romansha
Kika Syafii
Kirana Kejora
Kirdjomuljo
Kurnia Effendi
Kurniawan Junaedhie
Kurniawan Yunianto
Kusprihyanto Namma
Kuswaidi Syafi’ie
L.K. Ara
Lailatul Muniroh
Landung Rusyanto Simatupang
Lela Siti Nurlaila
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Linus Suryadi AG
Liza Wahyuninto
Lubis Grafura
Lutfi Mardiansyah
M. Badrus Alwi
M. Faizi
Maghfur Munif
Maghie Oktavia
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maman S. Mahayana
Maqhia Nisima
Marcellus Nur Basah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marwanto
Mas Marco Kartodikromo
Mashuri
Mathori A. Elwa
Matroni el-Moezany
Maya Mustika K.
Mega Vristian
Miftahul Abrori
Mohammad Yamin
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muntamah Cendani
Mustiar AR
Mustofa W Hasyim
Mutia Sukma
Nadjib Kartapati Z
Nanang Suryadi
Nezar Patria
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Noor Sam
Nunung S. Sutrisno
Nur Iswantara
Nur Lodzi Hady
Nur Wahida Idris
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Pariyo Adi
Pringadi AS
Pringgo HR
Puisi-Puisi Indonesia
Purwadmadi Admadipurwa
Puspita Rose
Putri Sarinande
R. Toto Sugiharto
Rachmat Djoko Pradopo
Raedu Basha
Ragil Suwarno Pragolapati
Rakai Lukman
Rama Prabu
Ramadhan KH
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Ribut Wijoto
Rikard Diku
Robin Al Kautsar
Rozi Kembara
Rudi Hartono
Rusydi Zamzami
S Yoga
Sahaya Santayana
Saiful Bakri
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Selendang Sulaiman
Seli Desmiarti
Sigit Sugito
Sihar Ramses Simatupang
Siska Afriani
Sitok Srengenge
Sitor Situmorang
Slamet Rahardjo Rais
Slamet Widodo
Sosiawan Leak
Sreismitha Wungkul
Sri Harjanto Sahid
Sri Jayantini
Sri Setya Rahayu
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sumargono SN
Suminto A. Sayuti
Sunardi KS
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Sutirman Eka Ardhana
Syifa Aulia
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Triaton
Tengsoe Tjahjono
Tharie Rietha
Thowaf Zuharon
Timur Sinar Suprabana
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Ulfatin Ch
Umbu landu Paranggi
Unieq Awien
Usman Arrumy
W. Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Hidayat
Wahyu Subuh
Warih Wisatsana
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Widi Astuti
Wiji Thukul
Winarni R.
Y. Wibowo
Yonathan Rahardjo
Yosi M Giri
Yudhi Herwibowo
Yudhiono Aprianto
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Yuswan Taufiq
Yuswinardi
Zaenal Faudin
Zainal Arifin Thoha
Zamroni Allief Billah
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae