Jumat, 09 Juli 2010

Puisi-Puisi Ala Roa

http://www.sastra-indonesia.com/
Aku Darah Sajak

aku bukan sajak yang ditatap matamu
dan dibaca bibirmu
aku sajak matamu dan bibirmu
dari darahku sendiri
ini bukan jalanmu
jalanku inilah kebahagiaan
kebahagiaan inilah jalan tuhan
manusia inilah jalanku
sedih luka adalah pengasingan
kebahagiaan yang tak kau punya
kebahagiaan yang menyiksa
pengasingan ke dalam kata ke luar semesta
aku darah sajak
tak akan menetes pada baju dan kain kafan
menetes pada mata dan bibirmu
menetes atas jalan sepanjang jalan
jalan yang mengalirkanku
pada air mata dan basah bibirmu
jika aku ada
aku tak ingin dibaca
aku tak ingin diucapkan
aku ingin mengalir saja menemukan cahaya
pada mata dan bibirmu
pada mata dan bibirku
di antara kelopak layu jiwa-jiwa
jika aku tiada
aku darah sajak
hanya ingin kembali menemui asalusulnya
dalam mata dan bibirmu
dalam mata dan bibirku
sebelum menetes menjadi kata

Yogya, 170408



Rahasia

dunia ada pada jalan segala sunyi
mataku menatap matamu
yang itu hanya pada mataku
yang ada rahasia matamu
seperti mataku menjelma rahasia
sepotong roti dan segelas anggur merah
atau aroma surga pada lembaran sejarah
namun, ini rahasia
semua rahasia
juga kata cinta
yang tak cukup untukmu

Yogya, 080408



Cermin Tinta

wajah-wajahku mutiara
sketsa kalimat berwarna
sebentuk kalimat cahaya
sebentuk warna surya
wajah-wajahku
tercipta dari tangan gemetar
teka-teki mata terdalam
sebuah aliran dunia
sebuah cermin yang mengalir

Yogyakarta, 2008



Matahari Bertangan Hampa

matahari sekuntum mekar bunga
mekar seribu mata tak nyata
matahari selembar hijau daun
hijau kulit warna juga tak nyata
tangan matahari menyentuh
ketiadaan tak bisa kusentuh
matahari tangan hampa
matahari kehampaan tangan
selembut sinar
udara cermin buram untuk tangan itu
tangan ini ingin menyentuhnya
menyentuh keutuhannya
sebagai keutuhan bahasa
sebagai bahasa tangan
sebagai tangan kosong
sebagai kosong cermin
sebagai cermin keutuhan

Yogyakarta, 2008



Aku Melukismu

aku melukismu
gelembung udara dan arus warna
sebentuk rupa udara dan rupa warna
kau lukisanku
lukisan udara warna lukisanku
lukisan warna udara lukisanku
namun ini bukan lukisanmu
ini percikan cat mengkilat
dari jemari berdarah tak merah
mungkin ini juga lukisanmu
lukisan mata warna buta
lukisan mulut warna bisu

Yogyakarta, 2008

*) dari buku Antologi Puisi “Mazhab Kutub” terbitan PUstaka puJAngga 2010.

Puisi-Puisi Selendang Sulaiman

http://www.sastra-indonesia.com/
Malam Menggigil Dalam Suaraku

Jauh
Suara-suara itu mengembara
Mengembala cerita kisah usangku
Beranak-pinak

Demak, januari 2010



Bulan Sabit Dari Timur

Hanya butuh lima belas hari
Menjadikan rembulan menjelma purnama
Tetapi tidak dengan bulan sabit dari timur_
Butuh lima belas tahun
Untuk menjadi purnama di ranjang_
Pengantin

Yogyakrta, januari 2010.



Di Ujung Senja

Bayang kembang yang terbang
Menebar perih_duri merintih
Kenangan
Terapung di angan

Yogayakarta, November ‘09



Hujan

Malam meringkuk
Linta tergesa turun ke kali

Yogayakarta, Desember 2008



Padang Rindu Negeri Rantau

Daun-daun gugur bersama reranting;
Kata-kata berloncatan_menjadi rindu

Waktu ke waktu rindu membiru;
Cakrawala bersahaja

Kupilihkan kata dengan berjuta aksara
Rampaung seperti puisi duka_
Rindu tak tertunaikan

Kutulis nama jadi Oase
Tempat istirah hati yang dahaga_
Aku ingin bertahta; disana

Yogyakarta, oktober ‘09



Selembar Puisi Gemetar Dalam Dada

Selendang ini syukriya
Mengikat kenangan waktu;
Bulan-bulan melipat matahari
Menciumi bunga-bunga

Yogyakarta, Januari 2010



Sepucuk Salam Teruntuk Bulan Sabit

Kepadamu yang hendak pulang
Kutitip salam pada perempuan
Yang kau temui di simpang jalan!
Jika ia tersenyum
Katakan, aku merindukannya_
Jika diam
Cukup ditatap dengan satu kedipan
Kemudian, pergilah!
Biarkan dia mencariku.

Yogayakarta, november ‘09

*) dari buku Antologi Puisi “Mazhab Kutub” terbitan PUstaka puJAngga 2010.

Puisi-Puisi Imam S Arizal

http://www.sastra-indonesia.com/
Malam di Perantauan

Ibu,
kau kah yang bernyanyi
di atas gelombang laut
saat malam gigil
dan bulan menjelma perahu?

angin telah lama tertidur
buih-buih semakin memutih
mengingatkanku pada kain kafan
yang dulu kau bisikkan di pemakaman

Ibu,
kalau saja bintang-bintang yang bernyanyi
pada siapakah ia belajar
tembang olle ollang
syair kecintaan para nelayan
pulau garam?

aku berlari
menyusuri lipatan-lipatan pasir
hingga bayang-bayangmu
menjelma pecahan fajar

Ibu,
kuharap engkau
masih menjadi matahari
dalam kembara panjangku

Yogyakarta, 2007-2008



Kupanggil Namamu

kupanggil namamu, mama
saat senja tiba
membawa kabar cinta
dan celoteh para pujangga

di atas gelombang laut yang menyala
camar-camar terbang sempurna
menciumi sisa matahari yang basah
sebelum malam menjadikannya tiada

ini bukanlah jingga pertama
kau dan aku memadu asmara
entahlah
setiap kali kupandangi wajahmu
selalu ada yang berbisik di dadaku
bahwa separuh jiwamu adalah mimpi-pimpiku
dan separuhnya lagi rahasia tuhan
yang mengikat jiwaku
untuk selalu mencari tahu tentang segala
yang melekat di tubuhmu

karena itulah
aku memburumu

Yogyakarta, 2009



Catatan Malam 1

mestinya malam ini
tak ada bulan
tapi karena mimpi kau tanggalkan
bintang-bintang pun berguguran
bumi bergeser
mencari titik semesta
cahaya api cinta

“… dan kita masih meminta pada yang tak bersuara,”

di langit,
malaikat-malaikat tertidur
sehabis membaca roman picisan
dan cerita telenovela
ia lupa bahwa ada hamba yang mengadu asmara
minta diamini ayah bunda

sementara sunyi dan udara dingin bertegur sapa
para pencinta berjejer rapi
di depan gerbang istana

lalu fajar pun terbuka
seperti sayap-sayap angsa putih
yang terbang di atas gelombang
laut yang menyala

angsa-angsa itu membawa kabar hari ini
: semalam, buku tamu harian Tuhan
tak ada yang mengisinya

entah, ini salah siapa?

Yogyakarta, 20 Juli 2008



Catatan Malam 2

maka beginilah aku
melewati malam-malam di rumahmu
mengamini jejak-jejak waktu

di malam yang pertama
angin mengabariku
tentang cinta dan ikhwal setia

“jika dalam mimpimu
malam ini kau menemukanku
dengan rambut terurai panjang
maka sungguh,
itu karena aku
ingin kau selalu ada di diriku”

ada yang tersembunyi
pada kelopak matamu
yang belum sempurna rekah
serupa gigir bintang-bintang
di langit biru

kudengar
nyanyian anak sungai
mengalir setia
di muara dadamu

tapi tak ada ikan-ikan
atau pohon-pohon berbuah di pinggirnya

di malam yang kedua,
kuseret tubuhku ke halaman
angin telah lama tertidur
bulan tersungkur di pohon mangga
selembar daun kering gugur
seolah bersabda
“cinta serupa cahaya
menusuki celah gulita
sedang setia adalah gulita
yang mengabdikan dirinya
pada cahaya”

di malam yang ketiga,
aku berlari ke anak sungai
membawa sajadah panjang
tempat jasadku tersungkur
menumpahkan air mata
kulayarkan ia
ke laut lepas

jika tiba waktu merindu
ia akan menjelma sebuah perahu
tempat kau dan aku
tidur dan bercumbu
sebelum anak-anak musim
berlari jauh
menafsiri selendang jingga
di cakrawala

Yogyakarta, Juli 2008



Malam Kian Panjang

tidur di pangkuanmu
ingin kutahan waktu
hingga rebah jejak rindu

kau, mungkin tak tahu
bukan karena sunyi aku takut sendiri
aku hanya ingin bersamamu
melewati malam panjang
di atas pasir-pasir putih
sambil menyaksikan anak gelombang
membasahi cakrawala

seperti sabda Jibril dalam kisah kecilmu,
langit akan terbuka
bila desah laut dan malam yang tersisa
bercumbu di batas cahaya

malam hanyalah sasmita-sasmita
atau rumah air mata
tempat para pencinta
menziarahi semesta

aku, membaca malam
di tubuhmu kian panjang
serupa sungai-sungai musim hujan

bulan dan bintang-bintang berotasi
memancarkan senyumnya pada pemimpi

Surabaya- Yogyakarta, 2008



Narasi Laut Kenjeran

alangkah sederhana buih-buih
laut kenjeran
perahu-perahu menepi
setelah beberapa episode
pasang gelombang dilalui

kita bercanda di atas dermaga
menerjemahkan luka-luka cahaya:
kerinduan atau penantian panjang
di malam-malam yang penuh hujan

aku suka cara matamu memandang!
camar-camar terbang
sederet laskar pelangi
melingkar nun
di batas hamparan ombak
yang kecoklatan

entah, adakah ia dewa-dewa
yang mengabarkan kabar cinta
dari pulau seberang
atau pulau yang kau hadirkan
di balik dadamu yang bergetar

saat jilbabmu terurai
mawar jingga bermekaran
kurasakan aromanya
dari desah bibirmu
sehangat nafas bulqis

Yogyakarta, Juli 2008



Senja di Beranda

tiba di beranda
setelah berpuluh purnama tak saling menyapa
ia menempelkan bibir pada kekasihnya
sepadat kue donat

seorang laki-laki yang hasratnya
lebih hangat dari bara api
akan mengiris-iris dengan pisau tajam
atau barangkali ia membiarkan
lidahnya melumat pelan-pelan
seperti kelembutan angin
mengantarkan wangi bunga-bunga
pada para pencinta

ada yang aneh pada pertemuan
yang entah ke berapa itu
dulu air liurnya terasa asin
tapi setelah ia hijrah ke kota
terasa semanis anggur
sampai ia mabuk dan lupa

seekor capung hinggap di ujung rambutnya

Yogyakarta, Mei 2007

*) dari buku Antologi Puisi “Mazhab Kutub” terbitan PUstaka puJAngga 2010.

Puisi-Puisi Muhammad Ali Fakih

http://www.sastra-indonesia.com/
Kelahiran

dan mungkin untuk selamanya
waktu mengeras di kabut dingin
sedingin kematian
di dadaku yang hening

waktu yang asing untuk sebuah impian
tapi begitu dekat, begitu menyekap
dan aku mengakrabinya

seperti mengakrabi air mata:
sesuatu yang mungkin tercipta
untuk tanahnya sendiri
tanah yang sepi dan abadi
tanah di dadaku ini

jogja, 2009



Di Luar Jendela

di luar jendela
suara berlagu
di luar waktu
di dasar jiwa

seperti suaraMu
yang mungkin hanya lewat
bertalu-talu
mengetuk pintu yang berkarat

ada tangis, namun tidak air mata
ada iba, tak kunjung terbalas sapa

lalu kamar kotor ini
dan kabut yang memberat di mata
hanya tinggal mimpi
tuhan, tinggal sebak di dada

jogja, 2009-2010



Alienasi

dalam cahaya, adakah kau lihat mimpi itu
dalam kerling mataku

suara, adakah kau mendengarnya
antara diam dan berkata-kata
antara terang dan hitam cuaca

sesuatu tak mungkin terjadi, kekasihku
dalam sepi yang menyendiri
sebab pada ketakpastian
segalanya berasal

jogja, 2009



Dari Lukisan Anak Pantai
–teruntuk anak bangsa

aku ingin keluar dari lukisan ini
melihat-lihat pantai yang ramai oleh pedagang
dan berbincang-bincang dengan para nelayan

sudah suntuk rasanya aku mematung diri
di tengah pantai kota di mana pengunjungnya
hanya orang-orang bercawat dan berbeha
yang tidak menganggapku manusia
hanya karena pakaianku kumal dan asalku nusantara:
sebuah negeri yang dulu pernah punya bandar-bandar besar
dan kini telah dilenyapkan

aku sudah bosan mencium bau tanah
yang melekat di kulit dan pakaianku;
bergumul dengan waktu yang kian menarikku ke lubang langit
memendam seluruh kenangan dan peluh kuning nenek moyang

aku tak sudi selalu dianggap anak kecil
yang gampang dibuat senang, sementara dukanaku menganga
aku tak rela bila kerap dibuat terlena oleh berlian-berlian
yang hanya membuatku buta

aku ingin merdeka dari bayang-bayangku sendiri
meski akhirnya aku terasing, aku ingin keluar dari lukisan ini
melihat-lihat pantai yang ramai oleh pedagang
dan berbincang-bincang dengan para nelayan

jogja, 2009



Perantau Di Jalur Bantul-Sleman
– untuk anak-anak kutub

selalu, di jalan ini
orang-orang tak pernah selesai
melantunkan lagu-lagu kepahlawanan

wajah-wajah ranum bersungging sepi
memendam luka dalam diri
tubuh-tubuh ringkih setengah baya
meremah mimpi dan rahasia

mereka datang dari seberang yang jauh
dengan seribu bayang-bayang tentang kota tua
yang menjanjikan damai buat semua orang
mereka datang dari masa silam
berbekal peluh dan impian

demi kampung halaman, katanya
dan sketsa bangsa
yang tak harus selalu merasa kalah
demi kenangan pahit
orang-orang yang diperbudak rasa sakit

jalan ini senantiasa menjadi saksi
betapa hidup terasa asing
untuk sebuah impian:
segala yang datang, datanglah
segala yang berlalu, sudahlah

hari-hari mengalir begitu saja
bantul-sleman telah jadi halaman
atau catatan perjalanan
yang semoga tak hanya kekal dalam ingatan

jogja, 2009

*) dari buku Antologi Puisi “Mazhab Kutub” terbitan PUstaka puJAngga 2010.

Puisi-Puisi Alfiyan Harfi

http://www.sastra-indonesia.com
Si Gila Pada Si Penanti

aku tahu kau merindukan
tanganku di atas tidurmu
cintaku di atas hidupmu
dan kau tahu
aku hidup di atas cintamu

cinta telah menguasai kita
bahkan sebelum kita
mampu mengucapkannya,
jiwaku dan jiwamu punya satu sayap
dan cinta kita yang menyatu
mengepakkan sepasang sayap kita
meninggalkan sepasang jasad yang rapuh

kau percaya
cintalah yang membawa kekasihmu
dan kesedihanmu dan kekuatanmu
membuat cinta mempercayaimu–
memilihmu jadi puterinya

di tanganku tersimpan abadi
detak jantung tidurmu
memberiku kekuatan
untuk menggoreskan nama kita
pada tiap benda
bahkan di atas otakku yang gila

bersyukurlah
pada ketidakwarasanku,
ia membawamu kemana aku pergi
untuk menyelamatkan hidupku
sebelum jasadku mengabu
ditelan bumi yang jauh

dan bila kau menemukanku
bersama hidup dan cintaku
tapi tidak bersama warasku
kau duduk bersandar kursi
mengamati dan menjagaku–
mengapa matamu basah
dan tubuhmu berguncang?

2006



Dengan Matahari

pada perjumpaan terakhir
kita bercerita tentang senja
pada parasmu yang muram
kudapati bola-bola api
digenggam alam tak berwarna

pada perjumpaan terakhir
kuceritakan dongeng-dongeng
agar kau terjaga dalam mimpimu
dan jasad melebur menjadi malam

ya senja, mari berpelukan dengan bulan
sebelum kita dapati wajah pagi telanjang
terbangun dari tidur, dan kita bertemu
di hari kedua yang asing

Cigaru 2004



Malam Pun Berjatuhan
Ke Dalam Gelapnya Hari


terlalu berbahaya bagi mereka
hidup dalam kilauan cahaya
ketika semua yang kelak sirna
tampak begitu nyata

untuk sekejap, hutan-hutan di langit
menyanyikan keperawanannya
untuk sekejap dan sekejap saja
malam pun berjatuhan ke dalam gelapnya hari

namun dalam hujan berat itu
semoga selalu ada yang bertahan
dalam kebebasan dari suka dan derita :
air mata pun mengalir dengan tabah ;
kebahagiaan menelusuri lekukan sungai

Cipari, 26 Agustus 2008



Planet Letih

tahun-tahun menjauhkanku
dari cahaya muasal—
ledak tangis yang suci.
setiap cinta kembali mengabu
ke dalam tubuh tuaku.
putaran-demi putaran
mengekalkan kebingunganku

demi kekuatan yang menguasai
getar setiap planet
demi planet yang menguasai
setiap getar abadi
demi setiap cahaya
yang melayari langit redup
demi mimpi
yang terbenam
di kerut mata tua
demi cinta yang letih
demi jiwa yang penuh
oleh anggur terpendam
demi air mata
yang menetas bagai kata

maafkan setiap duka
yang membusuk di tubuhku
tumbuhkanlah ia
menjadi bermacam warna
pada bermacam mahkota bunga
terimalah setiap warna
sebagai anugerah cinta
seperti cahaya melintasimu
o semesta abad-abad.

Cipari, 10 Januari 2008



Akhir Dunia

mari berpencar dan bersembunyi
mari, kau dan aku
dalam setiap diri

inilah akhir dunia
inilah sunyi kemenangan

akhirnya kita melihat
keajaiban dan kebahagiaan
dalam akhir kitab sejarah

kita pernah menjadi setiap manusia
menjadi seorang bayi
di pelukan seorang ibu
kita pernah menjadi apa saja:

ingatkah ketika kau menjadi bunga
ketika aku adalah akar-akarmu
ketika kau adalah cahaya
yang mengarsir bayanganku
pada setiap gerak dunia

bumi hancur dan tiada
rumah bagi jasad yang berat
kita tercerap hati masing-masing
dan kemahalembutan dan kemahaluasan
menjadi akhir yang bahagia.

namun dalam diriku dan dirimu
setiap kali dunia berakhir
ia membangun dirinya kembali

8 maret 2008



Subuh Yang Lain

di sana seseorang tengah tertidur
di dalamnya seberkas cahaya mungil
menemukan kebangkitan yang adalah dirinya
serupa air, ia pernah melewati pohonan, batu dan lautan
serupa manusia ia pernah menjadi semuanya

di langit yang lain ia melenguh dan kekuningan
di langit yang pertanyaan-pertanyaan telah mengabu
subuh yang anggun menjelma ke dalam tarian
namun semuanya terhenti
ketika seseorang menanyakan kesadarannya
dan siang yang sibuk pun melupakannya

di sana aku menemukan puisiku:
ribuan gadis turun dari langit bulan juni
dan sekuntum mawar kegaiban
memancar dari sebuah nama
yang aku tak kuasa memanggilnya

Juni 2008



Sajak Musafir

kau telah menjadi segalanya:
menjadi jalan
di mana tak dapat kukembali
menjadi cahaya
yang menghangatkan tulang-tulangku
menjadi malam
yang memberiku bintang-bintang
menjadi hujan
yang menyucikan hidupku
menjadi kebahagiaan
yang meluaskan jiwaku
menjadi duka derita
yang membuatku kaya
menjadi seribu mawar
yang menyebarkan wewangian
pada seribu musim

dan suatu saat nanti,
kau menjadi tanah
tempat aku istirah.
akan menjadi malam dan impian
ketika jasad tertidur
dan engkau dan aku
benar-benar menjadi satu
dalam bumi yang terus berputar
dalam bunga yang mekar
dalam senja yang bergetar

September 2007

*) dari buku Antologi Puisi “Mazhab Kutub” terbitan PUstaka puJAngga 2010.

Puisi-Puisi Ahmad Maltuf Syamsury

http://www.sastra-indonesia.com/
Payudan

tatap wajahku dan jadikan relief di dinding retakmu
aku rindu gerimis tak kunjung hujan pada kemarau
aku rindu pelepah terbang memasuki celah jantungmu

lubang yang aku telanjangi jangan kau sumbat dengan kebisuan
karena aku tidak bisa meraba Jokotole dan Potre Koneng
di pusara Bujuk Lanjang dengan kemenyan tujuh rupa

Bindara Saot akan menangis
akan menjelma kembali pada segumpal daging
akan tiada lagi yang menyapa kita dari rahim ibu

kalau saja kau terkubur bersama waktu

Yogyakarta, 2008

*) Joko Tole, Potre Koneng, Bujuk Lanjang, dan Bindara Saot adalah tokoh dalam dongeng sastra lisan Madura.
**) Payudan adalah goa bersejarah dan menjadi objek wisata di bagian timur pulau Madura.



Warung Tunggu

Di warung tunggu
ku teguk kopi mengental dalam hati
sepekat rindu
ada suara merdu wajah sendu
saat asap rokok membubung tinggi mengejar bayangmu
aku baca sajak
tentang ojek tentang anak kecil pembawa gitar kecil
matanya binar melihat deret bus berhenti di depannya
sepertiku menemukan bayangmu
tapi warung tunggu masih tetap menunggu
-burung bersayap putih yang akan membawaku padamu.

Jombang, Akhir 2008



Memeluk Pusara

kemenyan tujuh rupa tujuh hari
menitipkan luka pada gundukan tanah

dentingan langkah-langkah
menjelma angus pada tungku terpendam

kokok ayam rintihan kucing
adalah lubang menganga jantung ulat-ulat putih

semua telah berakhir
menyisakan luka membekas bara

Yogyakarta, 2008



Tentang Perpisahan

Angin ribut malam ini
membanting pintu hatiku
begitu keras
menimbulkan suara hantaman
aku terjaga dari lelapku
kau tinggalkan sebiji kopi di lidahku
begitu pahit
mengeruhkan ludah
memuntahkan lahar
aku panik
menuruni gunung kemelut yang kau cipta
mencari celah rimba matamu
mungkin ada yang tertinggal
menafsirkan mimpi tentang rindu
walau aku tahu
begitu hina membasuh muka dengan air matamu.

Bragung, Januari 2009



Mengenang yang Terlupa
-Maisaroh

Aku pernah hidup bersamanya
tapi sesaat setelah rindu mengekal
memanjat suara merdu memetik buah lupa
dia punya yang lain terpendam dalam
di dasar sumur menusuk kerak bumi
mari kita bermimpi lagi mungkin ada sisa
sejak pertama Adam rebah di sisi Hawa telanjang
cukup teduh selamanya malam tanpa siang.

Aku pernah berlayar di genangan air matanya
tapi sesaat sebelum kapal cantik Columbus hadir
membawa sekeranjang bunga melumat asin lautan
tiba di dermaga aku melenggang pergi ke hutan
aku jadi terbiasa tidak mengulurkan tangan ke belakang
sampai waktu sejak tangannya digenggam dibawa terbang.

Aku pernah memetik mawar sore untuknya
tapi sesaat sebelum tertusuk duri lancip bibirnya.

Yogyakarta, 2010

*) dari buku Antologi Puisi “Mazhab Kutub” terbitan PUstaka puJAngga 2010.

Puisi-Puisi Mahwi Air Tawar

http://www.sastra-indonesia.com/
Menyambut Kelahiran
:Are Timur Daya

Tangis pertamamu di batas hari
Menjadi rahasia
Impian memeram rindu
Dalam denyut jantung
dalam remasan tangan waktu
Beku, namun retih, mungkin pedih
Kelahiran jadi teka-teki di ruas batas
Maut mengabur, waktu bergelayut
Di puncak rindu

Hingga tangis pertamamu pecah
Kurahasiakan tangisku pada rintih pilu bundamu
Pada kilauan cahaya yang memeram rindu
Pada cakrawala yang terbingkai jendela

september 2007-oktober 2009



Riwayat Nyadar

kubaca riwayat siang dan malam, bumi dan bintang
di laut, di atas jukong:
potongan-potongan kisah menitikkan peluh sebelum
kelam menggiring kincir mercusuar dalam deras arus
sebelum jangkar dicebur,
sebelum menetas aroma asin garam,
tak kubiarkan jaring tergerus
tak habis terhempas gelombang

dan ketika angin buncahkan buih,
kubiarkan musim semayam mendekap harap
antara kelengangan pantai sebelum gerhana tumpah
di atas pusara kubur leluhur.
seusai mantra asap dupa menjelaga,
kulabuhkan jukong meski di laut tak kutemukan apa-apa

aku bersujud di atas sepetak tanah: tempat pandai besi
menempa hati, lidah-lidah menjulur api dari lubang tungku
dalam upacara penebusan agar asin garam tak setumpul ujung alu

maka kubiarkan catatan-catatan itu terus bergetar
di atas nampan sesaji nyadar
hingga maut merajut
dan rohku, rohmu, menjelma riak gelombang
menjelma ikan-ikan buat anak cucu

Gamping Kidul, 2009
Nyadar: upacara ritual di daerah Sumenep, Madura, sebagai wujud syukur masyarakat pesisir terhadap leluhur.



Pulung Gantung

dan aku tak ingin mengenang:
malam yang terus menetaskan kecemasan
pagi perih menanti di jagad waktu yang beku
sebab almanak penuh angka-angka merah
menjelma darah. luka terus menganga.

kubiarkan ari-ari
terpendam di bawah sejengkal tanah retak
sampai tuntas tangis dalam ratap sunyi
sebelum sesaji tali pati jadi persembahan abadi
sebab patut tak pernah terukir dalam wujud

beriring gegas matahari aku keluar
mengubur pagi ke balik tanah kapur
siul sumbang burung gagak terdengar berat
selarik cahaya menepi membuang bebayang pohon jauh ke barat
maka kubiarkan pulung gantung bertandang
ke lubuk gubuk yang tak pernah ingkar menanti
mengikatkan tali pada leher sendiri
mencari mati dalam sepi, menukar luka dengan duka
membiarkan rahasia musim
memeram dendam peziarah

Gamping Kidul, 2009
catatan: Pulung Gantung: kepercayaan masayarakat jawa terhadap sesuatu yang mistik

*) dari buku Antologi Puisi “Mazhab Kutub” terbitan PUstaka puJAngga 2010.

A. Mustofa Bisri A'yat Khalili Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Wachid B.S. Abi N. Bayan Abidah El Khalieqy Acep Syahril Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu AF Denar Daniar Afrizal Malna Agus Manaji Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Maltuf Syamsury Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Ala Roa Aldika Restu Pramuli Alfatihatus Sholihatunnisa Alfiyan Harfi Ali Makhmud Ali Subhan Amelia Rachman Amie Williams Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Andry Deblenk Anggie Melianna Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Aprinus Salam Ariandalu S Arieyoko Ksmb Arya Winanda As Adi Muhammad Asep Sambodja Atrap S. Munir Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Badaruddin Amir Bakdi Sumanto Bambang Darto Bambang Kempling Bambang Widiatmoko Beni Setia Beno Siang Pamungkas Bernando J. Sudjibto Bernard S. Y. Batubara Binhad Nurrohmat Budhi Setyawan Budi Palopo Bustan Basir Maras Chairul Abhsar Chavchay Saifullah Cut Nanda A. D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Afriady Dadang Ari Murtono Daisy Priyanti Daysi Priyanti Dea Anugrah Dea Ayu Ragilia Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Desti Fatin Fauziyyah Dewi Kartika Dharmadi Diah Budiana Diah Hadaning Dian Hartati Didik Komaidi Dimas Arika Mihardja Djoko Saryono Dody Kristianto Dorothea Rosa Herliany Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Edy Lyrisacra Effendi Danata Eimond Esya Eka Budianta Eko Hendri Saiful Eko Nuryono El Sahra Mahendra Ellie R. Noer Elly Trisnawati Emha Ainun Nadjib Endang Supriadi Endang Susanti Rustamadji Eny Rose Eppril Wulaningtyas R Esha Tegar Putra Esti Nuryani Kasam Etik Widya Evi Idawati Evi Melyati Evi Sefiani Evi Sukaesih Fadhila Ramadhona Fahmi Faqih Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fatimah Wahyu Sundari Fauzi Absal Felix K. Nesi Fikri MS Fina Sato Firman Wally Fitrah Anugerah Frischa Aswarini Gampang Prawoto Ghaffur Al-Faqqih Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Gunawan Maryanto Gunoto Saparie Gus tf Sakai Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamid Jabbar Hari Leo Haris del Hakim Hasan Al Banna Hasan Aspahani Hasta Indriyana Helga Worotitjan Heri Latief Heri Listianto Heri Maja Kelana Herlinatiens Hudan Hidayat Hudan Nur Ibnu Wahyudi Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilenk Rembulan Imam S Arizal Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santoso Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indrian Koto Isbedy Stiawan ZS Iwan Gunadi Javed Paul Syatha Jibna Sudiryo Johan Khoirul Zaman Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Saputro Jufri Zaituna Jusuf AN Kadek Wara Urwasi Kadjie Bitheng MM Kartika Kusworatri Kedung Darma Romansha Kika Syafii Kirana Kejora Kirdjomuljo Kurnia Effendi Kurniawan Junaedhie Kurniawan Yunianto Kusprihyanto Namma Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lailatul Muniroh Landung Rusyanto Simatupang Lela Siti Nurlaila Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Linus Suryadi AG Liza Wahyuninto Lubis Grafura Lutfi Mardiansyah M. Badrus Alwi M. Faizi Maghfur Munif Maghie Oktavia Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maqhia Nisima Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marwanto Mas Marco Kartodikromo Mashuri Mathori A. Elwa Matroni el-Moezany Maya Mustika K. Mega Vristian Miftahul Abrori Mohammad Yamin Muhammad Ali Fakih Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muntamah Cendani Mustiar AR Mustofa W Hasyim Mutia Sukma Nadjib Kartapati Z Nanang Suryadi Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Noor Sam Nunung S. Sutrisno Nur Iswantara Nur Lodzi Hady Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Pariyo Adi Pringadi AS Pringgo HR Puisi-Puisi Indonesia Purwadmadi Admadipurwa Puspita Rose Putri Sarinande R. Toto Sugiharto Rachmat Djoko Pradopo Raedu Basha Ragil Suwarno Pragolapati Rakai Lukman Rama Prabu Ramadhan KH Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Ribut Wijoto Rikard Diku Robin Al Kautsar Rozi Kembara Rudi Hartono Rusydi Zamzami S Yoga Sahaya Santayana Saiful Bakri Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Selendang Sulaiman Seli Desmiarti Sigit Sugito Sihar Ramses Simatupang Siska Afriani Sitok Srengenge Sitor Situmorang Slamet Rahardjo Rais Slamet Widodo Sosiawan Leak Sreismitha Wungkul Sri Harjanto Sahid Sri Jayantini Sri Setya Rahayu Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunardi KS Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutirman Eka Ardhana Syifa Aulia Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Ranusastra Asmara Teguh Triaton Tengsoe Tjahjono Tharie Rietha Thowaf Zuharon Timur Sinar Suprabana Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Ulfatin Ch Umbu landu Paranggi Unieq Awien Usman Arrumy W. Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyu Subuh Warih Wisatsana Wayan Sunarta Weni Suryandari Widi Astuti Wiji Thukul Winarni R. Y. Wibowo Yonathan Rahardjo Yosi M Giri Yudhi Herwibowo Yudhiono Aprianto Yurnaldi Yusri Fajar Yusuf Suharto Yuswan Taufiq Yuswinardi Zaenal Faudin Zainal Arifin Thoha Zamroni Allief Billah Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae