http://www.sastra-indonesia.com/
Perempuan yang Selalu
Kuciumi Tangannya di Dapur
perempuan yang selalu kuciumi tangannya di dapur
setiap kali aku pergi meninggalkannya
bau kencur, bawang, merica, serta asin garam
dapur yang selalu mengepulkan asap penderitaan
dari tungku pembakaran hasrat yang berkobar
piring-piring amis ikan, gelas-gelas kotor, sendok juga karatan
tapi ia setia mencucinya dengan air mata
merapikannya tanpa ada sesal di hatinya
2009
0rang-Orang Mengira
orang-orang mengira namaku namamu
namamu yang menenggelamkan namaku
orang-orang mengira aku berjalan di jalanmu
jalanmu yang tak pernah mempertemukan jalanku
orang-orang mengira mataku memandang matamu
matamu yang tak pernah memandang mataku
2009
Kubacakan Puisimu
:alm zainal arifin thoha
jam yang masih menetes perlahan
pada sebongkah malam yang kian pualam
aku tak bisa lagi menyimpan rahasia dingin
sampai kesendirian ini lesup
kubaca puisimu berulang-ulang
mengingatkan aku pada kematian
2009
Seusai Kepulanganmu
embun tak lagi meneteskan pagi
ketika daun-daun
lepas dari tangkai matahari
2008
Sehabis Memancing
walau hanya sepotong kepala ikan
perut terasa kenyang
karena tubuh ikan
kutitipkan pada yang kekal
2009
*) dari buku Antologi Puisi “Mazhab Kutub” terbitan PUstaka puJAngga 2010.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Senin, 28 Juni 2010
Puisi-Puisi Ahmad Muchlish Amrin
http://www.sastra-indonesia.com/
Sebuah Kota Tua
- Derek Walcott
Sebuah kota tua, memiliki kisah masa lalu,
sejarah bedil dan senapan, kereta kencana yang karat.
Tahukah engkau, setiap sore di museum sebelah timur taman bunga itu,
ada suara-suara berteriak bagai roh gentayangan yang berdesakan,
lelaki dan perempuan pucat, matanya lembab seribu bulan,
menunggu hari pembalasan yang dijanjikan.
Sebuah kota tua, di bawahnya air sungai mengalir
dan buah-buah dusta dipetik dari pohon bidara yang berduri.
Tahukah engkau, kenangan gugur ke bawah pohon pisang yang bersusun,
jadilah ia firman suci nabi-nabi, bersumpah demi beredarnya bintang-bintang,
demi malaikat yang membagikan air hangat, teh poci dan kopi robusta,
demi sebatang rokok yang ditanam sendiri di hari muda.
Sebuah kota tua, kota yang hampir hancur lebur,
para tukang sihir menyulapnya menjadi kandang babi,
merubah pikiran mereka untuk melupakan kisah pahit
prajurit-prajurit. Dan tahukah engkau,
orang-orang di kota ini menjadi gila,
sampai badai membuatnya terjaga.
Yogyakarta/Tang Lebun, 2007-2008
Kuda-Kuda Meringkik Di Kepalaku
Kuda-kuda meringkik di kepalaku
menaiki bukit-bukit.
Dan bukit-bukit itu saling merebut bulan
di malam keempat yang asing.
Dua orang lelaki membawa pelana-pelana
dipasang sebelum keberangkatan tiba:
kuda putih yang tinggi, kendalinya berwarna tembaga
ditunggangi lelaki bermata rahasia,
kuda hitam yang kurus dan ganas,
ditunggangi lelaki pucat dan penakut.
Penunggang kuda merebut bulan
dari bukit-bukit, di tangan kanannya sebilah celurit
dan di tangan kirinya temali kendali.
Keduanya memacu kuda ke puncak,
kemudian turun ke lembah
menaiki bukit yang lebih tinggi lagi.
Dan kuda-kuda itu masih meringkik di kepalaku
sampai fajar menaruh shalnya di bukit batu,
sampai terang tanah jejak sepatu lenyap di tanahmu.
Kediri-Yogyakarta, Agustus 2008
Ayat Hutan
Di hutan, sebelah selatan tempat kelahiranmu
lima puluh kilo meter dari perlintasan kota,
cuaca jin yang dingin membuat bibirmu gemetar.
Engkau, bagai tukang kayu yang berdusta
menyalakan api merah mawar, asapnya melindap
ke gunung-gunung.
Kembang-kembang yang memberkati puisi,
kering dan berguguran di bawah pohon delima,
malaikat yang sangsi pada kata, menjadi muram wajahnya.
Engkau, berdiri bagai pemburu, melesatkan anak panah
pada hewan-hewan yang terkutuk.
Seperti ada pandangan yang mengancam
bersembunyi di balik jalan yang lurus,
di balik pohon-pohon keabadian.
Engkau, meniupkan sengkakala kebangkitan
di hari hutan berkabung membangun berhalanya sendiri-sendiri.
Yogyakarta/Tang Lebun, 2007-2008
Malam Rabu Yang Aneh
- di gunung kelud
Malam rabu yang aneh,
kudapati perapian menjadi cahaya yang hidup.
Begitu ramai, kuda-kuda meringkik,
prajurit-prajurit berlari tanpa rasa takut,
darah mengucur dingin
: demi Majapahit.
Seorang panglima, dikelilingi arwah-arwah yang menangis
bibirnya bergetar menyebutkan nama-nama asing,
kata-kata pucat bagai mantra dalam kitab tua.
Inilah malam rabu keempat
perempuan telah menjadi patung
rohnya melampaui bukit dan lembah-lembah,
gentayangan di antara pohon-pohon cengkeh,
bagai hantu-hantu kedinginan
: di kali Brantas.
Sebuah malam kesaksian
seorang raja yang diikat, mulutnya tertutup,
lalu tangannya, kakinya, matanya, hidungnya,
telinganya berkisah tentang perang dan keangkuhan.
Sumpah-sumpah yang disangsikan,
nyawa-nyawa melayang tanpa alasan
bangkit lagi di malam yang sengsara.
Kediri/Kelud, Mie-Juli 2008
Di Hari Ulang Tahunku
- 24
Sebuah temali panjang mengambang di atas air laut
sang maut berbaris di ujungnya, aku semakin bergairah
menariknya : rumput-rumput laut hijau lumut,
ikan-ikan memakan bulan, sirip-sirip berkepak tak tentu arah.
O, sisa umurku yang jelita, keheningan yang agung,
kupersembahkan jalan lurus ke matahari.
Engkau, perempuan pertama yang mengucapkan selamat ulang tahun,
menjadikanku berhala yang hidup. Dan lilin-lilin yang dinyalakan
menemukanku hari ini, dalam puisi-puisi.
24 tahun berlalu, aroma kembang jagung membesarkanku,
terus membesarkanku hingga umur sirna dan rohku
kembali pada muasalnya.
Yogyakarta/Tang Lebun, Agustus 2008
Malam Seribu Bulan
Inilah malam, langit ditumbuhi seribu bulan
bagai biji-bijian surga yang retak, lalu cahayanya berpendar
menerangi wajah-wajah kusut.
Aku, lelaki yang menjanjikan malapetaka,
menunduk pelan-pelan bagai seekor kucing yang malu.
Dan budak-budak yang melupakan tanah kelahirannya
bersandar pada pohon kelapa yang kering.
Sebelas bintang yang redup menceritakan sumpah malam:
demi tikus jantan di antara plastik yang becek
demi sampah-sampah yang berserak
demi bau pesing kencing kaum gelandangan
demi pedang pembunuh bayang-bayang
demi jiwa-jiwa yang diasingkan.
Malam ini, kitab-kitab tua dibacakan,
sang penyaksi menarik kain sutera ke selatan
melampaui usia dan amal perbuatan.
Dua belas burung keong berkepak di udara,
menyerupai malaikat yang bersayap, berpencar di atas air surga
menemui kubur anaknya di atas bukit.
Aha! Tak ada yang dapat menyangsikannya
kecuali aku, lelaki penjaga malam,
yang meniup wajah-wajah yang redup.
Yogyakarta/Tang Lebun, Agustus 2006-2008
*) dari buku Antologi Puisi “Mazhab Kutub” terbitan PUstaka puJAngga 2010.
Sebuah Kota Tua
- Derek Walcott
Sebuah kota tua, memiliki kisah masa lalu,
sejarah bedil dan senapan, kereta kencana yang karat.
Tahukah engkau, setiap sore di museum sebelah timur taman bunga itu,
ada suara-suara berteriak bagai roh gentayangan yang berdesakan,
lelaki dan perempuan pucat, matanya lembab seribu bulan,
menunggu hari pembalasan yang dijanjikan.
Sebuah kota tua, di bawahnya air sungai mengalir
dan buah-buah dusta dipetik dari pohon bidara yang berduri.
Tahukah engkau, kenangan gugur ke bawah pohon pisang yang bersusun,
jadilah ia firman suci nabi-nabi, bersumpah demi beredarnya bintang-bintang,
demi malaikat yang membagikan air hangat, teh poci dan kopi robusta,
demi sebatang rokok yang ditanam sendiri di hari muda.
Sebuah kota tua, kota yang hampir hancur lebur,
para tukang sihir menyulapnya menjadi kandang babi,
merubah pikiran mereka untuk melupakan kisah pahit
prajurit-prajurit. Dan tahukah engkau,
orang-orang di kota ini menjadi gila,
sampai badai membuatnya terjaga.
Yogyakarta/Tang Lebun, 2007-2008
Kuda-Kuda Meringkik Di Kepalaku
Kuda-kuda meringkik di kepalaku
menaiki bukit-bukit.
Dan bukit-bukit itu saling merebut bulan
di malam keempat yang asing.
Dua orang lelaki membawa pelana-pelana
dipasang sebelum keberangkatan tiba:
kuda putih yang tinggi, kendalinya berwarna tembaga
ditunggangi lelaki bermata rahasia,
kuda hitam yang kurus dan ganas,
ditunggangi lelaki pucat dan penakut.
Penunggang kuda merebut bulan
dari bukit-bukit, di tangan kanannya sebilah celurit
dan di tangan kirinya temali kendali.
Keduanya memacu kuda ke puncak,
kemudian turun ke lembah
menaiki bukit yang lebih tinggi lagi.
Dan kuda-kuda itu masih meringkik di kepalaku
sampai fajar menaruh shalnya di bukit batu,
sampai terang tanah jejak sepatu lenyap di tanahmu.
Kediri-Yogyakarta, Agustus 2008
Ayat Hutan
Di hutan, sebelah selatan tempat kelahiranmu
lima puluh kilo meter dari perlintasan kota,
cuaca jin yang dingin membuat bibirmu gemetar.
Engkau, bagai tukang kayu yang berdusta
menyalakan api merah mawar, asapnya melindap
ke gunung-gunung.
Kembang-kembang yang memberkati puisi,
kering dan berguguran di bawah pohon delima,
malaikat yang sangsi pada kata, menjadi muram wajahnya.
Engkau, berdiri bagai pemburu, melesatkan anak panah
pada hewan-hewan yang terkutuk.
Seperti ada pandangan yang mengancam
bersembunyi di balik jalan yang lurus,
di balik pohon-pohon keabadian.
Engkau, meniupkan sengkakala kebangkitan
di hari hutan berkabung membangun berhalanya sendiri-sendiri.
Yogyakarta/Tang Lebun, 2007-2008
Malam Rabu Yang Aneh
- di gunung kelud
Malam rabu yang aneh,
kudapati perapian menjadi cahaya yang hidup.
Begitu ramai, kuda-kuda meringkik,
prajurit-prajurit berlari tanpa rasa takut,
darah mengucur dingin
: demi Majapahit.
Seorang panglima, dikelilingi arwah-arwah yang menangis
bibirnya bergetar menyebutkan nama-nama asing,
kata-kata pucat bagai mantra dalam kitab tua.
Inilah malam rabu keempat
perempuan telah menjadi patung
rohnya melampaui bukit dan lembah-lembah,
gentayangan di antara pohon-pohon cengkeh,
bagai hantu-hantu kedinginan
: di kali Brantas.
Sebuah malam kesaksian
seorang raja yang diikat, mulutnya tertutup,
lalu tangannya, kakinya, matanya, hidungnya,
telinganya berkisah tentang perang dan keangkuhan.
Sumpah-sumpah yang disangsikan,
nyawa-nyawa melayang tanpa alasan
bangkit lagi di malam yang sengsara.
Kediri/Kelud, Mie-Juli 2008
Di Hari Ulang Tahunku
- 24
Sebuah temali panjang mengambang di atas air laut
sang maut berbaris di ujungnya, aku semakin bergairah
menariknya : rumput-rumput laut hijau lumut,
ikan-ikan memakan bulan, sirip-sirip berkepak tak tentu arah.
O, sisa umurku yang jelita, keheningan yang agung,
kupersembahkan jalan lurus ke matahari.
Engkau, perempuan pertama yang mengucapkan selamat ulang tahun,
menjadikanku berhala yang hidup. Dan lilin-lilin yang dinyalakan
menemukanku hari ini, dalam puisi-puisi.
24 tahun berlalu, aroma kembang jagung membesarkanku,
terus membesarkanku hingga umur sirna dan rohku
kembali pada muasalnya.
Yogyakarta/Tang Lebun, Agustus 2008
Malam Seribu Bulan
Inilah malam, langit ditumbuhi seribu bulan
bagai biji-bijian surga yang retak, lalu cahayanya berpendar
menerangi wajah-wajah kusut.
Aku, lelaki yang menjanjikan malapetaka,
menunduk pelan-pelan bagai seekor kucing yang malu.
Dan budak-budak yang melupakan tanah kelahirannya
bersandar pada pohon kelapa yang kering.
Sebelas bintang yang redup menceritakan sumpah malam:
demi tikus jantan di antara plastik yang becek
demi sampah-sampah yang berserak
demi bau pesing kencing kaum gelandangan
demi pedang pembunuh bayang-bayang
demi jiwa-jiwa yang diasingkan.
Malam ini, kitab-kitab tua dibacakan,
sang penyaksi menarik kain sutera ke selatan
melampaui usia dan amal perbuatan.
Dua belas burung keong berkepak di udara,
menyerupai malaikat yang bersayap, berpencar di atas air surga
menemui kubur anaknya di atas bukit.
Aha! Tak ada yang dapat menyangsikannya
kecuali aku, lelaki penjaga malam,
yang meniup wajah-wajah yang redup.
Yogyakarta/Tang Lebun, Agustus 2006-2008
*) dari buku Antologi Puisi “Mazhab Kutub” terbitan PUstaka puJAngga 2010.
Puisi-Puisi Matroni el-Moezany
http://www.sastra-indonesia.com/
Risalah Batu-Batu
Kadang aku tak sanggup
Menaklukkan batu-batu jiwamu
Lantaran engkau tak jua
Meninggalkan irisan luka kata
Yang datang dari seberang
Ketaksanggupan adalah keniscayaan
Yang tidur pulas memelukku erat
Apa dan siapa diriku? Lalu
Ketakmengertian itu membuat
Kemenyatuan pena dengan darahku
Walau kau anggap puisi sebuah kemiskinan
Lantaran aku penyair
Kau menuduhku tak memiliki apa-apa
Penyair adalah apa-apa
Penyair adalah separuh semesta
Dan separuhnya adalah kata-kata
Lalu, dimanakah tuhan?
Tuhan adalah kemenyatuan penyair dan kata-kata
Masihkah kau tak percaya
Kalau aku orang hebat
Yang mampu menaklukkan semesta
Hanya dengan kata-kata
Yogyakarta, 2009
Adalah Engkau
Engkau bisa mencari dari atas
Dari bawah bahkan dari tengah-tengah
Sehingga menemukan perjumpaan
Di dalam kata-kata
Jendela sudah terbuka
Jendela yang di sukai banyak penyair
Tapi sudahkah kita bertanya
Terhadap keberhasilannya itu?
Keberhasilan mendapat pengetahuan
Keberhasilan mencari perjumpaan?
Engkau boleh sombong
Asal masih ada sebiji sadar di jiwamu
Yang mampu membiaskan rona bintang
Melebihi jejak perjalanan penyair
Adalah engkau yang memberi rasa
Bagi mereka yang miskin dan yang tak tersentuh penguasa
Penyair adalah orang pertama yang memberi bantuan
Memberi tanpa laba
Membantu tanpa ada unsur apa-apa
Kini, dunia semakin luas hanya dalam diri
Yogyakarta, 2009
Negeri Tanpa Moral
Tetes hujan
Memecah malam menemani lelap
Aku tidur bersama dingin
Memeluk perasaan gelisah
Melihat TV siaran para pencuri
Tidurku tak lelap dalam mimpi
Aku melihat pencuri itu mati
Di makan curiannya sendiri
Mimpi sebuah negeri
Yang terlalu banyak orang tidak tahu malu
Tersenyum manis hanya untuk kekuasaan
Berkata lembut hanya untuk UUD
Bertindak sopan hanya untuk fasilitas serbaada
Cita-cita negeri indah
Hanya terlihat di tepi mimpi-mimpi
Karena mereka selalu tidur
Siang tidur
Malam apa lagi
Aku malu hidup di negeri para pencuri
Aku ingin menjadi penyair yang kaya
Tapi tak mencuri apa-apa dari rakyat
Cita-cita yang agung
Tak terlihat seperti duit
Ia tiba-tiba mengapung dalam jiwa
Menjelma menjadi rasa
Untuk semua bangsa yang tertindas
Dan tanpa moral
Yogyakarta. 2009
Tahun Baru Tanpa Guru Bangsa
Kita semua tak cukup hanya mengucapkan turut berduka cita
semua pemimpin mengatakan demikian
kata-kata tak cukup hanya di ucapkan di lidah, tapi
kenyataan lebih penting untuk dilaksanakan
kenyataan adalah praktik kedewasaan kita
kenyataan adalah bukti sah menjadi pemimpin
bukan wacana, bukan janji juga bukan hukum
sudah kita berbuat seperti yang di contohkan sang guru?
Yogyakarta, 30 Desember 2009
Sebatas Batu Prasangka
Sebatas batu prasangka
Yang lama terkikir masa
Yang belum menginjakkan kaki keberangkatan
Untuk pulang bersama mahakarya semesta
Kini, balasan puisi terjawab dengan indah
Melalui penyair-penyair dunia
Kau harus tuliskan satu huruf yang baru lahir
Karena dia akan menjadi penyampai pesan puisi berikutnya
Berdialog dengan tubuh, berdialog dengan jiwa
Maka lahirlah anak kata-kata sebagai makna
Prasangka akan menjadi nyata
Ia tidak kosong, ia begitu bermakna
Segalanya seperti batu
Keras penuh bintik-bintik keindahan
Yogyakarta, 2010
*) dari buku Antologi Puisi “Mazhab Kutub” terbitan PUstaka puJAngga 2010.
Risalah Batu-Batu
Kadang aku tak sanggup
Menaklukkan batu-batu jiwamu
Lantaran engkau tak jua
Meninggalkan irisan luka kata
Yang datang dari seberang
Ketaksanggupan adalah keniscayaan
Yang tidur pulas memelukku erat
Apa dan siapa diriku? Lalu
Ketakmengertian itu membuat
Kemenyatuan pena dengan darahku
Walau kau anggap puisi sebuah kemiskinan
Lantaran aku penyair
Kau menuduhku tak memiliki apa-apa
Penyair adalah apa-apa
Penyair adalah separuh semesta
Dan separuhnya adalah kata-kata
Lalu, dimanakah tuhan?
Tuhan adalah kemenyatuan penyair dan kata-kata
Masihkah kau tak percaya
Kalau aku orang hebat
Yang mampu menaklukkan semesta
Hanya dengan kata-kata
Yogyakarta, 2009
Adalah Engkau
Engkau bisa mencari dari atas
Dari bawah bahkan dari tengah-tengah
Sehingga menemukan perjumpaan
Di dalam kata-kata
Jendela sudah terbuka
Jendela yang di sukai banyak penyair
Tapi sudahkah kita bertanya
Terhadap keberhasilannya itu?
Keberhasilan mendapat pengetahuan
Keberhasilan mencari perjumpaan?
Engkau boleh sombong
Asal masih ada sebiji sadar di jiwamu
Yang mampu membiaskan rona bintang
Melebihi jejak perjalanan penyair
Adalah engkau yang memberi rasa
Bagi mereka yang miskin dan yang tak tersentuh penguasa
Penyair adalah orang pertama yang memberi bantuan
Memberi tanpa laba
Membantu tanpa ada unsur apa-apa
Kini, dunia semakin luas hanya dalam diri
Yogyakarta, 2009
Negeri Tanpa Moral
Tetes hujan
Memecah malam menemani lelap
Aku tidur bersama dingin
Memeluk perasaan gelisah
Melihat TV siaran para pencuri
Tidurku tak lelap dalam mimpi
Aku melihat pencuri itu mati
Di makan curiannya sendiri
Mimpi sebuah negeri
Yang terlalu banyak orang tidak tahu malu
Tersenyum manis hanya untuk kekuasaan
Berkata lembut hanya untuk UUD
Bertindak sopan hanya untuk fasilitas serbaada
Cita-cita negeri indah
Hanya terlihat di tepi mimpi-mimpi
Karena mereka selalu tidur
Siang tidur
Malam apa lagi
Aku malu hidup di negeri para pencuri
Aku ingin menjadi penyair yang kaya
Tapi tak mencuri apa-apa dari rakyat
Cita-cita yang agung
Tak terlihat seperti duit
Ia tiba-tiba mengapung dalam jiwa
Menjelma menjadi rasa
Untuk semua bangsa yang tertindas
Dan tanpa moral
Yogyakarta. 2009
Tahun Baru Tanpa Guru Bangsa
Kita semua tak cukup hanya mengucapkan turut berduka cita
semua pemimpin mengatakan demikian
kata-kata tak cukup hanya di ucapkan di lidah, tapi
kenyataan lebih penting untuk dilaksanakan
kenyataan adalah praktik kedewasaan kita
kenyataan adalah bukti sah menjadi pemimpin
bukan wacana, bukan janji juga bukan hukum
sudah kita berbuat seperti yang di contohkan sang guru?
Yogyakarta, 30 Desember 2009
Sebatas Batu Prasangka
Sebatas batu prasangka
Yang lama terkikir masa
Yang belum menginjakkan kaki keberangkatan
Untuk pulang bersama mahakarya semesta
Kini, balasan puisi terjawab dengan indah
Melalui penyair-penyair dunia
Kau harus tuliskan satu huruf yang baru lahir
Karena dia akan menjadi penyampai pesan puisi berikutnya
Berdialog dengan tubuh, berdialog dengan jiwa
Maka lahirlah anak kata-kata sebagai makna
Prasangka akan menjadi nyata
Ia tidak kosong, ia begitu bermakna
Segalanya seperti batu
Keras penuh bintik-bintik keindahan
Yogyakarta, 2010
*) dari buku Antologi Puisi “Mazhab Kutub” terbitan PUstaka puJAngga 2010.
Puisi-Puisi Winarni R.
http://www.sastra-indonesia.com/
Bandung Saat Seremoni Tahun Baru
: deng
Kau ajak aku membakar jiwajiwa
Melolong membutakan lampulampu
Menembus sekawanan pekat yang menunda cahya
Embun yang bimbang datang
Kau nyalakan mercon perpisahan untuk kemarin
Melukiskan musimmusim yang menawarkan gerimis
Menagih kekasih pada malam yang diiringi jerit hitungan jam
Bandung saat seremoni tahun baru
Kau bacakan mantramantra percintaan di trotoar merdeka
Menghanyutkan ribuan album yang kau sisipkan dalam saku
Serta ratusan tembang kenangan tentang lelaki dalam cermin
Bandung saat basah di tahun baru
Kita mengubur semua puisi hujan
Dan mabuk dalam lautan manusia
2007-2008
Senja
sari,
kita tidak tahu gerimis senja ini kiriman siapa?
Pun aku tak tahu berapa trotoar yang merekam perburuan kita.
sari,
rindu ini lahir dari keterasingan.
seperti teratai yang merah dan matamu yang hitam.
sari,
kanak-kanak musim kemarin berlarian membunuh pelangi.
aku waswas
bagaimana jika senja kutuliskan dalam sajak kita?
diantara rumah, laut, dan asing.
2009
Jamuan Hujan
anak evaporasi,
massal menabur jasad-jasad.
mewarna padang-padang yang hilang nama.
candu yang kita puisikan di bulan desember.
Di AsiaAfrika
jasad itu turun segenap.
seolah tanzil bagi sodom dan gomora.
meluka pahatan Homan yang terduduk bisu.
trotoar-trotoar menalkin debu terakhir.
semua pasrah dijamu jasad-jasad dari langit.
Desember 08
Antapani 170509
Antapani melepas pinangan hujan.
Berkabar cinta pada debu-debu terakhir.
Berbagi ranjang dengan seribu layang-layang.
Orang-orang menjemur tubuh dan sajak.
Memeluk cuaca, mengubur kuyup.
Lalu suara-suara tersekat.
Kanak-kanak membuang layang-layang di jalan.
Tubuh-tubuh mencari atap.
Trotoar dipenuhi gunjingan basah.
2009
*) Sihir Terakhir, Antologi Puisi Penyair Perempuan ASAS, Penerbit PUstaka puJAngga, 2009.
Bandung Saat Seremoni Tahun Baru
: deng
Kau ajak aku membakar jiwajiwa
Melolong membutakan lampulampu
Menembus sekawanan pekat yang menunda cahya
Embun yang bimbang datang
Kau nyalakan mercon perpisahan untuk kemarin
Melukiskan musimmusim yang menawarkan gerimis
Menagih kekasih pada malam yang diiringi jerit hitungan jam
Bandung saat seremoni tahun baru
Kau bacakan mantramantra percintaan di trotoar merdeka
Menghanyutkan ribuan album yang kau sisipkan dalam saku
Serta ratusan tembang kenangan tentang lelaki dalam cermin
Bandung saat basah di tahun baru
Kita mengubur semua puisi hujan
Dan mabuk dalam lautan manusia
2007-2008
Senja
sari,
kita tidak tahu gerimis senja ini kiriman siapa?
Pun aku tak tahu berapa trotoar yang merekam perburuan kita.
sari,
rindu ini lahir dari keterasingan.
seperti teratai yang merah dan matamu yang hitam.
sari,
kanak-kanak musim kemarin berlarian membunuh pelangi.
aku waswas
bagaimana jika senja kutuliskan dalam sajak kita?
diantara rumah, laut, dan asing.
2009
Jamuan Hujan
anak evaporasi,
massal menabur jasad-jasad.
mewarna padang-padang yang hilang nama.
candu yang kita puisikan di bulan desember.
Di AsiaAfrika
jasad itu turun segenap.
seolah tanzil bagi sodom dan gomora.
meluka pahatan Homan yang terduduk bisu.
trotoar-trotoar menalkin debu terakhir.
semua pasrah dijamu jasad-jasad dari langit.
Desember 08
Antapani 170509
Antapani melepas pinangan hujan.
Berkabar cinta pada debu-debu terakhir.
Berbagi ranjang dengan seribu layang-layang.
Orang-orang menjemur tubuh dan sajak.
Memeluk cuaca, mengubur kuyup.
Lalu suara-suara tersekat.
Kanak-kanak membuang layang-layang di jalan.
Tubuh-tubuh mencari atap.
Trotoar dipenuhi gunjingan basah.
2009
*) Sihir Terakhir, Antologi Puisi Penyair Perempuan ASAS, Penerbit PUstaka puJAngga, 2009.
Puisi-Puisi Iwan Gunadi
http://www.jawapos.co.id/
MERGER
bank adalah kepala manusia
yang dijaga dengan senjata apa saja:
kapak batu, tombak, panah,
golok, keris, parang, bambu runcing,
belati, pisau, ketapel, pistol,
senapan, meriam, granat, dan ranjau
volume kepala setiap manusia tak sama
warna rambut setiap manusia bisa berbeda
usia keduanya bisa tak semasa
ketika dua atau beberapa kepala
diminta disatukan di bawah satu nama,
yang tampak mencolok
bukanlah merendahkan sirah,
melapangkan dada, dan meringankan langkah
demi kesebatian volume, warna, dan usia
yang sering mereka pilih
sejak awal hingga akhir
adalah perang antarsenjata:
”lebih baik kami tak punya nama
asal punya kepala,”
kata mereka sembari menyurutkan kaki
dan menyamarkan muka
dengan mengganti-ganti topeng
yang peka dengan perubahan cuaca
REKSA DANA FIKTIF
ini minyak wangi nomor wahid. lebih harum dari seluruh kembang di taman. bahkan, dari seluruh bunga di kebun bunga di negeri ini. apalagi, sekarang bukan musimnya mengunjungi, lalu memetik bunga di kebun bunga. sebab, kumbang dan kupu-kupu sudah lama mengirup habis sari wanginya.
ini minyak wangi nomor wahid. harumnya diracik dari rupa-rupa sari wangi bunga-bunga yang paling istimewa. silakan memilih dan menentukan sendiri kadar harumnya sesuai dengan selera Anda. segala rahasia harumnya dapat Anda baca di prospektus perpustakaan-perpustakaan umum. para peracik minyak wangi yang mumpuni siap membantu Anda menciptakan keharuman tiada tara. meski harganya tak ditambah pajak, harumnya takkan dikurangi. tak perlu ragu. kesempatan ini hanya datang sekali sebelum musim berganti.
bumi berputar, musim berganti. mega-mega tak lagi menghalangi matahari menyambangi bumi. langit kembali biru. botol-botol minyak wangi kosong tanpa isi. ketika penutup botol-botol itu dibuka, dalam sekejap, harumnya hilang ditiup angin. pedagang itu diterbangkan mega-mega entah ke mana tanpa menebarkan harum. tubuhnya memang tak pernah diolesi minyak wangi, apalagi racikan sendiri. kita sendiri tak mampu membaui. sudah lama hidung kita ditujah flu.
L/C FIKTIF
burung-burung pelatuk menerbangkan wangi rempah-rempah, manis buah-buah, dan segar sayur-sayur ke negeri-negeri jauh. meski, di negeri antah-berantah saja, wanginya tak pernah tercium hidung, manisnya tak pernah tercicip lidah, dan segarnya tak pernah menyaput tubuh. tapi, penjaga-penjaga lumbung terus menguar wangi dengan merbak bunga-bunga, terus mengimbuh manis dengan gula-gula, dan terus menebar segar dengan dingin air gunung.
”ambillah ongkos angin sejauh-jauh putaran buana. kuraslah lumbung ini sepuas napsu kantongmu. jangan lupa tempelkan materai seluas jangkauan kepak sayapmu dan sepanas gairah kelamin kami,” bisik penjaga-penjaga lumbung.
lumbung-lumbung melompong atau limbung. para peronda malam mencium bau busuk rempah-rempah, buah-buah, dan sayur-sayur. penjaga-penjaga lumbung diseret ke gardu kampung di bawah kerlap-kerlip bintang-bintang. burung-burung terbang bebas menjelajahi langit tanpa takut dihanyutkan gelap, ditelikung mendung, diguyur hujan, atau disambar petir. langit tak lagi kuasa menyabdakan musim
* L/C: letter of credit (surat kredit untuk pembiayaan ekspor).
DIVESTASI BANK
keris jawa ayah, yang tiga puluh dua tahun menebar bau kamboja dan menggenangkan amis darah di tanah-tanah becek berbau menyengat timbunan sampah, patah ditekuk tumpukan miliaran dolar Amerika. di bawah sorot mata Michel Camdessus, ayah mengguyurkan triliunan rupiah ke brankas-brankas besar para tauke dan pedagang kelontong yang bertahun-tahun menjadi kasir bagi sanak keluarganya.
ketika anak-anaknya tak lagi berpencaharian dan kesulitan makan, ketika ayah tak lagi menjadi bapak kami, brankas-brankas besar yang penuh rupiah mesti dilego, lalu jatuh ke tangan bule-bule. diam-diam, jantung kami berdebar-debar kencang menyadari patahan keris ayah telah berubah menjadi mesin-mesin pengisap makanan-makanan kami yang siap membikin perut kami tetap keroncongan dan tubuh kami kurus kering.
LDR
padi dan palawija telah dijual petani dengan harum bunga yang tipis. para peternak telah menggiring itik, ayam, babi, kambing, sapi, dan kerbau ke kandang-kandang yang dibikin para tengkulak dengan iming-iming pakan yang bergizi dan rumput yang segar –kalau bernasib mujur.
padi dan palawija digelar para tengkulak di pasar-pasar. hewan-hewan ternak dikandangi dan dipancang di tanah-tanah lapang di setiap alun-alun. pengusaha-pengusaha dari pelbagai kota diundang. banyak yang tak datang. sedikit yang membeli. bahkan, para pengusaha pemesan mengingkari janji. para tengkulak memang berdagang setengah hati dan terlalu berhati-hati setelah bertahun-tahun merugi dihimpit kredit macet. trauma masa lalu itu memaksa mereka lebih suka berniaga dengan penjaga seluruh kebun bunga di negeri yang memasang harga beli yang lebih tinggi, meski mereka mesti membuang jauh wajah asli.
* LDR: loan to deposit ratio (perbandingan antara dana yang dikucurkan atau kredit dan dana yang dihimpun atau simpanan), yang dijadikan penanda utama untuk mengukur fungsi intermediasi suatu bank.
*) Penyair, tinggal di Banten
MERGER
bank adalah kepala manusia
yang dijaga dengan senjata apa saja:
kapak batu, tombak, panah,
golok, keris, parang, bambu runcing,
belati, pisau, ketapel, pistol,
senapan, meriam, granat, dan ranjau
volume kepala setiap manusia tak sama
warna rambut setiap manusia bisa berbeda
usia keduanya bisa tak semasa
ketika dua atau beberapa kepala
diminta disatukan di bawah satu nama,
yang tampak mencolok
bukanlah merendahkan sirah,
melapangkan dada, dan meringankan langkah
demi kesebatian volume, warna, dan usia
yang sering mereka pilih
sejak awal hingga akhir
adalah perang antarsenjata:
”lebih baik kami tak punya nama
asal punya kepala,”
kata mereka sembari menyurutkan kaki
dan menyamarkan muka
dengan mengganti-ganti topeng
yang peka dengan perubahan cuaca
REKSA DANA FIKTIF
ini minyak wangi nomor wahid. lebih harum dari seluruh kembang di taman. bahkan, dari seluruh bunga di kebun bunga di negeri ini. apalagi, sekarang bukan musimnya mengunjungi, lalu memetik bunga di kebun bunga. sebab, kumbang dan kupu-kupu sudah lama mengirup habis sari wanginya.
ini minyak wangi nomor wahid. harumnya diracik dari rupa-rupa sari wangi bunga-bunga yang paling istimewa. silakan memilih dan menentukan sendiri kadar harumnya sesuai dengan selera Anda. segala rahasia harumnya dapat Anda baca di prospektus perpustakaan-perpustakaan umum. para peracik minyak wangi yang mumpuni siap membantu Anda menciptakan keharuman tiada tara. meski harganya tak ditambah pajak, harumnya takkan dikurangi. tak perlu ragu. kesempatan ini hanya datang sekali sebelum musim berganti.
bumi berputar, musim berganti. mega-mega tak lagi menghalangi matahari menyambangi bumi. langit kembali biru. botol-botol minyak wangi kosong tanpa isi. ketika penutup botol-botol itu dibuka, dalam sekejap, harumnya hilang ditiup angin. pedagang itu diterbangkan mega-mega entah ke mana tanpa menebarkan harum. tubuhnya memang tak pernah diolesi minyak wangi, apalagi racikan sendiri. kita sendiri tak mampu membaui. sudah lama hidung kita ditujah flu.
L/C FIKTIF
burung-burung pelatuk menerbangkan wangi rempah-rempah, manis buah-buah, dan segar sayur-sayur ke negeri-negeri jauh. meski, di negeri antah-berantah saja, wanginya tak pernah tercium hidung, manisnya tak pernah tercicip lidah, dan segarnya tak pernah menyaput tubuh. tapi, penjaga-penjaga lumbung terus menguar wangi dengan merbak bunga-bunga, terus mengimbuh manis dengan gula-gula, dan terus menebar segar dengan dingin air gunung.
”ambillah ongkos angin sejauh-jauh putaran buana. kuraslah lumbung ini sepuas napsu kantongmu. jangan lupa tempelkan materai seluas jangkauan kepak sayapmu dan sepanas gairah kelamin kami,” bisik penjaga-penjaga lumbung.
lumbung-lumbung melompong atau limbung. para peronda malam mencium bau busuk rempah-rempah, buah-buah, dan sayur-sayur. penjaga-penjaga lumbung diseret ke gardu kampung di bawah kerlap-kerlip bintang-bintang. burung-burung terbang bebas menjelajahi langit tanpa takut dihanyutkan gelap, ditelikung mendung, diguyur hujan, atau disambar petir. langit tak lagi kuasa menyabdakan musim
* L/C: letter of credit (surat kredit untuk pembiayaan ekspor).
DIVESTASI BANK
keris jawa ayah, yang tiga puluh dua tahun menebar bau kamboja dan menggenangkan amis darah di tanah-tanah becek berbau menyengat timbunan sampah, patah ditekuk tumpukan miliaran dolar Amerika. di bawah sorot mata Michel Camdessus, ayah mengguyurkan triliunan rupiah ke brankas-brankas besar para tauke dan pedagang kelontong yang bertahun-tahun menjadi kasir bagi sanak keluarganya.
ketika anak-anaknya tak lagi berpencaharian dan kesulitan makan, ketika ayah tak lagi menjadi bapak kami, brankas-brankas besar yang penuh rupiah mesti dilego, lalu jatuh ke tangan bule-bule. diam-diam, jantung kami berdebar-debar kencang menyadari patahan keris ayah telah berubah menjadi mesin-mesin pengisap makanan-makanan kami yang siap membikin perut kami tetap keroncongan dan tubuh kami kurus kering.
LDR
padi dan palawija telah dijual petani dengan harum bunga yang tipis. para peternak telah menggiring itik, ayam, babi, kambing, sapi, dan kerbau ke kandang-kandang yang dibikin para tengkulak dengan iming-iming pakan yang bergizi dan rumput yang segar –kalau bernasib mujur.
padi dan palawija digelar para tengkulak di pasar-pasar. hewan-hewan ternak dikandangi dan dipancang di tanah-tanah lapang di setiap alun-alun. pengusaha-pengusaha dari pelbagai kota diundang. banyak yang tak datang. sedikit yang membeli. bahkan, para pengusaha pemesan mengingkari janji. para tengkulak memang berdagang setengah hati dan terlalu berhati-hati setelah bertahun-tahun merugi dihimpit kredit macet. trauma masa lalu itu memaksa mereka lebih suka berniaga dengan penjaga seluruh kebun bunga di negeri yang memasang harga beli yang lebih tinggi, meski mereka mesti membuang jauh wajah asli.
* LDR: loan to deposit ratio (perbandingan antara dana yang dikucurkan atau kredit dan dana yang dihimpun atau simpanan), yang dijadikan penanda utama untuk mengukur fungsi intermediasi suatu bank.
*) Penyair, tinggal di Banten
Puisi-Puisi Nanang Suryadi
http://www.jawapos.co.id/
BERSYUKURLAH
Dengan
rasa sakit yang kita nikmati
dengan
rasa bahagia yang kita khidmati
dengan
menerima segala
selapang sunyi
TAHUN KETIGAPULUH EMPAT
apa yang kau ingat
mungkin kematian
yang kian mendekat
jarum jam menunjuk
membusur
ke dada hibuk
telah berapa jejak yang kau buat
hingga sampai
pada alamat
putaran waktu berulang kembaliberputar ke awal
mulai jadi
akankah engkau menengadah
atau tertunduk kalah
karena demikianlah hidup
memberi arti
pada yang tak kau mengerti
karena demikianlah hidup
sesuatu yang sukar kau mengerti
dan ingin kau beri arti
Juli, 2007
DAN
dan jiwa yang sedang bergejolak itu mendidihkan kenangan-kenanganhingga matang puisi di tungku
jiwamu
Hingga waktu menghela kereta mimpi ke segala tak berbatas
nafasmu
Dongeng Sisiphus Buat Ook
akulah sisiphus katamu menggelinding sepanjang pagi hingga malam di jalanan ibukota. tapi aku bahagia, tapi aku bahagia. seperti kudengar ada yang menderaskan airmata di dalam guci puisi.seguci puisi keteguk demi seteguk hingga airmatamu mendarah di nadi puisiku malam inikarena aku telah menjelma sisiphus menggelinding sepanjang pagi hingga malam di sini. tapi aku sunyi, tapi aku sunyi
dan kuteguk seguci puisi, hingga…..
HIDUP YANG KITA SYUKURI
;kunthi hastorini
hidup yang kita jalani,
hidup yang kita syukuri
dengan tawa atau tangis
melebur dalam cinta sang maha cinta
hidup yang kita beri arti,
hidup yang kita syukuri
dengan riang canda atau airmata
menabur cinta ke dada cahaya
hidup yang kita jalani,
hidup yang kita syukuri
dengan suka atau luka
menelusur jejak cintanya
semata, karena cintanya
ADALAH WAKTU
adalah waktu yang berdering
hingga puisi menyaring
adalah mimpi yang bertadah
hingga lamun menyerah
adalah dada yang bertabuh
hingga sepi menggaduh
adalah engkau yang menyeru
hingga aku menemu
*) Lahir di Pulomerak, Serang, pada 8 Juli 1973. Staf pengajar FE Unibraw Malang, ini juga mengelola situs fordisastra.com. Buku-buku puisinya, antara lain: Silhuet Panorama dan Negeri Yang Menangis (MSI, 1999) Telah Dialamatkan Padamu (Dewata Publishing, 2002) sebagai kumpulan puisi pribadi.
Sedangkan antologi bersama penyair lain, di antaranya Ini Sirkus Senyum (Komunitas Bumi Manusia, 2002), Hijau Kelon & Puisi 2002 (Kompas, 2002).. Email: nanangsuryadi@yahoo.com.
BERSYUKURLAH
Dengan
rasa sakit yang kita nikmati
dengan
rasa bahagia yang kita khidmati
dengan
menerima segala
selapang sunyi
TAHUN KETIGAPULUH EMPAT
apa yang kau ingat
mungkin kematian
yang kian mendekat
jarum jam menunjuk
membusur
ke dada hibuk
telah berapa jejak yang kau buat
hingga sampai
pada alamat
putaran waktu berulang kembaliberputar ke awal
mulai jadi
akankah engkau menengadah
atau tertunduk kalah
karena demikianlah hidup
memberi arti
pada yang tak kau mengerti
karena demikianlah hidup
sesuatu yang sukar kau mengerti
dan ingin kau beri arti
Juli, 2007
DAN
dan jiwa yang sedang bergejolak itu mendidihkan kenangan-kenanganhingga matang puisi di tungku
jiwamu
Hingga waktu menghela kereta mimpi ke segala tak berbatas
nafasmu
Dongeng Sisiphus Buat Ook
akulah sisiphus katamu menggelinding sepanjang pagi hingga malam di jalanan ibukota. tapi aku bahagia, tapi aku bahagia. seperti kudengar ada yang menderaskan airmata di dalam guci puisi.seguci puisi keteguk demi seteguk hingga airmatamu mendarah di nadi puisiku malam inikarena aku telah menjelma sisiphus menggelinding sepanjang pagi hingga malam di sini. tapi aku sunyi, tapi aku sunyi
dan kuteguk seguci puisi, hingga…..
HIDUP YANG KITA SYUKURI
;kunthi hastorini
hidup yang kita jalani,
hidup yang kita syukuri
dengan tawa atau tangis
melebur dalam cinta sang maha cinta
hidup yang kita beri arti,
hidup yang kita syukuri
dengan riang canda atau airmata
menabur cinta ke dada cahaya
hidup yang kita jalani,
hidup yang kita syukuri
dengan suka atau luka
menelusur jejak cintanya
semata, karena cintanya
ADALAH WAKTU
adalah waktu yang berdering
hingga puisi menyaring
adalah mimpi yang bertadah
hingga lamun menyerah
adalah dada yang bertabuh
hingga sepi menggaduh
adalah engkau yang menyeru
hingga aku menemu
*) Lahir di Pulomerak, Serang, pada 8 Juli 1973. Staf pengajar FE Unibraw Malang, ini juga mengelola situs fordisastra.com. Buku-buku puisinya, antara lain: Silhuet Panorama dan Negeri Yang Menangis (MSI, 1999) Telah Dialamatkan Padamu (Dewata Publishing, 2002) sebagai kumpulan puisi pribadi.
Sedangkan antologi bersama penyair lain, di antaranya Ini Sirkus Senyum (Komunitas Bumi Manusia, 2002), Hijau Kelon & Puisi 2002 (Kompas, 2002).. Email: nanangsuryadi@yahoo.com.
Puisi-Puisi Mahwi Air Tawar
http://www.jawapos.co.id/
Isyarat
gelembung hari tergantung pada ranting usia
berayun pelan-cepat diseret angin kemarau
dan guruh musim yang melulu pilu
adalah ujung dari segala isyarat
saat retak tanahmu tak dapat kupijak
setiap jejak dalam perjalanan panjang
meruap bau anyir tubuhmu
separuh wajahmu membayang
menagih sisirat pada sepatak liang ladang
menarik-narik temali hidupku
dan memaksaku memberi tanda
pada setiap tempat dan alamat
Jogjakarta, 2010
Perempuan Seruling
:Otzu
di malam keseribu selepas musim semi
kotamu merah kelabu
buncahan usus menggumpal seperti awan berarak pekat
mata-mata nyalang memandang
masa kini-kemarin mengabur
dalam pekikan gempur
tiuplah
tiuplah serulingmu
agar pegunungan tubuh-tubuh rapuh berserak
tak selalu senyap
dan jiwaku yang senantiasa hampa dapat merasakan
getaran rindu kepada yang telah tiada
hingga runcing samuraiku
membelah pekat langit
yang melulu bergelegar
dan maut tak jadi ancaman
jogjakarta, 2010
Banyuwangi Perjalanan Kedua
:Taufik wr, Fatah Yasin
di jalan ini, luka duka lungkrah abadi
di tapal batas ini, bersemayam dalam malam pertapaan
akan melambungkan gugusan doa pengabdi
berjaga antara buncahan buih
luruh senja blambangan
tinggallah di sini, di atas tanahku maka akan kau temui
cerita-cerita pelaut saat menyeberangi gugusan pulau-pulau
dan sarapan sepotong ikan kering
sebelum asin laut tinggal seujung kuku
Gugusan
:are timur daya
sebelum pagi menepikan mimpi gugusan waktu berkelindan dalam igauan-dalam batas dan, gumpalan kekalutan yang terus menuntunku meniti rentangan pedang
dan bersiasat penuh awas agar seluruh gerak leluasa menembus batas kelam
Batu Ampar
I
diapit bukit makam-makam keramat
di atas reranggas tanah tandus
musim memaksamu menjejaki ujung ajal
kubiarkan lelehan keringat mengering
hingga saatnya tiba doa-doa, mantra-mantra
terucap meski dalam gumam
II
kutuklah aku jadi batu, dari celah kabut kau berteriak
meski suaramu tak senyaring tukang azan
tapi angin memapah jasadmu ke tempat keramat
hingga tak bersisa segala yang kau risaukan
dan nyanyian kotamu jadi langgam
bagi yang tak pernah setia menziaruhi
hidup yang tak berdegub
Ritus Kehilangan
hujan sepotong-sepotong
melubangi genting kamarku
seperti malam malam sebelumnya udara masih beku
angin pun seperti malas menyingkap tirai jendela
udara membeku antara ventilasi, pintu
hingga dini hari sepi bergelayut
kabut mengendap
di ranting hatiku yang limbung
Rumah Singgah
anas, nunu, iqbal dan harmono
kilatan mata pedang mencuat dari
jantung hari-harimu, dari sebuah rumah
yang kosong pecahan-pecahan kaca
yang berserak pada retakan lantai
menjelma peta:
jalur-jalur terus membenam
dalam kelokan jalan yang tak pernah kau tahu
arah dan tujuan
hiduplah kau di rumah tak berpenghuni
di mana segala asal mula jadi seserpih kisah pedih
pengembara yang berpeluh letih
meniti landai hari memasuki rumah sunyi-
kosong dan hampa!
Tepi Kali Bedog, 060210
*) Lahir dan besar di Madura. Menulis puisi dan cerpen. Puisi dan cerpennya terkumpul dalam antologi bersama. Buku kumpulan cerpennya Mata Blater, 2010. Kini bermukim di Tepi Kali Bedog, Jogjakarta.
Isyarat
gelembung hari tergantung pada ranting usia
berayun pelan-cepat diseret angin kemarau
dan guruh musim yang melulu pilu
adalah ujung dari segala isyarat
saat retak tanahmu tak dapat kupijak
setiap jejak dalam perjalanan panjang
meruap bau anyir tubuhmu
separuh wajahmu membayang
menagih sisirat pada sepatak liang ladang
menarik-narik temali hidupku
dan memaksaku memberi tanda
pada setiap tempat dan alamat
Jogjakarta, 2010
Perempuan Seruling
:Otzu
di malam keseribu selepas musim semi
kotamu merah kelabu
buncahan usus menggumpal seperti awan berarak pekat
mata-mata nyalang memandang
masa kini-kemarin mengabur
dalam pekikan gempur
tiuplah
tiuplah serulingmu
agar pegunungan tubuh-tubuh rapuh berserak
tak selalu senyap
dan jiwaku yang senantiasa hampa dapat merasakan
getaran rindu kepada yang telah tiada
hingga runcing samuraiku
membelah pekat langit
yang melulu bergelegar
dan maut tak jadi ancaman
jogjakarta, 2010
Banyuwangi Perjalanan Kedua
:Taufik wr, Fatah Yasin
di jalan ini, luka duka lungkrah abadi
di tapal batas ini, bersemayam dalam malam pertapaan
akan melambungkan gugusan doa pengabdi
berjaga antara buncahan buih
luruh senja blambangan
tinggallah di sini, di atas tanahku maka akan kau temui
cerita-cerita pelaut saat menyeberangi gugusan pulau-pulau
dan sarapan sepotong ikan kering
sebelum asin laut tinggal seujung kuku
Gugusan
:are timur daya
sebelum pagi menepikan mimpi gugusan waktu berkelindan dalam igauan-dalam batas dan, gumpalan kekalutan yang terus menuntunku meniti rentangan pedang
dan bersiasat penuh awas agar seluruh gerak leluasa menembus batas kelam
Batu Ampar
I
diapit bukit makam-makam keramat
di atas reranggas tanah tandus
musim memaksamu menjejaki ujung ajal
kubiarkan lelehan keringat mengering
hingga saatnya tiba doa-doa, mantra-mantra
terucap meski dalam gumam
II
kutuklah aku jadi batu, dari celah kabut kau berteriak
meski suaramu tak senyaring tukang azan
tapi angin memapah jasadmu ke tempat keramat
hingga tak bersisa segala yang kau risaukan
dan nyanyian kotamu jadi langgam
bagi yang tak pernah setia menziaruhi
hidup yang tak berdegub
Ritus Kehilangan
hujan sepotong-sepotong
melubangi genting kamarku
seperti malam malam sebelumnya udara masih beku
angin pun seperti malas menyingkap tirai jendela
udara membeku antara ventilasi, pintu
hingga dini hari sepi bergelayut
kabut mengendap
di ranting hatiku yang limbung
Rumah Singgah
anas, nunu, iqbal dan harmono
kilatan mata pedang mencuat dari
jantung hari-harimu, dari sebuah rumah
yang kosong pecahan-pecahan kaca
yang berserak pada retakan lantai
menjelma peta:
jalur-jalur terus membenam
dalam kelokan jalan yang tak pernah kau tahu
arah dan tujuan
hiduplah kau di rumah tak berpenghuni
di mana segala asal mula jadi seserpih kisah pedih
pengembara yang berpeluh letih
meniti landai hari memasuki rumah sunyi-
kosong dan hampa!
Tepi Kali Bedog, 060210
*) Lahir dan besar di Madura. Menulis puisi dan cerpen. Puisi dan cerpennya terkumpul dalam antologi bersama. Buku kumpulan cerpennya Mata Blater, 2010. Kini bermukim di Tepi Kali Bedog, Jogjakarta.
Puisi-Puisi Akhmad Fatoni
http://www.surabayapost.co.id/
Jauh
jauh sebelum kau menaburi tamanku dengan bunga-bunga
airmata, aku telah merasakan ketakutan
yang menjamah tubuhku ini
dengan hati yang tak lagi seindah
senyuman di bibirmu
jauh sebelum kau meninggalkanku
pesakitan telah bersemayam di tubuhku,
di kepalaku, dan kau datang membisikkan
suara yang lirih di telingaku
karena kau takut kebohonganmu
didengarkan telinga-telinga di sekelingmu
Gemigil di Tuban
Kasri, kau menuai api yang
memanas, nian sungguh kau dekat dengan malang
air, genang, dan penyakit
datang menyapa dengan bertubi
mirip mendung yang tak kuat menahan air
dan menjadikannya hujan
sungguh ingin aku memelukmu Kasri
memeluk dengan iba
dan dentum yang menggema
membawa baju, sekardus mi instan, dan obat-obat
yang di jual murah di apotek-apotek
sungguh mereka tak
kasihan melihat Kasri, semua di telan dan
di masukkan kantong dengan diam-diam
dan mulai gusar ketika ATM di bobol beruntun
dengan manis dan sangat ritmis
mereka tak bisa tidur
tiap malam mengerang dan membayangkan uang
sampai mata mereka merah seperti
mata merah Kasri yang terundang
suara sumbang rumah, kasur, kursi, TV, semua terbawa
air,
Kasri, aku hanya mampu
menuliskan puisi, untuk melayangkan derita dan pergi tertiup angin
31 Januari 2010
Lelaki yang menari
ia datang dengan seutas senyum
dan memanggul tas hitam di pundaknya
tanpa bunyi ia menyapa lantai dengan
sepatunya.
dan dengan kacamata merah
ia duduk bersandar melahirkan anak-anak
yang akan membawanya pulang
pulang di awal bulan tanpa
oleh-oleh sebab upah belum kunjung keluar
lelaki itu tetap saja tersenyum
senyum dengan parfum yang
menyelimuti tubuhnya
membuat dirinya sewangi parfum
yang membawa angan gentayangan
“selamat malam, semoga air tak membuatku terlambat datang”
ujarku padanya malam itu
lalu aku pergi dan tinggal di dalam kata-kata yang tak
terpaksa di akhiri karena deadline koran yang harus terbit pagi.
31 Januari 2010
Akhmad Fatoni, lahir dan tinggal di Mojokerto.
Jauh
jauh sebelum kau menaburi tamanku dengan bunga-bunga
airmata, aku telah merasakan ketakutan
yang menjamah tubuhku ini
dengan hati yang tak lagi seindah
senyuman di bibirmu
jauh sebelum kau meninggalkanku
pesakitan telah bersemayam di tubuhku,
di kepalaku, dan kau datang membisikkan
suara yang lirih di telingaku
karena kau takut kebohonganmu
didengarkan telinga-telinga di sekelingmu
Gemigil di Tuban
Kasri, kau menuai api yang
memanas, nian sungguh kau dekat dengan malang
air, genang, dan penyakit
datang menyapa dengan bertubi
mirip mendung yang tak kuat menahan air
dan menjadikannya hujan
sungguh ingin aku memelukmu Kasri
memeluk dengan iba
dan dentum yang menggema
membawa baju, sekardus mi instan, dan obat-obat
yang di jual murah di apotek-apotek
sungguh mereka tak
kasihan melihat Kasri, semua di telan dan
di masukkan kantong dengan diam-diam
dan mulai gusar ketika ATM di bobol beruntun
dengan manis dan sangat ritmis
mereka tak bisa tidur
tiap malam mengerang dan membayangkan uang
sampai mata mereka merah seperti
mata merah Kasri yang terundang
suara sumbang rumah, kasur, kursi, TV, semua terbawa
air,
Kasri, aku hanya mampu
menuliskan puisi, untuk melayangkan derita dan pergi tertiup angin
31 Januari 2010
Lelaki yang menari
ia datang dengan seutas senyum
dan memanggul tas hitam di pundaknya
tanpa bunyi ia menyapa lantai dengan
sepatunya.
dan dengan kacamata merah
ia duduk bersandar melahirkan anak-anak
yang akan membawanya pulang
pulang di awal bulan tanpa
oleh-oleh sebab upah belum kunjung keluar
lelaki itu tetap saja tersenyum
senyum dengan parfum yang
menyelimuti tubuhnya
membuat dirinya sewangi parfum
yang membawa angan gentayangan
“selamat malam, semoga air tak membuatku terlambat datang”
ujarku padanya malam itu
lalu aku pergi dan tinggal di dalam kata-kata yang tak
terpaksa di akhiri karena deadline koran yang harus terbit pagi.
31 Januari 2010
Akhmad Fatoni, lahir dan tinggal di Mojokerto.
Puisi-Puisi Kurniawan Junaedhie
http://www.jurnalnasional.com/
Keluarga Bahagia Ketika Hujan di Hari Minggu
Hujan di pagi hari menyebalkan. Aku menarik selimut sampai dagu. Tanganku kelu di bawah bantal. Istri dan anak-anak sudah mandi. Ke Mal, teriak mereka. Jendela tidak bohong. Kaca penuh embun. Selebihnya kabut. Aku menarik selimut sampai kepala. Tanganku berputar ke arah guling. Istri dan anak-anak sudah mandi. Ke Mal, teriak mereka. Aku menarik selimut menutup kepalaku. Gelap dalam selimut. Anak istriku ikut masuk ke dalam selimut. Istriku meninju guling. Anak-anak meninju mukaku. Aku tidak bohong. Kami keluarga bahagia.
2010
Kata-Kata Yang Ditimpuk Air Hujan
-penyair han
Aku mencelup dalam hujan. Tubuhku kuyup. Han di mana? Di bawah genting? Aku mencopot jas hujan. Celana dan bajuku basah. Han! Kupanggil dia. Dia bergantung di bawah ranting yang dibalut air hujan. Seperti embun. Heran. Orang-orang membicarakan orang lain. Han pacaran sama Gusti. Ngurah sama Dewi. Ines sama Saut. Orang-orang itu mestinya masuk ke dalam air hujan. Lidah mereka harusnya digunting. Supaya kata-kata mereka digelontorkan dalam got. Perut jadi bersih. Eh, Han di mana? Di bawah genting? Han! Kupanggil dia. Suaraku masuk ke dalam saluran air got di bawah tanah, terus melaju kencang, menyelinap dalam gorong-gorong, dan menyembul di jalan tol. Han, seruku. Tapi suaraku ditimpuk air hujan.
Jan. 2010
Kambing & Kucing di Tengah Hujan
-Opung Saut
Kambing bisa kuyup karena hujan. Tapi kucing bergelung di kasur yang hangat. Salahnya jadi kambing, kata kucing. Kalau aku jadi kambing, aku pilih berteduh di bawah pohon pisang. Indahnya hidup bisa melihat air memantul-mantul dari helai-helai daun. Kambing itu terdengar mengembik. Ia makin kisut dalam kuyup hujan. Ia seperti membiarkan dirinya terjerat air tergenang. Kucing masuk ke dalam bantal. Ia menatap bulan Januari dari balik selimut. Kabut hujan tampak di kaca jendela. Kambing itu terdengar mengembik. Bulunya makin pipih didera hujan. Takdir kambing, kata kucing.
2010
Pohon Tumbang Karena Hujan
Pohon itu tumbang karena hujan. Sebelum siang putik-putik bunga yang meliputi pohon itu berguguran. Disusul daun-daun rontok bergulingan di jalanan. Lalu beberapa buah jatuh pelan-pelan. Beberapa menimpa para pejalan. Kalau aku jadi penyair, aku ingin melukiskan pemandangan pohon itu, gumam seorang tukang cukur yang sedang mencukur di bawah pohon. Kalau ranting dan dahannya boleh ditebang, aku ingin menjadikannya kayu bakar, kata orang yang dicukur. Setelah sore, ketika tukang cukur pulang, hujan menderas dengan kencang. Dahan dan ranting pohon patah dan daun-daunnya berserakan di jalanan. Lalu kilat menyambar, angin berkesiur. Pohon itu ranggas, sebelum tersungkur. Akarnya menyeruak di trotoar ditimpa hujan.
2010
Mimpi Kucing Jadi Hujan
Kucing itu bermimpi jadi hujan. Hujan yang bisa meloncat-loncat seperti katak. Agar dia tidak perlu mengeong bila melihat anjing. Mungkin cukup menjerit, atau melengking. Dia juga merasa tak perlu bergelung di balik keset, dan berjemur di genting kalau udara dingin. Ia hanya ingin melingkarkan ekornya dalam kabut. Ia hanya ingin hidungnya mengendus pohon. Ia hanya ingin kakinya bisa melompat ke atas meja, lalu tangannya menyentuh langit. Ia merasa, hujan itu eksotis dan sengit. Seperti Tuhan sedang memainkan benang jahit. Ia begitu terpesona pada impiannya. Maka ia menggelembungkan impiannya jadi kenyataan. Ia menjadi hujan sungguhan. Ia pun menderas sungguhan dan melompat-lompat sungguhan. Seperti sajak tentang seekor kucing.
2010
Keluarga Bahagia Ketika Hujan di Hari Minggu
Hujan di pagi hari menyebalkan. Aku menarik selimut sampai dagu. Tanganku kelu di bawah bantal. Istri dan anak-anak sudah mandi. Ke Mal, teriak mereka. Jendela tidak bohong. Kaca penuh embun. Selebihnya kabut. Aku menarik selimut sampai kepala. Tanganku berputar ke arah guling. Istri dan anak-anak sudah mandi. Ke Mal, teriak mereka. Aku menarik selimut menutup kepalaku. Gelap dalam selimut. Anak istriku ikut masuk ke dalam selimut. Istriku meninju guling. Anak-anak meninju mukaku. Aku tidak bohong. Kami keluarga bahagia.
2010
Kata-Kata Yang Ditimpuk Air Hujan
-penyair han
Aku mencelup dalam hujan. Tubuhku kuyup. Han di mana? Di bawah genting? Aku mencopot jas hujan. Celana dan bajuku basah. Han! Kupanggil dia. Dia bergantung di bawah ranting yang dibalut air hujan. Seperti embun. Heran. Orang-orang membicarakan orang lain. Han pacaran sama Gusti. Ngurah sama Dewi. Ines sama Saut. Orang-orang itu mestinya masuk ke dalam air hujan. Lidah mereka harusnya digunting. Supaya kata-kata mereka digelontorkan dalam got. Perut jadi bersih. Eh, Han di mana? Di bawah genting? Han! Kupanggil dia. Suaraku masuk ke dalam saluran air got di bawah tanah, terus melaju kencang, menyelinap dalam gorong-gorong, dan menyembul di jalan tol. Han, seruku. Tapi suaraku ditimpuk air hujan.
Jan. 2010
Kambing & Kucing di Tengah Hujan
-Opung Saut
Kambing bisa kuyup karena hujan. Tapi kucing bergelung di kasur yang hangat. Salahnya jadi kambing, kata kucing. Kalau aku jadi kambing, aku pilih berteduh di bawah pohon pisang. Indahnya hidup bisa melihat air memantul-mantul dari helai-helai daun. Kambing itu terdengar mengembik. Ia makin kisut dalam kuyup hujan. Ia seperti membiarkan dirinya terjerat air tergenang. Kucing masuk ke dalam bantal. Ia menatap bulan Januari dari balik selimut. Kabut hujan tampak di kaca jendela. Kambing itu terdengar mengembik. Bulunya makin pipih didera hujan. Takdir kambing, kata kucing.
2010
Pohon Tumbang Karena Hujan
Pohon itu tumbang karena hujan. Sebelum siang putik-putik bunga yang meliputi pohon itu berguguran. Disusul daun-daun rontok bergulingan di jalanan. Lalu beberapa buah jatuh pelan-pelan. Beberapa menimpa para pejalan. Kalau aku jadi penyair, aku ingin melukiskan pemandangan pohon itu, gumam seorang tukang cukur yang sedang mencukur di bawah pohon. Kalau ranting dan dahannya boleh ditebang, aku ingin menjadikannya kayu bakar, kata orang yang dicukur. Setelah sore, ketika tukang cukur pulang, hujan menderas dengan kencang. Dahan dan ranting pohon patah dan daun-daunnya berserakan di jalanan. Lalu kilat menyambar, angin berkesiur. Pohon itu ranggas, sebelum tersungkur. Akarnya menyeruak di trotoar ditimpa hujan.
2010
Mimpi Kucing Jadi Hujan
Kucing itu bermimpi jadi hujan. Hujan yang bisa meloncat-loncat seperti katak. Agar dia tidak perlu mengeong bila melihat anjing. Mungkin cukup menjerit, atau melengking. Dia juga merasa tak perlu bergelung di balik keset, dan berjemur di genting kalau udara dingin. Ia hanya ingin melingkarkan ekornya dalam kabut. Ia hanya ingin hidungnya mengendus pohon. Ia hanya ingin kakinya bisa melompat ke atas meja, lalu tangannya menyentuh langit. Ia merasa, hujan itu eksotis dan sengit. Seperti Tuhan sedang memainkan benang jahit. Ia begitu terpesona pada impiannya. Maka ia menggelembungkan impiannya jadi kenyataan. Ia menjadi hujan sungguhan. Ia pun menderas sungguhan dan melompat-lompat sungguhan. Seperti sajak tentang seekor kucing.
2010
Puisi-Puisi Ahmad Kekal Hamdani*
http://www.sastra-indonesia.com/
Di Eriberne
I
Di eriberne, rindu dan darah jadi batu
sunyi meminang terumbu dan kuali-kuali
yang tak tertampung perihnya
Di eriberne, kota asing dalam diriku
dimana rembulan pecah dan berwarna biru
yang sakit. kuigaukan jemarimu
melambai pada tikungan, dari setiap kemungkinan
tentang ingatan
Di eriberne, di kota dalam diriku
para serdadu dengan melepas sepatu
telah memeluk tiang-tiang jalan. jalan yang menulis
jalan-jalan berkesiur pada kenangan. jalan bahasaku padamu
II
Di eriberne, di kota yang tak siang itu
orang-orang menampung air mata
melipat tapak yang terkibas dan terlepas
Di eriberne, di jantung rinduku
kota dengan raut masa kanak
dan usia yang bergelayut sedih
di tiang lelampu
kelak kunyalakan namamu
Yogyakarta, 2009
Nama
Daun yang tanggal ketanah hendak mengenang seluruh pertanda
tentang keabadian, disana aku mencarimu lewat sebuah nama
Lewat nafas yang mengendus, membaca seluruh ayat
- jam dinding tak henti berdetak
Kamarku lebih sepi dari hatiku
aku mencarimu lewat sebuah nama
angin cemas, bulan terseok di pojok langit
aku lapuk digugur usia
kutemukan:
semesta membaca namamu di dadaku
Pamekasan, 2007
Daun Kering
Sehalai daun memutuskan untuk berpisah dari rantingnya,
angin yang tak mengenalnya, menerbangkannya menyusuri route – dan
membelah udara, lalu terjerembab di comberan
Ia ingin pulang
Pamekasan-Sumenep 2007
Perempuan Kecil dan Nama Hari Sebelum Kamis Kelabu
Begitulah, seperti biasa ketika senja kuning lindap
ia teteskan nama-nama hari dari matanya itu ke sebuah buku
di mana biasanya dicatatnya juga peluhmu yang membatu
dan tak sempat melambai, di situ ia tanam ringkih tanpa suara
ia pendam mataair dari ricik hatinya:
Pelahan, dengan teramat ia begitu
Bangka, 2009
*) Salah satu buku kumpulan puisinya “Rembulan Di Taman Kabaret” terbitan PondokMas Publishing Yogyakarta, 2009.
Di Eriberne
I
Di eriberne, rindu dan darah jadi batu
sunyi meminang terumbu dan kuali-kuali
yang tak tertampung perihnya
Di eriberne, kota asing dalam diriku
dimana rembulan pecah dan berwarna biru
yang sakit. kuigaukan jemarimu
melambai pada tikungan, dari setiap kemungkinan
tentang ingatan
Di eriberne, di kota dalam diriku
para serdadu dengan melepas sepatu
telah memeluk tiang-tiang jalan. jalan yang menulis
jalan-jalan berkesiur pada kenangan. jalan bahasaku padamu
II
Di eriberne, di kota yang tak siang itu
orang-orang menampung air mata
melipat tapak yang terkibas dan terlepas
Di eriberne, di jantung rinduku
kota dengan raut masa kanak
dan usia yang bergelayut sedih
di tiang lelampu
kelak kunyalakan namamu
Yogyakarta, 2009
Nama
Daun yang tanggal ketanah hendak mengenang seluruh pertanda
tentang keabadian, disana aku mencarimu lewat sebuah nama
Lewat nafas yang mengendus, membaca seluruh ayat
- jam dinding tak henti berdetak
Kamarku lebih sepi dari hatiku
aku mencarimu lewat sebuah nama
angin cemas, bulan terseok di pojok langit
aku lapuk digugur usia
kutemukan:
semesta membaca namamu di dadaku
Pamekasan, 2007
Daun Kering
Sehalai daun memutuskan untuk berpisah dari rantingnya,
angin yang tak mengenalnya, menerbangkannya menyusuri route – dan
membelah udara, lalu terjerembab di comberan
Ia ingin pulang
Pamekasan-Sumenep 2007
Perempuan Kecil dan Nama Hari Sebelum Kamis Kelabu
Begitulah, seperti biasa ketika senja kuning lindap
ia teteskan nama-nama hari dari matanya itu ke sebuah buku
di mana biasanya dicatatnya juga peluhmu yang membatu
dan tak sempat melambai, di situ ia tanam ringkih tanpa suara
ia pendam mataair dari ricik hatinya:
Pelahan, dengan teramat ia begitu
Bangka, 2009
*) Salah satu buku kumpulan puisinya “Rembulan Di Taman Kabaret” terbitan PondokMas Publishing Yogyakarta, 2009.
Puisi-Puisi W. Haryanto
http://www.jawapos.com/
MALAM BULAN JULI
Embun terputus ke pinggir gapura: kupu-kupu berbagi
peran dengan bayangan, masjid yang terkurung penat
dengan tanda koma. Ketika malam habis, rambutnya
merentang memungut bulan yatim piatu,
lama ia menghibur diri dan lekat dengan perpindahan,
ia seperti kekasih yang iseng dengan bunga kertas,
sebelum pagi, ia seperti sepi, ia mata yang tak berpaling
cuma tatapan yang licik, lalu menyingkir ke pinggir subuh
seperti warna Juli yang gelisah. Ketika malam tinggal setitik
pada jambangan bunga, ia seolah menjauh dari kampung,
warnanya tak mau bicara, tinggal buih, tinggal kepulan
teramat getir ia mendengar debar subuh,
tak cukup tema dalam pelariannya. Ketika pagi datang
ia mengeras lalu tersekap dekat semak, malam bulan Juli
cuma arang yang pura-pura menekuni catatan cinta
ia terdampar dalam kata, janji yang kecut dan ia berbisik,
”aku buta dan tak tahu bedakan rasa” — ia larut,
prenjak tak mau meraba, ia cuma perpindahan warna,
di seberang: ketika selat usai di jam 3 dini hari,
ia tak berkenalan dengan dunia, ia jauh dari daratan,
sejenak rindu, sejenak curiga
kepada subuh. ia seperti sebuah komedi,
ia tak menyangka jika ingatan bisa dikubur dalam pasir,
di malam bulan Juli telah habis lampu di meja, selebihnya,
cuma lenguhan…
(2009)
KERONCONG BURUNG
1
keroncong itu mati dekat sumur. Alpa,
seperti jalan pasir
setiap pagi. Tak ada berita yang luang,
kepadaku: perahu-perahu lepas tambatan,
begitu samar tatap kelasi….
laut itu…
aku ingin muda, gigih dibakar pada dinding,
lalu teriak lantang, ”tak cukup besok,
akh, janjimu melulu gincu,” maka aku
tak lagi bertanya,
adakah kenyataan makin surut
dengan kepala tertunduk?
Telah habis kata…
ketika datang separo bulan. Lata
yang bubuhkan warna luang lewat mata
kelewat jalang: TIDAK. Ini bukan kepekaan
yang menyulut kemudi
menyisir pantai penat, pelabuhan-pelabuhan
dengan kincir, burung-burung hitam dari
alam lain. Keroncong itu
terputus. Tanpa penghubung. Tinggal kini
aku ingin menyentuh kesalahan
kesalahan kecil, saling berpaling muka
pada kedai, lalu merasa kehilangan
seperti dulu. Matahari kuning tua,
”akh, pelarian ini –kadang
tertinggal dalam kamar. Tak punya surga,
ya, semalam itu, aku menjadi tekun
bersama orang-orang kakilima
– memutar kincir. Sampai tua,
lalu sia-sia.”
2
Lebih dekat aku pada angin, lama, lalu terberai
dalam pecahan-pecahan gelap: tak pernah genap
muatan dan kesan. Kota pertama
bahkan tak tertera, sajak ini, pilihan ini
tak tenang memilih kata,
aku bahkan tak menuliskankannya: kau
enggan pada esok, jangan bayangkan aku berdiri
pada kesan itu, kau segera gusar pada warna
warna yang kububuhkan. Dekat Beringharjo
mungkin kau tak suka mendengar
bunyi cambuk. Lalu anjing-anjing hutan
menemukan separuh bulan
yang telungkup. Kesepianku. Masih
karena arah yang tak pasti,
kadang dengan acuh
aku seperti tak sengaja
memilihkanmu
satu rangkaian
kepastian. Dan selalu ada
sebelum musim terbiasa
meniadakan. TIDAK. Karena tak kumau
berkarib pada nadamu yang luang
atau kain yogyamu yang mengekang,
Tentu karena pilihanku lebih
lencir bersama orang-orang gardu
memutar kartu.
(Yogya, 2005)
LAGU GUNUNG
buat Tengsoe Tjahjono
Bergegas, sepi mencapai kavaleri
yang mual dan bersorak
cinta dan sihir; anak-anak ternak dengan
pandangan yang patahkan
letak mendung
kita kendalikan arah lava
sampai ke urat-uratnya
10 tahun usai janji diingkari
batu-batu yang tak beruntung
bertahun-tahun,
”ada pesan gemuruh
yang memisahkan kita dari rindu
anak sekolah: trembesi di ujung jalan
dan kita tarikan Syiva
senantiasa hijau. Letak pasir. Langkah
langkah kita, subuh terakhir
yang lama didiamkan.”
(Ngagel, 16 April 2006)
NUN
Maut!
Bulan bimbang dikecupmu
Tak cukupkah?
Maut!
Pucuk-pucuk tebu direngkuhmu
Tak damaikah?
Maut!
Bila terpandang kabut di dahimu
Tak cintakah?
(2004)
*) Lahir di Surabaya 1972. Alumnus Fakultas Sastra Universitas Airlangga ini menulis puisi, esei, dan naskah drama. Bekerja di Balai Bahasa Surabaya.
MALAM BULAN JULI
Embun terputus ke pinggir gapura: kupu-kupu berbagi
peran dengan bayangan, masjid yang terkurung penat
dengan tanda koma. Ketika malam habis, rambutnya
merentang memungut bulan yatim piatu,
lama ia menghibur diri dan lekat dengan perpindahan,
ia seperti kekasih yang iseng dengan bunga kertas,
sebelum pagi, ia seperti sepi, ia mata yang tak berpaling
cuma tatapan yang licik, lalu menyingkir ke pinggir subuh
seperti warna Juli yang gelisah. Ketika malam tinggal setitik
pada jambangan bunga, ia seolah menjauh dari kampung,
warnanya tak mau bicara, tinggal buih, tinggal kepulan
teramat getir ia mendengar debar subuh,
tak cukup tema dalam pelariannya. Ketika pagi datang
ia mengeras lalu tersekap dekat semak, malam bulan Juli
cuma arang yang pura-pura menekuni catatan cinta
ia terdampar dalam kata, janji yang kecut dan ia berbisik,
”aku buta dan tak tahu bedakan rasa” — ia larut,
prenjak tak mau meraba, ia cuma perpindahan warna,
di seberang: ketika selat usai di jam 3 dini hari,
ia tak berkenalan dengan dunia, ia jauh dari daratan,
sejenak rindu, sejenak curiga
kepada subuh. ia seperti sebuah komedi,
ia tak menyangka jika ingatan bisa dikubur dalam pasir,
di malam bulan Juli telah habis lampu di meja, selebihnya,
cuma lenguhan…
(2009)
KERONCONG BURUNG
1
keroncong itu mati dekat sumur. Alpa,
seperti jalan pasir
setiap pagi. Tak ada berita yang luang,
kepadaku: perahu-perahu lepas tambatan,
begitu samar tatap kelasi….
laut itu…
aku ingin muda, gigih dibakar pada dinding,
lalu teriak lantang, ”tak cukup besok,
akh, janjimu melulu gincu,” maka aku
tak lagi bertanya,
adakah kenyataan makin surut
dengan kepala tertunduk?
Telah habis kata…
ketika datang separo bulan. Lata
yang bubuhkan warna luang lewat mata
kelewat jalang: TIDAK. Ini bukan kepekaan
yang menyulut kemudi
menyisir pantai penat, pelabuhan-pelabuhan
dengan kincir, burung-burung hitam dari
alam lain. Keroncong itu
terputus. Tanpa penghubung. Tinggal kini
aku ingin menyentuh kesalahan
kesalahan kecil, saling berpaling muka
pada kedai, lalu merasa kehilangan
seperti dulu. Matahari kuning tua,
”akh, pelarian ini –kadang
tertinggal dalam kamar. Tak punya surga,
ya, semalam itu, aku menjadi tekun
bersama orang-orang kakilima
– memutar kincir. Sampai tua,
lalu sia-sia.”
2
Lebih dekat aku pada angin, lama, lalu terberai
dalam pecahan-pecahan gelap: tak pernah genap
muatan dan kesan. Kota pertama
bahkan tak tertera, sajak ini, pilihan ini
tak tenang memilih kata,
aku bahkan tak menuliskankannya: kau
enggan pada esok, jangan bayangkan aku berdiri
pada kesan itu, kau segera gusar pada warna
warna yang kububuhkan. Dekat Beringharjo
mungkin kau tak suka mendengar
bunyi cambuk. Lalu anjing-anjing hutan
menemukan separuh bulan
yang telungkup. Kesepianku. Masih
karena arah yang tak pasti,
kadang dengan acuh
aku seperti tak sengaja
memilihkanmu
satu rangkaian
kepastian. Dan selalu ada
sebelum musim terbiasa
meniadakan. TIDAK. Karena tak kumau
berkarib pada nadamu yang luang
atau kain yogyamu yang mengekang,
Tentu karena pilihanku lebih
lencir bersama orang-orang gardu
memutar kartu.
(Yogya, 2005)
LAGU GUNUNG
buat Tengsoe Tjahjono
Bergegas, sepi mencapai kavaleri
yang mual dan bersorak
cinta dan sihir; anak-anak ternak dengan
pandangan yang patahkan
letak mendung
kita kendalikan arah lava
sampai ke urat-uratnya
10 tahun usai janji diingkari
batu-batu yang tak beruntung
bertahun-tahun,
”ada pesan gemuruh
yang memisahkan kita dari rindu
anak sekolah: trembesi di ujung jalan
dan kita tarikan Syiva
senantiasa hijau. Letak pasir. Langkah
langkah kita, subuh terakhir
yang lama didiamkan.”
(Ngagel, 16 April 2006)
NUN
Maut!
Bulan bimbang dikecupmu
Tak cukupkah?
Maut!
Pucuk-pucuk tebu direngkuhmu
Tak damaikah?
Maut!
Bila terpandang kabut di dahimu
Tak cintakah?
(2004)
*) Lahir di Surabaya 1972. Alumnus Fakultas Sastra Universitas Airlangga ini menulis puisi, esei, dan naskah drama. Bekerja di Balai Bahasa Surabaya.
Puisi-Puisi Indra Tjahyadi
http://www.suarakarya-online.com/
KESENDIRIAN
- fransisca romana ninik
Kesendirian menguntit.
Kelam merangkak sepanjang jalan menjelma jembalang,
menghisap darah yang bertetesan dari jejak.
Dari kedua bola mataku rabun,
kesunyian meluncur bak burung
bersayap muram yang meledakkan mendung.
“Kesunyian itu, cintaku, adalah bulan memar menyoroti
malam-malamku dengan bara hitam yang diletupkan
ingatan tentangmu.”
Seluruh badai yang pernah dicurahkan
kini berpulang pada bisu.Maka iklim pun mencatat riwayatku
sebagai kesepian pohon,pohon yang dihidupkan jam-jam larut.
Ingin kupeluk tubuhmu,
tapi dalam kalbu hanya pahit,
hanya sakit menggerutup, menjalar di
segenap tulang dan nadiku.
“inikah duka, cintaku,
lagu yang tercipta dari
segenap perih dan airmata mengemuruh?”
Aku jasad murung. Dilupakan mazmur,
dihujati kubur.
Dalam hampa musim dan senyap tahun,
kesendirian menguntitku dengan
sebilah lengan terayun,
siap menujahkan parang ke dadaku.
2007-2008.
MAYAT TEGAK
Mayatku yang tegak ditabuhi rindu
berserah pada pilu.Jejak jejak mendung bergerak
ke arah murung lengkap-membusuk, diliuri belatung.
Aku pernah punya janji denganmu:
pipi muda halus gembul yang menggaungkan mazmur
di malam-malam tugur.Tapi di kota ini,
angin terlanjur berbalik arah. Dan janji yang pernah
terucap dalam setubuh tak lebih dari tahun-tahun
lewat yang tergeletak
tenang di dasar laut: lamat-lamat hanyut. Pudar.
Dalam debur ombak menabrak terumbu.Bila iklim dingin turun
membawa ingatan wajahmu jam di dinding kusam kamarku
akan berhenti berdetak,
lantas ruang pun
hanya tinggal diam dengan jendela-jendela terbuka menghadap
lengang jalan. Kiranya, akan kutinggal
perasaan segala perasaan! dekat perairan kelabu yang
memberikan segala kemungkinan bagi perih
bagi sunyi bagi puisiku.”Kini aku tak membutuhkan
apa-apa lagi, kasihku” Di sebuah rumah. Di sebuah pekuburan.
Di selatan pelabuhan, mayatku yang tegak ditabuhi rindu
hidup bagai patung, menatap waktu, menatap kengangaan.
Makin pekat. Makin lekat pada hancur.
2007-2008.
MAYAT PURBA
Dalam lengang mayatku yang purba
dikirab derita. Parade musim terjangak
memampangkan nyeri roh
tak berakherat. Kupenuhi angkasa dengan bulan,
dengan gerhana,
dengan kegelapan yang menerompetkan
kemasygulan. Aku mayat purba. Di segala rute,
di segala arah,
di segala perjalanan yang kutemukan
selalu hanya bayang-bayang mengerak.Maka bagiku tak ada
yang akan selamat dari segala senyap,
segala kesuntukan.
Di tanah tak bernama,
aku menjelma kilau suar, menakwilkan requim termuram.
Ah sulur-sulur hujan yang pahit-menikam adalah
rasa sakitku yang bergerai-gersang,
senantiasa ditiupi angin dan kemilau
gemintang. Aku mayat purba. Kejahatanku garang, mengibarkan
bendera hitam kematian. Lantas maut dalam hidup pun
bertumbuhan di kepalaku penuh uban.
Di semesta hampa, nafasku hilang rupa,
jasadku tertidur pulas dalam buai peluk sekarat.
O aku berjalan balik arah bak doa-doa rabun yang dilepaskan
daun dan rerontokan. Aku mayat purba.
Mimpiku berlambang tengkorak
berwarna kemerahan. Sajakku perih sepekat darah.
Sukmaku kekal terdampar di kerak Neraka.
Terus menggeram. Terus menembaki kekosongan.
2007-2008.
BENDERA DUKACITA
Malam yang menghijau,
lebih hijau ketimbang bayangan.
Ranjang yang ditinggalkan kenangan
membersitkan ledakan. Dalam rasa lapar dan kesunyian,
tapak kakiku menjejak jarak dan keperihan. Abad-abad runyam
menggerongsongkan kesumat.
Bersama waktu dan ketiadaan,
arwahku yang bisu berjalan menuju langit. Murung. Sendiri.
Mengilaukan kegelapan. Bayang-bayangku menjelma burung raib,
lebih gaib ketimbang ingatan. Seteguk jeda tak bersudahan
mendesakkan sihir arus bawah air kematian.
Penampakanku menjelma pekik,
sepanjang lorong muram kerinduan,
gentayangan, menjelma jembalang, menjadi dendam.
“Ah, payudaramu yang remaja, sayang,
kusimpan rapih dalam benak,
kujilati dalam sajak.”
Dari derita ke derita
kuacungkan sebilah parang.
Gempa dan gema kuciptakan dari sembarang sekarat.
Dari segala kiamat. Igauanku tumbuh bersama luka.
Bersama derita. Kuubah segala bunyi jadi batu.
Jadi diam berpanjangan.
Kurumpangkan pohon. Kukangkangi kepedihan.
Sekelebat detak jam meluncur di atapatap rumah,
memisuhkan keheningan.
Mula dari seluruh takjub dan kesepian
mengelebatkan halilintar. Lewat sekutip nyawa
yang dilalaikan Sorga kurontokkan bebintang.
Di dasar jejurang kelam sosokku sirna.
Pudar bagai kenangan.
Kekal mengibarkan bendera dukacita.
2007-2008.
KESENDIRIAN
- fransisca romana ninik
Kesendirian menguntit.
Kelam merangkak sepanjang jalan menjelma jembalang,
menghisap darah yang bertetesan dari jejak.
Dari kedua bola mataku rabun,
kesunyian meluncur bak burung
bersayap muram yang meledakkan mendung.
“Kesunyian itu, cintaku, adalah bulan memar menyoroti
malam-malamku dengan bara hitam yang diletupkan
ingatan tentangmu.”
Seluruh badai yang pernah dicurahkan
kini berpulang pada bisu.Maka iklim pun mencatat riwayatku
sebagai kesepian pohon,pohon yang dihidupkan jam-jam larut.
Ingin kupeluk tubuhmu,
tapi dalam kalbu hanya pahit,
hanya sakit menggerutup, menjalar di
segenap tulang dan nadiku.
“inikah duka, cintaku,
lagu yang tercipta dari
segenap perih dan airmata mengemuruh?”
Aku jasad murung. Dilupakan mazmur,
dihujati kubur.
Dalam hampa musim dan senyap tahun,
kesendirian menguntitku dengan
sebilah lengan terayun,
siap menujahkan parang ke dadaku.
2007-2008.
MAYAT TEGAK
Mayatku yang tegak ditabuhi rindu
berserah pada pilu.Jejak jejak mendung bergerak
ke arah murung lengkap-membusuk, diliuri belatung.
Aku pernah punya janji denganmu:
pipi muda halus gembul yang menggaungkan mazmur
di malam-malam tugur.Tapi di kota ini,
angin terlanjur berbalik arah. Dan janji yang pernah
terucap dalam setubuh tak lebih dari tahun-tahun
lewat yang tergeletak
tenang di dasar laut: lamat-lamat hanyut. Pudar.
Dalam debur ombak menabrak terumbu.Bila iklim dingin turun
membawa ingatan wajahmu jam di dinding kusam kamarku
akan berhenti berdetak,
lantas ruang pun
hanya tinggal diam dengan jendela-jendela terbuka menghadap
lengang jalan. Kiranya, akan kutinggal
perasaan segala perasaan! dekat perairan kelabu yang
memberikan segala kemungkinan bagi perih
bagi sunyi bagi puisiku.”Kini aku tak membutuhkan
apa-apa lagi, kasihku” Di sebuah rumah. Di sebuah pekuburan.
Di selatan pelabuhan, mayatku yang tegak ditabuhi rindu
hidup bagai patung, menatap waktu, menatap kengangaan.
Makin pekat. Makin lekat pada hancur.
2007-2008.
MAYAT PURBA
Dalam lengang mayatku yang purba
dikirab derita. Parade musim terjangak
memampangkan nyeri roh
tak berakherat. Kupenuhi angkasa dengan bulan,
dengan gerhana,
dengan kegelapan yang menerompetkan
kemasygulan. Aku mayat purba. Di segala rute,
di segala arah,
di segala perjalanan yang kutemukan
selalu hanya bayang-bayang mengerak.Maka bagiku tak ada
yang akan selamat dari segala senyap,
segala kesuntukan.
Di tanah tak bernama,
aku menjelma kilau suar, menakwilkan requim termuram.
Ah sulur-sulur hujan yang pahit-menikam adalah
rasa sakitku yang bergerai-gersang,
senantiasa ditiupi angin dan kemilau
gemintang. Aku mayat purba. Kejahatanku garang, mengibarkan
bendera hitam kematian. Lantas maut dalam hidup pun
bertumbuhan di kepalaku penuh uban.
Di semesta hampa, nafasku hilang rupa,
jasadku tertidur pulas dalam buai peluk sekarat.
O aku berjalan balik arah bak doa-doa rabun yang dilepaskan
daun dan rerontokan. Aku mayat purba.
Mimpiku berlambang tengkorak
berwarna kemerahan. Sajakku perih sepekat darah.
Sukmaku kekal terdampar di kerak Neraka.
Terus menggeram. Terus menembaki kekosongan.
2007-2008.
BENDERA DUKACITA
Malam yang menghijau,
lebih hijau ketimbang bayangan.
Ranjang yang ditinggalkan kenangan
membersitkan ledakan. Dalam rasa lapar dan kesunyian,
tapak kakiku menjejak jarak dan keperihan. Abad-abad runyam
menggerongsongkan kesumat.
Bersama waktu dan ketiadaan,
arwahku yang bisu berjalan menuju langit. Murung. Sendiri.
Mengilaukan kegelapan. Bayang-bayangku menjelma burung raib,
lebih gaib ketimbang ingatan. Seteguk jeda tak bersudahan
mendesakkan sihir arus bawah air kematian.
Penampakanku menjelma pekik,
sepanjang lorong muram kerinduan,
gentayangan, menjelma jembalang, menjadi dendam.
“Ah, payudaramu yang remaja, sayang,
kusimpan rapih dalam benak,
kujilati dalam sajak.”
Dari derita ke derita
kuacungkan sebilah parang.
Gempa dan gema kuciptakan dari sembarang sekarat.
Dari segala kiamat. Igauanku tumbuh bersama luka.
Bersama derita. Kuubah segala bunyi jadi batu.
Jadi diam berpanjangan.
Kurumpangkan pohon. Kukangkangi kepedihan.
Sekelebat detak jam meluncur di atapatap rumah,
memisuhkan keheningan.
Mula dari seluruh takjub dan kesepian
mengelebatkan halilintar. Lewat sekutip nyawa
yang dilalaikan Sorga kurontokkan bebintang.
Di dasar jejurang kelam sosokku sirna.
Pudar bagai kenangan.
Kekal mengibarkan bendera dukacita.
2007-2008.
Puisi-Puisi Sunardi KS
http://www.suarakarya-online.com/
Jangan Macam Macam
dan karena batu-batu
dan karena memang batu
lalu cemburu jadi seteru
perang barata yudha
pada jaman batu
oleh batu-batu
bermimpi di ranjang tidurmu
dipanggung angan-angan
runtuhnya awan
langit penuh bintang
jadi milik seorang
tak boleh ada yang ikut-ikutan
siku-siku gatal ditajamkan
lirikan ditajamkan
kaki injak-injakan
di bawah meja makan
meski tangan-tangan bersalaman
kuucap selamat datang
selamat menyerahkan
atau mengikhlaskan
meski kau paksakan
jangan banyak kata
kalau tak mau
dimaknai dengan lain bahasa
* Jepara, januari 2010.
Ulat
kerlingan
apakah bermakna
:ada kemenangan
(senantiasa diragukan)
aku ingin laut, aku ingin langit
aku ingin hutan, aku ingin legit
(tempat persembunyian, hutan
jangan sekali-sekali kau nistakan)
aku tak peduli pada mata
pada lidah terus bicara
pada pikiran tajam
pada nurani menyelam
(kau bilang; tembok-tembok
tetapi jangan dipasang gembok
samudera luas, langit luas
daratan luas, kalu bilang lupa)
tak apa-apa
sebab segalanya
aku tak suka serta tertunda
termasuk surga
* Jepara, Januari 2010
Angin Yang Pasrah
angin kian mencecar tembok
tetapi lumut dan debu kian
menebal
angin yang lelah diharap patah
terjungkal ke tanah
barangkali kau akan bosan
punya lidah
hanya geraham menggeretak
barangkali kau akan bosan
punya jemari kotor
lebih baik melipat tangan
batu-batu sering disisihkan
dari jalan
tetapi ada yang kerasan
di atas bantal ranjang tidurmu
mimpi berceceran
orang-orang menyembunyikan jemari
memencet hidung
angin benar-benar lelah
telah panjang sejarah
keculasan tembok tak patah-patah
kau pun berdesahan
tetapi Tuhan telah lahir dari sana
* Jepara, Januari 2010
Ilalang
jangan paksakan angin mengumandangkan ilalang
batang-batang
yang kaku akan mudah patah
biarlah ia menemukan kekuatan
di sela bebatuan menusuki cadas
biarkan ia menemukan
angin lalulalang
menemukan kesegaran impian
rumput-rumput liar
tak mudah kau pindah
ke pot-potmu yang sempit
atau ke taman yang kau buat
dengan tangan
biarlah sebatas kupu atau kumbang
yang datang atas keindahan kembang
tetapi ilalang menemukan ketenangan
di bibir jurang
menjaga longsor tebing
jangan bakar ilalang kering
akan mudah tumbuh di cadas
runcing
* Jepara, Januari 2010
Anjangsana Angin
barangkali wajah kita jadi
kian asing
waktu seperti gasing
dicerca hari-hari dan beban jaman
tak ada sapa
saling melupa dalam jumpa
tak sengaja sia-sia
atau barangkali hanya
klakson atau lampu
menghapus cemburu
ada saja yang jadi guru
di setiap waktu
kita percaya pada ujung jari
tak perlu repot mencari
perjumpaan hilangnya kesempatan
(batu-batu kepergok
berbenturan memercikkan api)
barangkali wajah kita jadi kian asing
waktu seperti gasing
dunia menyempit dalam saku
- jangan terlalu sederhana!
* Jepara, Januari 2010
Jangan Macam Macam
dan karena batu-batu
dan karena memang batu
lalu cemburu jadi seteru
perang barata yudha
pada jaman batu
oleh batu-batu
bermimpi di ranjang tidurmu
dipanggung angan-angan
runtuhnya awan
langit penuh bintang
jadi milik seorang
tak boleh ada yang ikut-ikutan
siku-siku gatal ditajamkan
lirikan ditajamkan
kaki injak-injakan
di bawah meja makan
meski tangan-tangan bersalaman
kuucap selamat datang
selamat menyerahkan
atau mengikhlaskan
meski kau paksakan
jangan banyak kata
kalau tak mau
dimaknai dengan lain bahasa
* Jepara, januari 2010.
Ulat
kerlingan
apakah bermakna
:ada kemenangan
(senantiasa diragukan)
aku ingin laut, aku ingin langit
aku ingin hutan, aku ingin legit
(tempat persembunyian, hutan
jangan sekali-sekali kau nistakan)
aku tak peduli pada mata
pada lidah terus bicara
pada pikiran tajam
pada nurani menyelam
(kau bilang; tembok-tembok
tetapi jangan dipasang gembok
samudera luas, langit luas
daratan luas, kalu bilang lupa)
tak apa-apa
sebab segalanya
aku tak suka serta tertunda
termasuk surga
* Jepara, Januari 2010
Angin Yang Pasrah
angin kian mencecar tembok
tetapi lumut dan debu kian
menebal
angin yang lelah diharap patah
terjungkal ke tanah
barangkali kau akan bosan
punya lidah
hanya geraham menggeretak
barangkali kau akan bosan
punya jemari kotor
lebih baik melipat tangan
batu-batu sering disisihkan
dari jalan
tetapi ada yang kerasan
di atas bantal ranjang tidurmu
mimpi berceceran
orang-orang menyembunyikan jemari
memencet hidung
angin benar-benar lelah
telah panjang sejarah
keculasan tembok tak patah-patah
kau pun berdesahan
tetapi Tuhan telah lahir dari sana
* Jepara, Januari 2010
Ilalang
jangan paksakan angin mengumandangkan ilalang
batang-batang
yang kaku akan mudah patah
biarlah ia menemukan kekuatan
di sela bebatuan menusuki cadas
biarkan ia menemukan
angin lalulalang
menemukan kesegaran impian
rumput-rumput liar
tak mudah kau pindah
ke pot-potmu yang sempit
atau ke taman yang kau buat
dengan tangan
biarlah sebatas kupu atau kumbang
yang datang atas keindahan kembang
tetapi ilalang menemukan ketenangan
di bibir jurang
menjaga longsor tebing
jangan bakar ilalang kering
akan mudah tumbuh di cadas
runcing
* Jepara, Januari 2010
Anjangsana Angin
barangkali wajah kita jadi
kian asing
waktu seperti gasing
dicerca hari-hari dan beban jaman
tak ada sapa
saling melupa dalam jumpa
tak sengaja sia-sia
atau barangkali hanya
klakson atau lampu
menghapus cemburu
ada saja yang jadi guru
di setiap waktu
kita percaya pada ujung jari
tak perlu repot mencari
perjumpaan hilangnya kesempatan
(batu-batu kepergok
berbenturan memercikkan api)
barangkali wajah kita jadi kian asing
waktu seperti gasing
dunia menyempit dalam saku
- jangan terlalu sederhana!
* Jepara, Januari 2010
Puisi-Puisi Gita Nuari
http://www.suarakarya-online.com/
NOL
baiklah, kau telah menulis sunyi di batu itu
yang kemudian kau biarkan digauni lumut dan semut
aku tak menduga ada kabar bahwa menara
yang kau bangun dengan airmata, terbakar tadi malam
orang-orang memadamkannya dengan bersorak
kejam, katamu. keji, kataku
sudah kuhallo berulang kali ponselmu
tapi kesunyian yang kuterima
kau sengaja mencuri suaraku
tapi kau sembunyikan
gairahmu
kosong, katamu. hampa, kataku
Depok, 2010
SEBATAS KEPAK
diterang paling derang
langkahmu terbaca mataku
tapi di ujung kelokan
kau hilang di rimbun hutan dua ekor capung
bersenggama di atas danau
di ujung paling mendung, kau muncul
menjelma gelang-gelang airah, baru kali ini
rindu bersayap gelap
terbang sebatas kepak
singgah karena lelah
Depok, 2010
MINUMAN
kita seharian minum
bergelas-gelas keraguan
pergi menuju entah
pulang lupa arah
kita seharian makan
berpiring-piring kepalsuan
pikiran ke kiri
langkah ke kanan
jangan saling tikam
jika jalan penuh tikungan
ambil kompas
mari berlayar di lautan lepas
Depok, 2010
LAGU SENDU
tanganmu menyentuh
dingin telaga
seketika bayang kita
pecah di sana
bunga kamboja lepas dari tangkai
didorong angun melata ke dalam debar
hati meruncing. kalimat memar
dimana gerangan
penyejuk api?
ini lagu tak kunjung usai
merintih sampai kamar
Depok, 2010
IKRAR
berulangkali cemara bergoyang
mencorat-coret
cakrawala di benak
kupu-kupu lintas,
belah pandangan
di kaca jendela.
cinta telah senja?
sepagi ini kau membatu
di simpang ragujanin
kata-kata membisu
madu jadi empedu
aku tuang lima sloki
pertanyaan ke telingamuk
apan cinta jadi cincin kata?
(aku tunggu jawab di bawah kitab)
Depok, 2010
NOL
baiklah, kau telah menulis sunyi di batu itu
yang kemudian kau biarkan digauni lumut dan semut
aku tak menduga ada kabar bahwa menara
yang kau bangun dengan airmata, terbakar tadi malam
orang-orang memadamkannya dengan bersorak
kejam, katamu. keji, kataku
sudah kuhallo berulang kali ponselmu
tapi kesunyian yang kuterima
kau sengaja mencuri suaraku
tapi kau sembunyikan
gairahmu
kosong, katamu. hampa, kataku
Depok, 2010
SEBATAS KEPAK
diterang paling derang
langkahmu terbaca mataku
tapi di ujung kelokan
kau hilang di rimbun hutan dua ekor capung
bersenggama di atas danau
di ujung paling mendung, kau muncul
menjelma gelang-gelang airah, baru kali ini
rindu bersayap gelap
terbang sebatas kepak
singgah karena lelah
Depok, 2010
MINUMAN
kita seharian minum
bergelas-gelas keraguan
pergi menuju entah
pulang lupa arah
kita seharian makan
berpiring-piring kepalsuan
pikiran ke kiri
langkah ke kanan
jangan saling tikam
jika jalan penuh tikungan
ambil kompas
mari berlayar di lautan lepas
Depok, 2010
LAGU SENDU
tanganmu menyentuh
dingin telaga
seketika bayang kita
pecah di sana
bunga kamboja lepas dari tangkai
didorong angun melata ke dalam debar
hati meruncing. kalimat memar
dimana gerangan
penyejuk api?
ini lagu tak kunjung usai
merintih sampai kamar
Depok, 2010
IKRAR
berulangkali cemara bergoyang
mencorat-coret
cakrawala di benak
kupu-kupu lintas,
belah pandangan
di kaca jendela.
cinta telah senja?
sepagi ini kau membatu
di simpang ragujanin
kata-kata membisu
madu jadi empedu
aku tuang lima sloki
pertanyaan ke telingamuk
apan cinta jadi cincin kata?
(aku tunggu jawab di bawah kitab)
Depok, 2010
Puisi-Puisi Timur Sinar Suprabana
http://www.suarakarya-online.com/
Sajak Kembanghati
di mana kini
kembanghati
kembangnyanyi
kembangseri
tinggal kosongsuwung
tiada bayang gunung
tiada gaung bersambung
tiada kau di Jantung
tiada!
* Semarang, agustus 2008
Sajak Kembangkenanga
kembangkenanga
mekar tiga warna
di sepasang mata
:mencari jiwa ia
tiada cintatiada bara
tiada sedia dicinta
tiada apa
dalam tiada
meniada pula segala tiada
kembangkenanga
kenangajawa kenagacina
warnaluber wangilebur
terkubur
menatap mantap
menangkap kertab
cintajawa
cintacina
cintakembangkenanga
di rumah tanah merdeka
di negeri pusaka
* Semarang, agustus 2008
Sajak Kembangbulan
kembangbulan
di halaman
kembangpekikmerindu petik
tiada kata jangan
ketika digenggam tangan
karena cinta melarik
tanpa berita terbetik
kekasih lama pergi
melupa hati
kembangbulan
badan kasmaran
terpesona lambai
ia terkulai
jalan sunyipanjang
diseraki bayangranjang
tiada peduli malam
ia biar hidup mengelam
tiada disapa fajar
tak ia memucat gemetar
kembangbulan
kehampaan
hidup tanpa pinangan
* Semarang, agustus 2008
Sajak KembangYun
yun
kayungyun
melantun
berayun
:liyep
lerep
menep
derap diderep
sunyi di segala
bahkan gema
tinggal kenangan Maya
sumber suara
sudah pula hilang kata
tapi kangen dan cinta
tiada kunjung tanggal mereka
tiada henti minta jiwa
matanya
oi, hatinya
* Semarang, agustus 2008
Sajak Kembanghati
di mana kini
kembanghati
kembangnyanyi
kembangseri
tinggal kosongsuwung
tiada bayang gunung
tiada gaung bersambung
tiada kau di Jantung
tiada!
* Semarang, agustus 2008
Sajak Kembangkenanga
kembangkenanga
mekar tiga warna
di sepasang mata
:mencari jiwa ia
tiada cintatiada bara
tiada sedia dicinta
tiada apa
dalam tiada
meniada pula segala tiada
kembangkenanga
kenangajawa kenagacina
warnaluber wangilebur
terkubur
menatap mantap
menangkap kertab
cintajawa
cintacina
cintakembangkenanga
di rumah tanah merdeka
di negeri pusaka
* Semarang, agustus 2008
Sajak Kembangbulan
kembangbulan
di halaman
kembangpekikmerindu petik
tiada kata jangan
ketika digenggam tangan
karena cinta melarik
tanpa berita terbetik
kekasih lama pergi
melupa hati
kembangbulan
badan kasmaran
terpesona lambai
ia terkulai
jalan sunyipanjang
diseraki bayangranjang
tiada peduli malam
ia biar hidup mengelam
tiada disapa fajar
tak ia memucat gemetar
kembangbulan
kehampaan
hidup tanpa pinangan
* Semarang, agustus 2008
Sajak KembangYun
yun
kayungyun
melantun
berayun
:liyep
lerep
menep
derap diderep
sunyi di segala
bahkan gema
tinggal kenangan Maya
sumber suara
sudah pula hilang kata
tapi kangen dan cinta
tiada kunjung tanggal mereka
tiada henti minta jiwa
matanya
oi, hatinya
* Semarang, agustus 2008
Puisi-Puisi Dea Anugrah
http://oase.kompas.com/
A HIMSA
/1/
tibatiba cermin menukar wajahku dengan wajah gandhi!
yang jelek dan malang
lantaran terus mengapung dalam benak seribu orang
yang mengemis sedikit saja pelajaran
tentang cinta dan rasa manis di pelataran
sajakku
yang terkapar dan membusuk
di depan kios binatu
sebelum sempat membasuh abu
yang selama ini kami raupkan di wajah-wajah dan kuku-kuku
“o ahimsa,
ahimsa…”
/2/
–timor-timor, aceh, sampit
lalu apalagi yang harus kami isikan
kedalam cangkirmu?
tempat seharihari kami tumpahruahkan
darah usang pemberian ibu, sebagai pelarian dari rasa bosan yang terus memburu
Jogjakarta, Mei-Juni 2009
AKU INGIN
—persembahan kecil buat mama, papa & aam di rumah
/0/
kueja namamu pada bulan
yang meneteskan malam bersama hujan
.
tersebab balada-balada cengeng
dan drama-drama murahan
dada kita gerimis
wajahmu meringis
dan engkau menangis
memelukku
dan mengiris
dalam sajakku
/0/
aku mencintaimu.
tapi dengan apa kupeluk dirimu?
sedang tak kupahami katakata itu
sedang tak kumengerti bahasa yang menyusunmu*
maka aku memintamu dengan diamku.
aku
ingin
mencintaimu
dalam
diamku.
izinkan
aku menge-
cupmu
dengan
diamku.
Jogjakarta, april 2009
*) digubah dari sebaris puisi Rozi Kembara
BENARKAH SEBUAH SAJAK CENGENG?
/1/
kau tampak lelah
sehabis menempuh hujan di sepanjang malam
memeluk dinginnya padang rumputan
dimana nafas-nafas kita tertanam
ah, hampir saja aku lupa
mari kubuatkan segelas teh hangat mélange quartier untukmu.
/1/
ya, segeralah diminum, tapi jangan lupa berdoa.
.sayang.
/2/
jangan pergi lagi, ya.
sudah bosan aku kau tinggalkan
dalam ribuan kata
dan malam-malam bisu.
kini saatnya kau dan aku. bersama sepanjang waktu
membakar rindu. menertawai rindu.
Jogja, April 2009
BOCAH BELANG
di dalam sebuah rumah beratap serabut hitam
berdinding lapuk dan berlantai lumpur
yang juga hitam
seorang bocah berkulit belang
yang wajahnya legam.
telanjang, dan menangis dengan kencang
seolah tak peduli
pada lalat-lalat yang mengerubungi
koreng di lengan, kaki serta pantatnya
yang mulai membusuk
menebarkan bau menusuk
pengundang lalat-lalat datang
o bocah itu menjerit lirih
mengantarkan suaranya pergi
meninggalkan dirinya sendiri
di dalam gubuk nestapa
yang reyot dan bakal roboh di atas mayat keluarganya
namun entah di hari keberapa
suatu pagi
bocah itu tibatiba berhenti menangis
tapi juga tak bergembira
ia melamun
membuang jauh tatapannya ke luar jendela
membayangkan ibu memanggil namanya seperti biasa
seraya mengatakan kalau semua ini tak nyata
kalau semuanya baik-baik saja
“ya, semuanya baik-baik saja sayang! seperti biasa!”,
suara seseorang bergema
bocah itu kaget
ia melihat sekeliling
namun tak ada siapa-siapa, selain tubuh ayah-ibu beserta saudara-saudaranya
yang telah membiru
dan genangan darah yang berkerak
mengotori dinding lapuk yang belum lama di cat ayahnya
barang-barang berserakan
vas bunga pecah, foto keluarga remuk kacanya, mainan yang berhamburan, pisau…
pisau yang penuh bercak darah yang telah mengering
digenggamnya pisau itu
ah, sekarang ia ingat semuanya
seberkas sinar matahari pagi yang masuk melalui celah-celah atap menerangi pondok itu seperti biasa
bocah itu tersenyum
pisau itu tersenyum
mayat-mayat itu tersenyum
semua yang ada di rumah itu tersenyum
/2/
penonton dan pemain bertepuk tangan
tertawa, berkekehan senang.
tetapi dramanya belum usai. drama ini belum usai. sayang.
aku menangis. airmataku tertawa.
Jogja, Mei 2009
——–
*) Dea Anugrah. Lahir di Pangkalpinang, Bangka Belitung, 27 Juni 1991. Aktif menulis puisi. Saat ini sedang menempuh pendidikan di Fakultas Filsafat UGM. Memilih untuk menjadi penyair karena gemar mabuk puisi dan berbulat tekad untuk meminangnya. Setelah menikah, belakangan semakin memantapkan diri berada di jalur poligami, hidup dengan istri-istri terkasih: bulan, malam, buku dan puisi.
A HIMSA
/1/
tibatiba cermin menukar wajahku dengan wajah gandhi!
yang jelek dan malang
lantaran terus mengapung dalam benak seribu orang
yang mengemis sedikit saja pelajaran
tentang cinta dan rasa manis di pelataran
sajakku
yang terkapar dan membusuk
di depan kios binatu
sebelum sempat membasuh abu
yang selama ini kami raupkan di wajah-wajah dan kuku-kuku
“o ahimsa,
ahimsa…”
/2/
–timor-timor, aceh, sampit
lalu apalagi yang harus kami isikan
kedalam cangkirmu?
tempat seharihari kami tumpahruahkan
darah usang pemberian ibu, sebagai pelarian dari rasa bosan yang terus memburu
Jogjakarta, Mei-Juni 2009
AKU INGIN
—persembahan kecil buat mama, papa & aam di rumah
/0/
kueja namamu pada bulan
yang meneteskan malam bersama hujan
.
tersebab balada-balada cengeng
dan drama-drama murahan
dada kita gerimis
wajahmu meringis
dan engkau menangis
memelukku
dan mengiris
dalam sajakku
/0/
aku mencintaimu.
tapi dengan apa kupeluk dirimu?
sedang tak kupahami katakata itu
sedang tak kumengerti bahasa yang menyusunmu*
maka aku memintamu dengan diamku.
aku
ingin
mencintaimu
dalam
diamku.
izinkan
aku menge-
cupmu
dengan
diamku.
Jogjakarta, april 2009
*) digubah dari sebaris puisi Rozi Kembara
BENARKAH SEBUAH SAJAK CENGENG?
/1/
kau tampak lelah
sehabis menempuh hujan di sepanjang malam
memeluk dinginnya padang rumputan
dimana nafas-nafas kita tertanam
ah, hampir saja aku lupa
mari kubuatkan segelas teh hangat mélange quartier untukmu.
/1/
ya, segeralah diminum, tapi jangan lupa berdoa.
.sayang.
/2/
jangan pergi lagi, ya.
sudah bosan aku kau tinggalkan
dalam ribuan kata
dan malam-malam bisu.
kini saatnya kau dan aku. bersama sepanjang waktu
membakar rindu. menertawai rindu.
Jogja, April 2009
BOCAH BELANG
di dalam sebuah rumah beratap serabut hitam
berdinding lapuk dan berlantai lumpur
yang juga hitam
seorang bocah berkulit belang
yang wajahnya legam.
telanjang, dan menangis dengan kencang
seolah tak peduli
pada lalat-lalat yang mengerubungi
koreng di lengan, kaki serta pantatnya
yang mulai membusuk
menebarkan bau menusuk
pengundang lalat-lalat datang
o bocah itu menjerit lirih
mengantarkan suaranya pergi
meninggalkan dirinya sendiri
di dalam gubuk nestapa
yang reyot dan bakal roboh di atas mayat keluarganya
namun entah di hari keberapa
suatu pagi
bocah itu tibatiba berhenti menangis
tapi juga tak bergembira
ia melamun
membuang jauh tatapannya ke luar jendela
membayangkan ibu memanggil namanya seperti biasa
seraya mengatakan kalau semua ini tak nyata
kalau semuanya baik-baik saja
“ya, semuanya baik-baik saja sayang! seperti biasa!”,
suara seseorang bergema
bocah itu kaget
ia melihat sekeliling
namun tak ada siapa-siapa, selain tubuh ayah-ibu beserta saudara-saudaranya
yang telah membiru
dan genangan darah yang berkerak
mengotori dinding lapuk yang belum lama di cat ayahnya
barang-barang berserakan
vas bunga pecah, foto keluarga remuk kacanya, mainan yang berhamburan, pisau…
pisau yang penuh bercak darah yang telah mengering
digenggamnya pisau itu
ah, sekarang ia ingat semuanya
seberkas sinar matahari pagi yang masuk melalui celah-celah atap menerangi pondok itu seperti biasa
bocah itu tersenyum
pisau itu tersenyum
mayat-mayat itu tersenyum
semua yang ada di rumah itu tersenyum
/2/
penonton dan pemain bertepuk tangan
tertawa, berkekehan senang.
tetapi dramanya belum usai. drama ini belum usai. sayang.
aku menangis. airmataku tertawa.
Jogja, Mei 2009
——–
*) Dea Anugrah. Lahir di Pangkalpinang, Bangka Belitung, 27 Juni 1991. Aktif menulis puisi. Saat ini sedang menempuh pendidikan di Fakultas Filsafat UGM. Memilih untuk menjadi penyair karena gemar mabuk puisi dan berbulat tekad untuk meminangnya. Setelah menikah, belakangan semakin memantapkan diri berada di jalur poligami, hidup dengan istri-istri terkasih: bulan, malam, buku dan puisi.
Puisi-Puisi Mathori A. Elwa
http://mathorisliterature.blogspot.com/
SAKIT
ribuan sajak minta ditulis segera
dalam kertas
seperti rasa rindu yang mengeram
seperti resep dokter
ribuan sajak kautelan
bersama waktu
pagi siang dan malam
seperti ingin bersama selalu
tak kunjung sembuh juga
sakit jiwamu?
1994
Suluk
memetik pelajaran dari daun-daun
hidup tumbuh berguguran
bersama waktu, matahari dan rindu
dari lautan tinta
aku menulis berkah
manfaat dan madarat
saling bercumbu
menempa parang cinta
menggosok batu permata
jika bencana telah usai
pertempuran sebenarnya baru dimulai
agar tetap tegar dan waspada
bersama pertapa
aku memilih fajar
1990
SAKIT
ribuan sajak minta ditulis segera
dalam kertas
seperti rasa rindu yang mengeram
seperti resep dokter
ribuan sajak kautelan
bersama waktu
pagi siang dan malam
seperti ingin bersama selalu
tak kunjung sembuh juga
sakit jiwamu?
1994
Suluk
memetik pelajaran dari daun-daun
hidup tumbuh berguguran
bersama waktu, matahari dan rindu
dari lautan tinta
aku menulis berkah
manfaat dan madarat
saling bercumbu
menempa parang cinta
menggosok batu permata
jika bencana telah usai
pertempuran sebenarnya baru dimulai
agar tetap tegar dan waspada
bersama pertapa
aku memilih fajar
1990
Puisi-Puisi Dody Kristianto
http://oase.kompas.com/
Musim Hujan Tumbuh
musim hujan tumbuh
di atas kepalamu
bintang-bintang luka
dan hilang
kehendak daun lanjut usia
gugur
jatuh pada kerekahan
tanah resah
segera, mimpi akan berakhir
bagai bulan sabit mengawang
sepanjang gigil musim
sungaisungai akan terbelah
melayari duka yang tumbuh
dari setiap ayunan gerimis
di helai rambutmu
2009
Rapsodia I
kekasih, kotakota lepas di lenganmu
segenap laju merangkum peluk dan rukukku
pada segala dahan, di mana tangan
tangan hujan mengikat kepergian
dan tatapmu melepas orbitorbit
kecemasan
2009
Rapsodia II
perjalanan ini mulai habis
rumahrumah kenangan terbakar
pada lekukmu, aku warnai
sejuta retas kupukupu
yang tertinggal
di sebalik gelombang,
di sebalik tatapan
di mana, pernah kita ingat
sebuah ciuman- pembebasan-
atas darah yang membekas
pada tapak salib pertama
2009
Rapsodia III
sebuah ciuman, kumaknai
jalanjalan patah
hutan tinggal hujan
sepetak siul daun berlesatan
di ujung gang : membawa anak
persetubuhan yang redam
di setengah malam
kehamilanmu agung
aku maknai persebaran kunang
kunang menggasang
di seluruh panjang rambutmu
yang padam
2009
Madara
sepotong mukim luka
lingkar cuaca mengertap
memendam nanar bulan
paling mawar
aku pandang wajahmu
sebalik kembang
sekilas tembang
sayap– sayup mengumandang
antara tawar dan tawan
ingatan : yang mengancam
di kitaran pertemuan kita
2009
Dody Kristianto, lahir di Surabaya, 3 April 1986. Belajar di Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya. Menulis puisi, cerpen dan sedikit esai. Karya-karyanya terpublikasi pada beberapa media, antara lain Majalah GONG, Kidung DKJT, Jurnal The Sandour, Buletin Tera, Jurnal Lembah Biru, Surabaya Post, Radar Surabaya, Duta Masyarakat, Banjarmasin Post, Buletin Sastra Pawon, Titikoma.com, dll. Juga dalam beberapa antologi bersama, antara lain Kemayaan dan Kenyataan (Fordisastra, 2007), Duka Muara (Rabo Sore, 2008) serta Apologi Kupu-kupu (forum SARBI, 2009). Bergiat pada Komunitas Rabo Sore (KRS) dan menjadi penggerak forum Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI). Saat ini tinggal di Sidoarjo.
Musim Hujan Tumbuh
musim hujan tumbuh
di atas kepalamu
bintang-bintang luka
dan hilang
kehendak daun lanjut usia
gugur
jatuh pada kerekahan
tanah resah
segera, mimpi akan berakhir
bagai bulan sabit mengawang
sepanjang gigil musim
sungaisungai akan terbelah
melayari duka yang tumbuh
dari setiap ayunan gerimis
di helai rambutmu
2009
Rapsodia I
kekasih, kotakota lepas di lenganmu
segenap laju merangkum peluk dan rukukku
pada segala dahan, di mana tangan
tangan hujan mengikat kepergian
dan tatapmu melepas orbitorbit
kecemasan
2009
Rapsodia II
perjalanan ini mulai habis
rumahrumah kenangan terbakar
pada lekukmu, aku warnai
sejuta retas kupukupu
yang tertinggal
di sebalik gelombang,
di sebalik tatapan
di mana, pernah kita ingat
sebuah ciuman- pembebasan-
atas darah yang membekas
pada tapak salib pertama
2009
Rapsodia III
sebuah ciuman, kumaknai
jalanjalan patah
hutan tinggal hujan
sepetak siul daun berlesatan
di ujung gang : membawa anak
persetubuhan yang redam
di setengah malam
kehamilanmu agung
aku maknai persebaran kunang
kunang menggasang
di seluruh panjang rambutmu
yang padam
2009
Madara
sepotong mukim luka
lingkar cuaca mengertap
memendam nanar bulan
paling mawar
aku pandang wajahmu
sebalik kembang
sekilas tembang
sayap– sayup mengumandang
antara tawar dan tawan
ingatan : yang mengancam
di kitaran pertemuan kita
2009
Dody Kristianto, lahir di Surabaya, 3 April 1986. Belajar di Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya. Menulis puisi, cerpen dan sedikit esai. Karya-karyanya terpublikasi pada beberapa media, antara lain Majalah GONG, Kidung DKJT, Jurnal The Sandour, Buletin Tera, Jurnal Lembah Biru, Surabaya Post, Radar Surabaya, Duta Masyarakat, Banjarmasin Post, Buletin Sastra Pawon, Titikoma.com, dll. Juga dalam beberapa antologi bersama, antara lain Kemayaan dan Kenyataan (Fordisastra, 2007), Duka Muara (Rabo Sore, 2008) serta Apologi Kupu-kupu (forum SARBI, 2009). Bergiat pada Komunitas Rabo Sore (KRS) dan menjadi penggerak forum Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI). Saat ini tinggal di Sidoarjo.
Puisi-Puisi Budi Palopo
http://www.jawapos.co.id/
MATAHARI BIRU
kala bulan pantai tercabik jejak perahu
gadisku menghormat cahaya yang
terpancar dari lempeng tembaga
singgah di seribu pulau bermatahari biru
oh, gadisku yang bermata ibu
jika di perbukitan sebuah pulau
ada mahkota durga yang terpendam
tanah anganmu, haruskah kau
terus mengukir jejak penggalian-nya?
matahari bukanlah bulan yang
tertusuk tajam pucuk ilalang
matahari juga bukan bintang yang
bisa terajut di pundak jenderal bermata api
jika cahaya-nya tak lagi bisa
mengirim bayang-bayang hitam atas tubuh-mu
kenapa harus mengukir risau di pasir pantai?
Gresik, 7 April 2010
SURAT TERHORMAT
kepada semua gunung pemilik banyak puncak
kutulis surat terhormat, demi ledakan amarah
yang tersembunyi di segala kobaran api
kutawarkan persetubuhan abadi, agar
kelak bisa terlahir anak-anak kayu yang
punya rasa hormat atas kelembutan tunas
semua dedaun di hutan belantara seluruh kota
Gresik, 7 April 2010
NYANYIAN KUPU
* Gus…!
manakala dedaun tak lagi bisa tersapa
ulat membisu dalam keras kepompong yang
tak lagi peduli dengan ketajaman sabit bulan-mu
entah kehangatan macam apa yang
merajut sayap-sayap hening-nya
entah cahaya macam apa yang menuntun
jalan pemutus rambatan gerak hidup-nya
yang ku-tahu, kau bukanlah ulat pendzikir
sepanjang waktu kau hanya berebut bisa
melihat sabit cahaya yang tersembunyi
di luas langit angan bebatuan bulan-mu
oh, kenapa anak-anak kau jadikan boneka
bermata kertas yang terus menari di pasir pantai
hanya demi pengakuan kebenaran berbatu-batu?
Gresik, 7 April 2010
PENGGEMBALA KATA
*Pambuka Tembang Kinanthi
asa yang bermata pisau
undang risau dalam hening
risau batu dalam dada
hilangkan nada seruling
jika ku-kau penggembala
kenapa harus berpaling?
mata pisau ketam kinanthi yang
ada dalam genggam-mu, dulu kau
jadikan senjata petik kala panen padi
kini mata pisau kinanthi-mu hilang
dalam risau, manakala anak-anak
tak lagi bisa menajam sabit
demi ilalang yang harus terbabat
dan kau pun hilang ingatan atas
semua ruas jalan kembali pulang
karena itulah, kutiup seruling gembala
untuk mengantarmu agar bisa kembali bernyanyi
Gresik, 7 April 2010
MEMBIDIK LANGIT
*Nanda Gita Pratama
pasir pantai yang terinjak risau
jadi senoktah jejak ombak laut-nya
bukanlah kematian yang perlu dicari
di daun luruh karena angin
kendati tanpa tiang, langit pun tak akan runtuh
karena itu jangan kau takut membidik titik jauh-nya
Gresik 21 Maret 2010
*) Budi Palopo , praktisi sastra, tinggal di Gresik. Buku terbarunya Wong Agung, Gurit Punjul Rong Puluh (diterbitkan Dewan Kesenian Jawa Timur, November 2009). Kini tengah berakrab-akrab dalam sebuah komunitas karawitan di desa agar tergerak dalam penciptaan tembang-tembang Jawa.
MATAHARI BIRU
kala bulan pantai tercabik jejak perahu
gadisku menghormat cahaya yang
terpancar dari lempeng tembaga
singgah di seribu pulau bermatahari biru
oh, gadisku yang bermata ibu
jika di perbukitan sebuah pulau
ada mahkota durga yang terpendam
tanah anganmu, haruskah kau
terus mengukir jejak penggalian-nya?
matahari bukanlah bulan yang
tertusuk tajam pucuk ilalang
matahari juga bukan bintang yang
bisa terajut di pundak jenderal bermata api
jika cahaya-nya tak lagi bisa
mengirim bayang-bayang hitam atas tubuh-mu
kenapa harus mengukir risau di pasir pantai?
Gresik, 7 April 2010
SURAT TERHORMAT
kepada semua gunung pemilik banyak puncak
kutulis surat terhormat, demi ledakan amarah
yang tersembunyi di segala kobaran api
kutawarkan persetubuhan abadi, agar
kelak bisa terlahir anak-anak kayu yang
punya rasa hormat atas kelembutan tunas
semua dedaun di hutan belantara seluruh kota
Gresik, 7 April 2010
NYANYIAN KUPU
* Gus…!
manakala dedaun tak lagi bisa tersapa
ulat membisu dalam keras kepompong yang
tak lagi peduli dengan ketajaman sabit bulan-mu
entah kehangatan macam apa yang
merajut sayap-sayap hening-nya
entah cahaya macam apa yang menuntun
jalan pemutus rambatan gerak hidup-nya
yang ku-tahu, kau bukanlah ulat pendzikir
sepanjang waktu kau hanya berebut bisa
melihat sabit cahaya yang tersembunyi
di luas langit angan bebatuan bulan-mu
oh, kenapa anak-anak kau jadikan boneka
bermata kertas yang terus menari di pasir pantai
hanya demi pengakuan kebenaran berbatu-batu?
Gresik, 7 April 2010
PENGGEMBALA KATA
*Pambuka Tembang Kinanthi
asa yang bermata pisau
undang risau dalam hening
risau batu dalam dada
hilangkan nada seruling
jika ku-kau penggembala
kenapa harus berpaling?
mata pisau ketam kinanthi yang
ada dalam genggam-mu, dulu kau
jadikan senjata petik kala panen padi
kini mata pisau kinanthi-mu hilang
dalam risau, manakala anak-anak
tak lagi bisa menajam sabit
demi ilalang yang harus terbabat
dan kau pun hilang ingatan atas
semua ruas jalan kembali pulang
karena itulah, kutiup seruling gembala
untuk mengantarmu agar bisa kembali bernyanyi
Gresik, 7 April 2010
MEMBIDIK LANGIT
*Nanda Gita Pratama
pasir pantai yang terinjak risau
jadi senoktah jejak ombak laut-nya
bukanlah kematian yang perlu dicari
di daun luruh karena angin
kendati tanpa tiang, langit pun tak akan runtuh
karena itu jangan kau takut membidik titik jauh-nya
Gresik 21 Maret 2010
*) Budi Palopo , praktisi sastra, tinggal di Gresik. Buku terbarunya Wong Agung, Gurit Punjul Rong Puluh (diterbitkan Dewan Kesenian Jawa Timur, November 2009). Kini tengah berakrab-akrab dalam sebuah komunitas karawitan di desa agar tergerak dalam penciptaan tembang-tembang Jawa.
Puisi-Puisi Landung Rusyanto Simatupang
http://sastrakarta.multiply.com/
KATANYA IA
Katanya ia pernah menyusup Merah dan merah ia kelupas jadi cokelat, putih, kuning, dan beberapa golongan minoritas warna lainnya. Konon ia pernah masuk Hijau dan hijau ia sayat-sayat hingga jadi birunya hijau, kuningnya hijau, putihnya hijau, bahkan cokelatnya hijau, bahkan juga hitampekatnya hijau. Dan ia masuk putih dan si putih diserpih-serpih jadi biru laut si putih, kuning emas si putih, coklattanah si putih, kelaburambut si putih dan ribuan serat nuansa tanpa nama. Kabarnya ia sangat sangsi sekaligus amat pasti ketika menekur, bersila, menghimpun dan menghembuskan tatapan mata pada pucuk hidung yang membulat hamil beribu cakrawala. Kabarnya ia tiba di terang yang hari-hari ini menghampiri kita sebagai warna-warni nyala lampu, papan nama, spanduk, panji, pataka, kerudung, celana mini, bikini. Semuanya cuma tertangkap oleh kita sebagai isyarat-isyarat sederhana untuk berhenti, berjalan, menghitung, menandatangan, sembahyang, membeli, menghantam, mundur, maling, kawin, protes, memperkosa, mengkotbahkan solidaritas, kasih dan surga kepada siapa saja kecuali diri sendiri. Konon ia masuk kita yang saling tatap sebagai kelompok-kelompok warna; ia masuk kita, selalu dengan kerjanya yang sama dan diam-diamnya yang sama pula.
1991
LARI
kuda lari dari kereta
tak lagi budak
kuda lari dari kota
tak lagi hamba
kuda lari
dan lari saja
masuk keluar rimba
padang dan padang saja
kaki-kaki lari dari kuda
tak lagi budak
kuku-kuku lari dari kaki
tak lagi abdi
lari lari dari lari
menuju Kau
siksa dan harap ini
Engkaulah
1982
BATU
ada batu
tenggelam
jauh
di dasar
sudah lama
sangat lama
tapi barangkali masih diingatkan sore itu
waktu tanganku yang marah penuh cemburu
menjumput dan melemparkannya
mencabut dia dari menungnya di bawah pohon nangka
sungguh kuingin dia, karena alasan yang begitu saja,
ingat saat itu malam ini, sama terusik gerimis panjang
penjara airnya gelap berat dan dingin
sementara sekap risauku lembab dan asing
dalam gigil udara yang aneh
waktu mengulurkan sesuatu kembali
dan aku takut menyambutnya hanya sendiri
kuingat sobatku, batuku:
maka kulepas tanganku kanan lalu kiri
mereka berenang dan menyelam
maka kuceburkan kaki, kanan dan kiri
mereka menyelam dan mencari
maka kuselamkan tubuh, kubenamkan kepala
- hanya lumpur lumut ganggang
di tepian kolam waktu membeku. sombong membisu
tangannya terlipat, tak terulur lagi padaku
di atas meja dalam kamar kutemu batu
merenung nyala lampu.
tanganku yang gatal dan geram melemparkannya keluar.
kudengar jerit lalu suara tubuh mencebur kolam:
aku
tak lain tak bukan. kuyup dan sendiri. menggapai. pelan
tenggelam. dalam gigil waktu yang ganjil kau ulurkan
tangan padaku.
sepi yang teka-teki
tariklah aku
ke lubukmu
1979
KATANYA IA
Katanya ia pernah menyusup Merah dan merah ia kelupas jadi cokelat, putih, kuning, dan beberapa golongan minoritas warna lainnya. Konon ia pernah masuk Hijau dan hijau ia sayat-sayat hingga jadi birunya hijau, kuningnya hijau, putihnya hijau, bahkan cokelatnya hijau, bahkan juga hitampekatnya hijau. Dan ia masuk putih dan si putih diserpih-serpih jadi biru laut si putih, kuning emas si putih, coklattanah si putih, kelaburambut si putih dan ribuan serat nuansa tanpa nama. Kabarnya ia sangat sangsi sekaligus amat pasti ketika menekur, bersila, menghimpun dan menghembuskan tatapan mata pada pucuk hidung yang membulat hamil beribu cakrawala. Kabarnya ia tiba di terang yang hari-hari ini menghampiri kita sebagai warna-warni nyala lampu, papan nama, spanduk, panji, pataka, kerudung, celana mini, bikini. Semuanya cuma tertangkap oleh kita sebagai isyarat-isyarat sederhana untuk berhenti, berjalan, menghitung, menandatangan, sembahyang, membeli, menghantam, mundur, maling, kawin, protes, memperkosa, mengkotbahkan solidaritas, kasih dan surga kepada siapa saja kecuali diri sendiri. Konon ia masuk kita yang saling tatap sebagai kelompok-kelompok warna; ia masuk kita, selalu dengan kerjanya yang sama dan diam-diamnya yang sama pula.
1991
LARI
kuda lari dari kereta
tak lagi budak
kuda lari dari kota
tak lagi hamba
kuda lari
dan lari saja
masuk keluar rimba
padang dan padang saja
kaki-kaki lari dari kuda
tak lagi budak
kuku-kuku lari dari kaki
tak lagi abdi
lari lari dari lari
menuju Kau
siksa dan harap ini
Engkaulah
1982
BATU
ada batu
tenggelam
jauh
di dasar
sudah lama
sangat lama
tapi barangkali masih diingatkan sore itu
waktu tanganku yang marah penuh cemburu
menjumput dan melemparkannya
mencabut dia dari menungnya di bawah pohon nangka
sungguh kuingin dia, karena alasan yang begitu saja,
ingat saat itu malam ini, sama terusik gerimis panjang
penjara airnya gelap berat dan dingin
sementara sekap risauku lembab dan asing
dalam gigil udara yang aneh
waktu mengulurkan sesuatu kembali
dan aku takut menyambutnya hanya sendiri
kuingat sobatku, batuku:
maka kulepas tanganku kanan lalu kiri
mereka berenang dan menyelam
maka kuceburkan kaki, kanan dan kiri
mereka menyelam dan mencari
maka kuselamkan tubuh, kubenamkan kepala
- hanya lumpur lumut ganggang
di tepian kolam waktu membeku. sombong membisu
tangannya terlipat, tak terulur lagi padaku
di atas meja dalam kamar kutemu batu
merenung nyala lampu.
tanganku yang gatal dan geram melemparkannya keluar.
kudengar jerit lalu suara tubuh mencebur kolam:
aku
tak lain tak bukan. kuyup dan sendiri. menggapai. pelan
tenggelam. dalam gigil waktu yang ganjil kau ulurkan
tangan padaku.
sepi yang teka-teki
tariklah aku
ke lubukmu
1979
Puisi-Puisi Arya Winanda
http://www.korantempo.com/
TUNAWICARA
bila sekadar decak-kecap
tiada lagi sanggup
ditanggung langit-langit lidah
heninglah
genap kilap kilat
dan getar guruh
dilontarkan selisih awan
kilau batang-batang air
sempurna tertuang
disesap bibir tanah
saksikan lengan
yang menunggu setia, terulur
menyisip dari gelap celah
membentangkan daun pertama
bisulah
(2009)
SEPATU LAMA
mereka melindungi kakiku dari dekil, beling, tahi ayam
atau lain gangguan, ketika cahaya bulan berpendaran
dari daratan, tampak semacam kilau cawan: keemasan
penghujung minggu gegas berkemas, hari-hari seranum hijau pipi anggur
gemas–menetas di pojok bibir, manis: tanpa rasa was-was
helai-helai tanggalan, runtuh
tanpa butuh lingkaran merah
(yang melulu cemas)
tanda awas pada yang siap menyergap
bersembunyi, menanti mahluk
di puncak mabuk:
absen pada riak rupa sendiri
ia ingin istirah, alasnya terkelupas
wajahnya pecah
kini ia menjadi kediaman baru sekawanan serangga
(aku tak tahu mereka harus diberi nama apa)
salah satunya, spesies laba-laba yang mengulur
memintal sutra dari dubur, di setengah rongga mulutnya
demi memerangkap mangsa
yang bernaluri menemukan rumah
dalam dirinya
diam-diam warnanya lebur
terkubur di bawah selangkang lemari tua
yang mengandung dan merawat kenangan
begitu tekun
(tabiatnya mirip sutra sang laba-laba:
yang memandang tertegun
terpintal sarang waktu
yang menyelimuti wajah pikun si lemari)
persis kerak debu di dasarnya, membenamkan apapun
tanpa ampun
nyaris muskil tersentuh jari-jari matahari
(mungkin karena salah posisi)
kota sentosa bagi mahluk tak berbiji mata
atau bermata
tetapi buta
(atau melihat juga,
tetapi sejenis yang hanya suka pada goyang bayang
yang dihasilkan berkas sinar yang amat samar)
(2009)
Arya Winanda lahir di Kotabumi, Lampung Utara, 14 Juli 1980. Berkesenian di Komunitas Berkat Yakin dan bekerja sebagai desainer grafis di Bandar Lampung.
TUNAWICARA
bila sekadar decak-kecap
tiada lagi sanggup
ditanggung langit-langit lidah
heninglah
genap kilap kilat
dan getar guruh
dilontarkan selisih awan
kilau batang-batang air
sempurna tertuang
disesap bibir tanah
saksikan lengan
yang menunggu setia, terulur
menyisip dari gelap celah
membentangkan daun pertama
bisulah
(2009)
SEPATU LAMA
mereka melindungi kakiku dari dekil, beling, tahi ayam
atau lain gangguan, ketika cahaya bulan berpendaran
dari daratan, tampak semacam kilau cawan: keemasan
penghujung minggu gegas berkemas, hari-hari seranum hijau pipi anggur
gemas–menetas di pojok bibir, manis: tanpa rasa was-was
helai-helai tanggalan, runtuh
tanpa butuh lingkaran merah
(yang melulu cemas)
tanda awas pada yang siap menyergap
bersembunyi, menanti mahluk
di puncak mabuk:
absen pada riak rupa sendiri
ia ingin istirah, alasnya terkelupas
wajahnya pecah
kini ia menjadi kediaman baru sekawanan serangga
(aku tak tahu mereka harus diberi nama apa)
salah satunya, spesies laba-laba yang mengulur
memintal sutra dari dubur, di setengah rongga mulutnya
demi memerangkap mangsa
yang bernaluri menemukan rumah
dalam dirinya
diam-diam warnanya lebur
terkubur di bawah selangkang lemari tua
yang mengandung dan merawat kenangan
begitu tekun
(tabiatnya mirip sutra sang laba-laba:
yang memandang tertegun
terpintal sarang waktu
yang menyelimuti wajah pikun si lemari)
persis kerak debu di dasarnya, membenamkan apapun
tanpa ampun
nyaris muskil tersentuh jari-jari matahari
(mungkin karena salah posisi)
kota sentosa bagi mahluk tak berbiji mata
atau bermata
tetapi buta
(atau melihat juga,
tetapi sejenis yang hanya suka pada goyang bayang
yang dihasilkan berkas sinar yang amat samar)
(2009)
Arya Winanda lahir di Kotabumi, Lampung Utara, 14 Juli 1980. Berkesenian di Komunitas Berkat Yakin dan bekerja sebagai desainer grafis di Bandar Lampung.
Puisi-Puisi Helga Worotitjan
http://www.suarakarya-online.com/
Kremes
Aku duduk menikmati lelautan dan matahari tak datang Kremes setengah bulat di tangan kiri.Kremes cokelat emas.Manis, sedikit gurih dan berair?Kremes diantara telunjuk dan ibu jari. Ubi parut, gula jawa dan air mata.
29 November 2008
Respect of Indonesia
Padamu kurebahkan lelah Dari deru jaman yang mengguru Padamu kugayutkan nelangsa Dari luruh air mata yang mengeruh Di tanah yang aku pernah mati Di udara yang aku pernah mendebu Dengan hanya satu bias retak Saat waktu jatuh terhentak Di lara yang begitu dalam Serta suara masa yang diam Cintaku tak diam
Jakarta, 20 Oktober 2008
Aku Mencintaimu
Sederhana Saja
Aku mencintaimu sederhana saja Penjual dan pembeli Menawar dan belanja Aku mencintaimu sederhana saja Satu sapa dari hari kita Lalu berlalu dan aku kelu Aku mencintaimu sederhana saja Demi telingamu agar mendengar Sebuah harga aku lacurkan
Jakarta, 3 Desember 2008
Misa
Untuk Yudi
Kau adikku kau keluhanku kala kau mengaku kau cinta aku maka pertalian ini tak lagi baku namun aku jadi kaku karna kau misanku
Jakarta, 10 Desember 2008
Tuanku
tuanku,bagaimana bisa kau hidangkan stelan busana mahal
dengan sulaman darah
dari anak-anak yang nyawanya
kau tikam berkali-kali,yang seratnya adalah air mata
segala masa yang kau rajam
dengan alas kata-kata politis
yang terdengar miris,yang lapis dalamnya adalah benakmu
yang tak tersentuh cinta Ilahi lagi,melainkan rasa gagah
yang memahkotaimu dengan judul barutuhan bagi nyawa dan luka
Jakarta, 6 Januari 2009
Dentum
Dentum Pertama,
Kuasmakan keterkejutanku pada bumiPada rumah paman dan
bibiku yang terhentak
Di dentum kedua,
Kuasmakan keherananku pada udarapada rumah-rumah suci
yang bergetarDi dentum ketiga,
Kuasmakan kebesaranMuPada RumahmMu,yang kuketuk dengan lolon pilu para manulapara orang tua remaja-remajaanak-anak balita-balita bayi-bayi
Di dentum ke-empat Adalah suara debam gerbangMU, yang Kau tutup bagi mereka
yang telah mengirim kami kemari
Karang Sanur, 01-2009
Persamaan
Adalah sebuah siang,kau dan aku berbincang malas, bicara tentang beda, pemahaman keyakinan warna kulit warna musik warna baju
Dan kau ajakku mematut diri dalam cermin
mempermalahkan perbedaan kita,
seluruh perbedaan kau kupas
hingga kelelahan dan kepayahan
Dan akhirnya di ujung lelahmu,
kau hanya menemukan kita
berada dalam satu cermin,sama-sama bercermin. Persamaan.
29 Desember 2008
Kremes
Aku duduk menikmati lelautan dan matahari tak datang Kremes setengah bulat di tangan kiri.Kremes cokelat emas.Manis, sedikit gurih dan berair?Kremes diantara telunjuk dan ibu jari. Ubi parut, gula jawa dan air mata.
29 November 2008
Respect of Indonesia
Padamu kurebahkan lelah Dari deru jaman yang mengguru Padamu kugayutkan nelangsa Dari luruh air mata yang mengeruh Di tanah yang aku pernah mati Di udara yang aku pernah mendebu Dengan hanya satu bias retak Saat waktu jatuh terhentak Di lara yang begitu dalam Serta suara masa yang diam Cintaku tak diam
Jakarta, 20 Oktober 2008
Aku Mencintaimu
Sederhana Saja
Aku mencintaimu sederhana saja Penjual dan pembeli Menawar dan belanja Aku mencintaimu sederhana saja Satu sapa dari hari kita Lalu berlalu dan aku kelu Aku mencintaimu sederhana saja Demi telingamu agar mendengar Sebuah harga aku lacurkan
Jakarta, 3 Desember 2008
Misa
Untuk Yudi
Kau adikku kau keluhanku kala kau mengaku kau cinta aku maka pertalian ini tak lagi baku namun aku jadi kaku karna kau misanku
Jakarta, 10 Desember 2008
Tuanku
tuanku,bagaimana bisa kau hidangkan stelan busana mahal
dengan sulaman darah
dari anak-anak yang nyawanya
kau tikam berkali-kali,yang seratnya adalah air mata
segala masa yang kau rajam
dengan alas kata-kata politis
yang terdengar miris,yang lapis dalamnya adalah benakmu
yang tak tersentuh cinta Ilahi lagi,melainkan rasa gagah
yang memahkotaimu dengan judul barutuhan bagi nyawa dan luka
Jakarta, 6 Januari 2009
Dentum
Dentum Pertama,
Kuasmakan keterkejutanku pada bumiPada rumah paman dan
bibiku yang terhentak
Di dentum kedua,
Kuasmakan keherananku pada udarapada rumah-rumah suci
yang bergetarDi dentum ketiga,
Kuasmakan kebesaranMuPada RumahmMu,yang kuketuk dengan lolon pilu para manulapara orang tua remaja-remajaanak-anak balita-balita bayi-bayi
Di dentum ke-empat Adalah suara debam gerbangMU, yang Kau tutup bagi mereka
yang telah mengirim kami kemari
Karang Sanur, 01-2009
Persamaan
Adalah sebuah siang,kau dan aku berbincang malas, bicara tentang beda, pemahaman keyakinan warna kulit warna musik warna baju
Dan kau ajakku mematut diri dalam cermin
mempermalahkan perbedaan kita,
seluruh perbedaan kau kupas
hingga kelelahan dan kepayahan
Dan akhirnya di ujung lelahmu,
kau hanya menemukan kita
berada dalam satu cermin,sama-sama bercermin. Persamaan.
29 Desember 2008
Puisi-Puisi Lubis Grafura
http://www.jawapos.co.id/
Perumpamaan Hasut
Pecahkan cermin. Rangkai kembali.
Tataplah wajahmu.
Nglegok, 2010
Inisial A.
Kalau saja pertapaanku ini,
melebihi batas usiaku
barangkali nanti kan kutitipkan jasad
agar aku leluasa menemui: mu!
Nglegok, 2010
Sendiri
Kadang kita butuh waktu:
bermeditasi, mencari persejatian diri
mencari jalan kembali
namun, tanpamu di sini
hidup seolah memilih berhenti
Nglegok, 2010
Sajak Kematian
Menanti dirimu
seolah menanti fajar yang menggulung sinar
Hanya saja,
fajar datang sesuai waktunya
Sementara dirimu,
kedatangannya tak tertandai waktu
Penataran, 2010
Dalam Sujud
yang berperang tanpa pedang
yang musuhnya arupa mamang
Penataran, 2010
*) Lubis Grafura, penyair yang juga guru di SMKN 1 Nglegok. Buku antologi puisinya, Ponari For President (2009) dan Kenyataan dan Kemayaan (Fordisastra, (2009), serta antologi cerpen Ketawang Puspawarna (2009).
Perumpamaan Hasut
Pecahkan cermin. Rangkai kembali.
Tataplah wajahmu.
Nglegok, 2010
Inisial A.
Kalau saja pertapaanku ini,
melebihi batas usiaku
barangkali nanti kan kutitipkan jasad
agar aku leluasa menemui: mu!
Nglegok, 2010
Sendiri
Kadang kita butuh waktu:
bermeditasi, mencari persejatian diri
mencari jalan kembali
namun, tanpamu di sini
hidup seolah memilih berhenti
Nglegok, 2010
Sajak Kematian
Menanti dirimu
seolah menanti fajar yang menggulung sinar
Hanya saja,
fajar datang sesuai waktunya
Sementara dirimu,
kedatangannya tak tertandai waktu
Penataran, 2010
Dalam Sujud
yang berperang tanpa pedang
yang musuhnya arupa mamang
Penataran, 2010
*) Lubis Grafura, penyair yang juga guru di SMKN 1 Nglegok. Buku antologi puisinya, Ponari For President (2009) dan Kenyataan dan Kemayaan (Fordisastra, (2009), serta antologi cerpen Ketawang Puspawarna (2009).
Puisi-Puisi Gunoto Saparie
http://www.jawapos.co.id/
BETIS
tak malam tak siang
ken arok hanya terbayang
betis, betis, dan betis
punya si jelita ken dedes
tak petang tak subuh
ken arok risau dan resah
bergolak nafsu keserakahan
bermula dari betis menawan
tak rindu tak dendam
ken arok abai sembahyang
di tangannya sebilah keris
darah menetes karena betis
tak malam, wahai, tak siang
ken arok hanya terbayang
betis penuh pesona bintang
terkapar gandring dan ametung
2009
JARAN KEPANG
suara gelegar cambuk bagaikan petir
ketika jaran kepang pun mabuk menari
musik bertalu-talu, penonton pun melingkar -
”niat ingsun mbukak kalangan, duh, gusti”
2009
THE LOST PARADISE
di manakah embun berkilau
di ujung daun pagi hari?
di manakah burung berkicau?
di manakah kau, maha sunyi?
di manakah malam bulan penuh
berlayar pelan di langit jauh?
di manakah jutaan kunang-kunang?
di manakah kau, maha bintang?
di manakah cinta rindu dendam
bergelora di dalam hati?
di manakah syair dan puisi?
di manakah kau, maha kelam?
2009
MRT STATIONS
dengan tiket dalam genggaman
kita pun ikut orang-orang bergegas
namun kita akan ke mana, tuan?
kutunjuk peta namun kau tertawa lepas
2009
KEPADA AHMAD TOHARI
sepotong bulan bergetar
di atas sungai serayu
dan mengertap pada pasir
sebaris kalimat pun mengabu
2009
PELABUHAN TANJUNG EMAS
selalu saja pelabuhan ini muram
kapal-kapal pun merapat diam
camar-camar gelisah alpa bercanda
ada pelancong menyanyi lagu duka
selalu saja pelabuhan ini muram
ada yang datang dan bertolak
ada yang menangis dan mabuk
”don’t let me down”, igaunya tenggelam
selalu saja pelabuhan ini muram
kapal-kapal pun merapat diam
ada salam sayup dari seberang
marhaban, ohoi, ini semarang
2009
BUAH LARANGAN
kukunyah buah larangan
dengan kenikmatan tiada tara
kumamah dosa pusaka
kuhayati naluri kemanusiaan
kukunyah buah sialan itu
dengan berahi seorang adam
menuntaskan rindu dendam
surga hanya masa lalu
kukunyah buah larangan
kenikmatan membawa derita
kini aku hanya sendirian
hawa kini pergi mengembara
2009
KWATRIN JAKARTA
selamat siang, Jakarta
kucoba menyapa keangkuhanmu
ketika aku tiba di jatinegara
bolehkah, tuan, aku bertamu?
2009
KWATRIN BUAT IBU
Jenazahmu pun berangkat
pada tengah hari
teduh matamu kuingat
rindu penyair jadi ragi
2009
RANGGAWARSITA
sebentar lagi mungkin maut tiba
tiada lagi masa kegelapan dunia
dan terhindar dari zaman edan
o, masa kelam penuh kekacauan
tapi mengapakah harus berduka?
sebentar lagi mungkin maut tiba
ke manakah kucari jalan keselamatan?
ketika raja terjebak di lembah kesesatan
yen ora ngedan ora keduman?
korupsi dari dulu memang merajalela
sebentar lagi mungkin maut tiba
kuramal hari dan tanggal kematianku
kutinggal raja kehilangan waskita
kutangisi rakyat peka sasmita
o, mengapakah alpa isyarat kalatida?
2009
*) GUNOTO SAPARIE lahir di Kendal, 22 Desember 1955. Menulis puisi, cerita pendek, esai, artikel, dan novel. Aktif dalam berbagai organisasi, antara lain sebagai Sekretaris Dewan Kesenian Jawa Tengah.
BETIS
tak malam tak siang
ken arok hanya terbayang
betis, betis, dan betis
punya si jelita ken dedes
tak petang tak subuh
ken arok risau dan resah
bergolak nafsu keserakahan
bermula dari betis menawan
tak rindu tak dendam
ken arok abai sembahyang
di tangannya sebilah keris
darah menetes karena betis
tak malam, wahai, tak siang
ken arok hanya terbayang
betis penuh pesona bintang
terkapar gandring dan ametung
2009
JARAN KEPANG
suara gelegar cambuk bagaikan petir
ketika jaran kepang pun mabuk menari
musik bertalu-talu, penonton pun melingkar -
”niat ingsun mbukak kalangan, duh, gusti”
2009
THE LOST PARADISE
di manakah embun berkilau
di ujung daun pagi hari?
di manakah burung berkicau?
di manakah kau, maha sunyi?
di manakah malam bulan penuh
berlayar pelan di langit jauh?
di manakah jutaan kunang-kunang?
di manakah kau, maha bintang?
di manakah cinta rindu dendam
bergelora di dalam hati?
di manakah syair dan puisi?
di manakah kau, maha kelam?
2009
MRT STATIONS
dengan tiket dalam genggaman
kita pun ikut orang-orang bergegas
namun kita akan ke mana, tuan?
kutunjuk peta namun kau tertawa lepas
2009
KEPADA AHMAD TOHARI
sepotong bulan bergetar
di atas sungai serayu
dan mengertap pada pasir
sebaris kalimat pun mengabu
2009
PELABUHAN TANJUNG EMAS
selalu saja pelabuhan ini muram
kapal-kapal pun merapat diam
camar-camar gelisah alpa bercanda
ada pelancong menyanyi lagu duka
selalu saja pelabuhan ini muram
ada yang datang dan bertolak
ada yang menangis dan mabuk
”don’t let me down”, igaunya tenggelam
selalu saja pelabuhan ini muram
kapal-kapal pun merapat diam
ada salam sayup dari seberang
marhaban, ohoi, ini semarang
2009
BUAH LARANGAN
kukunyah buah larangan
dengan kenikmatan tiada tara
kumamah dosa pusaka
kuhayati naluri kemanusiaan
kukunyah buah sialan itu
dengan berahi seorang adam
menuntaskan rindu dendam
surga hanya masa lalu
kukunyah buah larangan
kenikmatan membawa derita
kini aku hanya sendirian
hawa kini pergi mengembara
2009
KWATRIN JAKARTA
selamat siang, Jakarta
kucoba menyapa keangkuhanmu
ketika aku tiba di jatinegara
bolehkah, tuan, aku bertamu?
2009
KWATRIN BUAT IBU
Jenazahmu pun berangkat
pada tengah hari
teduh matamu kuingat
rindu penyair jadi ragi
2009
RANGGAWARSITA
sebentar lagi mungkin maut tiba
tiada lagi masa kegelapan dunia
dan terhindar dari zaman edan
o, masa kelam penuh kekacauan
tapi mengapakah harus berduka?
sebentar lagi mungkin maut tiba
ke manakah kucari jalan keselamatan?
ketika raja terjebak di lembah kesesatan
yen ora ngedan ora keduman?
korupsi dari dulu memang merajalela
sebentar lagi mungkin maut tiba
kuramal hari dan tanggal kematianku
kutinggal raja kehilangan waskita
kutangisi rakyat peka sasmita
o, mengapakah alpa isyarat kalatida?
2009
*) GUNOTO SAPARIE lahir di Kendal, 22 Desember 1955. Menulis puisi, cerita pendek, esai, artikel, dan novel. Aktif dalam berbagai organisasi, antara lain sebagai Sekretaris Dewan Kesenian Jawa Tengah.
Puisi-Puisi Zainal Arifin Thoha
http://sastrakarta.multiply.com/
ZIARAH DOA
Dan doa adalah
Persembahyangan dalam ziarah
Menali hasrat penuh sedekap
Bersujud diri merambah akrab
Lalu salam sewangi kembang
Bagi kiri kanan tiada pandang
Dan zikir senantiasa sumilir
Mengalirkan cinta dari hulu hingga hilir
Dalam doa ada senyum shalawat
Kepada sesama erat berjabat
Itulah ziarah sepanjang shalat
Pinta dan rahmat diaminkan para malaikat
DARI SEBUAH JENDELA
Jendela yang mengetukketuk deras hujan
Adalah bayangmu yang tibatiba bersalam
Lalu kau buka mantel dan memeras
Gerai rambut yang bercucuran
Adakah yang lebih puitik
Ketimbang senyummu yang gemetar
Lalu binar mata dan bening suaramu
Menghaluskan ini jiwa dalam dingin yang nanar
Duduklah, nikmati kopi
Dan jangan dulu berkata-kata
Biarkan sejarah yang barusan berputar
Mengheningkan resah sembari
Memijit-mijit kalbu yang kepegalan
Oleh daundaun yang menempelkan tangan di kaca
Jendela itu kembali terbuka
Mempersilakan tangismu menerobos
Bersama luruh angin yang luka
HIDUP ATAU MAUT
Perjalanan ini begitu mencengangkan
Pendakian ini begitu mengerikan
Berenang ke laut tak berpantai
Menyelam ke dasar samudera tak bertanda
Bergayut di pohon tak berdaun
Kehidupan adalah pengejaran
Dari huruf-huruf kematian
Kematian adalah mata-rantai
Yang selalu membelenggu dan mengintai
Pengembangan hanya menatah
Langkah-langkah maut yang tercecer
Sedang kerongkongan kita
Selalau dahaga akan rasa dan laba
Apa makna serta hakikat rumput-rumput kering
Dan bebatuan lebur jadi kerikil
Sedang lautan dan gunung-gunung tak pernah akrab
Dan menyapa pada langit
Bintang planit serta gugusan bimasaksi
Hanya selalau kita uji tanpa taburan maknawi
Hidup atau mautkah ini
ODE KETEGUHAN
Seperti barisan semut
Engkau tak menemukan Sulaiman
Kapal Nuh telah lama pula karam
Hanya tanah dan sisa keyakinan
Meski itu pun kerap digerus gundah
Engkau menanam rasa pasrah
Sembari berharap esok tak panen air bah
Seperti kerumunan rayap
Orang-orang akan menganggapmu tak ubahnya kurap
Menggerogoti tiang dan dinding diam-diam
Menggelontorkan nanar dan waswas di lantai pualam
Disemprotnya dengan gas dan api
Namun engkau mempersilakan diri
Dan tak sejangkah pun berkehendak pergi
Yogya, 1998
PERBURUAN DI HATI
Banyak yang tak kita pahami
Dari putaran waktu, seperti
Gerak putingbeliung di hati
Lalu kita lari menghindar
Atau jika kalah, segera nasib
Begitu saja kan tersambar
Tetapi terhadap hidup
Tiada lelah-lelah kita berburu
Seperti awan mengejar musim
Hanya sesekali tertidur
Selebihnya kelana laksana angin
Begitulah, dari rahim waktu
Senantiasa berlahiran hujan
Membasahi hati
Mengubur kemenangan-kemenangan
Yogya, 1999
ZIARAH DOA
Dan doa adalah
Persembahyangan dalam ziarah
Menali hasrat penuh sedekap
Bersujud diri merambah akrab
Lalu salam sewangi kembang
Bagi kiri kanan tiada pandang
Dan zikir senantiasa sumilir
Mengalirkan cinta dari hulu hingga hilir
Dalam doa ada senyum shalawat
Kepada sesama erat berjabat
Itulah ziarah sepanjang shalat
Pinta dan rahmat diaminkan para malaikat
DARI SEBUAH JENDELA
Jendela yang mengetukketuk deras hujan
Adalah bayangmu yang tibatiba bersalam
Lalu kau buka mantel dan memeras
Gerai rambut yang bercucuran
Adakah yang lebih puitik
Ketimbang senyummu yang gemetar
Lalu binar mata dan bening suaramu
Menghaluskan ini jiwa dalam dingin yang nanar
Duduklah, nikmati kopi
Dan jangan dulu berkata-kata
Biarkan sejarah yang barusan berputar
Mengheningkan resah sembari
Memijit-mijit kalbu yang kepegalan
Oleh daundaun yang menempelkan tangan di kaca
Jendela itu kembali terbuka
Mempersilakan tangismu menerobos
Bersama luruh angin yang luka
HIDUP ATAU MAUT
Perjalanan ini begitu mencengangkan
Pendakian ini begitu mengerikan
Berenang ke laut tak berpantai
Menyelam ke dasar samudera tak bertanda
Bergayut di pohon tak berdaun
Kehidupan adalah pengejaran
Dari huruf-huruf kematian
Kematian adalah mata-rantai
Yang selalu membelenggu dan mengintai
Pengembangan hanya menatah
Langkah-langkah maut yang tercecer
Sedang kerongkongan kita
Selalau dahaga akan rasa dan laba
Apa makna serta hakikat rumput-rumput kering
Dan bebatuan lebur jadi kerikil
Sedang lautan dan gunung-gunung tak pernah akrab
Dan menyapa pada langit
Bintang planit serta gugusan bimasaksi
Hanya selalau kita uji tanpa taburan maknawi
Hidup atau mautkah ini
ODE KETEGUHAN
Seperti barisan semut
Engkau tak menemukan Sulaiman
Kapal Nuh telah lama pula karam
Hanya tanah dan sisa keyakinan
Meski itu pun kerap digerus gundah
Engkau menanam rasa pasrah
Sembari berharap esok tak panen air bah
Seperti kerumunan rayap
Orang-orang akan menganggapmu tak ubahnya kurap
Menggerogoti tiang dan dinding diam-diam
Menggelontorkan nanar dan waswas di lantai pualam
Disemprotnya dengan gas dan api
Namun engkau mempersilakan diri
Dan tak sejangkah pun berkehendak pergi
Yogya, 1998
PERBURUAN DI HATI
Banyak yang tak kita pahami
Dari putaran waktu, seperti
Gerak putingbeliung di hati
Lalu kita lari menghindar
Atau jika kalah, segera nasib
Begitu saja kan tersambar
Tetapi terhadap hidup
Tiada lelah-lelah kita berburu
Seperti awan mengejar musim
Hanya sesekali tertidur
Selebihnya kelana laksana angin
Begitulah, dari rahim waktu
Senantiasa berlahiran hujan
Membasahi hati
Mengubur kemenangan-kemenangan
Yogya, 1999
Puisi-Puisi Joko Pinurbo
http://sastrakarta.multiply.com/
CELANA IBU
Maria sangat sedih menyaksikan anaknya
mati di kayu salib tanpa celana
dan hanya berbalutkan sobekan jubah
yang berlumuran darah.
Ketika tiga hari kemudian Yesus bangkit
dari mati, pagi-pagi sekali
Maria datang ke kubur anaknya itu,
membawa celana yang dijahitnya sendiri
dan meminta Yesus mencobanya.
“Paskah?” tanya Maria
“Pas sekali, Bu,” jawab Yesus gembira.
Mengenakan celana buatan ibunya,
Yesus naik ke surga
2004
CELANA
Ia ingin membeli celana baru
buat pergi ke pesta
supaya tampak lebih tampan
dan meyakinkan
Ia telah mencoba seratus model celana
di berbagai toko busana
namun tak menemukan satu pun
yang cocok untuknya
Bahkan di depan pramuniaga
yang merubung dan membujuk-bujuknya
ia malah mencopot celananya sendiri
dan mencampakkannya
“Kalian tidak tahu ya,
aku sedang mencari celana
yang paling pas dan pantas
buat nampang di kuburan.”
Lalu ia ngacir
tanpa celana
dan berkelana
mencari kubur ibunya
hanya untuk menanyakan,
“Ibu, kausimpan di mana celana lucu
yang kupakai waktu bayi dulu?”
(1996)
Bertelur
Dengan perjuangan berat alhamdulillah akhirnya aku
bisa bertelur. Telurku lahir dengan selamat,
warnanya hitam pekat.
Aku ini seorang peternak: saban hari
mengembangbiakkan kata, dan belum kudapatkan kata
yang bisa mengucapkan kita.
Kata yang kucari, konon, ada di dalam telurku ini.
Kuperam telurku di ranjang kata-kata yang sudah lama
tak lagi melahirkan kata. Kuerami ia saban malam
sampai tubuhku demam dan mulutku penuh igauan.
Kalau aku lagi asyik mengeram, diam-diam telurku
suka meloncat, memantul-mantul di lantai,
kemudian menggelinding pelan ke toilet,
dan ketika hampir saja nyemplung ke lubang kloset
cepat-cepat ia kutangkap dan kubawa pulang ke ranjang.
Mana telurku? Tiba-tiba banyak orang merasa
kehilangan telur dan mengira aku telah mencurinya
dari ranjang mereka.
Ah telur kata, telur derita, akhirnya kau menetas juga.
Kau menggelembung, memecah, memuncratkan darah
Itu bukan telurku! Mereka berseru.
(2001)
CELANA IBU
Maria sangat sedih menyaksikan anaknya
mati di kayu salib tanpa celana
dan hanya berbalutkan sobekan jubah
yang berlumuran darah.
Ketika tiga hari kemudian Yesus bangkit
dari mati, pagi-pagi sekali
Maria datang ke kubur anaknya itu,
membawa celana yang dijahitnya sendiri
dan meminta Yesus mencobanya.
“Paskah?” tanya Maria
“Pas sekali, Bu,” jawab Yesus gembira.
Mengenakan celana buatan ibunya,
Yesus naik ke surga
2004
CELANA
Ia ingin membeli celana baru
buat pergi ke pesta
supaya tampak lebih tampan
dan meyakinkan
Ia telah mencoba seratus model celana
di berbagai toko busana
namun tak menemukan satu pun
yang cocok untuknya
Bahkan di depan pramuniaga
yang merubung dan membujuk-bujuknya
ia malah mencopot celananya sendiri
dan mencampakkannya
“Kalian tidak tahu ya,
aku sedang mencari celana
yang paling pas dan pantas
buat nampang di kuburan.”
Lalu ia ngacir
tanpa celana
dan berkelana
mencari kubur ibunya
hanya untuk menanyakan,
“Ibu, kausimpan di mana celana lucu
yang kupakai waktu bayi dulu?”
(1996)
Bertelur
Dengan perjuangan berat alhamdulillah akhirnya aku
bisa bertelur. Telurku lahir dengan selamat,
warnanya hitam pekat.
Aku ini seorang peternak: saban hari
mengembangbiakkan kata, dan belum kudapatkan kata
yang bisa mengucapkan kita.
Kata yang kucari, konon, ada di dalam telurku ini.
Kuperam telurku di ranjang kata-kata yang sudah lama
tak lagi melahirkan kata. Kuerami ia saban malam
sampai tubuhku demam dan mulutku penuh igauan.
Kalau aku lagi asyik mengeram, diam-diam telurku
suka meloncat, memantul-mantul di lantai,
kemudian menggelinding pelan ke toilet,
dan ketika hampir saja nyemplung ke lubang kloset
cepat-cepat ia kutangkap dan kubawa pulang ke ranjang.
Mana telurku? Tiba-tiba banyak orang merasa
kehilangan telur dan mengira aku telah mencurinya
dari ranjang mereka.
Ah telur kata, telur derita, akhirnya kau menetas juga.
Kau menggelembung, memecah, memuncratkan darah
Itu bukan telurku! Mereka berseru.
(2001)
Puisi-Puisi Teguh Ranusastra Asmara
http://sastrakarta.multiply.com/
Siapakah Aku
di antara bunyi yang sepi
kulewati jalan setapak ini
tak kan jejakku berpaling pada kasih pengembara
disini ada setumpuk lengking yang bisik
seperti wajah orang dengan kerut-kerut tuanya
memandang bulan mengaca di telaga
Yogya, Awal April 1969
Jalan yang Putus
katakan bahwa kereta tak akan berhenti lagi
di rel ini yang tua
sinya-sinyal mengangguk tunduk berkarat
dulu kereta selalu lewat
dengan bunyi desah yang mengisi senja hari
termakan muatan, manusia penuh tanda tanya
mana kepala setasiun ?
disini kereta tak mau lagi berhenti
rel kembali membujur, dan setasiun
dimakan beribu-ribu kesepian
Yogya, 1969
Sebuah Ruangan Tua
sudahkan tirai ini kau buka kembali
bau busuk, dan debu menambah
ruangan makin hitam
ramat-ramat adalah lukisan dinding tanpa pigura
semua serba mendekap
mentari pertama yang menyentuh dinding
jamur pada melekat
untuk inikah kau akan memulai
langkah yang baru, jalan lenggang
bukalah tirai lebar-lebar
kalau tak ingin mati dibius kepadatan mimpi
Yogya, 1970
K a l i K u n i n g
masih seperti dulu
bening dan sejuk dari lereng merapi
ketika hasrat dibangkitkan lewat cinta
segalanya mencair, batu jadi api
tinggal abu yang memutihkan cemara
seperti rambutmu terbasuh di kali kuning
di kaki bukit
tertinggal luka dan darah membekukan langkah
yang tak pernah sampai
dan jika angin september tiba
mengantar doa-doa
untuk ditaburkan pada hati
menyimpan sepi, penuh misteri
Yogya, 1981
Masih Tersisa
kueja namamu di balik kalender tua
ada yang masih tersisa
lagu dan jarimu menyentuh
rinduku dan musim kemarau meninggalkan
ranting-ranting patah, disini tak ada lagi
ringkik kuda sumbawa dalam padang tandus
mari jendela purba dibuka, menerbarkan wangi
di halaman rumah kita
Yogya, 1982
Siapakah Aku
di antara bunyi yang sepi
kulewati jalan setapak ini
tak kan jejakku berpaling pada kasih pengembara
disini ada setumpuk lengking yang bisik
seperti wajah orang dengan kerut-kerut tuanya
memandang bulan mengaca di telaga
Yogya, Awal April 1969
Jalan yang Putus
katakan bahwa kereta tak akan berhenti lagi
di rel ini yang tua
sinya-sinyal mengangguk tunduk berkarat
dulu kereta selalu lewat
dengan bunyi desah yang mengisi senja hari
termakan muatan, manusia penuh tanda tanya
mana kepala setasiun ?
disini kereta tak mau lagi berhenti
rel kembali membujur, dan setasiun
dimakan beribu-ribu kesepian
Yogya, 1969
Sebuah Ruangan Tua
sudahkan tirai ini kau buka kembali
bau busuk, dan debu menambah
ruangan makin hitam
ramat-ramat adalah lukisan dinding tanpa pigura
semua serba mendekap
mentari pertama yang menyentuh dinding
jamur pada melekat
untuk inikah kau akan memulai
langkah yang baru, jalan lenggang
bukalah tirai lebar-lebar
kalau tak ingin mati dibius kepadatan mimpi
Yogya, 1970
K a l i K u n i n g
masih seperti dulu
bening dan sejuk dari lereng merapi
ketika hasrat dibangkitkan lewat cinta
segalanya mencair, batu jadi api
tinggal abu yang memutihkan cemara
seperti rambutmu terbasuh di kali kuning
di kaki bukit
tertinggal luka dan darah membekukan langkah
yang tak pernah sampai
dan jika angin september tiba
mengantar doa-doa
untuk ditaburkan pada hati
menyimpan sepi, penuh misteri
Yogya, 1981
Masih Tersisa
kueja namamu di balik kalender tua
ada yang masih tersisa
lagu dan jarimu menyentuh
rinduku dan musim kemarau meninggalkan
ranting-ranting patah, disini tak ada lagi
ringkik kuda sumbawa dalam padang tandus
mari jendela purba dibuka, menerbarkan wangi
di halaman rumah kita
Yogya, 1982
Puisi-Puisi Eko Nuryono
http://sastrakarta.multiply.com/
Berguru Kepada Batu-batu
sebab kenyataan hidup seringkali luput
dari segala yang engkau angankan
panas-hujan senantiasa luput dari hitungan
ketika kini putaran musim kehilangan irama
maka bergurulah kepada batu
biarlah ia akan mengajarkan kepadamu
: tentang kearifan
kepada sunyinya bening sungai
kepada tajam matahari yang memanggang tubuhnya
tak pernah keluh-kesah kudengar
dari mulut batu-batu itu, bersama jernih embun pagi
ia sulam dingin-panas cuaca sebagai bait-bait puisi
Kasongan, Agustus 2006
Kasongan-Sidoarum
meski matahari senantiasa terbit-terbenam
pada titik keberangkatan yang berbeda
tetaplah engkau tegap menatap pusat cahayanya
jangan pejamkan matamu dan hiruplah angin
seraya merentang belahan tangan dan jarimu
hari ini adalah milikmu wahai anak-anak alam
usah risau hari depan
karena senyum mengembang dibibir mungil itu
berabad-abad sudah malaikat di tujuh langit
diam-diam merindukan untuk memetiknya
Kasongan, Agustus 2006
Ijinkan Aku Menari
: kenangan kepada oq
sekali ini saja ijinkan aku menari
pada bening kilau matamu itu
ingin kuhadirkan sebuah tarian lanskap hati
meski tanpa merdu gendhing lokananta
kesunyian-keheningan ini cukup sebagai irama
bagi gerak-gemulai jiwaku yang tengah
ditikam gulungan ombak asmara
Kasongan, Agustus 2006
Kepada Gadis
Yang Bermata Sayu Itu
pada pertemuan kali ketiga itu
gelisah dan cemas jelas tersurat di matamu
ada setumpuk kabar yang rapat kau simpan
meski renyah senyummu mencoba menutupi
percayalah pada akhirnya waktu juga
akan menjadi penentu segalanya
juga pada nasib cinta ini yang kini
diam-diam menghijau dalam hatiku
sengaja kubiarkan menjalar dan merindang
sampai waktu akan memberi saat yang tepat
untuk memetik sekuntum kembangnya
ingin kusuntingkan satu untukmu
Kasongan, Agustus 2006
Seikat Mawar Untuk Ibu
: persembahanku untuk ibu sri suwarni
engkaulah telaga itu
jernih air yang menawarkan lelah-penat jiwaku
keteduhan menghadirkan ketenangan bagi anakmu
dan jika lama aku merantau
rinduku membuncah dan sunyi-hening malamku
mencipta seikat puisi mawar
dengan tangan gemetar ingin
kupersembahkan kepadamu ibu,
agar telaga selamanya jadi tenang
dan ijinkan aku untuk bersujud
simpuh dibening matamu yang telaga itu
Jakarta, April 2006
Berguru Kepada Batu-batu
sebab kenyataan hidup seringkali luput
dari segala yang engkau angankan
panas-hujan senantiasa luput dari hitungan
ketika kini putaran musim kehilangan irama
maka bergurulah kepada batu
biarlah ia akan mengajarkan kepadamu
: tentang kearifan
kepada sunyinya bening sungai
kepada tajam matahari yang memanggang tubuhnya
tak pernah keluh-kesah kudengar
dari mulut batu-batu itu, bersama jernih embun pagi
ia sulam dingin-panas cuaca sebagai bait-bait puisi
Kasongan, Agustus 2006
Kasongan-Sidoarum
meski matahari senantiasa terbit-terbenam
pada titik keberangkatan yang berbeda
tetaplah engkau tegap menatap pusat cahayanya
jangan pejamkan matamu dan hiruplah angin
seraya merentang belahan tangan dan jarimu
hari ini adalah milikmu wahai anak-anak alam
usah risau hari depan
karena senyum mengembang dibibir mungil itu
berabad-abad sudah malaikat di tujuh langit
diam-diam merindukan untuk memetiknya
Kasongan, Agustus 2006
Ijinkan Aku Menari
: kenangan kepada oq
sekali ini saja ijinkan aku menari
pada bening kilau matamu itu
ingin kuhadirkan sebuah tarian lanskap hati
meski tanpa merdu gendhing lokananta
kesunyian-keheningan ini cukup sebagai irama
bagi gerak-gemulai jiwaku yang tengah
ditikam gulungan ombak asmara
Kasongan, Agustus 2006
Kepada Gadis
Yang Bermata Sayu Itu
pada pertemuan kali ketiga itu
gelisah dan cemas jelas tersurat di matamu
ada setumpuk kabar yang rapat kau simpan
meski renyah senyummu mencoba menutupi
percayalah pada akhirnya waktu juga
akan menjadi penentu segalanya
juga pada nasib cinta ini yang kini
diam-diam menghijau dalam hatiku
sengaja kubiarkan menjalar dan merindang
sampai waktu akan memberi saat yang tepat
untuk memetik sekuntum kembangnya
ingin kusuntingkan satu untukmu
Kasongan, Agustus 2006
Seikat Mawar Untuk Ibu
: persembahanku untuk ibu sri suwarni
engkaulah telaga itu
jernih air yang menawarkan lelah-penat jiwaku
keteduhan menghadirkan ketenangan bagi anakmu
dan jika lama aku merantau
rinduku membuncah dan sunyi-hening malamku
mencipta seikat puisi mawar
dengan tangan gemetar ingin
kupersembahkan kepadamu ibu,
agar telaga selamanya jadi tenang
dan ijinkan aku untuk bersujud
simpuh dibening matamu yang telaga itu
Jakarta, April 2006
Puisi-Puisi Bambang Darto
http://sastrakarta.multiply.com/
APEL DAN GADIS
Apel merah matang mengeras di dada gadis
mungkin dirabuk pakai kosmetik
kadang nampak lembek
bagai ilham yang sulit menangkap teka-teki
kukunyah dagingnya
dan si gadis pun mengejap bodoh
mengapa ia tak mengumpatku “bangsat”
atau “kau pencuri”
Kenapa ia malah tanya tentang bulan bintang-bintang
yang menggerombol dan berputar-putar di langit tanpa awan!
Tidak!
Aku kehilangan kata yang siap
selain hanya lelucon
Apakah ia suka
itu tergantung kuncinya:
senggama!
AKU MENATAP JEJAKMU
Langit tak pernah berganti
di jalan ini
Kutemukan:
kerisik dedaunan
matahari dan bulan
yang bergerak lambat.
Kutatap jejakku di situ
bergetar bagai senar gitar
Menggaung
memberi hidup bagi yang dicintainya
yang tak lain dirinya sendiri.
Sambil menakar jarak dan dalamnya
: aku megap oleh cahaya
SORE HARI
Hujan turun di saat jam rusak
dan matahari menggelap
Hari tanpa angin
dan ketika geludug menggedor dada
hatiku luka
Ah, cinta yang tak saling berkabar
separo garam separo air tawar merembes ke akar.
Kapan aku tak melihat daun-daun kuning: berguguran
kapan aku tak terkena racun cinta
yang dipelihara lampu lima watt
untuk akhirnya dijadikan korban!
Tapi ini ungkapan februari tergelap
yang ditinggal mata tercerdas
di mana jalan setapak yang menuju bukit itu berkabut
Lebih ke sana sedikit, hanya kenangan
jauh ke sana lagi, hei mari bangkit lagi
dan bukan penantian seperti ini.
Mataku pun lebih nanar
menatap keseluruhan sore
dan membangunnya kembali di malam hari
sebelum akhirnya benar-benar terjun ke laut
: esok hari
APEL DAN GADIS
Apel merah matang mengeras di dada gadis
mungkin dirabuk pakai kosmetik
kadang nampak lembek
bagai ilham yang sulit menangkap teka-teki
kukunyah dagingnya
dan si gadis pun mengejap bodoh
mengapa ia tak mengumpatku “bangsat”
atau “kau pencuri”
Kenapa ia malah tanya tentang bulan bintang-bintang
yang menggerombol dan berputar-putar di langit tanpa awan!
Tidak!
Aku kehilangan kata yang siap
selain hanya lelucon
Apakah ia suka
itu tergantung kuncinya:
senggama!
AKU MENATAP JEJAKMU
Langit tak pernah berganti
di jalan ini
Kutemukan:
kerisik dedaunan
matahari dan bulan
yang bergerak lambat.
Kutatap jejakku di situ
bergetar bagai senar gitar
Menggaung
memberi hidup bagi yang dicintainya
yang tak lain dirinya sendiri.
Sambil menakar jarak dan dalamnya
: aku megap oleh cahaya
SORE HARI
Hujan turun di saat jam rusak
dan matahari menggelap
Hari tanpa angin
dan ketika geludug menggedor dada
hatiku luka
Ah, cinta yang tak saling berkabar
separo garam separo air tawar merembes ke akar.
Kapan aku tak melihat daun-daun kuning: berguguran
kapan aku tak terkena racun cinta
yang dipelihara lampu lima watt
untuk akhirnya dijadikan korban!
Tapi ini ungkapan februari tergelap
yang ditinggal mata tercerdas
di mana jalan setapak yang menuju bukit itu berkabut
Lebih ke sana sedikit, hanya kenangan
jauh ke sana lagi, hei mari bangkit lagi
dan bukan penantian seperti ini.
Mataku pun lebih nanar
menatap keseluruhan sore
dan membangunnya kembali di malam hari
sebelum akhirnya benar-benar terjun ke laut
: esok hari
Puisi-Puisi Evi Idawati
http://sastrakarta.multiply.com/
SONG OF THE WIND
Alam yang berkabar tentang bencana
Tak terdengar oleh telinga manusia
Sekawanan burung camar terbang berarak menghindar
“Larilah ke bukit-bukit! Ke gunung!
Akan datang bencana menenggelamkan Aceh Raya!”
Tapi suara mereka menjadi nyanyian angin
Ibu tuli anak berlari
Menutup telinga sambil berlari
Bermain dengan ombak yang menggelegak
Bersuka ria karena hari baru akan datang
Lalu tak ada sisa
Jerit ibu mencari anak
Teriak suami memanggil istri
Tenggelam bersama riuh ombak, buih, lumpur dan pasir
Putaran dan tarikan arus menyeret mimpi-mimpi
Dan senyuman mereka yang terkubur bersama reruntuhan rumah
Istana yang dibangun dari keringat dan cinta pada negeri
Duhai Nangoe,
Terbacakan isyrarat langit olehmu
Terbacakah ribuan kata yang terukir di awan dari tubuh bocah-bocah
Para ibu dan bapak yang hilang dan tenggelam?
Mereka mati bukan oleh peperangan?
Masihkah engkau menghendaki pertikaian?
Dengarkanlah lagu angin
Dengarkanlah nada-nada angin
Yang berkabar tentang isyarat pemilik alam
Jogja Des 2004
MALAM INI SEPASANG LILIN MERAH MENYALA
Memandang nyala lilin dari hamparan rumput dadamu
Seperti api membakar ilalang di savanna
Menari dihembus angin
Bergoyang antara rose, sedap malam dan camellia
Sementara detak jantungmu memenuhi gendang telingaku
Irama merdu lakukan cinta dan janji setia
Malam ini, sepasang lilin merah menyala
Ada upacara tanpa melati
Di sebuah kamar bernama hati
Jendela masih terbuka
Hembuskan dingin malam
Melewati tirai
Lelapkan aku dalam dekapan
Malam ini, sepasang lilin merah menyala
Tak ada yang meniup hingga habis batang demi batang
Menjelang fajar memulai hari
Menyapa matahari untuk kembali
Malam ini, sepasang lilin merah menyala lagi
Jogja 2003
MELAYANG RUH SUKMA MELAYANG
Nasib yang mempertemukan kita keliru
Menafsirkan coretan takdir di tapakmu
Lapang batu halaman termuka
Tak terbaca sedikitpun catatan tentang kita
Namun semua teryakini bahwa kita harus menepi
Mengucilkan diri dari dinding-dinding yang terbangun dari gelap
Liku lorong yang membuatmu tertunduk
Engkau semakin dalam membenamkan mukamu
Di sumur yang kau gali dari kesakitan
Memang kita tak harus menatap
Bukankah hati menjadi mata menembus dunia
Butalah buta dirimu dalam lingkaran khayal
“Telah menjemputku keabadian!”
Kudengar teriakan itu putus asa di tirai kekalutan
Engkau terbang melayangkan ruh
Sukma tertekan
TAK ADA YANG AKU SEMBUNYIKAN DARIMU
Tak ada yang aku sembunyikan darimu
Semua begitu gamblang terbuka
Seperti tubuhku saat bercinta denganmu
Engkau ada di setiap lekuk, lipatan, tanda diri
Senang, sedih, riang, muram, gelisah dan tenang
Begitupun pikiran-pikiranku cepat terungkap
Oleh sepasang bibir mungil yang menyimpan beribu kata
Jadi apa yang aku sembunyikan darimu?
Bahkan mulutku tak bisa menyembunyikan hati
Ketika engkau bertanya padaku seberapa luas hatiku untukmu?
Aku menjawab tidak seluas cinta untuk anakku
Engkau tidak sabar dan melanjutkan
Seberapa dalam batinmu untukku?
Aku seorang ibu
Mata, tangan, mulut, kaki dan dadaku
Tak ada yang lebih berarti kecuali anak-anakku
Jogja 2002
SONG OF THE WIND
Alam yang berkabar tentang bencana
Tak terdengar oleh telinga manusia
Sekawanan burung camar terbang berarak menghindar
“Larilah ke bukit-bukit! Ke gunung!
Akan datang bencana menenggelamkan Aceh Raya!”
Tapi suara mereka menjadi nyanyian angin
Ibu tuli anak berlari
Menutup telinga sambil berlari
Bermain dengan ombak yang menggelegak
Bersuka ria karena hari baru akan datang
Lalu tak ada sisa
Jerit ibu mencari anak
Teriak suami memanggil istri
Tenggelam bersama riuh ombak, buih, lumpur dan pasir
Putaran dan tarikan arus menyeret mimpi-mimpi
Dan senyuman mereka yang terkubur bersama reruntuhan rumah
Istana yang dibangun dari keringat dan cinta pada negeri
Duhai Nangoe,
Terbacakan isyrarat langit olehmu
Terbacakah ribuan kata yang terukir di awan dari tubuh bocah-bocah
Para ibu dan bapak yang hilang dan tenggelam?
Mereka mati bukan oleh peperangan?
Masihkah engkau menghendaki pertikaian?
Dengarkanlah lagu angin
Dengarkanlah nada-nada angin
Yang berkabar tentang isyarat pemilik alam
Jogja Des 2004
MALAM INI SEPASANG LILIN MERAH MENYALA
Memandang nyala lilin dari hamparan rumput dadamu
Seperti api membakar ilalang di savanna
Menari dihembus angin
Bergoyang antara rose, sedap malam dan camellia
Sementara detak jantungmu memenuhi gendang telingaku
Irama merdu lakukan cinta dan janji setia
Malam ini, sepasang lilin merah menyala
Ada upacara tanpa melati
Di sebuah kamar bernama hati
Jendela masih terbuka
Hembuskan dingin malam
Melewati tirai
Lelapkan aku dalam dekapan
Malam ini, sepasang lilin merah menyala
Tak ada yang meniup hingga habis batang demi batang
Menjelang fajar memulai hari
Menyapa matahari untuk kembali
Malam ini, sepasang lilin merah menyala lagi
Jogja 2003
MELAYANG RUH SUKMA MELAYANG
Nasib yang mempertemukan kita keliru
Menafsirkan coretan takdir di tapakmu
Lapang batu halaman termuka
Tak terbaca sedikitpun catatan tentang kita
Namun semua teryakini bahwa kita harus menepi
Mengucilkan diri dari dinding-dinding yang terbangun dari gelap
Liku lorong yang membuatmu tertunduk
Engkau semakin dalam membenamkan mukamu
Di sumur yang kau gali dari kesakitan
Memang kita tak harus menatap
Bukankah hati menjadi mata menembus dunia
Butalah buta dirimu dalam lingkaran khayal
“Telah menjemputku keabadian!”
Kudengar teriakan itu putus asa di tirai kekalutan
Engkau terbang melayangkan ruh
Sukma tertekan
TAK ADA YANG AKU SEMBUNYIKAN DARIMU
Tak ada yang aku sembunyikan darimu
Semua begitu gamblang terbuka
Seperti tubuhku saat bercinta denganmu
Engkau ada di setiap lekuk, lipatan, tanda diri
Senang, sedih, riang, muram, gelisah dan tenang
Begitupun pikiran-pikiranku cepat terungkap
Oleh sepasang bibir mungil yang menyimpan beribu kata
Jadi apa yang aku sembunyikan darimu?
Bahkan mulutku tak bisa menyembunyikan hati
Ketika engkau bertanya padaku seberapa luas hatiku untukmu?
Aku menjawab tidak seluas cinta untuk anakku
Engkau tidak sabar dan melanjutkan
Seberapa dalam batinmu untukku?
Aku seorang ibu
Mata, tangan, mulut, kaki dan dadaku
Tak ada yang lebih berarti kecuali anak-anakku
Jogja 2002
Puisi-Puisi Sri Setya Rahayu
http://sastrakarta.multiply.com/
ODE BUAT SULTAN
Untuk Sri Sultan Hamengku Buwono IX
Ada seorang anak lelaki kecil yang menangis
ketika sore hari harus kembali ke pondokan
jauh dari teduhnya pohon Keben
jauh dari sembah sujud para abdi dalem
Matahari terbenam di sudut jagad paling barat
rona emasnya menimpa wajah sendu tanpa senyum
penuh sejuta harap, memutar waktu berlari cepat
hingga tujuh hari laju melewat
hingga gerbang megah ada lagi di depan mata
bersimpuh sujud di hadapan ayahanda
Betapa beratnya rindu menggumpal di kalbu
seorang anak lelaki kecil yang memandang dunia:
masih begitu lugu
seorang anak yang tidak pernah sadar bahwa: suatu saat
mata dan telinga tertuju padanya
mengharap ia mengiyakan segala
mengharap tangan membubuh tanda
demi kelangsungan dinasti
demi kelangsungan perjalanan sejarah suatu negeri.
Seorang anak kecil memandang ke barat ketika mentari
sudah tidak lagi terlihat
terngiang lagi kata ramanda bahwa bukan karena ketiadaan kasih
ia dibesarkan di luar kemegahan tahta
namun untuk mempersiapkan diri menghadapi masa yang lebih
besar, di mana ia tegak dan tegar
berkata bahwa: pendidikan Barat tidak mengubah pandangan
hidupnya sebagai seorang Jawa
Seorang anak lelaki kecil berdiri tegak
tidak ada lagi sisa sembab di sudut mata
yang ada adalah pengertian dan kepasrahan
bahwa kepentingan pribadi harus dikurbankan
untuk sesuatu yang sakral dan agung
menggenapi himbauan nenek moyang terbaring istirah panjang
untuk tegaknya suatu bangsa merdeka
kelak bila waktunya tiba.
Jakarta, Januari 1989
BERAWAL DARI CAHAYA
Lepaskan pandang ke arah surga
di mana kedamaian itu ada
dan kita dapat tidur tanpa berjaga-jaga
tanpa takut bila ada seruan serigala
siap merobek dengan taringnya
yakinlah ada pintu yang selalu terbuka
dengan wangi yang tak termata indra
dengan kesejukan yang melenakan udara
dengan pujian yang berkumandang memenuhi aroma jiwa
tanpa takut ada pedang terangkat, belatik menghunjam
dari lidah-lidah manusia menghancurkan
yang menghujat, menista dan mengadu domba
berangkatlah dengan indah
satukan pandang dan lupakanlah segala yang ada
meskipun mereka mengasihimu
dan berharap kehidupan akan berlanjut bersamamu
karena Pemilik Segala Ada
memanggilmu pulang ke rumahNya
awan putih bergumpal seperti kereta
berderap di ruang hampa, mengantarmu pulang pada Sang Empunya
dan kembali ke asal kita: ditiup dari tanah
di mata hembusan udara.
Yogyakarta, Juli 2007
ODE BUAT SULTAN
Untuk Sri Sultan Hamengku Buwono IX
Ada seorang anak lelaki kecil yang menangis
ketika sore hari harus kembali ke pondokan
jauh dari teduhnya pohon Keben
jauh dari sembah sujud para abdi dalem
Matahari terbenam di sudut jagad paling barat
rona emasnya menimpa wajah sendu tanpa senyum
penuh sejuta harap, memutar waktu berlari cepat
hingga tujuh hari laju melewat
hingga gerbang megah ada lagi di depan mata
bersimpuh sujud di hadapan ayahanda
Betapa beratnya rindu menggumpal di kalbu
seorang anak lelaki kecil yang memandang dunia:
masih begitu lugu
seorang anak yang tidak pernah sadar bahwa: suatu saat
mata dan telinga tertuju padanya
mengharap ia mengiyakan segala
mengharap tangan membubuh tanda
demi kelangsungan dinasti
demi kelangsungan perjalanan sejarah suatu negeri.
Seorang anak kecil memandang ke barat ketika mentari
sudah tidak lagi terlihat
terngiang lagi kata ramanda bahwa bukan karena ketiadaan kasih
ia dibesarkan di luar kemegahan tahta
namun untuk mempersiapkan diri menghadapi masa yang lebih
besar, di mana ia tegak dan tegar
berkata bahwa: pendidikan Barat tidak mengubah pandangan
hidupnya sebagai seorang Jawa
Seorang anak lelaki kecil berdiri tegak
tidak ada lagi sisa sembab di sudut mata
yang ada adalah pengertian dan kepasrahan
bahwa kepentingan pribadi harus dikurbankan
untuk sesuatu yang sakral dan agung
menggenapi himbauan nenek moyang terbaring istirah panjang
untuk tegaknya suatu bangsa merdeka
kelak bila waktunya tiba.
Jakarta, Januari 1989
BERAWAL DARI CAHAYA
Lepaskan pandang ke arah surga
di mana kedamaian itu ada
dan kita dapat tidur tanpa berjaga-jaga
tanpa takut bila ada seruan serigala
siap merobek dengan taringnya
yakinlah ada pintu yang selalu terbuka
dengan wangi yang tak termata indra
dengan kesejukan yang melenakan udara
dengan pujian yang berkumandang memenuhi aroma jiwa
tanpa takut ada pedang terangkat, belatik menghunjam
dari lidah-lidah manusia menghancurkan
yang menghujat, menista dan mengadu domba
berangkatlah dengan indah
satukan pandang dan lupakanlah segala yang ada
meskipun mereka mengasihimu
dan berharap kehidupan akan berlanjut bersamamu
karena Pemilik Segala Ada
memanggilmu pulang ke rumahNya
awan putih bergumpal seperti kereta
berderap di ruang hampa, mengantarmu pulang pada Sang Empunya
dan kembali ke asal kita: ditiup dari tanah
di mata hembusan udara.
Yogyakarta, Juli 2007
Langganan:
Postingan (Atom)
A. Mustofa Bisri
A'yat Khalili
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Wachid B.S.
Abi N. Bayan
Abidah El Khalieqy
Acep Syahril
Acep Zamzam Noor
Adi Toha
Adrian Balu
AF Denar Daniar
Afrizal Malna
Agus Manaji
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Maltuf Syamsury
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Ala Roa
Aldika Restu Pramuli
Alfatihatus Sholihatunnisa
Alfiyan Harfi
Ali Makhmud
Ali Subhan
Amelia Rachman
Amie Williams
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Andry Deblenk
Anggie Melianna
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Aprinus Salam
Ariandalu S
Arieyoko Ksmb
Arya Winanda
As Adi Muhammad
Asep Sambodja
Atrap S. Munir
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Badaruddin Amir
Bakdi Sumanto
Bambang Darto
Bambang Kempling
Bambang Widiatmoko
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Bernando J. Sudjibto
Bernard S. Y. Batubara
Binhad Nurrohmat
Budhi Setyawan
Budi Palopo
Bustan Basir Maras
Chairul Abhsar
Chavchay Saifullah
Cut Nanda A.
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Afriady
Dadang Ari Murtono
Daisy Priyanti
Daysi Priyanti
Dea Anugrah
Dea Ayu Ragilia
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Desti Fatin Fauziyyah
Dewi Kartika
Dharmadi
Diah Budiana
Diah Hadaning
Dian Hartati
Didik Komaidi
Dimas Arika Mihardja
Djoko Saryono
Dody Kristianto
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Edy Lyrisacra
Effendi Danata
Eimond Esya
Eka Budianta
Eko Hendri Saiful
Eko Nuryono
El Sahra Mahendra
Ellie R. Noer
Elly Trisnawati
Emha Ainun Nadjib
Endang Supriadi
Endang Susanti Rustamadji
Eny Rose
Eppril Wulaningtyas R
Esha Tegar Putra
Esti Nuryani Kasam
Etik Widya
Evi Idawati
Evi Melyati
Evi Sefiani
Evi Sukaesih
Fadhila Ramadhona
Fahmi Faqih
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Fikri MS
Fina Sato
Firman Wally
Fitrah Anugerah
Frischa Aswarini
Gampang Prawoto
Ghaffur Al-Faqqih
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gunawan Maryanto
Gunoto Saparie
Gus tf Sakai
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hari Leo
Haris del Hakim
Hasan Al Banna
Hasan Aspahani
Hasta Indriyana
Helga Worotitjan
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Maja Kelana
Herlinatiens
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Ibnu Wahyudi
Ikarisma Kusmalina
Ike Ayuwandari
Ilenk Rembulan
Imam S Arizal
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santoso
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indrian Koto
Isbedy Stiawan ZS
Iwan Gunadi
Javed Paul Syatha
Jibna Sudiryo
Johan Khoirul Zaman
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Saputro
Jufri Zaituna
Jusuf AN
Kadek Wara Urwasi
Kadjie Bitheng MM
Kartika Kusworatri
Kedung Darma Romansha
Kika Syafii
Kirana Kejora
Kirdjomuljo
Kurnia Effendi
Kurniawan Junaedhie
Kurniawan Yunianto
Kusprihyanto Namma
Kuswaidi Syafi’ie
L.K. Ara
Lailatul Muniroh
Landung Rusyanto Simatupang
Lela Siti Nurlaila
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Linus Suryadi AG
Liza Wahyuninto
Lubis Grafura
Lutfi Mardiansyah
M. Badrus Alwi
M. Faizi
Maghfur Munif
Maghie Oktavia
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maman S. Mahayana
Maqhia Nisima
Marcellus Nur Basah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marwanto
Mas Marco Kartodikromo
Mashuri
Mathori A. Elwa
Matroni el-Moezany
Maya Mustika K.
Mega Vristian
Miftahul Abrori
Mohammad Yamin
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muntamah Cendani
Mustiar AR
Mustofa W Hasyim
Mutia Sukma
Nadjib Kartapati Z
Nanang Suryadi
Nezar Patria
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Noor Sam
Nunung S. Sutrisno
Nur Iswantara
Nur Lodzi Hady
Nur Wahida Idris
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Pariyo Adi
Pringadi AS
Pringgo HR
Puisi-Puisi Indonesia
Purwadmadi Admadipurwa
Puspita Rose
Putri Sarinande
R. Toto Sugiharto
Rachmat Djoko Pradopo
Raedu Basha
Ragil Suwarno Pragolapati
Rakai Lukman
Rama Prabu
Ramadhan KH
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Ribut Wijoto
Rikard Diku
Robin Al Kautsar
Rozi Kembara
Rudi Hartono
Rusydi Zamzami
S Yoga
Sahaya Santayana
Saiful Bakri
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Selendang Sulaiman
Seli Desmiarti
Sigit Sugito
Sihar Ramses Simatupang
Siska Afriani
Sitok Srengenge
Sitor Situmorang
Slamet Rahardjo Rais
Slamet Widodo
Sosiawan Leak
Sreismitha Wungkul
Sri Harjanto Sahid
Sri Jayantini
Sri Setya Rahayu
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sumargono SN
Suminto A. Sayuti
Sunardi KS
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Sutirman Eka Ardhana
Syifa Aulia
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Triaton
Tengsoe Tjahjono
Tharie Rietha
Thowaf Zuharon
Timur Sinar Suprabana
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Ulfatin Ch
Umbu landu Paranggi
Unieq Awien
Usman Arrumy
W. Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Hidayat
Wahyu Subuh
Warih Wisatsana
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Widi Astuti
Wiji Thukul
Winarni R.
Y. Wibowo
Yonathan Rahardjo
Yosi M Giri
Yudhi Herwibowo
Yudhiono Aprianto
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Yuswan Taufiq
Yuswinardi
Zaenal Faudin
Zainal Arifin Thoha
Zamroni Allief Billah
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae