http://www.sastra-indonesia.com/
Berlayar Menuju Tanahmu
Mungkin musim masih enggan mengantar kita
kembali seperti Februari tahun lalu.
Ada perjalanan yang terus kenang
terekam di memori bayang mata.
O jasad yang di seberang sana
aku sedang berlayar
menuju tanahmu yang ranum itu
sambil membaca puisi sulamanmu.
Parahyangan, Maret 2008
Cahaya di Halaman Mata
Kutanam cahaya di halaman mata
menghasilkan anak-anak matahari.
Kutulis kesetiaan sebagai garis tangan
melahir sajak-sajak perjalanan.
Kukayuh tubuh saat petang
rubuhkan sisa-sisa waktu.
Kusulam hujan pada tanah basah
menyisakan pohon-pohon kerinduan.
Parahyangan, Maret 2008
Serupa Selat
: Kang Nyonk
Meski jasad tak sampai di matamu
aku serupa selat
melayarkan sampan yang karam
ke lengkung senyummu.
Parahyangan, 31 Juli 2008
Pertalian Mata
: Novia
Sajak tumbuh di matamu
mengakar hingga penghujung musim
musim yang bertuan hujan.
Dan jantung bergetar
tanda siap berlayar
menuju tangan tak hambar.
Jangkrik merekam peristiwa
ombak jadi puntalan usia.
Sesampainya di telaga warna
tubuh serupa perahu
karam sebelum waktu.
Parahyangan, Juli 2008
*) Sihir Terakhir, Antologi Puisi Penyair Perempuan ASAS, Penerbit PUstaka puJAngga, 2009.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Jumat, 09 April 2010
Puisi-Puisi Tita Maria Kanita
http://www.sastra-indonesia.com/
Telinga
Suaraku lebih mewah dari lanskap di wajah bersisik.
Maka tutup matamu
karna saat mata terpejam, para telinga terbangun.
Jika mampu manusia merajai indera lainnya, maka
‘kan kupinta pula kaututup lidah, hidung, serta arimu karna yang kumau
cuma telinga dan kepekaan gendangnya meski kental dan jingga berlilin.
Indera yang teragung bagi para
Muslim, Nasrani, dan Ibrani untuk kubisiki.
Bahwa menyimak wanita tidak
cuma dilihat, namun juga didengar.
Bandung, Juli 2008
Tentang Berebut Magelang
Kami tidak Cuma berterima kasih tapi juga menerima kasih untuk sebulan Juni
Saat Gunung Kidul kembali subur dan di Magelang tak ada lagi sakit gigi
kami nanti engkau di pangkal Selat Bali
Bandung, Agustus 2008
*) Sihir Terakhir, Antologi Puisi Penyair Perempuan ASAS, Penerbit PUstaka puJAngga, 2009.
Telinga
Suaraku lebih mewah dari lanskap di wajah bersisik.
Maka tutup matamu
karna saat mata terpejam, para telinga terbangun.
Jika mampu manusia merajai indera lainnya, maka
‘kan kupinta pula kaututup lidah, hidung, serta arimu karna yang kumau
cuma telinga dan kepekaan gendangnya meski kental dan jingga berlilin.
Indera yang teragung bagi para
Muslim, Nasrani, dan Ibrani untuk kubisiki.
Bahwa menyimak wanita tidak
cuma dilihat, namun juga didengar.
Bandung, Juli 2008
Tentang Berebut Magelang
Kami tidak Cuma berterima kasih tapi juga menerima kasih untuk sebulan Juni
Saat Gunung Kidul kembali subur dan di Magelang tak ada lagi sakit gigi
kami nanti engkau di pangkal Selat Bali
Bandung, Agustus 2008
*) Sihir Terakhir, Antologi Puisi Penyair Perempuan ASAS, Penerbit PUstaka puJAngga, 2009.
Puisi-Puisi Seli Desmiarti
http://www.sastra-indonesia.com/
Sihir Terakhir
Apa yang kau harapkan ketika mengurai kenangan
Senyum tertahan, kata tersimpan di tenggorokan
tangan kiri membaca mantra, tangan kanan berdoa ke langit juga
Kutaruh di balik saku jaketmu
sesuatu yang tak kau pahami, tentang mula
ikan renang, lompat katak, lari kijang, terbang burung,
juga tanganku yang murung. Letakkan kemudian dalam lemari, kuncilah
jangan pernah tergoda untuk membukanya hingga terpahami rayap-rayap
di ribuan malam pengantinmu. Berdoalah jangan ada kelak
teryakini di punggung tanganmu,
menggenggam murung itu.
2008
Surat untuk Bunda
Bunda, ketika matahari telah sempurna digantikan neon
mungkin aku hanyalah sebuah kabar dari rantau, berbekal sebuah harapan
bahwa kelak aku kembali bersama mimpi hari ini yang telah kujadikan
kenyataan
Bunda, sejujurnya aku telah berpurapura tak peduli dengan ratusan mimpi
buruk dan juga ribuan tangis yang tumpah di ranjang pengantinmu,
hingga nyeri tertanam pula di dadaku
Bunda, aku tak pernah menyalahkanmu atas bibir yang tak pernah mampu
memanggil bapak
karena wajahnya tak kau ajarkan hadir di benakku
Bunda, kemarin bapak hadir di selembar wajah yang terselip di balik bantal
hingga tersusun niat
sengalir darah, akan kucari ia dan membawanya untukmu
Bunda, suara subuh mengajarkan sebuah harapan, walau terbata bersama
tangis tertahan doa pun
mulai berani kunyalakan, sesuci air susu yang ngalir di ragaku, tak boleh lagi
nyeri terasa di
dadamu, kecuali senyum terindah yang kembali hadir di wajahmu
Bunda, sertakan doa untukku di tiap malammu, agar aku tak lagi hanya kabar
dari rantau
: anak malang yang ditawan tahun
2008
Memoar
Memar
Masih saja kau mengukir biru
pada tubuhtubuh terkasih
perangkap apa yang hendak kau buat hadir
sebagai nyeri
Kamar
Barangkali, tubuh yang tengah disekap jadi dinding
kelak mampu kubuat jadi pasir
di landai pantai
; semakin kudengar ombak
hantam kamar kerang
Debar
telah hilang warna laut malam ini
mulailah nyalakan damar pengantar debur
pada laut
;biru dadamu
Camar
Batas langit mana mampu membuat sayapmu
menunduk, bukan mengalah
sekedar menghirup udara pucukpucuk daun
hutan dekat tubuh pasir
untuk parumu
Mei, 2008
Salam untuk Bapak
Dari balik jendela kulihat wajah malam tengah muram
bulan dicuri hujan, keriangan kota masuk dalam selimut
suasana yang sama ketika ibu berteriak, bapak membanting pintu
dan aku kehilangan air mata
Besoknya, ibu pergi dijemput matahari,
katanya lusa pasti kembali bawa laut
aku mengangguk, berlari ke pelukan nenek
Tapi ketika lusa datang bersama ibu, laut tumpah di rumahku
orangorang memberi karangan bunga buat ibu
Malam ini, air mata basah dekat jendela
kukenali lagi rindu pada ibu
kupeluk wajah itu, lukanya jatuh ke hatiku
Tiba suara langkah mendekati pintu,
diikuti salam, dan suara ketukan
Wajah bapak muncul dari tubuh lelaki tua itu
Kuucapkan salam,
maaf, sepertinya anda salah alamat
Kututup pintu, luka ibu tersenyum di hatiku.
2008
*) Sihir Terakhir, Antologi Puisi Penyair Perempuan ASAS, Penerbit PUstaka puJAngga, 2009.
Sihir Terakhir
Apa yang kau harapkan ketika mengurai kenangan
Senyum tertahan, kata tersimpan di tenggorokan
tangan kiri membaca mantra, tangan kanan berdoa ke langit juga
Kutaruh di balik saku jaketmu
sesuatu yang tak kau pahami, tentang mula
ikan renang, lompat katak, lari kijang, terbang burung,
juga tanganku yang murung. Letakkan kemudian dalam lemari, kuncilah
jangan pernah tergoda untuk membukanya hingga terpahami rayap-rayap
di ribuan malam pengantinmu. Berdoalah jangan ada kelak
teryakini di punggung tanganmu,
menggenggam murung itu.
2008
Surat untuk Bunda
Bunda, ketika matahari telah sempurna digantikan neon
mungkin aku hanyalah sebuah kabar dari rantau, berbekal sebuah harapan
bahwa kelak aku kembali bersama mimpi hari ini yang telah kujadikan
kenyataan
Bunda, sejujurnya aku telah berpurapura tak peduli dengan ratusan mimpi
buruk dan juga ribuan tangis yang tumpah di ranjang pengantinmu,
hingga nyeri tertanam pula di dadaku
Bunda, aku tak pernah menyalahkanmu atas bibir yang tak pernah mampu
memanggil bapak
karena wajahnya tak kau ajarkan hadir di benakku
Bunda, kemarin bapak hadir di selembar wajah yang terselip di balik bantal
hingga tersusun niat
sengalir darah, akan kucari ia dan membawanya untukmu
Bunda, suara subuh mengajarkan sebuah harapan, walau terbata bersama
tangis tertahan doa pun
mulai berani kunyalakan, sesuci air susu yang ngalir di ragaku, tak boleh lagi
nyeri terasa di
dadamu, kecuali senyum terindah yang kembali hadir di wajahmu
Bunda, sertakan doa untukku di tiap malammu, agar aku tak lagi hanya kabar
dari rantau
: anak malang yang ditawan tahun
2008
Memoar
Memar
Masih saja kau mengukir biru
pada tubuhtubuh terkasih
perangkap apa yang hendak kau buat hadir
sebagai nyeri
Kamar
Barangkali, tubuh yang tengah disekap jadi dinding
kelak mampu kubuat jadi pasir
di landai pantai
; semakin kudengar ombak
hantam kamar kerang
Debar
telah hilang warna laut malam ini
mulailah nyalakan damar pengantar debur
pada laut
;biru dadamu
Camar
Batas langit mana mampu membuat sayapmu
menunduk, bukan mengalah
sekedar menghirup udara pucukpucuk daun
hutan dekat tubuh pasir
untuk parumu
Mei, 2008
Salam untuk Bapak
Dari balik jendela kulihat wajah malam tengah muram
bulan dicuri hujan, keriangan kota masuk dalam selimut
suasana yang sama ketika ibu berteriak, bapak membanting pintu
dan aku kehilangan air mata
Besoknya, ibu pergi dijemput matahari,
katanya lusa pasti kembali bawa laut
aku mengangguk, berlari ke pelukan nenek
Tapi ketika lusa datang bersama ibu, laut tumpah di rumahku
orangorang memberi karangan bunga buat ibu
Malam ini, air mata basah dekat jendela
kukenali lagi rindu pada ibu
kupeluk wajah itu, lukanya jatuh ke hatiku
Tiba suara langkah mendekati pintu,
diikuti salam, dan suara ketukan
Wajah bapak muncul dari tubuh lelaki tua itu
Kuucapkan salam,
maaf, sepertinya anda salah alamat
Kututup pintu, luka ibu tersenyum di hatiku.
2008
*) Sihir Terakhir, Antologi Puisi Penyair Perempuan ASAS, Penerbit PUstaka puJAngga, 2009.
Puisi-Puisi Maya Mustika K.
http://www.sastra-indonesia.com/
kau
/1/
kau serupa bangku kosong
terisak kelam dalam goresan muram
tak lagi seperti dulu
ketika dongeng nyanyian tidur
luluh mengalir ketidakberdayaan
/2/
kau serupa bangku kosong
dingin mengiris setiap gelap
mengubur usang pada jejak
dan berakhir di kekosongan sudut
hanya hampa
2007
mungkin
lelahku sudah berada di ujung nafas
mungkinkah aku masih dapat menyulam baju rindu
menjadi kita kelak
dan sekarang
keluhku telah berada di tepi ragaku
2008
telah sampailah
telah sampailah aku pada perkampungan waktu
menembus segala indera
walau terkadang langkah tak mampu hantarkan
walau bahasa tak mampu menyampaikan
rasa dalam selembar tafsir
namun, katakata tak akan pernah cukup
menampung kekosongan
2009
*) Sihir Terakhir, Antologi Puisi Penyair Perempuan ASAS, Penerbit PUstaka puJAngga, 2009.
kau
/1/
kau serupa bangku kosong
terisak kelam dalam goresan muram
tak lagi seperti dulu
ketika dongeng nyanyian tidur
luluh mengalir ketidakberdayaan
/2/
kau serupa bangku kosong
dingin mengiris setiap gelap
mengubur usang pada jejak
dan berakhir di kekosongan sudut
hanya hampa
2007
mungkin
lelahku sudah berada di ujung nafas
mungkinkah aku masih dapat menyulam baju rindu
menjadi kita kelak
dan sekarang
keluhku telah berada di tepi ragaku
2008
telah sampailah
telah sampailah aku pada perkampungan waktu
menembus segala indera
walau terkadang langkah tak mampu hantarkan
walau bahasa tak mampu menyampaikan
rasa dalam selembar tafsir
namun, katakata tak akan pernah cukup
menampung kekosongan
2009
*) Sihir Terakhir, Antologi Puisi Penyair Perempuan ASAS, Penerbit PUstaka puJAngga, 2009.
Puisi-Puisi Lela Siti Nurlaila
http://www.sastra-indonesia.com/
Putih atau Hitam
dalam putih tersirat hitam
mengarungi irama gerak serta tuturku
ia gencar mencari celah untuk menyeruak
sekadar penghias, namun menjadi terlarut
hitam merasuki putih
menyihir sorak-sorai di puncak bahagiaku
tunduk, bukan berarti mati selamanya
mungkin ya, tersadar dalam hitam di atas putih
aku bertudung dalam kegelapan mata
memanjakan hatiku dengan tangisan
kelak ‘kan kubawa sebagai hadiah untukmu
biar putih tak selamanya ada padamu
2008
Selepas Kenangan
bersama embun kau dekap sejengkal ranting
menusuk kesedihan tanah yang mengecup basah
lantas lepas
yang begitu dekat, katamu
sementara aku hanya sebagian dari titiknya
menjadi layak bagi reruntuhan daun yang menggigil
tangan yang menengadah
mungkin hendak melahirkan gerimis
dan
aku duduk bukan merayu
hanya belajar untuk menipu
bagaimana menyembunyikan luka
Bandung, 2008
*) Sihir Terakhir, Antologi Puisi Penyair Perempuan ASAS, Penerbit PUstaka puJAngga, 2009.
Putih atau Hitam
dalam putih tersirat hitam
mengarungi irama gerak serta tuturku
ia gencar mencari celah untuk menyeruak
sekadar penghias, namun menjadi terlarut
hitam merasuki putih
menyihir sorak-sorai di puncak bahagiaku
tunduk, bukan berarti mati selamanya
mungkin ya, tersadar dalam hitam di atas putih
aku bertudung dalam kegelapan mata
memanjakan hatiku dengan tangisan
kelak ‘kan kubawa sebagai hadiah untukmu
biar putih tak selamanya ada padamu
2008
Selepas Kenangan
bersama embun kau dekap sejengkal ranting
menusuk kesedihan tanah yang mengecup basah
lantas lepas
yang begitu dekat, katamu
sementara aku hanya sebagian dari titiknya
menjadi layak bagi reruntuhan daun yang menggigil
tangan yang menengadah
mungkin hendak melahirkan gerimis
dan
aku duduk bukan merayu
hanya belajar untuk menipu
bagaimana menyembunyikan luka
Bandung, 2008
*) Sihir Terakhir, Antologi Puisi Penyair Perempuan ASAS, Penerbit PUstaka puJAngga, 2009.
Puisi-Puisi Ike Ayuwandari
http://www.sastra-indonesia.com/
Embun di Bunga Kol
Sumringah bak matahari yang tersenyum
Ia bertebaran di tanah bumi nan subur
Di pagi yang kabut penuh embun di atasnya
Penuh kesegaran saat mata memandang
Tangan seolah t’lah menyentuh kesegarannya
saat di tiap batang tubuh melekat embun-embun pagi
yang hilang dengan ikhlas memberikan wangi kesegaran baru
yang akan ditatap oleh jutaan mata
Sayang, kuharus kembali
kupercayakan saja pada alam
biar ia yang menjaga bunga kol itu
sampai kupunya waktu lagi
untuk kembali menatap kesegarannya
Lembang, 9 Maret 2008
Pada Sendiri
Kesendirianku
Adalah derik para jangkrik di wajah malam
Saat langit berkabut
Atau jahitan benang hitam yang semrawut
Kesendirianku
Adalah kertas-kertas yang terbang
Hilang menjadi layang-layang
Hitam kelam bagai satu bayang-bayang
Kesendirianku
Adalah rekahan mawar
Yang tak pernah pantas meranum
Ketika malam ini, kau membayang dalam sajakku
Bandung, 2008
Catatan Malam
Maka berhentilah malam
Ketika angin membelah tiap lipatan langit
Membelah sudut sudut awan
Dan akhirnya jatuh sebagai duri
Duri yang menancap nancap mata bumi
Kau lalu tertawa,
Melihat helai rambutku yang memerah pudar
Terus menyunggingkan senyummu
Tapi tidak.
Aku tidak sedang duduk di danau itu
Malam sudah hampir 1/3 nya
Aku menyentuh bibirmu dalam lipatan langit
Kemudian mencumbuinya
Bandung, 2009
*) Sihir Terakhir, Antologi Puisi Penyair Perempuan ASAS, Penerbit PUstaka puJAngga, 2009.
Embun di Bunga Kol
Sumringah bak matahari yang tersenyum
Ia bertebaran di tanah bumi nan subur
Di pagi yang kabut penuh embun di atasnya
Penuh kesegaran saat mata memandang
Tangan seolah t’lah menyentuh kesegarannya
saat di tiap batang tubuh melekat embun-embun pagi
yang hilang dengan ikhlas memberikan wangi kesegaran baru
yang akan ditatap oleh jutaan mata
Sayang, kuharus kembali
kupercayakan saja pada alam
biar ia yang menjaga bunga kol itu
sampai kupunya waktu lagi
untuk kembali menatap kesegarannya
Lembang, 9 Maret 2008
Pada Sendiri
Kesendirianku
Adalah derik para jangkrik di wajah malam
Saat langit berkabut
Atau jahitan benang hitam yang semrawut
Kesendirianku
Adalah kertas-kertas yang terbang
Hilang menjadi layang-layang
Hitam kelam bagai satu bayang-bayang
Kesendirianku
Adalah rekahan mawar
Yang tak pernah pantas meranum
Ketika malam ini, kau membayang dalam sajakku
Bandung, 2008
Catatan Malam
Maka berhentilah malam
Ketika angin membelah tiap lipatan langit
Membelah sudut sudut awan
Dan akhirnya jatuh sebagai duri
Duri yang menancap nancap mata bumi
Kau lalu tertawa,
Melihat helai rambutku yang memerah pudar
Terus menyunggingkan senyummu
Tapi tidak.
Aku tidak sedang duduk di danau itu
Malam sudah hampir 1/3 nya
Aku menyentuh bibirmu dalam lipatan langit
Kemudian mencumbuinya
Bandung, 2009
*) Sihir Terakhir, Antologi Puisi Penyair Perempuan ASAS, Penerbit PUstaka puJAngga, 2009.
Puisi-Puisi Ikarisma Kusmalina
http://www.sastra-indonesia.com/
Rindu Hujan
Apa yang Tuhan jodohkan selain hujan pada tanah
Yang kemudian beranakkan sungai
Dan bercucukan samudera
Entah kapan aku mampu melahirkan sungai
Hingga mampu kudekap samudera
Sedang di sini
Aku teramat rindu hujan
meski kedatangannya hanya lewat gerimis
2009
Ketika Kau menari
Menarilah kamu didadaku
Sebelum semua orang mengetahuinya
Dan biarlah aku yang merasakan
: kaki-kaki kecilmu menginjak dadaku
Karena ketika kau menari
Aku mulai menulis sajak ini
2009
*) Sihir Terakhir, Antologi Puisi Penyair Perempuan ASAS, Penerbit PUstaka puJAngga, 2009.
Rindu Hujan
Apa yang Tuhan jodohkan selain hujan pada tanah
Yang kemudian beranakkan sungai
Dan bercucukan samudera
Entah kapan aku mampu melahirkan sungai
Hingga mampu kudekap samudera
Sedang di sini
Aku teramat rindu hujan
meski kedatangannya hanya lewat gerimis
2009
Ketika Kau menari
Menarilah kamu didadaku
Sebelum semua orang mengetahuinya
Dan biarlah aku yang merasakan
: kaki-kaki kecilmu menginjak dadaku
Karena ketika kau menari
Aku mulai menulis sajak ini
2009
*) Sihir Terakhir, Antologi Puisi Penyair Perempuan ASAS, Penerbit PUstaka puJAngga, 2009.
Puisi-Puisi Fina Sato
http://www.sastra-indonesia.com/
Mungkin Aku Lupa Menghitung Kisah
: buat Rosadi
mungkin aku lupa menghitung kisah
menjadi sejarah pada awal perjalananmu
aku mengiris sungai dan batubatu hitam
yang semaikan suka duka pada akhir
malam sesak kelam
“hujan pun mengantarkan kepulanganmu
dalam kamar gelisahku,” sapamu sesaat
ketika malam merayap gigir di ujung jalan
yang laju tembus halimun pada gelap jalan berbatu
tapi matahari lindapkan kisah pada
lelaki dan segurit puisi
ada sebaris kenangan kausulam
pada punggung kesunyian akhir cerita
pun selayar pesan pejalan yang berangkat
pagi buta kepergiaan
bahkan tak ada janji pertemuan pada episode
tak sempat ditamatkan
waktu kelak bersumpah memberi ruang
untukmu menyapa perempuan yang sampai
di persimpangan
“titipkan sebait puisi untukku,” katamu
embun makin bekukan ujung jarijariku
memahat lekuk kata pada telapak tanganmu
kini aku hanya mampu mengenang
kisah malam lelaki kesah di persimpangan
semusim di rahim kotamu
purnama tak lagi telanjang
saat kepulangan di teras rumah,
hujan telah uraikan gelisah
dari awal cerita di bumi singgah
pada kota laluku
bumi singgah, 2005
Aku yang Tak Pernah Menjumpaimu di Stasiun Kota Kuno
: eko budihardjo—9 juni
Gedung-gedung tua, tangga penuh debu,
tiang-tiang lampu yang ringkih—karena riwayat cahaya
telah dicuri usia, dan trotoar menuju kota kuno
telah lama melumut.
Aku menghentak bunyi pedati
di jalan-jalan punah, ketika kau mengirim mimpi
senja hari tentang bangunan penjajah; atap rapuh.
Seperti aku yang tak pernah mampu menerjemahkanmu
di rusuk-rusuk pendopo yang bisu kuasa
nun terhunus matahari di peta lingkar matamu
Aku yang tiba-tiba disadap wahyu malaikat
tanpa rupa tanpa suara dan tanpa pengertian
yang tidak pernah aku tahu bahwa itu datang
darimu di pagi buta.
Entah apa yang sanggup aku gumamkan
dalam cuaca gasal petang itu
saat sebuah cerita cinta selesai di selasar peron
begitu pula yang kau katakan tentang kehidupan,
yang tidak pernah menjumpaimu sebagai hitungan
melainkan dalam sesak ingatan
serupa laju gerombol asap kereta api yang memacumu
pada rel-rel memoar kota kuno
kau yang mencintai sejarah dan jendela-jendela kayu jati
di gerbong-gerbong tunggu tanpa sesenti menemukan apa-apa
sepandang cerobong kelelangan dihujani bayu pana
selain gedung-gedung tua, tangga penuh debu,
tiang-tiang lampu yang ringkih—karena riwayat cahaya
telah dicuri usia,
aku tak pernah menjumpaimu
di stasiun kota kuno.
bumi singgah,
2009
Sajak Sepotong Bibir
tuhan mungkin sibuk mempertemukan kita kembali
masih ada segelas anggur yang tersisa malam ini
tak perlu cemas, sayang
kita masih punya angan
dan selintas memoar yang tersangkut di ranjang
angin pun masih lewat
sekedar membasuh kenangan yang tak henti memanjang
kau senang mencumbu langit dan gemulai bukit-bukit
padang sabana di persimpangan
pun seikat ranum bibirmu di peraduan
lelakiku, perempuanku
kekasihku dalam sepi
aku menulismu dengan bibir yang bergetar
pada catatan-catatan tua yang tersimpan rapi
di almari
kisahmu adalah petualangan sunyi
yang menari menggelandang hasrat sendiri
rumah sunyi
suara bumi
sepotong sajak ini bukan dukamu
dan melulu menyabit ruhmu
menampung ciuman kepedihanmu
tidak, kekasih
selembar cahaya tersangkut di celanaku
mewujud air mata
yang lupa bagai pertapa
bermain cinta
bumi singgah,
2005
Tak Pernah Kutemukan Wujudmu dalam Riuh
buat Wayan Sunarta
aku tak mengenalmu di Parangtritis atau Tanah Lot
tapi dari potret diri
yang bercerita tentang
sajak-sajak yang menuai sepi
kisahmu
tak pernah kutemukan wujudmu dalam riuh
pada kabut atau hiruk pikuk mimpi
yang menuai arak-arak malam
tapi dari hutan cemara dan
notasi pantai
yang melantunkan musik ombak anak-anak pasir
dan tarian kaki-kaki telanjang para gadis di tepian
seusai tarian laut itu aku hanya menyapamu
dalam kata-kata pada sebuah puisi
tentang ingatan
ihwal seorang perempuan
bukan dongeng si penjaga cahaya
hanya memainkan serenade untukku
menjumpaimu dalam sapa
pada sajak-sajak sendu
tak berwarta
bumi singgah,
2005
*) Sihir Terakhir, Antologi Puisi Penyair Perempuan ASAS, Penerbit PUstaka puJAngga, 2009.
Mungkin Aku Lupa Menghitung Kisah
: buat Rosadi
mungkin aku lupa menghitung kisah
menjadi sejarah pada awal perjalananmu
aku mengiris sungai dan batubatu hitam
yang semaikan suka duka pada akhir
malam sesak kelam
“hujan pun mengantarkan kepulanganmu
dalam kamar gelisahku,” sapamu sesaat
ketika malam merayap gigir di ujung jalan
yang laju tembus halimun pada gelap jalan berbatu
tapi matahari lindapkan kisah pada
lelaki dan segurit puisi
ada sebaris kenangan kausulam
pada punggung kesunyian akhir cerita
pun selayar pesan pejalan yang berangkat
pagi buta kepergiaan
bahkan tak ada janji pertemuan pada episode
tak sempat ditamatkan
waktu kelak bersumpah memberi ruang
untukmu menyapa perempuan yang sampai
di persimpangan
“titipkan sebait puisi untukku,” katamu
embun makin bekukan ujung jarijariku
memahat lekuk kata pada telapak tanganmu
kini aku hanya mampu mengenang
kisah malam lelaki kesah di persimpangan
semusim di rahim kotamu
purnama tak lagi telanjang
saat kepulangan di teras rumah,
hujan telah uraikan gelisah
dari awal cerita di bumi singgah
pada kota laluku
bumi singgah, 2005
Aku yang Tak Pernah Menjumpaimu di Stasiun Kota Kuno
: eko budihardjo—9 juni
Gedung-gedung tua, tangga penuh debu,
tiang-tiang lampu yang ringkih—karena riwayat cahaya
telah dicuri usia, dan trotoar menuju kota kuno
telah lama melumut.
Aku menghentak bunyi pedati
di jalan-jalan punah, ketika kau mengirim mimpi
senja hari tentang bangunan penjajah; atap rapuh.
Seperti aku yang tak pernah mampu menerjemahkanmu
di rusuk-rusuk pendopo yang bisu kuasa
nun terhunus matahari di peta lingkar matamu
Aku yang tiba-tiba disadap wahyu malaikat
tanpa rupa tanpa suara dan tanpa pengertian
yang tidak pernah aku tahu bahwa itu datang
darimu di pagi buta.
Entah apa yang sanggup aku gumamkan
dalam cuaca gasal petang itu
saat sebuah cerita cinta selesai di selasar peron
begitu pula yang kau katakan tentang kehidupan,
yang tidak pernah menjumpaimu sebagai hitungan
melainkan dalam sesak ingatan
serupa laju gerombol asap kereta api yang memacumu
pada rel-rel memoar kota kuno
kau yang mencintai sejarah dan jendela-jendela kayu jati
di gerbong-gerbong tunggu tanpa sesenti menemukan apa-apa
sepandang cerobong kelelangan dihujani bayu pana
selain gedung-gedung tua, tangga penuh debu,
tiang-tiang lampu yang ringkih—karena riwayat cahaya
telah dicuri usia,
aku tak pernah menjumpaimu
di stasiun kota kuno.
bumi singgah,
2009
Sajak Sepotong Bibir
tuhan mungkin sibuk mempertemukan kita kembali
masih ada segelas anggur yang tersisa malam ini
tak perlu cemas, sayang
kita masih punya angan
dan selintas memoar yang tersangkut di ranjang
angin pun masih lewat
sekedar membasuh kenangan yang tak henti memanjang
kau senang mencumbu langit dan gemulai bukit-bukit
padang sabana di persimpangan
pun seikat ranum bibirmu di peraduan
lelakiku, perempuanku
kekasihku dalam sepi
aku menulismu dengan bibir yang bergetar
pada catatan-catatan tua yang tersimpan rapi
di almari
kisahmu adalah petualangan sunyi
yang menari menggelandang hasrat sendiri
rumah sunyi
suara bumi
sepotong sajak ini bukan dukamu
dan melulu menyabit ruhmu
menampung ciuman kepedihanmu
tidak, kekasih
selembar cahaya tersangkut di celanaku
mewujud air mata
yang lupa bagai pertapa
bermain cinta
bumi singgah,
2005
Tak Pernah Kutemukan Wujudmu dalam Riuh
buat Wayan Sunarta
aku tak mengenalmu di Parangtritis atau Tanah Lot
tapi dari potret diri
yang bercerita tentang
sajak-sajak yang menuai sepi
kisahmu
tak pernah kutemukan wujudmu dalam riuh
pada kabut atau hiruk pikuk mimpi
yang menuai arak-arak malam
tapi dari hutan cemara dan
notasi pantai
yang melantunkan musik ombak anak-anak pasir
dan tarian kaki-kaki telanjang para gadis di tepian
seusai tarian laut itu aku hanya menyapamu
dalam kata-kata pada sebuah puisi
tentang ingatan
ihwal seorang perempuan
bukan dongeng si penjaga cahaya
hanya memainkan serenade untukku
menjumpaimu dalam sapa
pada sajak-sajak sendu
tak berwarta
bumi singgah,
2005
*) Sihir Terakhir, Antologi Puisi Penyair Perempuan ASAS, Penerbit PUstaka puJAngga, 2009.
Puisi-Puisi Fadhila Ramadhona
http://www.sastra-indonesia.com/
lelaki penjual dongeng
sebagai apakah engkau akan mengunjungiku lagi?
seorang penari gelisah atau lelaki penjual dongeng
mungkin tak keduanya
tersebab lama kau tak singgah dengan wangian air tanah
pulang jadi dongeng, hari menjelma dongeng, kata seperti dongeng,
sunyi seumpama dongeng, dongeng menjadi lebih renta
“beginilah menghitung lambai sampai tanpa sambut”
kuingat katamu mengakhiri dongeng di hari terakhir kunjunganmu
setelah kita bicarakan hari yang menukar badainya
orang-orang berjalan lekas melepas galau
dengan mesra tahun berdekap sayang
alamat sepi tentang ketiadaan
lalu seperti dirimu
semakin lama orang datang dan pergi
dengan cara yang ganjil
jatinangor, mei 2009
menjadi ingatanmu
: A.R. Kusumah
pada yang berbatas
seseorang di luar sana akan menemukan sunyimu
dan menyulapnya
:waktu
dalam mesra sesuluh redup
perahu layar diarungkan menuju tepian tanpa hasrat kenangan
sebagai duka yang melewati ingatan purba
17 maret 2009
lelaki senja
: H.S Wijaya
ah, memikirkanmu seumpama memasuki sejarah sungai bermuara
dalamnya membikin sepi yang melayarkan
orang rantau dan rumah kepulangan
kira-kira, apa yang dipikirkan pantai ketika sunyi
menjadi laut dan berkali-kali memeluknya?
rantau
o, kelok bakelok ujuang nyanyi,
ujuang nyanyi masuak ka kaba,
antah ka dapek antah indak
ai… (¹
di pesisir
ketika sauh mulai dilepaskan
segaris jantung di mata ombak
telah menjadi penantianmu dari seribu hempas pelarian
hingga bersahut sunyi mendekap tahun kepergian
yang menggambarkan pintu
dan pulang yang dilukis arah
bulan beku mencatat lamun musim
kemudian lindap di bayang debu
acap kali berlayar dengan kegaiban angin
menyinggahi karang pada langit sebuah pulau
tepian doa dan pengabdian para kelana
atas kubur nasib
o, kapa pai kampuanglah tingga ai…
malin duduak jo ati susah
mande di pondok nan takana,
mungkin ka lamo kampuang tingga ai… (²
jauh sampai pengembaraan, waktu serupa asing
tidur panjang dalam padang rahasia.
di tanah yang tinggal, lelaron tersandung sepi
maka dilarungkannya diri ke bunga mekar
meminang singgah tanah bugis
berkali sengau angin berbunyi
menyusup dalam ratap, rupa rindu berbelah oleh gamang
di selembar hujan yang lelah
maka seumpama kembali hanya tuba bagi pantai ibu
dan sisian kampung lengang,
mungkin tinggal suara jangkar lepas dan doa yang batu
o ai…
nan kelok bakelok ujuang tali,
ujuang tali pangabek paga,
antah takabek antah indak; …(³
jatinangor, agustus 2008
*) Sihir Terakhir, Antologi Puisi Penyair Perempuan ASAS, Penerbit PUstaka puJAngga, 2009.
lelaki penjual dongeng
sebagai apakah engkau akan mengunjungiku lagi?
seorang penari gelisah atau lelaki penjual dongeng
mungkin tak keduanya
tersebab lama kau tak singgah dengan wangian air tanah
pulang jadi dongeng, hari menjelma dongeng, kata seperti dongeng,
sunyi seumpama dongeng, dongeng menjadi lebih renta
“beginilah menghitung lambai sampai tanpa sambut”
kuingat katamu mengakhiri dongeng di hari terakhir kunjunganmu
setelah kita bicarakan hari yang menukar badainya
orang-orang berjalan lekas melepas galau
dengan mesra tahun berdekap sayang
alamat sepi tentang ketiadaan
lalu seperti dirimu
semakin lama orang datang dan pergi
dengan cara yang ganjil
jatinangor, mei 2009
menjadi ingatanmu
: A.R. Kusumah
pada yang berbatas
seseorang di luar sana akan menemukan sunyimu
dan menyulapnya
:waktu
dalam mesra sesuluh redup
perahu layar diarungkan menuju tepian tanpa hasrat kenangan
sebagai duka yang melewati ingatan purba
17 maret 2009
lelaki senja
: H.S Wijaya
ah, memikirkanmu seumpama memasuki sejarah sungai bermuara
dalamnya membikin sepi yang melayarkan
orang rantau dan rumah kepulangan
kira-kira, apa yang dipikirkan pantai ketika sunyi
menjadi laut dan berkali-kali memeluknya?
rantau
o, kelok bakelok ujuang nyanyi,
ujuang nyanyi masuak ka kaba,
antah ka dapek antah indak
ai… (¹
di pesisir
ketika sauh mulai dilepaskan
segaris jantung di mata ombak
telah menjadi penantianmu dari seribu hempas pelarian
hingga bersahut sunyi mendekap tahun kepergian
yang menggambarkan pintu
dan pulang yang dilukis arah
bulan beku mencatat lamun musim
kemudian lindap di bayang debu
acap kali berlayar dengan kegaiban angin
menyinggahi karang pada langit sebuah pulau
tepian doa dan pengabdian para kelana
atas kubur nasib
o, kapa pai kampuanglah tingga ai…
malin duduak jo ati susah
mande di pondok nan takana,
mungkin ka lamo kampuang tingga ai… (²
jauh sampai pengembaraan, waktu serupa asing
tidur panjang dalam padang rahasia.
di tanah yang tinggal, lelaron tersandung sepi
maka dilarungkannya diri ke bunga mekar
meminang singgah tanah bugis
berkali sengau angin berbunyi
menyusup dalam ratap, rupa rindu berbelah oleh gamang
di selembar hujan yang lelah
maka seumpama kembali hanya tuba bagi pantai ibu
dan sisian kampung lengang,
mungkin tinggal suara jangkar lepas dan doa yang batu
o ai…
nan kelok bakelok ujuang tali,
ujuang tali pangabek paga,
antah takabek antah indak; …(³
jatinangor, agustus 2008
*) Sihir Terakhir, Antologi Puisi Penyair Perempuan ASAS, Penerbit PUstaka puJAngga, 2009.
Puisi-Puisi Evi Sukaesih
http://www.sastra-indonesia.com/
Ketika Senja
kemudian senja tenggelam
meninggalkan bayang terkenang
dan angin membelai mesra sepiku
seolah mengirim kata
: esok senja kan menggeliat di ujung barat
2009
Skenario
_Seni
dan skenario yang kau kirimkan
masih saja menyimpan kerut di dahiku
kadang ada segaris senyum
pun ada genangan di sudut mataku
Sen, bayangmu melulu menggedor-gedor tubuhku
meninggalkan jejak di ruang batinku
2009
Saat Hujan
hujan merayap dari genting hingga ke celahcelah jendela
gemerciknya mengalunkan nada klasik
ah, ia menyelimuti tubuhku
hingga aku tergeletak pada mimpi
2009
*) Sihir Terakhir, Antologi Puisi Penyair Perempuan ASAS, Penerbit PUstaka puJAngga, 2009.
Ketika Senja
kemudian senja tenggelam
meninggalkan bayang terkenang
dan angin membelai mesra sepiku
seolah mengirim kata
: esok senja kan menggeliat di ujung barat
2009
Skenario
_Seni
dan skenario yang kau kirimkan
masih saja menyimpan kerut di dahiku
kadang ada segaris senyum
pun ada genangan di sudut mataku
Sen, bayangmu melulu menggedor-gedor tubuhku
meninggalkan jejak di ruang batinku
2009
Saat Hujan
hujan merayap dari genting hingga ke celahcelah jendela
gemerciknya mengalunkan nada klasik
ah, ia menyelimuti tubuhku
hingga aku tergeletak pada mimpi
2009
*) Sihir Terakhir, Antologi Puisi Penyair Perempuan ASAS, Penerbit PUstaka puJAngga, 2009.
Puisi-Puisi Evi Sefiani
http://www.sastra-indonesia.com/
Sajak Kerinduan
aku melihat wajahmu berserakan
pada aspal, trotoar, sampai spanduk juga reklame
yang menjadikan kota penuh dengannya
aku melihat wajahmu berjatuhan
dalam semangkuk sarapan
untuk pencernaan yang kosong sejak kemarin pagi
aku melihat wajahmu tercecer di ranjang
usai menghisap mimpi-mimpi sebuah malam sepi
yang menjadikan rindu bersemayam dalam selimutku
: wajahmu menari di pelupuk mataku
Sudirman, 2008
Solitude
bagaimanakah kumaknai kemarau?
sedang jajaran cassia telah dihisapnya
dengan segala kemudahan
daun terakhir di tubuh kering pun dijatuhkan
angin panas menjadi penguasa
negeri asing (kemarau selalu
membangun kerajaan di tanah tandus
ketika rumputrumput merelakan dirinya layu)
maka, kuterima tanah ini menjadi
lahan kesedihan yang ditumbuhi
benih kesunyian abadi
sebab air mata pun telah pasrah diterbangkan
debu semuanya
2009
Suara di Tepi Kali
di tepi kali, aku menemukanmu
pada riak yang memanggilku sayup
ada desah nafasmu bergetar
dan menjerat kerinduan—terus tumbuh
seperti pohonpohon mahoni dirimbun alisku.
di balik pohon ini,
sekali lagi kudengar suaramu
menggeletar perpisahan
yang kau larung menuju sebuah muara—aku
memastikan kau pulang dan meninggalkanku
memisahkan larik kesedihan dalam sajak—air mata.
sekali lagi alur itu juga turut mengajak ikanikan
berenang menjauh dari tepi ini—tempat aku menyaksikan
sunyi dan rindu membatu di arus yang tak berhenti
melagukan namamu.
2009
*) Sihir Terakhir, Antologi Puisi Penyair Perempuan ASAS, Penerbit PUstaka puJAngga, 2009.
Sajak Kerinduan
aku melihat wajahmu berserakan
pada aspal, trotoar, sampai spanduk juga reklame
yang menjadikan kota penuh dengannya
aku melihat wajahmu berjatuhan
dalam semangkuk sarapan
untuk pencernaan yang kosong sejak kemarin pagi
aku melihat wajahmu tercecer di ranjang
usai menghisap mimpi-mimpi sebuah malam sepi
yang menjadikan rindu bersemayam dalam selimutku
: wajahmu menari di pelupuk mataku
Sudirman, 2008
Solitude
bagaimanakah kumaknai kemarau?
sedang jajaran cassia telah dihisapnya
dengan segala kemudahan
daun terakhir di tubuh kering pun dijatuhkan
angin panas menjadi penguasa
negeri asing (kemarau selalu
membangun kerajaan di tanah tandus
ketika rumputrumput merelakan dirinya layu)
maka, kuterima tanah ini menjadi
lahan kesedihan yang ditumbuhi
benih kesunyian abadi
sebab air mata pun telah pasrah diterbangkan
debu semuanya
2009
Suara di Tepi Kali
di tepi kali, aku menemukanmu
pada riak yang memanggilku sayup
ada desah nafasmu bergetar
dan menjerat kerinduan—terus tumbuh
seperti pohonpohon mahoni dirimbun alisku.
di balik pohon ini,
sekali lagi kudengar suaramu
menggeletar perpisahan
yang kau larung menuju sebuah muara—aku
memastikan kau pulang dan meninggalkanku
memisahkan larik kesedihan dalam sajak—air mata.
sekali lagi alur itu juga turut mengajak ikanikan
berenang menjauh dari tepi ini—tempat aku menyaksikan
sunyi dan rindu membatu di arus yang tak berhenti
melagukan namamu.
2009
*) Sihir Terakhir, Antologi Puisi Penyair Perempuan ASAS, Penerbit PUstaka puJAngga, 2009.
Langganan:
Postingan (Atom)
A. Mustofa Bisri
A'yat Khalili
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Wachid B.S.
Abi N. Bayan
Abidah El Khalieqy
Acep Syahril
Acep Zamzam Noor
Adi Toha
Adrian Balu
AF Denar Daniar
Afrizal Malna
Agus Manaji
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Maltuf Syamsury
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Ala Roa
Aldika Restu Pramuli
Alfatihatus Sholihatunnisa
Alfiyan Harfi
Ali Makhmud
Ali Subhan
Amelia Rachman
Amie Williams
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Andry Deblenk
Anggie Melianna
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Aprinus Salam
Ariandalu S
Arieyoko Ksmb
Arya Winanda
As Adi Muhammad
Asep Sambodja
Atrap S. Munir
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Badaruddin Amir
Bakdi Sumanto
Bambang Darto
Bambang Kempling
Bambang Widiatmoko
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Bernando J. Sudjibto
Bernard S. Y. Batubara
Binhad Nurrohmat
Budhi Setyawan
Budi Palopo
Bustan Basir Maras
Chairul Abhsar
Chavchay Saifullah
Cut Nanda A.
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Afriady
Dadang Ari Murtono
Daisy Priyanti
Daysi Priyanti
Dea Anugrah
Dea Ayu Ragilia
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Desti Fatin Fauziyyah
Dewi Kartika
Dharmadi
Diah Budiana
Diah Hadaning
Dian Hartati
Didik Komaidi
Dimas Arika Mihardja
Djoko Saryono
Dody Kristianto
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Edy Lyrisacra
Effendi Danata
Eimond Esya
Eka Budianta
Eko Hendri Saiful
Eko Nuryono
El Sahra Mahendra
Ellie R. Noer
Elly Trisnawati
Emha Ainun Nadjib
Endang Supriadi
Endang Susanti Rustamadji
Eny Rose
Eppril Wulaningtyas R
Esha Tegar Putra
Esti Nuryani Kasam
Etik Widya
Evi Idawati
Evi Melyati
Evi Sefiani
Evi Sukaesih
Fadhila Ramadhona
Fahmi Faqih
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Fikri MS
Fina Sato
Firman Wally
Fitrah Anugerah
Frischa Aswarini
Gampang Prawoto
Ghaffur Al-Faqqih
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gunawan Maryanto
Gunoto Saparie
Gus tf Sakai
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hari Leo
Haris del Hakim
Hasan Al Banna
Hasan Aspahani
Hasta Indriyana
Helga Worotitjan
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Maja Kelana
Herlinatiens
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Ibnu Wahyudi
Ikarisma Kusmalina
Ike Ayuwandari
Ilenk Rembulan
Imam S Arizal
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santoso
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indrian Koto
Isbedy Stiawan ZS
Iwan Gunadi
Javed Paul Syatha
Jibna Sudiryo
Johan Khoirul Zaman
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Saputro
Jufri Zaituna
Jusuf AN
Kadek Wara Urwasi
Kadjie Bitheng MM
Kartika Kusworatri
Kedung Darma Romansha
Kika Syafii
Kirana Kejora
Kirdjomuljo
Kurnia Effendi
Kurniawan Junaedhie
Kurniawan Yunianto
Kusprihyanto Namma
Kuswaidi Syafi’ie
L.K. Ara
Lailatul Muniroh
Landung Rusyanto Simatupang
Lela Siti Nurlaila
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Linus Suryadi AG
Liza Wahyuninto
Lubis Grafura
Lutfi Mardiansyah
M. Badrus Alwi
M. Faizi
Maghfur Munif
Maghie Oktavia
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maman S. Mahayana
Maqhia Nisima
Marcellus Nur Basah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marwanto
Mas Marco Kartodikromo
Mashuri
Mathori A. Elwa
Matroni el-Moezany
Maya Mustika K.
Mega Vristian
Miftahul Abrori
Mohammad Yamin
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muntamah Cendani
Mustiar AR
Mustofa W Hasyim
Mutia Sukma
Nadjib Kartapati Z
Nanang Suryadi
Nezar Patria
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Noor Sam
Nunung S. Sutrisno
Nur Iswantara
Nur Lodzi Hady
Nur Wahida Idris
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Pariyo Adi
Pringadi AS
Pringgo HR
Puisi-Puisi Indonesia
Purwadmadi Admadipurwa
Puspita Rose
Putri Sarinande
R. Toto Sugiharto
Rachmat Djoko Pradopo
Raedu Basha
Ragil Suwarno Pragolapati
Rakai Lukman
Rama Prabu
Ramadhan KH
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Ribut Wijoto
Rikard Diku
Robin Al Kautsar
Rozi Kembara
Rudi Hartono
Rusydi Zamzami
S Yoga
Sahaya Santayana
Saiful Bakri
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Selendang Sulaiman
Seli Desmiarti
Sigit Sugito
Sihar Ramses Simatupang
Siska Afriani
Sitok Srengenge
Sitor Situmorang
Slamet Rahardjo Rais
Slamet Widodo
Sosiawan Leak
Sreismitha Wungkul
Sri Harjanto Sahid
Sri Jayantini
Sri Setya Rahayu
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sumargono SN
Suminto A. Sayuti
Sunardi KS
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Sutirman Eka Ardhana
Syifa Aulia
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Triaton
Tengsoe Tjahjono
Tharie Rietha
Thowaf Zuharon
Timur Sinar Suprabana
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Ulfatin Ch
Umbu landu Paranggi
Unieq Awien
Usman Arrumy
W. Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Hidayat
Wahyu Subuh
Warih Wisatsana
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Widi Astuti
Wiji Thukul
Winarni R.
Y. Wibowo
Yonathan Rahardjo
Yosi M Giri
Yudhi Herwibowo
Yudhiono Aprianto
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Yuswan Taufiq
Yuswinardi
Zaenal Faudin
Zainal Arifin Thoha
Zamroni Allief Billah
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae