Jumat, 09 April 2010

Puisi-Puisi W. Herlya Winna

http://www.sastra-indonesia.com/
Berlayar Menuju Tanahmu

Mungkin musim masih enggan mengantar kita
kembali seperti Februari tahun lalu.
Ada perjalanan yang terus kenang
terekam di memori bayang mata.

O jasad yang di seberang sana
aku sedang berlayar
menuju tanahmu yang ranum itu
sambil membaca puisi sulamanmu.

Parahyangan, Maret 2008



Cahaya di Halaman Mata

Kutanam cahaya di halaman mata
menghasilkan anak-anak matahari.

Kutulis kesetiaan sebagai garis tangan
melahir sajak-sajak perjalanan.

Kukayuh tubuh saat petang
rubuhkan sisa-sisa waktu.

Kusulam hujan pada tanah basah
menyisakan pohon-pohon kerinduan.

Parahyangan, Maret 2008



Serupa Selat
: Kang Nyonk

Meski jasad tak sampai di matamu
aku serupa selat
melayarkan sampan yang karam
ke lengkung senyummu.

Parahyangan, 31 Juli 2008



Pertalian Mata
: Novia

Sajak tumbuh di matamu
mengakar hingga penghujung musim
musim yang bertuan hujan.

Dan jantung bergetar
tanda siap berlayar
menuju tangan tak hambar.

Jangkrik merekam peristiwa
ombak jadi puntalan usia.

Sesampainya di telaga warna
tubuh serupa perahu
karam sebelum waktu.

Parahyangan, Juli 2008

*) Sihir Terakhir, Antologi Puisi Penyair Perempuan ASAS, Penerbit PUstaka puJAngga, 2009.

Puisi-Puisi Tita Maria Kanita

http://www.sastra-indonesia.com/
Telinga

Suaraku lebih mewah dari lanskap di wajah bersisik.
Maka tutup matamu
karna saat mata terpejam, para telinga terbangun.
Jika mampu manusia merajai indera lainnya, maka
‘kan kupinta pula kaututup lidah, hidung, serta arimu karna yang kumau
cuma telinga dan kepekaan gendangnya meski kental dan jingga berlilin.
Indera yang teragung bagi para
Muslim, Nasrani, dan Ibrani untuk kubisiki.
Bahwa menyimak wanita tidak
cuma dilihat, namun juga didengar.

Bandung, Juli 2008



Tentang Berebut Magelang

Kami tidak Cuma berterima kasih tapi juga menerima kasih untuk sebulan Juni
Saat Gunung Kidul kembali subur dan di Magelang tak ada lagi sakit gigi
kami nanti engkau di pangkal Selat Bali

Bandung, Agustus 2008

*) Sihir Terakhir, Antologi Puisi Penyair Perempuan ASAS, Penerbit PUstaka puJAngga, 2009.

Puisi-Puisi Seli Desmiarti

http://www.sastra-indonesia.com/
Sihir Terakhir

Apa yang kau harapkan ketika mengurai kenangan
Senyum tertahan, kata tersimpan di tenggorokan
tangan kiri membaca mantra, tangan kanan berdoa ke langit juga

Kutaruh di balik saku jaketmu
sesuatu yang tak kau pahami, tentang mula
ikan renang, lompat katak, lari kijang, terbang burung,
juga tanganku yang murung. Letakkan kemudian dalam lemari, kuncilah
jangan pernah tergoda untuk membukanya hingga terpahami rayap-rayap
di ribuan malam pengantinmu. Berdoalah jangan ada kelak
teryakini di punggung tanganmu,
menggenggam murung itu.

2008



Surat untuk Bunda

Bunda, ketika matahari telah sempurna digantikan neon
mungkin aku hanyalah sebuah kabar dari rantau, berbekal sebuah harapan
bahwa kelak aku kembali bersama mimpi hari ini yang telah kujadikan
kenyataan

Bunda, sejujurnya aku telah berpurapura tak peduli dengan ratusan mimpi
buruk dan juga ribuan tangis yang tumpah di ranjang pengantinmu,
hingga nyeri tertanam pula di dadaku

Bunda, aku tak pernah menyalahkanmu atas bibir yang tak pernah mampu
memanggil bapak
karena wajahnya tak kau ajarkan hadir di benakku
Bunda, kemarin bapak hadir di selembar wajah yang terselip di balik bantal
hingga tersusun niat
sengalir darah, akan kucari ia dan membawanya untukmu

Bunda, suara subuh mengajarkan sebuah harapan, walau terbata bersama
tangis tertahan doa pun

mulai berani kunyalakan, sesuci air susu yang ngalir di ragaku, tak boleh lagi
nyeri terasa di
dadamu, kecuali senyum terindah yang kembali hadir di wajahmu

Bunda, sertakan doa untukku di tiap malammu, agar aku tak lagi hanya kabar
dari rantau
: anak malang yang ditawan tahun

2008



Memoar

Memar
Masih saja kau mengukir biru
pada tubuhtubuh terkasih
perangkap apa yang hendak kau buat hadir
sebagai nyeri

Kamar
Barangkali, tubuh yang tengah disekap jadi dinding
kelak mampu kubuat jadi pasir
di landai pantai
; semakin kudengar ombak
hantam kamar kerang

Debar
telah hilang warna laut malam ini
mulailah nyalakan damar pengantar debur
pada laut
;biru dadamu

Camar
Batas langit mana mampu membuat sayapmu
menunduk, bukan mengalah
sekedar menghirup udara pucukpucuk daun
hutan dekat tubuh pasir
untuk parumu

Mei, 2008



Salam untuk Bapak

Dari balik jendela kulihat wajah malam tengah muram
bulan dicuri hujan, keriangan kota masuk dalam selimut
suasana yang sama ketika ibu berteriak, bapak membanting pintu
dan aku kehilangan air mata

Besoknya, ibu pergi dijemput matahari,
katanya lusa pasti kembali bawa laut
aku mengangguk, berlari ke pelukan nenek

Tapi ketika lusa datang bersama ibu, laut tumpah di rumahku
orangorang memberi karangan bunga buat ibu

Malam ini, air mata basah dekat jendela
kukenali lagi rindu pada ibu
kupeluk wajah itu, lukanya jatuh ke hatiku

Tiba suara langkah mendekati pintu,
diikuti salam, dan suara ketukan

Wajah bapak muncul dari tubuh lelaki tua itu

Kuucapkan salam,
maaf, sepertinya anda salah alamat

Kututup pintu, luka ibu tersenyum di hatiku.

2008

*) Sihir Terakhir, Antologi Puisi Penyair Perempuan ASAS, Penerbit PUstaka puJAngga, 2009.

Puisi-Puisi Maya Mustika K.

http://www.sastra-indonesia.com/
kau

/1/
kau serupa bangku kosong
terisak kelam dalam goresan muram
tak lagi seperti dulu
ketika dongeng nyanyian tidur
luluh mengalir ketidakberdayaan

/2/
kau serupa bangku kosong
dingin mengiris setiap gelap
mengubur usang pada jejak
dan berakhir di kekosongan sudut
hanya hampa

2007



mungkin

lelahku sudah berada di ujung nafas
mungkinkah aku masih dapat menyulam baju rindu
menjadi kita kelak
dan sekarang
keluhku telah berada di tepi ragaku

2008



telah sampailah

telah sampailah aku pada perkampungan waktu
menembus segala indera
walau terkadang langkah tak mampu hantarkan
walau bahasa tak mampu menyampaikan
rasa dalam selembar tafsir
namun, katakata tak akan pernah cukup
menampung kekosongan

2009

*) Sihir Terakhir, Antologi Puisi Penyair Perempuan ASAS, Penerbit PUstaka puJAngga, 2009.

Puisi-Puisi Lela Siti Nurlaila

http://www.sastra-indonesia.com/
Putih atau Hitam

dalam putih tersirat hitam
mengarungi irama gerak serta tuturku
ia gencar mencari celah untuk menyeruak
sekadar penghias, namun menjadi terlarut

hitam merasuki putih
menyihir sorak-sorai di puncak bahagiaku
tunduk, bukan berarti mati selamanya
mungkin ya, tersadar dalam hitam di atas putih

aku bertudung dalam kegelapan mata
memanjakan hatiku dengan tangisan
kelak ‘kan kubawa sebagai hadiah untukmu
biar putih tak selamanya ada padamu

2008



Selepas Kenangan

bersama embun kau dekap sejengkal ranting
menusuk kesedihan tanah yang mengecup basah
lantas lepas
yang begitu dekat, katamu
sementara aku hanya sebagian dari titiknya
menjadi layak bagi reruntuhan daun yang menggigil
tangan yang menengadah
mungkin hendak melahirkan gerimis

dan

aku duduk bukan merayu
hanya belajar untuk menipu
bagaimana menyembunyikan luka

Bandung, 2008

*) Sihir Terakhir, Antologi Puisi Penyair Perempuan ASAS, Penerbit PUstaka puJAngga, 2009.

Puisi-Puisi Ike Ayuwandari

http://www.sastra-indonesia.com/
Embun di Bunga Kol

Sumringah bak matahari yang tersenyum
Ia bertebaran di tanah bumi nan subur
Di pagi yang kabut penuh embun di atasnya
Penuh kesegaran saat mata memandang

Tangan seolah t’lah menyentuh kesegarannya
saat di tiap batang tubuh melekat embun-embun pagi
yang hilang dengan ikhlas memberikan wangi kesegaran baru
yang akan ditatap oleh jutaan mata

Sayang, kuharus kembali
kupercayakan saja pada alam
biar ia yang menjaga bunga kol itu
sampai kupunya waktu lagi
untuk kembali menatap kesegarannya

Lembang, 9 Maret 2008



Pada Sendiri

Kesendirianku
Adalah derik para jangkrik di wajah malam
Saat langit berkabut
Atau jahitan benang hitam yang semrawut

Kesendirianku
Adalah kertas-kertas yang terbang
Hilang menjadi layang-layang
Hitam kelam bagai satu bayang-bayang

Kesendirianku
Adalah rekahan mawar
Yang tak pernah pantas meranum
Ketika malam ini, kau membayang dalam sajakku

Bandung, 2008



Catatan Malam

Maka berhentilah malam
Ketika angin membelah tiap lipatan langit
Membelah sudut sudut awan
Dan akhirnya jatuh sebagai duri
Duri yang menancap nancap mata bumi

Kau lalu tertawa,
Melihat helai rambutku yang memerah pudar
Terus menyunggingkan senyummu
Tapi tidak.
Aku tidak sedang duduk di danau itu

Malam sudah hampir 1/3 nya
Aku menyentuh bibirmu dalam lipatan langit
Kemudian mencumbuinya

Bandung, 2009

*) Sihir Terakhir, Antologi Puisi Penyair Perempuan ASAS, Penerbit PUstaka puJAngga, 2009.

Puisi-Puisi Ikarisma Kusmalina

http://www.sastra-indonesia.com/
Rindu Hujan

Apa yang Tuhan jodohkan selain hujan pada tanah
Yang kemudian beranakkan sungai
Dan bercucukan samudera

Entah kapan aku mampu melahirkan sungai
Hingga mampu kudekap samudera

Sedang di sini
Aku teramat rindu hujan
meski kedatangannya hanya lewat gerimis

2009



Ketika Kau menari

Menarilah kamu didadaku
Sebelum semua orang mengetahuinya
Dan biarlah aku yang merasakan
: kaki-kaki kecilmu menginjak dadaku
Karena ketika kau menari
Aku mulai menulis sajak ini

2009

*) Sihir Terakhir, Antologi Puisi Penyair Perempuan ASAS, Penerbit PUstaka puJAngga, 2009.

Puisi-Puisi Fina Sato

http://www.sastra-indonesia.com/
Mungkin Aku Lupa Menghitung Kisah
: buat Rosadi

mungkin aku lupa menghitung kisah
menjadi sejarah pada awal perjalananmu
aku mengiris sungai dan batubatu hitam
yang semaikan suka duka pada akhir
malam sesak kelam

“hujan pun mengantarkan kepulanganmu
dalam kamar gelisahku,” sapamu sesaat
ketika malam merayap gigir di ujung jalan
yang laju tembus halimun pada gelap jalan berbatu
tapi matahari lindapkan kisah pada
lelaki dan segurit puisi

ada sebaris kenangan kausulam
pada punggung kesunyian akhir cerita
pun selayar pesan pejalan yang berangkat
pagi buta kepergiaan
bahkan tak ada janji pertemuan pada episode
tak sempat ditamatkan
waktu kelak bersumpah memberi ruang
untukmu menyapa perempuan yang sampai
di persimpangan

“titipkan sebait puisi untukku,” katamu
embun makin bekukan ujung jarijariku
memahat lekuk kata pada telapak tanganmu

kini aku hanya mampu mengenang
kisah malam lelaki kesah di persimpangan
semusim di rahim kotamu
purnama tak lagi telanjang

saat kepulangan di teras rumah,
hujan telah uraikan gelisah
dari awal cerita di bumi singgah
pada kota laluku

bumi singgah, 2005



Aku yang Tak Pernah Menjumpaimu di Stasiun Kota Kuno
: eko budihardjo—9 juni

Gedung-gedung tua, tangga penuh debu,
tiang-tiang lampu yang ringkih—karena riwayat cahaya
telah dicuri usia, dan trotoar menuju kota kuno
telah lama melumut.

Aku menghentak bunyi pedati
di jalan-jalan punah, ketika kau mengirim mimpi
senja hari tentang bangunan penjajah; atap rapuh.
Seperti aku yang tak pernah mampu menerjemahkanmu
di rusuk-rusuk pendopo yang bisu kuasa
nun terhunus matahari di peta lingkar matamu
Aku yang tiba-tiba disadap wahyu malaikat
tanpa rupa tanpa suara dan tanpa pengertian
yang tidak pernah aku tahu bahwa itu datang
darimu di pagi buta.

Entah apa yang sanggup aku gumamkan
dalam cuaca gasal petang itu
saat sebuah cerita cinta selesai di selasar peron
begitu pula yang kau katakan tentang kehidupan,
yang tidak pernah menjumpaimu sebagai hitungan
melainkan dalam sesak ingatan
serupa laju gerombol asap kereta api yang memacumu
pada rel-rel memoar kota kuno

kau yang mencintai sejarah dan jendela-jendela kayu jati
di gerbong-gerbong tunggu tanpa sesenti menemukan apa-apa
sepandang cerobong kelelangan dihujani bayu pana
selain gedung-gedung tua, tangga penuh debu,
tiang-tiang lampu yang ringkih—karena riwayat cahaya
telah dicuri usia,
aku tak pernah menjumpaimu
di stasiun kota kuno.

bumi singgah,
2009



Sajak Sepotong Bibir

tuhan mungkin sibuk mempertemukan kita kembali
masih ada segelas anggur yang tersisa malam ini
tak perlu cemas, sayang
kita masih punya angan
dan selintas memoar yang tersangkut di ranjang
angin pun masih lewat
sekedar membasuh kenangan yang tak henti memanjang

kau senang mencumbu langit dan gemulai bukit-bukit
padang sabana di persimpangan
pun seikat ranum bibirmu di peraduan

lelakiku, perempuanku
kekasihku dalam sepi
aku menulismu dengan bibir yang bergetar
pada catatan-catatan tua yang tersimpan rapi
di almari
kisahmu adalah petualangan sunyi
yang menari menggelandang hasrat sendiri

rumah sunyi
suara bumi
sepotong sajak ini bukan dukamu
dan melulu menyabit ruhmu
menampung ciuman kepedihanmu
tidak, kekasih
selembar cahaya tersangkut di celanaku
mewujud air mata
yang lupa bagai pertapa
bermain cinta

bumi singgah,
2005



Tak Pernah Kutemukan Wujudmu dalam Riuh
buat Wayan Sunarta

aku tak mengenalmu di Parangtritis atau Tanah Lot
tapi dari potret diri
yang bercerita tentang
sajak-sajak yang menuai sepi
kisahmu

tak pernah kutemukan wujudmu dalam riuh
pada kabut atau hiruk pikuk mimpi
yang menuai arak-arak malam
tapi dari hutan cemara dan
notasi pantai
yang melantunkan musik ombak anak-anak pasir
dan tarian kaki-kaki telanjang para gadis di tepian

seusai tarian laut itu aku hanya menyapamu
dalam kata-kata pada sebuah puisi
tentang ingatan
ihwal seorang perempuan
bukan dongeng si penjaga cahaya
hanya memainkan serenade untukku
menjumpaimu dalam sapa
pada sajak-sajak sendu
tak berwarta

bumi singgah,
2005

*) Sihir Terakhir, Antologi Puisi Penyair Perempuan ASAS, Penerbit PUstaka puJAngga, 2009.

Puisi-Puisi Fadhila Ramadhona

http://www.sastra-indonesia.com/
lelaki penjual dongeng

sebagai apakah engkau akan mengunjungiku lagi?
seorang penari gelisah atau lelaki penjual dongeng
mungkin tak keduanya
tersebab lama kau tak singgah dengan wangian air tanah
pulang jadi dongeng, hari menjelma dongeng, kata seperti dongeng,
sunyi seumpama dongeng, dongeng menjadi lebih renta

“beginilah menghitung lambai sampai tanpa sambut”
kuingat katamu mengakhiri dongeng di hari terakhir kunjunganmu
setelah kita bicarakan hari yang menukar badainya
orang-orang berjalan lekas melepas galau
dengan mesra tahun berdekap sayang
alamat sepi tentang ketiadaan

lalu seperti dirimu
semakin lama orang datang dan pergi
dengan cara yang ganjil

jatinangor, mei 2009



menjadi ingatanmu
: A.R. Kusumah

pada yang berbatas
seseorang di luar sana akan menemukan sunyimu
dan menyulapnya
:waktu
dalam mesra sesuluh redup
perahu layar diarungkan menuju tepian tanpa hasrat kenangan
sebagai duka yang melewati ingatan purba

17 maret 2009



lelaki senja
: H.S Wijaya

ah, memikirkanmu seumpama memasuki sejarah sungai bermuara
dalamnya membikin sepi yang melayarkan
orang rantau dan rumah kepulangan
kira-kira, apa yang dipikirkan pantai ketika sunyi
menjadi laut dan berkali-kali memeluknya?

rantau

o, kelok bakelok ujuang nyanyi,
ujuang nyanyi masuak ka kaba,
antah ka dapek antah indak
ai… (¹

di pesisir
ketika sauh mulai dilepaskan
segaris jantung di mata ombak
telah menjadi penantianmu dari seribu hempas pelarian
hingga bersahut sunyi mendekap tahun kepergian
yang menggambarkan pintu
dan pulang yang dilukis arah

bulan beku mencatat lamun musim
kemudian lindap di bayang debu
acap kali berlayar dengan kegaiban angin
menyinggahi karang pada langit sebuah pulau
tepian doa dan pengabdian para kelana
atas kubur nasib

o, kapa pai kampuanglah tingga ai…
malin duduak jo ati susah
mande di pondok nan takana,
mungkin ka lamo kampuang tingga ai… (²

jauh sampai pengembaraan, waktu serupa asing
tidur panjang dalam padang rahasia.
di tanah yang tinggal, lelaron tersandung sepi
maka dilarungkannya diri ke bunga mekar
meminang singgah tanah bugis

berkali sengau angin berbunyi
menyusup dalam ratap, rupa rindu berbelah oleh gamang
di selembar hujan yang lelah
maka seumpama kembali hanya tuba bagi pantai ibu
dan sisian kampung lengang,
mungkin tinggal suara jangkar lepas dan doa yang batu

o ai…
nan kelok bakelok ujuang tali,
ujuang tali pangabek paga,
antah takabek antah indak; …(³

jatinangor, agustus 2008

*) Sihir Terakhir, Antologi Puisi Penyair Perempuan ASAS, Penerbit PUstaka puJAngga, 2009.

Puisi-Puisi Evi Sukaesih

http://www.sastra-indonesia.com/
Ketika Senja

kemudian senja tenggelam
meninggalkan bayang terkenang
dan angin membelai mesra sepiku
seolah mengirim kata
: esok senja kan menggeliat di ujung barat

2009



Skenario
_Seni

dan skenario yang kau kirimkan
masih saja menyimpan kerut di dahiku
kadang ada segaris senyum
pun ada genangan di sudut mataku
Sen, bayangmu melulu menggedor-gedor tubuhku
meninggalkan jejak di ruang batinku

2009



Saat Hujan

hujan merayap dari genting hingga ke celahcelah jendela
gemerciknya mengalunkan nada klasik
ah, ia menyelimuti tubuhku
hingga aku tergeletak pada mimpi

2009

*) Sihir Terakhir, Antologi Puisi Penyair Perempuan ASAS, Penerbit PUstaka puJAngga, 2009.

Puisi-Puisi Evi Sefiani

http://www.sastra-indonesia.com/
Sajak Kerinduan

aku melihat wajahmu berserakan
pada aspal, trotoar, sampai spanduk juga reklame
yang menjadikan kota penuh dengannya

aku melihat wajahmu berjatuhan
dalam semangkuk sarapan
untuk pencernaan yang kosong sejak kemarin pagi

aku melihat wajahmu tercecer di ranjang
usai menghisap mimpi-mimpi sebuah malam sepi
yang menjadikan rindu bersemayam dalam selimutku

: wajahmu menari di pelupuk mataku

Sudirman, 2008



Solitude

bagaimanakah kumaknai kemarau?
sedang jajaran cassia telah dihisapnya
dengan segala kemudahan

daun terakhir di tubuh kering pun dijatuhkan
angin panas menjadi penguasa
negeri asing (kemarau selalu
membangun kerajaan di tanah tandus
ketika rumputrumput merelakan dirinya layu)

maka, kuterima tanah ini menjadi
lahan kesedihan yang ditumbuhi
benih kesunyian abadi
sebab air mata pun telah pasrah diterbangkan
debu semuanya

2009



Suara di Tepi Kali

di tepi kali, aku menemukanmu
pada riak yang memanggilku sayup
ada desah nafasmu bergetar
dan menjerat kerinduan—terus tumbuh
seperti pohonpohon mahoni dirimbun alisku.

di balik pohon ini,
sekali lagi kudengar suaramu
menggeletar perpisahan
yang kau larung menuju sebuah muara—aku
memastikan kau pulang dan meninggalkanku

memisahkan larik kesedihan dalam sajak—air mata.
sekali lagi alur itu juga turut mengajak ikanikan
berenang menjauh dari tepi ini—tempat aku menyaksikan
sunyi dan rindu membatu di arus yang tak berhenti
melagukan namamu.

2009

*) Sihir Terakhir, Antologi Puisi Penyair Perempuan ASAS, Penerbit PUstaka puJAngga, 2009.

A. Mustofa Bisri A'yat Khalili Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Wachid B.S. Abi N. Bayan Abidah El Khalieqy Acep Syahril Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu AF Denar Daniar Afrizal Malna Agus Manaji Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Maltuf Syamsury Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Ala Roa Aldika Restu Pramuli Alfatihatus Sholihatunnisa Alfiyan Harfi Ali Makhmud Ali Subhan Amelia Rachman Amie Williams Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Andry Deblenk Anggie Melianna Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Aprinus Salam Ariandalu S Arieyoko Ksmb Arya Winanda As Adi Muhammad Asep Sambodja Atrap S. Munir Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Badaruddin Amir Bakdi Sumanto Bambang Darto Bambang Kempling Bambang Widiatmoko Beni Setia Beno Siang Pamungkas Bernando J. Sudjibto Bernard S. Y. Batubara Binhad Nurrohmat Budhi Setyawan Budi Palopo Bustan Basir Maras Chairul Abhsar Chavchay Saifullah Cut Nanda A. D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Afriady Dadang Ari Murtono Daisy Priyanti Daysi Priyanti Dea Anugrah Dea Ayu Ragilia Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Desti Fatin Fauziyyah Dewi Kartika Dharmadi Diah Budiana Diah Hadaning Dian Hartati Didik Komaidi Dimas Arika Mihardja Djoko Saryono Dody Kristianto Dorothea Rosa Herliany Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Edy Lyrisacra Effendi Danata Eimond Esya Eka Budianta Eko Hendri Saiful Eko Nuryono El Sahra Mahendra Ellie R. Noer Elly Trisnawati Emha Ainun Nadjib Endang Supriadi Endang Susanti Rustamadji Eny Rose Eppril Wulaningtyas R Esha Tegar Putra Esti Nuryani Kasam Etik Widya Evi Idawati Evi Melyati Evi Sefiani Evi Sukaesih Fadhila Ramadhona Fahmi Faqih Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fatimah Wahyu Sundari Fauzi Absal Felix K. Nesi Fikri MS Fina Sato Firman Wally Fitrah Anugerah Frischa Aswarini Gampang Prawoto Ghaffur Al-Faqqih Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Gunawan Maryanto Gunoto Saparie Gus tf Sakai Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamid Jabbar Hari Leo Haris del Hakim Hasan Al Banna Hasan Aspahani Hasta Indriyana Helga Worotitjan Heri Latief Heri Listianto Heri Maja Kelana Herlinatiens Hudan Hidayat Hudan Nur Ibnu Wahyudi Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilenk Rembulan Imam S Arizal Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santoso Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indrian Koto Isbedy Stiawan ZS Iwan Gunadi Javed Paul Syatha Jibna Sudiryo Johan Khoirul Zaman Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Saputro Jufri Zaituna Jusuf AN Kadek Wara Urwasi Kadjie Bitheng MM Kartika Kusworatri Kedung Darma Romansha Kika Syafii Kirana Kejora Kirdjomuljo Kurnia Effendi Kurniawan Junaedhie Kurniawan Yunianto Kusprihyanto Namma Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lailatul Muniroh Landung Rusyanto Simatupang Lela Siti Nurlaila Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Linus Suryadi AG Liza Wahyuninto Lubis Grafura Lutfi Mardiansyah M. Badrus Alwi M. Faizi Maghfur Munif Maghie Oktavia Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maqhia Nisima Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marwanto Mas Marco Kartodikromo Mashuri Mathori A. Elwa Matroni el-Moezany Maya Mustika K. Mega Vristian Miftahul Abrori Mohammad Yamin Muhammad Ali Fakih Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muntamah Cendani Mustiar AR Mustofa W Hasyim Mutia Sukma Nadjib Kartapati Z Nanang Suryadi Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Noor Sam Nunung S. Sutrisno Nur Iswantara Nur Lodzi Hady Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Pariyo Adi Pringadi AS Pringgo HR Puisi-Puisi Indonesia Purwadmadi Admadipurwa Puspita Rose Putri Sarinande R. Toto Sugiharto Rachmat Djoko Pradopo Raedu Basha Ragil Suwarno Pragolapati Rakai Lukman Rama Prabu Ramadhan KH Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Ribut Wijoto Rikard Diku Robin Al Kautsar Rozi Kembara Rudi Hartono Rusydi Zamzami S Yoga Sahaya Santayana Saiful Bakri Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Selendang Sulaiman Seli Desmiarti Sigit Sugito Sihar Ramses Simatupang Siska Afriani Sitok Srengenge Sitor Situmorang Slamet Rahardjo Rais Slamet Widodo Sosiawan Leak Sreismitha Wungkul Sri Harjanto Sahid Sri Jayantini Sri Setya Rahayu Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunardi KS Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutirman Eka Ardhana Syifa Aulia Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Ranusastra Asmara Teguh Triaton Tengsoe Tjahjono Tharie Rietha Thowaf Zuharon Timur Sinar Suprabana Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Ulfatin Ch Umbu landu Paranggi Unieq Awien Usman Arrumy W. Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyu Subuh Warih Wisatsana Wayan Sunarta Weni Suryandari Widi Astuti Wiji Thukul Winarni R. Y. Wibowo Yonathan Rahardjo Yosi M Giri Yudhi Herwibowo Yudhiono Aprianto Yurnaldi Yusri Fajar Yusuf Suharto Yuswan Taufiq Yuswinardi Zaenal Faudin Zainal Arifin Thoha Zamroni Allief Billah Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae