Rabu, 24 Maret 2010

Puisi-Puisi Ellie R. Noer

http://www.sastra-indonesia.com/
My Mom Superchef

ibu memasak sayur sop
ia menceduk air dari mataku
beberapa gayung
katanya akan dibagikan ke tetangga
kata tetangga
air mataku mengandung khasiat
: mimpi dan citacita

ibu menggoreng katakata
yang selalu dihidangkan untukku
rasanya pedas dan membuatku
betah nongkrong di toilet
beberapa jam sambil bermimpi jadi penari balet
(nari baletnya jangan terlalu lincah nanti ketahuan mamah)

ibu mengupas khayalku
hidangkan di ruang tamu

Rahayu, 13 Oktober 2008



Bidadari Mandi

masa kecilku dulu
sering didongengi tentang bidadari mandi
hingga penasaran ingin lihat tubuh bidadari
berulangkali naik ke genting rumah paling tinggi
sepertinya mereka sembunyi, takut ketahuan
bekas luka bakar, atau
jerawat yang asyik nongkrong di wajahnya
seusai hujan
bidadari segera menutup pintu dengan pelangi
“kali ini harus berhasil,” kataku
teropong canggih sengaja kubeli
simpan di kamar mandi
“HHaaHH”
mereka tidak punya tubuh
dasar ibu pendusta

aku lari mencari ibu
yang sibuk dengan kocokan arisan
“kalau menang kita wisata ke pelangi,”
kata ibu sebelum pergi arisan
“bu, di pelangi tak ada bidadari
aku ingin lihat bidadari mandi,” teriakku

dulu, bidadari mandi di pelangi
sekarang, mandi di menu pagi

Ledeng-LW Panjang, 11 Desember 2007



Menjadi Penyair Lagi*
Untuk Acep Zamzam Noor

cep, di tasikmalaya, kutemukan helaihelai rambutmu
di lantai keramik yang kusam. aku selalu terkenang kepadamu
setiap melihat kacamata, jaket, atau rambut gondrong
atau ketika menyaksikan melvamu dirayu orang.
kini aku kesepian di kereta ini dan merasa
menjadi penyair lagi, anganku duduk denganmu
wajahmu mengantarkanku pada jalan imajinasi
kau tahu, cep, rayuan melvamu menjatuhkan
katakata dalam baris puisi hingga kecemburuanku
menjelma katakata juga

kini aku kesepian di kereta ini dan merasa
menjadi penyair lagi. helaihelai rambutmu yang rontok
kuletakkan dengan hatihati di dekat kemenyan
bersama bunga, boneka, dan segelas air. lalu kutulis puisi
ketika kurasakan tatapanmu ada di mataku
ketika bibirmu menahan kata untuk selingkuh
kutulis puisi sambil mengingatingat pesan melva
: kembalikan celana dalamku, kutang, serta ikat pinggangku
yang lupa aku simpan di bawah ranjang

aku tahu, cep, diamdiam melva cerita padaku
dan malu kembali ke hotelmu. waktu itu
kau telah menolak setelah kau melihat
isi dalam roknya
cep, melvamu adalah tenaga katakata
tapi aku takkan seperti melva yang meninggalkan
celana, atau semacamnya.

o. aku kesepian di sini dan merasa menjadi penyair lagi.

Kereta, 05 Mei 2008
Sajak Acep Zamzam Noor “Menjadi Penyair Lagi”

*) Sihir Terakhir, Antologi Puisi Penyair Perempuan ASAS, Penerbit PUstaka puJAngga, 2009.

Puisi-Puisi Dian Hartati

http://www.sastra-indonesia.com/
Bahtera

bahtera mengapung di permukaan
air mata yang membawanya pergi
seperti burungburung terbang menuju hilir
bahtera kubangun sekuat tenaga
bercampur air mata rasa gelisah

kujelaskan pada mereka
penghuni setiap tingkap
bangunan ini hanya sebuah kegalauan
dan bahtera tetap berkelana
mencari tempat aman di atas kefanaan

bahteraku penuh keluh
selalu diurai kisah masa lalu
siapa penghuni berikutnya

ada firasat tak baik di hati
ragaku adalah bahtera
yang haus kisahkisah baru
di lambungnya terdapat karat
sebab menanti hujan reda
adalah sesuatu yang tak terjangkau

kayukayu berpatahan
koyak dimakan waktu
galau menuju kehampaan
siapa penghuni berikutnya
tak mengawali permulaan dengan kebohongan
nomornomor palsu
katakata hanya berlesatan

air mataku menderas
menggoyahkan samudera
tubuhku rapuh dimakan lumutlumut
kupercayakan alur air yang membawaku
gelombang membuai buritan
tiangtiang mencapai langit
berusaha mensucikan hati
aku dan tubuhku diintai waktu

siapa penghuni berikutnya
dapatkah kujelaskan pada mereka
tempat berlabuh yang aman
tetap tubuhku

SudutBumi, Maret 2008



Pentagon Suatu Malam

mengapa hujan selalu datang tanpa dimengerti
ketika kabut menyusup di bingkaibingkai tanpa terali besi
ruang dipenuhi nadanada
langkah mengiringi setiap nasib puisi

siapa berani menghardik untai kata
yang menempel di papanpapan hijau
mengerti gundah hati
pelataran tanpa cahaya
loronglorong bisu bermakna

resapilah bahwa tanggatangga yang memanjang itu
milik sementara waktu
kau akan beranjak meninggalkan semua kenangan
riuh puisipuisi dibacakan
lagulagu didendangkan

ketahuilah waktumu tak banyak
sekadar mengantar kepulangan
bangunan ini akan koyak
dimakan zaman bernama kenangan

SudutBumi, Desember 2006



Kau tak Melihat Kupukupu di Leherku

siang itu kuberikan leherku
agar kau melihat
sayapsayap mengepak

SudutBumi, 2006



Biar Kusimpan Kenangan Sendiri
~ ba

semenjak lagu itu kau putar
aku mulai tahu
musim tengah berguguran di hatiku
mewartakan setiap gelagat cuaca
dan aku merasakan semilir yang berbeda
dari gerak tubuhmu

jika saja
kita dapat menyimpan setiap kenangan
mungkin kau tak akan
singgah di cakrawala yang lain

biarlah,
kudengarkan senandung ini sendiri

di antara bias hari
kutetapkan hati
untuk bertamu sekali waktu
ketika daundaun
merajut zat hijaunya

ketika kau menghentikan putaran gramofon
di musim yang lain

SudutBumi, 17 Desember 2007

*) Sihir Terakhir, Antologi Puisi Penyair Perempuan ASAS, Penerbit PUstaka puJAngga, 2009.

Puisi-Puisi Diah Budiana

http://www.sastra-indonesia.com/
Menjelang Malam Purnama

kutulis sajak ini untuk kesekian kali
menopang getiran tanda tanya

lalu asap rokok bergetir merasuk aortaku
perbincangan di luar hanya sekadar lampu merah

burung-burung bersua, duduk sahaja
andaikan melodi kalbu dapat kudengar
sudah ke seribu malam purnama itu tak akan habis
ruh takkan meninggalkan jasad
dan kata tak mewakili jawaban
kau sudah terlanjur menggenggam siang-malam

bila kesempurnaan tiada menjadi batasan
akan kukayuh perahu bersamamu
menemui pulau tanpa penghuni
mengakhiri laut

bersamamu menjadi dayang-dayang keabadian
(namun ketika purnama usai, segalanya kau ditinggalkan.)

Serang, 2008



Kiranya Angin Enggan Bersemilir Sendiri

kiranya angin enggan bersemilir sendiri
juga musim malas diperpanjang peralihannya
disinikah paraunya rasa
menghangus batasan kesejukan
kaki pun tak berniat melangkah
bumi tak membara
waktu bersengat
diranjang sulit kumaknai bayangan
sebagaimana rautmu kian serupawan cadas
atau air kali
setiap senja, langit bau tanah
dan kau katakan ada rindu mengapung
pada setiap linangan
pelupuk kuyu
sama halnya kita diterpa patahan dunia
memisahkan diri antara impian yang tersisa.

2009



Namamu di Puisi

andai aku bisa memberi
cinta ini lain lagi dengan kebermilikan jiwa
namun jawaban itu sudah kudapat dari
nafasmu yang menghambat sesak udara
sepertinya. Kamu hanya angin.
sekalipun potongan percakapan
kemarin hanya tanya jawab biasa
bahkan bola matamu itu bergelincir
entah kepada pencarian atau seorang wanita

seperti diam ini akan melahirkan
puisi lagi.
barangkali sampai nuraniku kantuk
dibelai terakhirmu

–memabukkan malam-malamku

detik bercabang ke penjuru barat
berhenti di jarak mili di kota gemilang
padahal, aku si gila yang tiba-tiba
ketus memukul ruang dengan kalimat edan
biarlah aku bercinta dengan puisiku
hanya cara ini, aku berteriak namamu.

2009

*) Sihir Terakhir, Antologi Puisi Penyair Perempuan ASAS, Penerbit PUstaka puJAngga, 2009.

Puisi-Puisi Dewi Kartika

http://www.sastra-indonesia.com/
Bunga Kapal

Bila aku memiliki bunga
Maka aku berhak memberikan nama
Jika kamu memiliki warna
Kamulah yang berhak menentukan rupa
Sebab kita adalah nahkoda kehidupan



Janji Matahari

Celah rembulan telah berlalu untuk kembali membayar rindu
Kekuatan untuk memburu pantai
Memeluk angin, setelah berubah menjadi karang
mengakar ke bumi
hingga saat cahaya rembulan itu datang
membayangi jalan sang putri,
tak harus berdosa jika harus mencumbui waktu
menjunjung tinggi janji seorang ksatria

*) Sihir Terakhir, Antologi Puisi Penyair Perempuan ASAS, Penerbit PUstaka puJAngga, 2009.

Puisi-Puisi Amelia Rachman

http://www.sastra-indonesia.com/
Ke Ujung Pohon

berdiri kaku
di atas akar tersumbat
trotoar mengeras
tengadah menuju ujung kesirnaan
yang kembali rindang
oleh dedaunan yang menggunung
ke sanalah aku akan

aku mulai meraih ranting, berpegang
menapaki dahan demi dahan
coklat menghitam penuh debu
tersisit tangan-tangan jahil
walau lambat merambat
sesekali melihat ujung
ke sanalah aku akan

jika tiba
aku terlepas dari sirna
menjadi ada di ujung
mengatur dunia yang macet
sesak dengan polusi
lelah dari munafik
terancam mati
dalam iba

ke sanalah aku akan
untuk bergerak

8 Muharram 1429 H/ 17 Januari 2008



Untuk Hati

tak perlu buka hati bagi yang lain
tak pantas dekat yang baru

ketika
harus tetapkan kisah terbaik untuk hati

Cikande, Agustus 2007



Pergi

aku ingin pergi saja, berlari
menjauhi segala yang dekat
ingin sendiri, merenung
terdiam dari penat
pergi
menemui anugerah yang abadi

Bandung, 160507

*) Sihir Terakhir, Antologi Puisi Penyair Perempuan ASAS, Penerbit PUstaka puJAngga, 2009.

Puisi-Puisi Desti Fatin Fauziyyah

http://www.sastra-indonesia.com/
Kepada yang Melupakan

sepertinya kita hanya sebuah kartu
nomor, pesan, huruf-huruf dalam tombol
kita hanya album foto
diam dengan senyuman
yang tak berubah
sampai kartu itu hilang
sampai foto itu kenang

kita belum menjadi kita
dan kau melulu jadi pelupa

Agustus, 2007



Bandung-Cianjur

aku menemuimu di lorong hati yang berguncang
kepul asap dan orang-orang bertuai di ladang

kereta ini membawa kita pada jarak tak berujung
di jendela aku mencintai bayang-bayang sendiri

2008



Tentang Angin

Tak perlu kuudarakan kecemasan
ketika kita menyeberangi negerinegeri lain

kuceritakan padamu tentang angin
yang lebih berkuasa pada musim
membawaku kembali pada satu

September, 2007



Kau yang Air

Jangan beri aku ruang dalam malam untuk menjawab pesan dari
yang lain
Ketika angin menjadi kata-kata rindu yang menari disela-sela pintu

Ketuklah!
Kan kubuka pintu untuk lelahmu

2008

*) Sihir Terakhir, Antologi Puisi Penyair Perempuan ASAS, Penerbit PUstaka puJAngga, 2009.

Puisi-Puisi Aldika Restu Pramuli

http://www.sastra-indonesia.com/
Sauh

Kapalmu pada siapa ‘kan berlabuh?
menabuh rindu di atas sauh,
berkata pada senja yang kian purna.
Nyatanya,
Kapalmu tak mau jua tiba
Tempat dulu menyulam peluh bersama topan yang lahirkan kita,
Tapi kita, kini malam yang menjahit suram paling gulita

kapanpun, entah fajar, entah siang,
Ini labuh hanya buat kau yang bersauh

Tasik, Oktober 2007



Tigapuluh April

Hari ini Tuhan menyuguhiku segelas kemarau
Ketika kerongkongan terbiasa kuyup digenangi hujan
Mengajariku bahwa musim senantiasa bertukar alamat
Mengunjungi satu wajah,
Melangkah kemudian mendengkur di wajah lain

Hari ini Tuhan mengajakku bersulang dengan seteguk kemarau,
Musim yang memaksaku menjatuhkan tangis



Lelah

Apa yang mesti diutarakan bumi pada senja
Ketika detak tinggal sepetak menapak malam?
Apa yang mesti disampaikan tanah pada hujan
Ketika air tengah mengancam bandang?
Apa yang mesti diujarkan sauh pada layar
Ketika suara angin berkabar badai?
Apa yang mesti dikatakan,
Ketika lelah?



Mata

Hujan mengajariku rahasia gerimis
lewat air matamu
Lewat sendu yang dikisahkan kantung-kantung mata
yang melekuk luka
dalam perih yang dilukis
akar merah jendelamu

Hujan mengajariku rahasia gerimis
lewat air matamu
Lewat kerdipan bulu mata yang lemah menarikan duka
menyanyikan serpih,
melantunkan pedih

di matamu,
kutemukan rahasia gerimis
lewat hujan yang menitip tangis.

*) Sihir Terakhir, Antologi Puisi Penyair Perempuan ASAS, Penerbit PUstaka puJAngga, 2009.

Puisi-Puisi Cut Nanda A.

http://www.sastra-indonesia.com/
Kenang

kita berpasangan
di depan gedung tua
saat hujan menggandeng angin sore-sore
berjatuhan rincik di atas payung kelabu
menikung pelan ke sunyi
kita diam saja
hanya ada jejak nafas yang pudar

Venustus, 2007



Untuk Betara

aku lempari kau jam
kau bukan menghindar:
mengulurkan tangan lalu membalasnya
berlama-lama dengan rindu dulu

kau sakit:
aku berikan opium tinggi
kau jadi melayang
lalu bawa aku dalam dunia 1001 malam

aku pecahkan kelopak mawar
tapi kau susun lagi dengan air surga buana
mengampelas duri
beri wangi dari jentik-jentik dewi bestari

kapan sabarmu habis, Betara?

Venustus, 2007



Di Pinggir Teratai

percakapan di pinggir teratai begitu santai
tergeletak dua sajak dan sebuah buku tentang jejak
bergerak batu tempat kita duduk
memanggut tanda setuju
langit biru bercermin di bajumu, dan kupu ikut berseru-
seru
aku ingat sesuatu tentang dermaga yang dulu
lalu, runtuh satu-satu titik di kolam itik
kerikil menggigil
tercungkil tungkai kaki terpelanting
kita meminggir
terlihat putih mangir tak terpungkir di wajah yang terkikir

Venustus, 2007

*) Sihir Terakhir, Antologi Puisi Penyair Perempuan ASAS, Penerbit PUstaka puJAngga, 2009.

Puisi-Puisi Alfatihatus Sholihatunnisa

http://www.sastra-indonesia.com/
Kisahku Dimulai dari Namamu

Kisahku dimulai dari namamu
Tentang usia yang tak lagi merekam malam
Tentang gerimis yang tak lagi menangis

Selalu jadi semacam rindu yang rapuh
Ketika tak kutemukan kau di tepian hari
Menghilang di balik mesjid
Lalu aku akan menunggumu di aruh waktu yang lain
Mengingatmu lewat angin

Aku tak pernah tahu akan waktu
Tapi kisahku telah dimulai darimu
Pada isyarat yang kau kirim lewat embun

2008



Pulang

Aku temukan kegelisahan yang lain di sisa perjalanan
Di waktu yang tinggal sepotong
Satu persatu kepingan itu semakin jauh dan hilang
Aku bahkan terlalu takut tuk sekadar memejamkan mata

Ketika pada akhirnya aku harus sampai pada tepian itu
Mungkin akan kutemukan kembali robekan-robekan kenangan
Yang tertinggal di simpangan jalan
Kali ini begitu berat melangkah pulang
Kembali pada hari-hari bisu
Di rumah tak berpintu

2008



Perjalanan

Setiap bait adalah larik-larik tentang puisi
Ditulis pada ngalir air ke laut
Dinyanyikan oleh ombak
lalu dimulai cerita tentang perjalanan

ketika matahari mulai terbenam
burung-burung pulang
cahaya adalah mercusuar
maka tak ada perjalanan yang sesaat
selalu pulang pada rumah

2008



Bandung, di Bulan Juni

“selamat malam, sunyi”
Aku tertinggal waktu

Arah dan waktu
tak kan lagi sama
hanya gerimis yang kadang datang kadang pergi
apa yang kau tangisi langit?
Sedang aku tak sempat membuat airmata

2008

*) Sihir Terakhir, Antologi Puisi Penyair Perempuan ASAS, Penerbit PUstaka puJAngga, 2009.

Puisi-Puisi Dea Ayu Ragilia

http://www.sastra-indonesia.com/
Catatan Hujan 1

Gerimis mengucap salam pada dedaunan
tiap tetesnya adalah doa pada bunda
teringat sunyi, ketika malam mengajarkan kegelapan pada mataku
aku jatuh pada kenangan
tentang rindu, tawa, dan air mata
seperti matamu yang tak lepas kutatap

2008



Matahari

Menjelang pagi
ada yang tiba-tiba tumbuh
ada yang tiba-tiba luruh
pesannya pada lembah, memasuki celah tanah

2008



Sebuah Pesan Tertinggal di Sepertiga Malam
:bapa

ada yang tak bisa kumaknai ketika malam
tentang sunyi
tekateki
juga rindu yang tak henti
kau datang memanggil hujan
memunguti mimpi di ujung jalan
mengadu nasib pada asap rokok juga rambut putihmu
terkadang, bercakap dengan segelas kopi dan sebuah tayangan sepakbola
meski tak cukup memabukkan
kita samasama bermain kata

ah, lagilagi
sepertiga malam itu tlah memanggil
menungguku bergegas pergi
memasuki langit tuamu yang pucat
kembali pada waktu.

2008



Hujan Mengingatkan Kisah Pelayaran

Hujan mengingatkan kisah pelayaran
membuatku bermimpi tentang pulau jauh
sebuah rumah di usia senja.

Adakah hujan ini memanggil kembali kenangan
lantas membawanya pergi?

Hujan mengingatkan kisah pelayaran
melirik malumalu
mengeja pecahan senja di masa itu
kita pernah diamdiam mencuri hujan
menyimpannya dalam almari
setelah sunyi berkalikali
menginginkannya kembali
menjadi puisi.
Jalan retak, arahku pecah
cuaca selalu gagal dikira
tak ada penunjuk jalan sewaktu kalut
kaku direntang jarak
hanya menyudut rela
menahan perpisahan yang tertinggal di sudut pintu.

Hujan kembali mengingatkan kisah pelayaran
turun perlahan
mengecup pertemuan
tanpa salam,
berlalu menyisakan kenangan.

2009

*) Sihir Terakhir, Antologi Puisi Penyair Perempuan ASAS, Penerbit PUstaka puJAngga, 2009.

Rabu, 10 Maret 2010

Puisi-Puisi Pringadi AS

http://oase.kompas.com/
Ilustrasi pemilu

Tentang Merah Warna Kakinya
sejak semula ia tahu: merah warna
kakinya membuat ia ingat darah bapaknya
yang bunuh diri mengiris nadi di tangan kiri
atau ibunya yang kemudian sakit-sakitan
batuk semakin parah sampai berdarah-darah
tak mampu berobat ke dokter di klinik dan rumah sakit
mana pun

(dan) sejak semula ia tahu: merah warna
kakinya telah memerahkan tanah yang sudah
dijejak atau disentuhnya. dibeli sepatu, merah sepatunya
pakai kaus kaki pun merah kaus kakinya. dan di
malam pertama ia baru sadar istrinya turut memerah
saat kakinya dilipat di antara tubuh penuh keringat
(yang sedang bergumul dengan nikmat)

ia lari menjerit, memandangi cermin yang
menampakkan merah matanya dan
merah tubuhnya yang membuatnya lebih menjerit
lalu keluar memandangi langit yang juga memerah
dan udara memerahkan nafasnya membuat ia
memegangi rambutnya yang juga berubah merah

(sejak semula ia (tidak) tahu: merah warna
kakinya tak bisa membuat ia membedakan
warna-warna)



Pe(m)ilu

tak usah pilih kaus mana yang hendak kupakai
di masa kampenya damai. mana saja kuterima
apalagi jika disertai berlembar rupiah entah itu
biru atau merah atau hijau pun bolehlah. asal
tak kurang itu.

kau ajak aku konvoi ke senayan pun tak masalah
asal tak lupa kau gantikan bensin yang biasa habis
untuk narik ojek sampai petang sebab tlah dipecat
aku dari kerjaku akibat krisis ekonomi kemarin.

dan tak usah kau paksa aku jadi tim sukses yang
mempromosikan dirimu sebagai caleg, entah itu
apa kepanjangannya : calon budeg kah? ah tak
masalah asal rupiah kau titipkan di kupiahku
yang sudah kumal dan bulukan.

tapi untuk hak pilih tak bisa kaupaksa. aku terima
apa saja tapi hak pilih adalah privasi seperti hak
opsi yang kautawarkan dalam perjanjian. asasi
yang dilindungi peraturan dan undang-undang
bisa kutuntut di mahkamah jika kau paksa.



Soneta: Matahari Baru

Kaki ini sudah bosan melangkah
Ketika aku mendengarmu berujar pelan:
Suatu saat manusia akan kehabisan tingkah.
“Matahari pun akan redup,” bisikmu pelan.

Tapi bukankah masih ada bulan
Yang tak pernah kehabisan rindu
Yang selalu singgah di banyak genangan
Bahkan di bola matamu yang bulat seperti gundu

“Matahari itu mati?” tanyamu lagi;
Aku turut terengah, tak ingin percaya
Tidak, matahari tak boleh mati
Mana pun, entah selatan entah utara

maka kita menjadi cahaya
menjadi matahari baru
Kisah Seorang Pembaca
Helai kafan membuatmu ingat betapa harta tak
Pernah akan ditanya penjaga kubur. Pun betapa
Gagah tubuhmu yang tak pernah absen latihan
Fitness tiga kali seminggunya.

Tapi betapa ilmu membuatmu pandai berkelit
Dari setiap Tanya yang diucap. Betapa kautahu
Siapa Tuhanmu dari kitab yang kau baca dan
Nabimu yang mengeluarkan hadits-hadits yang
Tak pernah kau dustai.

Dan betapa kau pernah membaca betapa lucu
Abu Nawas yang memesan kafan yang kusut
Agar makin pandai ia berkelit ketika ada Tanya
Yang tak bisa ia jawab dengan menipu
Serdadu serba patuh bahwa ia adalah ruh
Lama yang telah bosan ditanya.

Tapi Tuhan tahu. Maha Tahu betapa licik makhluk
Hendak mencari celah bagaimana menjawab
Setiap Tanya yang akan diajukan. diubahNya peraturan
Untuk mengganti ujian lisan dengan tulisan
Dengan jumlah soal puluhan.

Dan betapa mulutmu menganga tak pernah menyangka
Bahwa ilmu yang kaubaca selama hidupmu takkan lagi
Bisa berguna. Takkan lagi bisa kau pakai untuk berkelit
Dari setiap Tanya sebab seluruh hidupmu kauhabiskan
Untuk belajar membaca dan membaca itu sendiri tanpa
Pernah meluangkan waktu untuk MENULIS.



POP

Bob atau fof yang kudengar atau telingaku yang salah menangkapnya entah karena budaya sunda membuatku lupa apa beda f dan p atau tiba-tiba b yang mengintervensi hendak menyaingi

bukan masalah bob atau fof atau pop yang melabeli produk-produk kekinian; mencirikan hedon yang menghidupi malam yang sebelumnya sunyi. tapi bintanglah tapi bulanlah yang cemburu, betapa tak ada lagi anak-anak kecil berlarian dan menyanyikan betapa indah dirinya menyinari malam atau betapa berjuta kemilau telah menciptakan berbait lagu yang menjadi favorit jika mereka disuruh maju menyanyi di pelajaran kesenian

tapi kini, bob atau fof atau pop telah juga mengudeta nyanyian-nyanyian lalu yang tak ada bulan tak ada bintang. hanya cinta, cinta, dan CINTA.



Ka(ba)ret

Hendak kupisahkan hijaiyah ke dua yang melekat di tubuhmu agar asing kata-kata dapat kau ikat seperti rambut yang mengurai sebelum rontok satu per satu. Atau betapa peran membuat begitu banyak topeng yang menarikan lengking-lengking suara persis pekik ibu saat meregang nyawa (regang seperti tubuhmu).

Petani-petani lupa betapa busuk aroma tak lagi hinggap di hidung. Malah ia sampirkan di kidung paling agung. di butir-butir beras yang ia tanak di waktu paling duka, tanpa cahaya.

Kami lupa betapa rigid kata-kata di setiap perintah. betapa kami tak pernah taat di waktu lima yang tak boleh alpha. sengaja kami ulur kami julurkan tangan kami agar merenggang waktu meregang tubuh

o, bapak-bapak bau kemenyan dengan setelan baju yang tak murahan, betapa lupa harga seperti tubuh kami yang renggang yang tak pernah kami ikat dengan erat. seperti gerak tubuh kami yang lentur menarikan desing bunyi

apapun, hingga kami ingat betapa kami pernah menyebut hijaiyah dengan terbata.
---

*) Pringadi Abdi Surya (semenjak terbit antologi Puisinya "Alusi" oleh penerbit PUstaka puJAngga, Juni 2009, mengubah nama penanya: Pringadi AS). Lahir 18 Agustus 1988. Beberapa kali memenangkan lomba cerpen seperti HOLY Award dari kabarindonesia dan juara harapan di kolomkita. Puisi-puisinya juga pernah dimuat di beberapa portal sastra seperti kompas.com dan fordisastra.

Selasa, 09 Maret 2010

Puisi-Puisi Saut Situmorang

http://sautsitumorang.wordpress.com/
saut kecil bicara dengan tuhan

bocah laki laki itu
duduk sendiri
di tanah kering
di belakang rumah

diangkatnya wajahnya
yang kuning langsat
ke langit
yang kebiru biruan

matanya yang hitam
tak terpejam
asyik mengikuti gumpalan gumpalan awan
yang dihembus angin pelan pelan

dia tahu tuhan tinggal di situ
di langit biru di balik awan awan itu
karena begitulah kata Ibu
tiap kali dia bertanya ingin tahu

bocah kecil itu
masih terus memandangi langit biru
matanya yang hitam
masih terus tak terpejam

tapi dia tak mengerti
kenapa kadang kadang turun hujan ke bumi
membuat becek jalan di depan rumah
membuat dia tak boleh main di luar rumah

kalau di atas ada langit
apakah yang ada di bawah tanah ini
bocah kecil itu bertanya tanya dalam hati

mungkin di bawah tanah ini
sama seperti di atas sini, serunya dalam hati
ada pohon ada rumah rumah
ada tanah lapang dimana orang
main layang layang
dan tentu mereka mengira
di atas sini tinggal tuhan mereka!

dia mulai tersenyum
dia tahu sekarang kenapa kadang kadang turun hujan

tentu saja hujan turun dari langit
karena di atas sana tuhan sedang pesta
dan air hujan itu
tentu air yang dipakai mencuci piring gelas
sehabis pesta
sama seperti Ibu waktu cuci piring gelas
dan airnya hilang masuk ke dalam tanah

senyumnya makin lebar sekarang
dibayangkanNya anak anak mandi hujan
di bawah sana!
***



ibu seorang penyair

ibu yang menangis
menunggu kelahirannya

ibu yang menangis
kesakitan melahirkannya

ibu yang menangis
kepada orang lain memberikannya

ibu yang menangis
merawat luka lukanya

ibu yang menangis
di penjara mengunjunginya

ibu yang menangis
memberangkatkan perantauannya

ibu yang menangis
malam malam merindukannya

ibu yang menangis itu
tak menangis lagi
airmatanya sudah habis

sekarang Dia tidur
di antara rumputan di antara bintang bintang
di langit
***



bapa kami yang ada di sorga

di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa

Jogjakarta, 4 Februari 2007

A. Mustofa Bisri A'yat Khalili Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Wachid B.S. Abi N. Bayan Abidah El Khalieqy Acep Syahril Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu AF Denar Daniar Afrizal Malna Agus Manaji Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Maltuf Syamsury Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Ala Roa Aldika Restu Pramuli Alfatihatus Sholihatunnisa Alfiyan Harfi Ali Makhmud Ali Subhan Amelia Rachman Amie Williams Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Andry Deblenk Anggie Melianna Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Aprinus Salam Ariandalu S Arieyoko Ksmb Arya Winanda As Adi Muhammad Asep Sambodja Atrap S. Munir Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Badaruddin Amir Bakdi Sumanto Bambang Darto Bambang Kempling Bambang Widiatmoko Beni Setia Beno Siang Pamungkas Bernando J. Sudjibto Bernard S. Y. Batubara Binhad Nurrohmat Budhi Setyawan Budi Palopo Bustan Basir Maras Chairul Abhsar Chavchay Saifullah Cut Nanda A. D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Afriady Dadang Ari Murtono Daisy Priyanti Daysi Priyanti Dea Anugrah Dea Ayu Ragilia Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Desti Fatin Fauziyyah Dewi Kartika Dharmadi Diah Budiana Diah Hadaning Dian Hartati Didik Komaidi Dimas Arika Mihardja Djoko Saryono Dody Kristianto Dorothea Rosa Herliany Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Edy Lyrisacra Effendi Danata Eimond Esya Eka Budianta Eko Hendri Saiful Eko Nuryono El Sahra Mahendra Ellie R. Noer Elly Trisnawati Emha Ainun Nadjib Endang Supriadi Endang Susanti Rustamadji Eny Rose Eppril Wulaningtyas R Esha Tegar Putra Esti Nuryani Kasam Etik Widya Evi Idawati Evi Melyati Evi Sefiani Evi Sukaesih Fadhila Ramadhona Fahmi Faqih Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fatimah Wahyu Sundari Fauzi Absal Felix K. Nesi Fikri MS Fina Sato Firman Wally Fitrah Anugerah Frischa Aswarini Gampang Prawoto Ghaffur Al-Faqqih Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Gunawan Maryanto Gunoto Saparie Gus tf Sakai Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamid Jabbar Hari Leo Haris del Hakim Hasan Al Banna Hasan Aspahani Hasta Indriyana Helga Worotitjan Heri Latief Heri Listianto Heri Maja Kelana Herlinatiens Hudan Hidayat Hudan Nur Ibnu Wahyudi Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilenk Rembulan Imam S Arizal Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santoso Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indrian Koto Isbedy Stiawan ZS Iwan Gunadi Javed Paul Syatha Jibna Sudiryo Johan Khoirul Zaman Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Saputro Jufri Zaituna Jusuf AN Kadek Wara Urwasi Kadjie Bitheng MM Kartika Kusworatri Kedung Darma Romansha Kika Syafii Kirana Kejora Kirdjomuljo Kurnia Effendi Kurniawan Junaedhie Kurniawan Yunianto Kusprihyanto Namma Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lailatul Muniroh Landung Rusyanto Simatupang Lela Siti Nurlaila Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Linus Suryadi AG Liza Wahyuninto Lubis Grafura Lutfi Mardiansyah M. Badrus Alwi M. Faizi Maghfur Munif Maghie Oktavia Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maqhia Nisima Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marwanto Mas Marco Kartodikromo Mashuri Mathori A. Elwa Matroni el-Moezany Maya Mustika K. Mega Vristian Miftahul Abrori Mohammad Yamin Muhammad Ali Fakih Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muntamah Cendani Mustiar AR Mustofa W Hasyim Mutia Sukma Nadjib Kartapati Z Nanang Suryadi Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Noor Sam Nunung S. Sutrisno Nur Iswantara Nur Lodzi Hady Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Pariyo Adi Pringadi AS Pringgo HR Puisi-Puisi Indonesia Purwadmadi Admadipurwa Puspita Rose Putri Sarinande R. Toto Sugiharto Rachmat Djoko Pradopo Raedu Basha Ragil Suwarno Pragolapati Rakai Lukman Rama Prabu Ramadhan KH Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Ribut Wijoto Rikard Diku Robin Al Kautsar Rozi Kembara Rudi Hartono Rusydi Zamzami S Yoga Sahaya Santayana Saiful Bakri Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Selendang Sulaiman Seli Desmiarti Sigit Sugito Sihar Ramses Simatupang Siska Afriani Sitok Srengenge Sitor Situmorang Slamet Rahardjo Rais Slamet Widodo Sosiawan Leak Sreismitha Wungkul Sri Harjanto Sahid Sri Jayantini Sri Setya Rahayu Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunardi KS Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutirman Eka Ardhana Syifa Aulia Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Ranusastra Asmara Teguh Triaton Tengsoe Tjahjono Tharie Rietha Thowaf Zuharon Timur Sinar Suprabana Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Ulfatin Ch Umbu landu Paranggi Unieq Awien Usman Arrumy W. Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyu Subuh Warih Wisatsana Wayan Sunarta Weni Suryandari Widi Astuti Wiji Thukul Winarni R. Y. Wibowo Yonathan Rahardjo Yosi M Giri Yudhi Herwibowo Yudhiono Aprianto Yurnaldi Yusri Fajar Yusuf Suharto Yuswan Taufiq Yuswinardi Zaenal Faudin Zainal Arifin Thoha Zamroni Allief Billah Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae