http://jurnalnasional.com/
Manusia 1
Walau tubuhmu kian lapuk dengan mati
Jiwamu masih kusimpan dalam puisi
(12 Juni 2008 08:24 WIB)
Rumah
Malam kelam telah datang
Langit menyanyikan keheningan
Tidurlah, kekasihku, tidurlah
Biar lelahmu kian merebah
Kau tak perlu menceramahi
Tentang bagaimana mencintai
Kau bahkan tak tahu pasti
Seperti apa mencintai
Kau hanya ingin memiliki!
Kau cepat sekali terlelap
Kau terlalu banyak berharap!
Aku menari sunyi di langit
Sambil mengirimkan kasih
Untuk menyelimuti lelapmu
Biar hadirlah mimpi indahmu
Apa yang aneh dari perpisahan?
Bukankah itu terjadi berulang
dalam setiap kisah kehidupan?
Mengapa air matamu berlinang
seakan hujan tak lagi menggenang?
Sebenarnya aku ingin memelukmu
Seraya kau tidur, seperti dulu
Tapi aku enggan melakukannya
Tubuhku membatu dengan lara
Tak usah dikenang
Walau terasa dalam
Biar dendam melayang
Biar langkah terbebaskan
Ketika kau terbangun esok pagi
Mungkin kau akan mencium wangi melati
Nikmatilah
Itu yang sengaja kutinggalkan
Untuk apa mencaci yang telah mati?
Untuk apa mengharap yang tak pasti?
Kuburan tersedia di mana-mana
Tapi kau masuk ke liang yang sama
Akankah senyummu merekah karenanya?
Tak ada keyakinan yang memastikan
Semuanya terasa hanya perkiraan
Kita pun mungkin hanya perkiraan
Tersesatkah kita?
Selalu ingin kembali
Setelah terlanjur pergi
Tidakkah kau lelah
melahirkan gundah?
Kita harus mencari jalan sendiri
Tapi tak harus pulang kembali
(28 Mei 2009 06:40 WIB)
Lupa
Ayah, kita senantiasa mencatat kelam
Pada hujan di sore kelabu
Yang meneteskan sendu
Adzan magrib pun berkumandang
Membawakan pesan
Tentang kemarau yang indah:
Kering air mata lirih kita
Perlukah merasa tersakiti bila sudah terobati?
Ayah, kini aku lupa pergantian musim
(Kenanganmu tak lagi bermukim)
(7 Mei 2009 23:09 WIB)
Kau Baru Saja Pergi
Kau baru saja pergi
Angin masih membelai kulitku
Lembut sekali
Tak menghembuskan kepergianmu
Detak jam bergerak cepat
Kau baru saja pergi
Kenangan penting terus dicatat
Aku membaca goresan pelangi
Seprei kasur berantakan, belum kubereskan
Biarkan saja, begitu katamu dengan nyaman
Kau baru saja pergi
Pintu kamar seharusnya dikunci
Mungkin aku selalu lupa
Ini hanya perkara biasa
Cinta bukan lagi fiksi
Kau baru saja pergi
(21 Juni 2009 12:31 WIB)
Untuk Seorang Penyair
Wahai penyair
Aku tak bisa terlelap saat malam menjelma
Di mataku selalu nampak jiwamu membara
Mendobrak tatanan diri yang telah kubangun rapi
Seperti tahun-tahun berlalu dalam sejarah sepi
Awalnya kau basuh jiwaku dengan air puisi
Sampai bersih berkilau dari noda duniawi
Hingga bersamamu kugenggam dayung panjang
Sebrangi laut kehidupan yang lengang
Ungkapkan misteri yang tak terpecahkan
Deru mimpi pun kau libas bagai kereta api
Bermil-mil melaju menuju lorong-lorong sunyi
Hidupkan nurani yang telah lama mati
Pun derita yang menggulung dari gunung
Kurasakan sedemikian luka, menambah tetes air mata
Dalam kemanusiaan yang indah di tepi asa
Dan aku menaiki satu tangga dari langit
Kuraih tinggiku bersama pelukanmu yang hangat
Tapi entahlah saat ini
Jiwamu kian padam bersama lilin yang semakin jarang
Saat kutemui wajahmu di sebrang pulau mati
Kini ramaimu yang menyiar syair:
Mantra-mantra kelabu bertebaran
Lecet pun tak terhindari, menjadi bahan duka nan abadi
Wahai penyair
Akhirnya aku berjalan di kegelapan metafora
Kutemukan berbagai buntu yang penuh imaji
Puisimu usang dimakan kutu yang bersarang di otakku
Atas semua yang terjadi saat terakhirmu itu
Entah apa yang kini kutoreh dalam kata-kata
Mungkin hanya sebait makna yang mencari nyawa
(19 Juni 2008 01:49 WIB)
Di Pengasingan
Sejak dulu, di pengasingan, aku selalu menyanyikan lagu
Diiringi bunyi kegelapan yang menyuarakan luka waktu
Liriknya tentang kemerdekaan yang menghilangkan ragu
Terdendang bersama belenggu kelabu pada kesendirianku
Sebenarnya, aku tak sendirian, ada gelisah yang menemani
Juga dengung kenangan yang terdengar sendu sekali
Menambah merdu alunan lagu yang kunyanyikan
Hingga bertabuhan air mata yang berlinang
Seringkali, sambil menyanyi, aku merindukan mentari
Ia selalu tersenyum padaku saat datangnya hari
Dan mengecupku dengan embun-embun puisi
Di pengasingan, mentari diusir hingga pergi
Seharusnya, dengan sadar, aku tak boleh menyanyi
Di pengasingan, ada peraturan “dilarang menyanyi”
Bila melanggar, sepi akan menghukum dengan keji
Atas undang-undang fana berlandaskan lara hati
Sayang sekali, aku tak peduli, walau aku selalu dihukum
Biar langit jiwaku membasah, agar hujan kasih kian turun
Berharap membanjiri pengasingan hingga luluh dan runtuh
Walau perjuangan telah mengorbankan hakikat tubuh
(6 September 2009 18:04 WIB)
Tangisan Hitam
“Mungkin matahari takkan bersinar lagi di wajahku
Aku tahu
Wajahku dipenuhi dendam pada pagi yang kabur
Mungkin rembulan takkan terpancar lagi di senyumku
Aku tahu
Senyumku ternodai luka pada malam yang lebur”
Ternyata aku meratapinya
Dan saat semua itu belum tiba:
Dengan riang aku berjalan
Menuju candu di pesakitan
Tanah retak bukanlah keluhan
Hujan luka tidaklah sialan
Kisah senantiasa berulang
Menebarkan pengalaman
Tangisan hitam kualirkan
Pada sungai kenistaan
Berharap sampai di lautan
Deburkan ombak kearifan
(30 Juli 2009 16:49 WIB)
Sebuah Pertemuan 1
: Dika Jatnika
Akhirnya kita sama-sama tahu
Cuaca dingin yang menebar angin kali ini
Adalah rindu-rindu awan kelabu:
Sebelum gerimis datang, terucaplah doa
Tentang pertemuan hujan yang tak sempat terwujud
Demikianlah
Hingga menjadi cerita di musim yang basah
Pada batas khatulistiwa yang meradang
Dan langit meratap, sebuah kebiasaan
Mendirikan kehampaan
Maka
Kau pun melebur ke dalam udara
Di musim selanjutnya, sambil menanti hujan
Membasahi tangismu yang mengering
Sedangkan aku menjadi puing-puing
Yang terombang-ambing
Oleh alam yang menjerit nyaring
(6 Februari 2009 15:15 WIB)
Sebuah Pertemuan 2
: Dika Jatnika
Dan kita pun merebus pertemuan itu
Menjadi air mata yang mendidih
Menebarkan uap yang melukis perih
Menyatu dengan angin riuh nan lirih
Lantas kau putuskan untuk terbang
Agar melaju ke angkasa pilu
Raih awan-awan kelabu
Seperti harapan tanah tandus pada hujan
Sedangkan aku masih terdiam
Membeku dengan dinginnya malam
Mendurja pada kelam yang selalu bungkam
Seolah menghilangkan bising kejujuran
Mungkin hanya kicau burung hantu
Yang bisa menjelaskan
Mengapa sunyi itu penuh rahasia
(10 Februari 2009 23:40 WIB)
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Rabu, 30 Desember 2009
Puisi-Puisi Dian Hartati
http://jurnalnasional.com/
Pelataran Kawah Putih
memasuki wilayahmu
ada hampar pasir jadi gerbang
anakanak angin membangunkan segala ruh
rantingranting membatu
cahaya kehijauan mencipta langit teduh
aku datang membawa raga
dari tangkuban parahu
menyampaikan salam junghuhn
untuk kau yang merajai patuha
eyang jaga satru, aku mendengar laskar yang kau pimpin
suarasuara itu menyadarkan aku
betapa alam begitu ambigu
aku hirup belerang
bau cadas yang siap menyerang setiap ingatan
tanahtanah mengering, batubatu memenjarakan jarak
mengitarimu,
aku mendapati aroma memikat
jalan setapak
hangat udara
juga cakrawala yang tak pernah senja
kau yang menguasai kawahkawah
asapasap pengintai usia
juga suara domba putih, domba lukutan
eyang jaga satru, inikah kerajaanmu
yang setiap hari didatangi peziarah
dari kotakota berlainan
SudutBumi, 2009
Menyulam Sisa Hujan
di teras rumahku ada payung,
sisa hujan sore tadi
kuperhatikan
: masih tersisa jejak kakimu yang basah
sisa kunjungan yang tak usai
SudutBumi, 2009
Jalan Air
aku menelusuri jalan air
menginjakkan kaki di antara deru; lalu lalang tak henti
hujan terus saja menemani perjalanan pulang
menjauhi riuh hari juga senyum bertemu
waktu panjang untuk kamis yang manis
tualang di sebuah kotak
: bernama kantor
air begitu mahir memilin lajur
menggenangi jejak pejalan juga petak sawah yang siap panen
kakiku terus melangkah
bergegas
menyibak jalanan yang mulai digenangi air
khawatir panen gagal esok hari
SudutBumi, 2009
Terkadang, Kita Lupa
dengan Masa Lalu
tanah
dari yang dilahirkan
bernama sihir
selalu mengalir
menempa segala
dari yang terurai
bertumbuhan sesak
kenangan
jalanan
tenggelamlah
temukan setiap akar
ingatan
ketika gerak
menepiskan waktu
lunaslah semua
dan tawa itu
jadi sebuah reklame
mahal
kawan
sebuah dilatasi
disekat
digiring ruang waktu
lagi dan lagi
disempurnakan
tawa
SudutBumi, 2009
buat kawan: ria novitasari
Perempuan di Tepi Jendela
[1]
sejak kapan
perempuan jadi perona
membuat warna hati berlainan
kau merangkum seluruh kisah
jadi segenggam rindu
lalu kau bawa pergi
berlari ke laut
menyisir setiap bayang matahari
[2]
sampai hari ini, kau tetap membeku
jadi kawanan gerimis
yang tajam
tak mau diam
berseliweran
bersama angin yang tetap bersetia
bukankah ia lelaki?
ahhh kau, tetap membatu
[3]
“apa yang hendak kau lukis sekarang?”
warna pelangi atau rimbun hijau hatimu
SudutBumi, 2009
buat kawan, risma dewi
Dalam Sebuah Kartu Nama
di sebuah mal, kau bersama anak dan istri
hatihati aku melewatimu
memperhatikan senyum rekah di wajah tua
ada banyak bangunan di sana
geliat mimpi masih jelas kubaca
kau terus mendirikan tonggak
tak henti membuka pintu
memberikan ucapan selamat
bagi pendatang sepertiku
bukan hanya gedunggedung tinggi bertumbuhan
kau membentuk setiap senja bersama warna kamboja
di sebuah cafe, aku dan kamu bermanja
lupakanlah kantor, ucapmu ketika aku menolak sebuah tatapan
berjalanlah agak santai
agar malam lebih terasa ramainya
dan tak akan ada lagi yang merasa dingin
sebab kepala sudah dipenuhi angan
dan telapak tangan sudah ditafsirkan
genggamlah
maka tak akan ada yang berani mematikan
alun musik itu
di sebuah pertemuan, siapapun tak akan tahu
siapa pernah menjalin siapa
mobil, ponsel, buku, rumah, garasi, mawar,
cokelat, cerpen, tongseng, jakarta, kereta, taksi
siapa yang dapat membendung kata
keinginan kepergian
seluruhnya telah disepakati
aku dan kamu
dalam perjamuan siang yang tak istimewa
hanya menghadirkan fatamorgana senja
serupa kamboja
SudutBumi, 2009
buat kawan perjalanan kusnandar
Nama Calon Anakku
saraswati tirta arum, misalkan kau anak pertama
genaplah aku sebagai perempuan
menyusur mata air
berjalan di bawah pohon amarta
dan kukemas segala haru
kutumpahkan pada dada limbung bahagia
ai, tumbuhlah mengikuti aliran
yang dicecapkan ubunubun
sastra bayu laksana, jika kau hadir pertama
penyempurna doa bagi hari penantian
kisah yang mengakas
bagi lelaki di tepi rindu
selalu kejutkan rahim milik ibu
as, melarunglah
sejauh masa lalu sekuat angin
saraswati banyu arum, laksmi banyu arum
jika bumi membelah ganda
sastra bayu pratama, sastra lindu pratama
menawarkan rekah bunga pada musim penghujan
kemaslah hari dan berlarilah bersamaku
SudutBumi, 2009
Mengasah Pisau
[ruang makan]
pandai benar kau mengiris roti
menuangkan selai ke permukaannya
memadupadankan tepung dan cerita
dalam ruang kecil
bersekat ganda
[halaman belakang]
di dekat pintu
kau menyiapkan batu asah, air, juga secuil cerita
sambil menggosokkan besi dan batu
kau terus mencerocos
perihal politik yang hampir basi
dan tentang uang sekolah yang tak lagi ada jaminan
pandanganmu terus saja menggamit mata pisau
sesekali kau mencobanya
membelah kentang dengan tegas
[dapur]
di dalam tungku segalanya matang
rumah tangga kian menua
rumput di depan rumah semakin pudar warnanya
pisau dan batu tak bosan meracik rasa
bernama cinta
SudutBumi, 2009
Kemarau Tiba,
Kulitku Robek Karenanya
dingin mencatat di pagi lunta
berapa lagi selimut harus dipesan
agar mimpi tak jadi usang
datang juga kemarau
memerahkan kulit
menjadikan gatagatal
seumpama kata
tak mau diam
terus saja mengumpat
seolah tanah rekah
retak di sanasini
tak menghasilkan apapun
hanya angin
mencoba merapatkan kenangan
SudutBumi, 2009
Pelataran Kawah Putih
memasuki wilayahmu
ada hampar pasir jadi gerbang
anakanak angin membangunkan segala ruh
rantingranting membatu
cahaya kehijauan mencipta langit teduh
aku datang membawa raga
dari tangkuban parahu
menyampaikan salam junghuhn
untuk kau yang merajai patuha
eyang jaga satru, aku mendengar laskar yang kau pimpin
suarasuara itu menyadarkan aku
betapa alam begitu ambigu
aku hirup belerang
bau cadas yang siap menyerang setiap ingatan
tanahtanah mengering, batubatu memenjarakan jarak
mengitarimu,
aku mendapati aroma memikat
jalan setapak
hangat udara
juga cakrawala yang tak pernah senja
kau yang menguasai kawahkawah
asapasap pengintai usia
juga suara domba putih, domba lukutan
eyang jaga satru, inikah kerajaanmu
yang setiap hari didatangi peziarah
dari kotakota berlainan
SudutBumi, 2009
Menyulam Sisa Hujan
di teras rumahku ada payung,
sisa hujan sore tadi
kuperhatikan
: masih tersisa jejak kakimu yang basah
sisa kunjungan yang tak usai
SudutBumi, 2009
Jalan Air
aku menelusuri jalan air
menginjakkan kaki di antara deru; lalu lalang tak henti
hujan terus saja menemani perjalanan pulang
menjauhi riuh hari juga senyum bertemu
waktu panjang untuk kamis yang manis
tualang di sebuah kotak
: bernama kantor
air begitu mahir memilin lajur
menggenangi jejak pejalan juga petak sawah yang siap panen
kakiku terus melangkah
bergegas
menyibak jalanan yang mulai digenangi air
khawatir panen gagal esok hari
SudutBumi, 2009
Terkadang, Kita Lupa
dengan Masa Lalu
tanah
dari yang dilahirkan
bernama sihir
selalu mengalir
menempa segala
dari yang terurai
bertumbuhan sesak
kenangan
jalanan
tenggelamlah
temukan setiap akar
ingatan
ketika gerak
menepiskan waktu
lunaslah semua
dan tawa itu
jadi sebuah reklame
mahal
kawan
sebuah dilatasi
disekat
digiring ruang waktu
lagi dan lagi
disempurnakan
tawa
SudutBumi, 2009
buat kawan: ria novitasari
Perempuan di Tepi Jendela
[1]
sejak kapan
perempuan jadi perona
membuat warna hati berlainan
kau merangkum seluruh kisah
jadi segenggam rindu
lalu kau bawa pergi
berlari ke laut
menyisir setiap bayang matahari
[2]
sampai hari ini, kau tetap membeku
jadi kawanan gerimis
yang tajam
tak mau diam
berseliweran
bersama angin yang tetap bersetia
bukankah ia lelaki?
ahhh kau, tetap membatu
[3]
“apa yang hendak kau lukis sekarang?”
warna pelangi atau rimbun hijau hatimu
SudutBumi, 2009
buat kawan, risma dewi
Dalam Sebuah Kartu Nama
di sebuah mal, kau bersama anak dan istri
hatihati aku melewatimu
memperhatikan senyum rekah di wajah tua
ada banyak bangunan di sana
geliat mimpi masih jelas kubaca
kau terus mendirikan tonggak
tak henti membuka pintu
memberikan ucapan selamat
bagi pendatang sepertiku
bukan hanya gedunggedung tinggi bertumbuhan
kau membentuk setiap senja bersama warna kamboja
di sebuah cafe, aku dan kamu bermanja
lupakanlah kantor, ucapmu ketika aku menolak sebuah tatapan
berjalanlah agak santai
agar malam lebih terasa ramainya
dan tak akan ada lagi yang merasa dingin
sebab kepala sudah dipenuhi angan
dan telapak tangan sudah ditafsirkan
genggamlah
maka tak akan ada yang berani mematikan
alun musik itu
di sebuah pertemuan, siapapun tak akan tahu
siapa pernah menjalin siapa
mobil, ponsel, buku, rumah, garasi, mawar,
cokelat, cerpen, tongseng, jakarta, kereta, taksi
siapa yang dapat membendung kata
keinginan kepergian
seluruhnya telah disepakati
aku dan kamu
dalam perjamuan siang yang tak istimewa
hanya menghadirkan fatamorgana senja
serupa kamboja
SudutBumi, 2009
buat kawan perjalanan kusnandar
Nama Calon Anakku
saraswati tirta arum, misalkan kau anak pertama
genaplah aku sebagai perempuan
menyusur mata air
berjalan di bawah pohon amarta
dan kukemas segala haru
kutumpahkan pada dada limbung bahagia
ai, tumbuhlah mengikuti aliran
yang dicecapkan ubunubun
sastra bayu laksana, jika kau hadir pertama
penyempurna doa bagi hari penantian
kisah yang mengakas
bagi lelaki di tepi rindu
selalu kejutkan rahim milik ibu
as, melarunglah
sejauh masa lalu sekuat angin
saraswati banyu arum, laksmi banyu arum
jika bumi membelah ganda
sastra bayu pratama, sastra lindu pratama
menawarkan rekah bunga pada musim penghujan
kemaslah hari dan berlarilah bersamaku
SudutBumi, 2009
Mengasah Pisau
[ruang makan]
pandai benar kau mengiris roti
menuangkan selai ke permukaannya
memadupadankan tepung dan cerita
dalam ruang kecil
bersekat ganda
[halaman belakang]
di dekat pintu
kau menyiapkan batu asah, air, juga secuil cerita
sambil menggosokkan besi dan batu
kau terus mencerocos
perihal politik yang hampir basi
dan tentang uang sekolah yang tak lagi ada jaminan
pandanganmu terus saja menggamit mata pisau
sesekali kau mencobanya
membelah kentang dengan tegas
[dapur]
di dalam tungku segalanya matang
rumah tangga kian menua
rumput di depan rumah semakin pudar warnanya
pisau dan batu tak bosan meracik rasa
bernama cinta
SudutBumi, 2009
Kemarau Tiba,
Kulitku Robek Karenanya
dingin mencatat di pagi lunta
berapa lagi selimut harus dipesan
agar mimpi tak jadi usang
datang juga kemarau
memerahkan kulit
menjadikan gatagatal
seumpama kata
tak mau diam
terus saja mengumpat
seolah tanah rekah
retak di sanasini
tak menghasilkan apapun
hanya angin
mencoba merapatkan kenangan
SudutBumi, 2009
Puisi-Puisi Hasan Al Banna
http://jurnalnasional.com/
Gurindam Perpisahan
‘”kepada penyair-penyair perindu
apabila pulang kukata,
pergi kau kira.
kita bertolak dari dermaga yang sama,
dermaga abjad yang terluka.
tatkala beranjak padamu,
berdiam bagiku.
aku kau berarung pada laut yang tiada berbeda,
laut kata-kata.
jikalau datang kaubilang,
hilang kuhidang.
kau aku terombang pada badai yang senama,
badai kalimat yang bergelora.
manakala gaib kausaji,
wujud kuberi.
aku kau terkapar pada karang yang tiada berlainan,
karang bait yang berkenan.
ketika pergi padaku,
tinggal bagimu.
kau aku tenggelam pada kedalaman yang serupa,
kedalaman makna.
apabila rumah kauduga,
kelana kusangka.
kita tersungkur pada palung yang satu,
palung rindu.
Jambi-Medan, 2008
Perkara Tubuh dan Bayang
perkara pertama:
tatkala tubuh dan bayang menolak di belakang
siapa yang pantas berdiri di depan
tergantung cahaya
sepihak mata atau sekutu tengkuk
perkara kedua:
manalah tubuh ada di kanan
kalau cahaya menoleh dari kiri
jangan harap bayang pulang ke kiri
sebelum cahaya pergi ke kanan
perkara ketiga:
panjang mana tubuh ketimbang bayang
sejauh cahaya memilih derajat ketinggian
tak usah tubuh dan bayang takut pendek
segegas cahaya terbit di kepala atau di kaki
cari perkara:
jika tubuh atau bayang tak di depan tak di belakang
di kiri tiada di kanan alpa
serahkan saja
pada keserongan cahaya.
Jakarta, 2009
Yang Digunjing dan Penggunjing
Berbalas Gurindam
yang digunjing:
mengapa kepada sehadap gajah matamu buta,
kepada sejauh semut matamu menyala.
manakala gajah kausangka tiada,
tersebutlah kau rabun benda.
tatkala semut kau kata titik yang mengada-ngada,
mengapa yang tiada kausebut nyata.
penggunjing:
gajah di depan mata seonggok bayi cuma,
semut di sebalik sana sewujud raksasa.
apabila gajah kausimpul besar senantiasa,
terbilanglah kau dangkal akal dan rasa.
ketika semut kauanggap berdiam dalam lobang saja,
mengapa dengan mudah ia membangun istana.
Medan, 2008
Kunci Pintu
heit, lidahku tak pandai berdusta,
hanya bisa bilang jangan atau sila.
kuasaku tak sampai pada titah,
hanya berdiam pada pasrah.
tapi jangan pernah membentak,
karena aku ciut tak.
pula percuma menghiba,
sebab aku tiada penenggang rasa.
jika hendak jadi penakluk,
mengapa kau cuma mampu mengetuk.
jika berani mengaku menantu,
mengapa kau tak gandeng anakku.
ah, lihai benar kau menyuguh rayu,
untung aku tak tertipu.
mahir juga kau menukar rupa,
untung aku bukan pelupa.
sungguh, tiada aku penentu musti,
kecuali karena pesuruh hati.
sumpah, tiada aku pengingkar janji,
kecuali karena linggis pencuri.
Medan, 2008
Engsel Pintu
andai kau kata diriku semacam kupu-kupu,
tak lah terbang menjadi keahlianku.
sayapku kaku tapi tidak hatiku,
hinggapku satu namun tak mudah kau temu.
jangan kau kira aku makhluk pemalu,
aku hanya sepintal ingin yang semu.
jangan nobatkan aku sebagai tubuh yang malang,
sebab aku tak pernah menggapai hilang.
jikalau aku kuak sepasang lengan,
tiada hendak menagih sebuah pelukan.
jikalau aku tengah berpangku tangan,
tak lah hendak bermalas-malasan.
andai deru napasku sehiruk parau,
bukan karena bertolak dari dada yang risau.
andai biru napasku sewujud bening,
bukan karena mataku sedang berpicing.
Medan, 2008
Lelaki di Depan Selimut
mengapa meringkuk di depan selimut
jika di belakangnya kau boleh leha
dari depan selimut kembaraku bermula
melacak kekasih ke ceruk tidur
sebab tiada tercumbu ia
selain di bilik mimpi
katakan, sepisah apa kau
dari gadismu?
sebuah kejauhan tidak semata tunduk
pada sengketa angka
bukankah hati yang berpaling
adalah jarak yang sukar untuk ditempuh?
khianat selalu mengasah kebencian
ia tidak butuh kau!
tapi kebencian bukan ibu mandul
yang tak mampu mengandung janin rindu
ah, mengapa kebencian senantiasa diremas
dilantingkan ke jantung selokan
beranjaklah dari depan selimut
pulanglah ke belakangnya
aku pilih tegak di depan selimut
karena berlari di belakangnya
serupa mendekam di penjara
di balik rambut kekasih yang menjelma jeruji!
Jakarta, 2009
Gurindam Perpisahan
‘”kepada penyair-penyair perindu
apabila pulang kukata,
pergi kau kira.
kita bertolak dari dermaga yang sama,
dermaga abjad yang terluka.
tatkala beranjak padamu,
berdiam bagiku.
aku kau berarung pada laut yang tiada berbeda,
laut kata-kata.
jikalau datang kaubilang,
hilang kuhidang.
kau aku terombang pada badai yang senama,
badai kalimat yang bergelora.
manakala gaib kausaji,
wujud kuberi.
aku kau terkapar pada karang yang tiada berlainan,
karang bait yang berkenan.
ketika pergi padaku,
tinggal bagimu.
kau aku tenggelam pada kedalaman yang serupa,
kedalaman makna.
apabila rumah kauduga,
kelana kusangka.
kita tersungkur pada palung yang satu,
palung rindu.
Jambi-Medan, 2008
Perkara Tubuh dan Bayang
perkara pertama:
tatkala tubuh dan bayang menolak di belakang
siapa yang pantas berdiri di depan
tergantung cahaya
sepihak mata atau sekutu tengkuk
perkara kedua:
manalah tubuh ada di kanan
kalau cahaya menoleh dari kiri
jangan harap bayang pulang ke kiri
sebelum cahaya pergi ke kanan
perkara ketiga:
panjang mana tubuh ketimbang bayang
sejauh cahaya memilih derajat ketinggian
tak usah tubuh dan bayang takut pendek
segegas cahaya terbit di kepala atau di kaki
cari perkara:
jika tubuh atau bayang tak di depan tak di belakang
di kiri tiada di kanan alpa
serahkan saja
pada keserongan cahaya.
Jakarta, 2009
Yang Digunjing dan Penggunjing
Berbalas Gurindam
yang digunjing:
mengapa kepada sehadap gajah matamu buta,
kepada sejauh semut matamu menyala.
manakala gajah kausangka tiada,
tersebutlah kau rabun benda.
tatkala semut kau kata titik yang mengada-ngada,
mengapa yang tiada kausebut nyata.
penggunjing:
gajah di depan mata seonggok bayi cuma,
semut di sebalik sana sewujud raksasa.
apabila gajah kausimpul besar senantiasa,
terbilanglah kau dangkal akal dan rasa.
ketika semut kauanggap berdiam dalam lobang saja,
mengapa dengan mudah ia membangun istana.
Medan, 2008
Kunci Pintu
heit, lidahku tak pandai berdusta,
hanya bisa bilang jangan atau sila.
kuasaku tak sampai pada titah,
hanya berdiam pada pasrah.
tapi jangan pernah membentak,
karena aku ciut tak.
pula percuma menghiba,
sebab aku tiada penenggang rasa.
jika hendak jadi penakluk,
mengapa kau cuma mampu mengetuk.
jika berani mengaku menantu,
mengapa kau tak gandeng anakku.
ah, lihai benar kau menyuguh rayu,
untung aku tak tertipu.
mahir juga kau menukar rupa,
untung aku bukan pelupa.
sungguh, tiada aku penentu musti,
kecuali karena pesuruh hati.
sumpah, tiada aku pengingkar janji,
kecuali karena linggis pencuri.
Medan, 2008
Engsel Pintu
andai kau kata diriku semacam kupu-kupu,
tak lah terbang menjadi keahlianku.
sayapku kaku tapi tidak hatiku,
hinggapku satu namun tak mudah kau temu.
jangan kau kira aku makhluk pemalu,
aku hanya sepintal ingin yang semu.
jangan nobatkan aku sebagai tubuh yang malang,
sebab aku tak pernah menggapai hilang.
jikalau aku kuak sepasang lengan,
tiada hendak menagih sebuah pelukan.
jikalau aku tengah berpangku tangan,
tak lah hendak bermalas-malasan.
andai deru napasku sehiruk parau,
bukan karena bertolak dari dada yang risau.
andai biru napasku sewujud bening,
bukan karena mataku sedang berpicing.
Medan, 2008
Lelaki di Depan Selimut
mengapa meringkuk di depan selimut
jika di belakangnya kau boleh leha
dari depan selimut kembaraku bermula
melacak kekasih ke ceruk tidur
sebab tiada tercumbu ia
selain di bilik mimpi
katakan, sepisah apa kau
dari gadismu?
sebuah kejauhan tidak semata tunduk
pada sengketa angka
bukankah hati yang berpaling
adalah jarak yang sukar untuk ditempuh?
khianat selalu mengasah kebencian
ia tidak butuh kau!
tapi kebencian bukan ibu mandul
yang tak mampu mengandung janin rindu
ah, mengapa kebencian senantiasa diremas
dilantingkan ke jantung selokan
beranjaklah dari depan selimut
pulanglah ke belakangnya
aku pilih tegak di depan selimut
karena berlari di belakangnya
serupa mendekam di penjara
di balik rambut kekasih yang menjelma jeruji!
Jakarta, 2009
Puisi-Puisi Beni Setia
http://jurnalnasional.com/
LEMBANG, HOTEL PANORAMA
telepon di sisi pembaringan melengkung karena
menunggu, tak seperti ranjang dan kasur yang
lempeng karena sepreinya selalu diganti para pelayan
telepon itu ingin berbisik pada dirinya setelah
berhari, berminggu dan berbulan tak ada yang
menelpon dan membisikan kata-kata sayang merindu
senantiasa kesepian di udara dingin (malam) berkabut
PENGENALAN DIRI
kita dijaga oleh syaraf. tulang-tulang
dibungkus kulit yang berlapis daging
tempat ribuan urat mengalirkan darah
–jantung mengisap serta mengempa
seirama dengan paru-paru menapis udara
kita dililit syahwat. dibina instink akar kiara
tumbuh dengan tekad menjulang mengaling
semak-semak dan rumput dari berkah surya
jadi yang senantiasa menyala di tengah semesta
di antara planet dan astroid–reruntuk eksistensi
sesal gerabah pecah dengan jejak embus nafas-Nya
DONGENG SEBELUM SARAPAN
suatu pagi aku semakin mengerti: kenapa
lelaki tua itu sekuat tenaga memampatkan
udara ke dalam selongsong ban becak tuanya
di dingin pagi ketika hujan tidak mau nereda
dan langit cerah, saat surya gagap menandai
hijau daun dan orang-orang beku disaput lapar
itu seperti satu momen–nun dahulu kala:
ketika yang satu meniupkan nafas ikhlas
dan kebebasan pada rongga dada ciptaan-Nya
SOREANG, SILSILAH
kenapa pohon-pohon membentuk canopy daun,
tudung bagi batang tegak dan hunjaman akar?
melengkung bagai tenda café halaman dengan
menú es krim dan steak sapi, dengan lelampu
temaran dan sepasang mata yang bersipergok
–dan jari-jari berjalin bagai anyaman tas rotan
seperti payung ibu ketika pulang dari pasar,
seperti parasut pasukan komando yang mau
menyusup ke sarang teroris, seperti selendang
di antara sejoli sehati diijabnikahkan penghulu
tapi kenapa pohon-pohon itu merontokkan daun
sebelum batang kerontang dan akar mengering?
RENOKENONGO, MEMO
bila surat itu tak sampai–tak terbaca
karena tersangkut di meja birokrasi
: duka akan berteriak–sampai urat leher
putus. dan bila masih tak juga sampai
: duka menjadi angin–setiap saat
mengusap kening. mengingatkan
akan rumah yang lenyap ditelan lumpur
setiap saat akan mengetuk jendela mimpi
melulurkan dampak bencana pada kantuk
CARUBAN, BANJIR
dari pundak dan punggung: hujan tumpah
gemuruh–meluncur bersama bibir jurang
membendung. mencegat tumpahan semalam
di hulu, dan membuat arus itu menggelegak
: ”kenapa kau hambat perjalanan bergegas ini?”
wilis yang termangu itu, wilis yang menjulang
di selatan ingin bercerita tentang pohon-pohon
ditebang–dengan melumpurkan hamparan tanah
”tak ada yang tersisa” katanya–menyimpan bah
di balik pelangi, menahan arus lalu melontarkan
semuanya dalam hitungan detik. gemuruh menghilir
CATATAN LIBURAN
kabut tipis menghalangi matahari
pagi. ”ini saat yang tepat untuk
tidur melungker,” kata kucing di
keset beranda–dari jauh tercium
wangi kopi dan sisa ruap keringat petani
: pasangan kasmaran akan senantiasa malas
menyibak selimut. tapi lelaki rembang usia
itu memakai sepatu dan mulai menyusuri
setapak. mau menghabiskan dingin pagi dengan
langkah cepat dan debur jantung pekerja pabrik
setelah riol ia memilih belok ke kiri–ke
arah setapak berbatas sawah dan ladang,
lantas pohon beringin di ladang bambu,
turunan dan deru arus sungai selepas hujan
semalam. desah sia-sia meraih bibir tebing
”saat yang tepat untuk kembali,”
kata benalu. bungalow di tebing,
panorama kota di utara dan angin
sia-sia mengajak ke selatan. kini dingin pagi
mengabarkan usia lewat tunas tunggul randu
10/12.2008
LEMBANG, HOTEL PANORAMA
telepon di sisi pembaringan melengkung karena
menunggu, tak seperti ranjang dan kasur yang
lempeng karena sepreinya selalu diganti para pelayan
telepon itu ingin berbisik pada dirinya setelah
berhari, berminggu dan berbulan tak ada yang
menelpon dan membisikan kata-kata sayang merindu
senantiasa kesepian di udara dingin (malam) berkabut
PENGENALAN DIRI
kita dijaga oleh syaraf. tulang-tulang
dibungkus kulit yang berlapis daging
tempat ribuan urat mengalirkan darah
–jantung mengisap serta mengempa
seirama dengan paru-paru menapis udara
kita dililit syahwat. dibina instink akar kiara
tumbuh dengan tekad menjulang mengaling
semak-semak dan rumput dari berkah surya
jadi yang senantiasa menyala di tengah semesta
di antara planet dan astroid–reruntuk eksistensi
sesal gerabah pecah dengan jejak embus nafas-Nya
DONGENG SEBELUM SARAPAN
suatu pagi aku semakin mengerti: kenapa
lelaki tua itu sekuat tenaga memampatkan
udara ke dalam selongsong ban becak tuanya
di dingin pagi ketika hujan tidak mau nereda
dan langit cerah, saat surya gagap menandai
hijau daun dan orang-orang beku disaput lapar
itu seperti satu momen–nun dahulu kala:
ketika yang satu meniupkan nafas ikhlas
dan kebebasan pada rongga dada ciptaan-Nya
SOREANG, SILSILAH
kenapa pohon-pohon membentuk canopy daun,
tudung bagi batang tegak dan hunjaman akar?
melengkung bagai tenda café halaman dengan
menú es krim dan steak sapi, dengan lelampu
temaran dan sepasang mata yang bersipergok
–dan jari-jari berjalin bagai anyaman tas rotan
seperti payung ibu ketika pulang dari pasar,
seperti parasut pasukan komando yang mau
menyusup ke sarang teroris, seperti selendang
di antara sejoli sehati diijabnikahkan penghulu
tapi kenapa pohon-pohon itu merontokkan daun
sebelum batang kerontang dan akar mengering?
RENOKENONGO, MEMO
bila surat itu tak sampai–tak terbaca
karena tersangkut di meja birokrasi
: duka akan berteriak–sampai urat leher
putus. dan bila masih tak juga sampai
: duka menjadi angin–setiap saat
mengusap kening. mengingatkan
akan rumah yang lenyap ditelan lumpur
setiap saat akan mengetuk jendela mimpi
melulurkan dampak bencana pada kantuk
CARUBAN, BANJIR
dari pundak dan punggung: hujan tumpah
gemuruh–meluncur bersama bibir jurang
membendung. mencegat tumpahan semalam
di hulu, dan membuat arus itu menggelegak
: ”kenapa kau hambat perjalanan bergegas ini?”
wilis yang termangu itu, wilis yang menjulang
di selatan ingin bercerita tentang pohon-pohon
ditebang–dengan melumpurkan hamparan tanah
”tak ada yang tersisa” katanya–menyimpan bah
di balik pelangi, menahan arus lalu melontarkan
semuanya dalam hitungan detik. gemuruh menghilir
CATATAN LIBURAN
kabut tipis menghalangi matahari
pagi. ”ini saat yang tepat untuk
tidur melungker,” kata kucing di
keset beranda–dari jauh tercium
wangi kopi dan sisa ruap keringat petani
: pasangan kasmaran akan senantiasa malas
menyibak selimut. tapi lelaki rembang usia
itu memakai sepatu dan mulai menyusuri
setapak. mau menghabiskan dingin pagi dengan
langkah cepat dan debur jantung pekerja pabrik
setelah riol ia memilih belok ke kiri–ke
arah setapak berbatas sawah dan ladang,
lantas pohon beringin di ladang bambu,
turunan dan deru arus sungai selepas hujan
semalam. desah sia-sia meraih bibir tebing
”saat yang tepat untuk kembali,”
kata benalu. bungalow di tebing,
panorama kota di utara dan angin
sia-sia mengajak ke selatan. kini dingin pagi
mengabarkan usia lewat tunas tunggul randu
10/12.2008
Puisi-Puisi Fitrah Anugerah
http://oase.kompas.com/
Ledakan Kebencian
Meledak kebencianmu yang tersimpan dalam kaleng cat.
Ah amarahmu semburat pada wajahku
Dan plafon pikiranku terwarnai hitam cacimu
Aku tahu lukamu sedemikian mengubah warna hidup.
Hingga dendam, hingga relakan gelap mencampur,
Putihmu telah mengelupas perih dari kesakitan tak berbalas.
Dan meledak sudah meledak kebencian.
Meninggalkan warna menawan dari senyummu.
Terhapus suci airmata dan doa.
Bekasi nov09
Saat Aku Menuju Padanya
Aku tersisa dalam langit benakmu. Mengintip setiap kabar darinya.
Dengan kemilau bintangmu. Kau lempar mataku.
Menjadi silau tanpa aimata. Aku buta depanmu dan depannya.
Aku adalah setan penghalang jalan menujunya.
Kutahu kau akan korbankan kehormatan padanya.
Bayangku menghalang. Berpuluhan batu terlempar.
Batu dari ludah kejimu.Yang tercurah setelah mendengar namaku terucap.
Ada luka mendarah.
Aku lari terbirit tanpa darah
dan mengintip sebuah kemenangan Dia
Mengorbankanmu.
Bekasi, nov09
Kwetiauw Goreng
Kusajikan sepiring kwetiauw goreng di meja
Dengan sebaran repih-repihan hatiku dalam piring
Hatiku yang kuambil dan kupotong-potong
Lalu kumasak berbaur sulur kuning kwetiauw
dan cuilan bawang merah+putih,
garam, cuka, cabe, kaldu sapi dan lada.
Dadaku bagai wajan penggorengan buat segenap bahan masakan
Api kerinduan percepat mematangkan.Tercium aroma
Yang akan membukakan pintu penjara dalam perutmu.
Kau begitu menyukai.Melahap tandas setiap bagian
Tanganmu telah menangkap diriku dan aku jinak depan mulutmu.
Hingga kau jebloskan aku dalam penjara di perutmu.
Tiada sanggup melepas. Tiada bisa melihat wajahmu
Setelah menelan pedasnya diriku yang kau buang.
Kau marah dan kau curahkan segelas air dingin dalam penjara.
Tercurah penuh menggelontorku.Merendam pedasku
Sebentar lagi kau melepasku dalam genangan air.
Kau mau hanyutkan ku di sulur panjang aliran sungai.
Bekasi, 17nov09
Hikayat Kucing dan Anjing
Aku melihat dia bagai kucing liar
Menyeret-nyeret tubuh mudamu
Lalu mencabik-cabik dalam kegelapan
Dia pandai telah membaca lengahku
Bagai anjing kesetanan, aku membentak pada dia.
Dia lari aku kejar.Ah dia hanya pecundang.
Pada sunyi mengendap-endap temui engkau
Agar takut tajam taring pendeknya.
Dan dia lari menuju ketiak pengasuhnya.
Aku takut. Aku lunglai.
Sebab wajah pengasuhnya ingatkanku pada kunti.
Oh aku serupa anjing terkapar di pinggir pagi.
Melihat tubuhmu telah dirobek dia.
Darahmu akanlah mengering nanti.
Kujilat-kujilati tubuhmu tetaplah kau kaku.
Aku menjerit. Aku menggonggong.
Rasanya telah keluar sumpahku.
Akan membuat dia bertelanjang.Tak berbulu halus…
Bekasi, 17nov2009
Selamat Sore Buatmu
Sepi senja.
Lebay jiwa.
Pergi kereta.
Mengejar surya.
Tak terucap kata pisah.
Tiket terbuang.
Anganku sia-sia.
Sebentar lagi kuterkapar.
Dalam hampa telaga.
Tiada mengenang.
Hanya langit jingga bersaksi kelak.
Bila kupernah tenggelam dalam airmata.
Bekasi, nov09
Kubayangkan Surga
Kubayangkan surga berangkat temuimu di senja hari.
Dengan langkah tersuruk bagai langkah kereta yang kepayahan.
Dan jejal ratusan keinginan penghuninya.
Lalu engkau simpan surga pada cangkir kopi
Sebab nanti malam engkau akan menghitung jarak surga-neraka.
Bekasi, nov09
Jejak Cinta
Dia hadjar berpeluh buat ismail.
Berlari-lari pada gersang gurun. Shofa-Marwah.
Kering Pasir pun kemilaukan terik matahari.
Jadi saksi meski dikata fatamorgana.
Itu hadjar membekaskan jejak tapak kaki.
Tak ada duka.Tiada keluh.
Keikhlasan menyertai. Peziarah mengikuti.
Lihatlah peluhnya menjadi kolam cinta
Buat ismail. Buat yang mau menjejakkan kaki
Bekasi nov09
*) Lahir di Surabaya, 28 Oktober 1974. Alumni Bahasa dan Sastra Indonesia, FIB, Universitas Airlangga Surabaya. Pernah bergiat di Teater Gapus Unair, Bengkel Muda surabaya dan sekarang aktif di KEDAIILALANG Kali Malang Bekasi. Puisinya dimuat di harian Surabaya Post, Sinar Harapan, dan aktif menulis puisi di Blog. Bekerja di Bekasi, di perusahaan ekspedisi dan bertempat tinggal di Jl. Patuha Raya No.01 Blok 21, Perum Wika, Bekasi Selatan. No HP. 021 94571950 dan 0857 1709m6963. Alamat e-mail : fitrahanugrah@yahoo.com dan fitrahanugrah@ymail.com
Ledakan Kebencian
Meledak kebencianmu yang tersimpan dalam kaleng cat.
Ah amarahmu semburat pada wajahku
Dan plafon pikiranku terwarnai hitam cacimu
Aku tahu lukamu sedemikian mengubah warna hidup.
Hingga dendam, hingga relakan gelap mencampur,
Putihmu telah mengelupas perih dari kesakitan tak berbalas.
Dan meledak sudah meledak kebencian.
Meninggalkan warna menawan dari senyummu.
Terhapus suci airmata dan doa.
Bekasi nov09
Saat Aku Menuju Padanya
Aku tersisa dalam langit benakmu. Mengintip setiap kabar darinya.
Dengan kemilau bintangmu. Kau lempar mataku.
Menjadi silau tanpa aimata. Aku buta depanmu dan depannya.
Aku adalah setan penghalang jalan menujunya.
Kutahu kau akan korbankan kehormatan padanya.
Bayangku menghalang. Berpuluhan batu terlempar.
Batu dari ludah kejimu.Yang tercurah setelah mendengar namaku terucap.
Ada luka mendarah.
Aku lari terbirit tanpa darah
dan mengintip sebuah kemenangan Dia
Mengorbankanmu.
Bekasi, nov09
Kwetiauw Goreng
Kusajikan sepiring kwetiauw goreng di meja
Dengan sebaran repih-repihan hatiku dalam piring
Hatiku yang kuambil dan kupotong-potong
Lalu kumasak berbaur sulur kuning kwetiauw
dan cuilan bawang merah+putih,
garam, cuka, cabe, kaldu sapi dan lada.
Dadaku bagai wajan penggorengan buat segenap bahan masakan
Api kerinduan percepat mematangkan.Tercium aroma
Yang akan membukakan pintu penjara dalam perutmu.
Kau begitu menyukai.Melahap tandas setiap bagian
Tanganmu telah menangkap diriku dan aku jinak depan mulutmu.
Hingga kau jebloskan aku dalam penjara di perutmu.
Tiada sanggup melepas. Tiada bisa melihat wajahmu
Setelah menelan pedasnya diriku yang kau buang.
Kau marah dan kau curahkan segelas air dingin dalam penjara.
Tercurah penuh menggelontorku.Merendam pedasku
Sebentar lagi kau melepasku dalam genangan air.
Kau mau hanyutkan ku di sulur panjang aliran sungai.
Bekasi, 17nov09
Hikayat Kucing dan Anjing
Aku melihat dia bagai kucing liar
Menyeret-nyeret tubuh mudamu
Lalu mencabik-cabik dalam kegelapan
Dia pandai telah membaca lengahku
Bagai anjing kesetanan, aku membentak pada dia.
Dia lari aku kejar.Ah dia hanya pecundang.
Pada sunyi mengendap-endap temui engkau
Agar takut tajam taring pendeknya.
Dan dia lari menuju ketiak pengasuhnya.
Aku takut. Aku lunglai.
Sebab wajah pengasuhnya ingatkanku pada kunti.
Oh aku serupa anjing terkapar di pinggir pagi.
Melihat tubuhmu telah dirobek dia.
Darahmu akanlah mengering nanti.
Kujilat-kujilati tubuhmu tetaplah kau kaku.
Aku menjerit. Aku menggonggong.
Rasanya telah keluar sumpahku.
Akan membuat dia bertelanjang.Tak berbulu halus…
Bekasi, 17nov2009
Selamat Sore Buatmu
Sepi senja.
Lebay jiwa.
Pergi kereta.
Mengejar surya.
Tak terucap kata pisah.
Tiket terbuang.
Anganku sia-sia.
Sebentar lagi kuterkapar.
Dalam hampa telaga.
Tiada mengenang.
Hanya langit jingga bersaksi kelak.
Bila kupernah tenggelam dalam airmata.
Bekasi, nov09
Kubayangkan Surga
Kubayangkan surga berangkat temuimu di senja hari.
Dengan langkah tersuruk bagai langkah kereta yang kepayahan.
Dan jejal ratusan keinginan penghuninya.
Lalu engkau simpan surga pada cangkir kopi
Sebab nanti malam engkau akan menghitung jarak surga-neraka.
Bekasi, nov09
Jejak Cinta
Dia hadjar berpeluh buat ismail.
Berlari-lari pada gersang gurun. Shofa-Marwah.
Kering Pasir pun kemilaukan terik matahari.
Jadi saksi meski dikata fatamorgana.
Itu hadjar membekaskan jejak tapak kaki.
Tak ada duka.Tiada keluh.
Keikhlasan menyertai. Peziarah mengikuti.
Lihatlah peluhnya menjadi kolam cinta
Buat ismail. Buat yang mau menjejakkan kaki
Bekasi nov09
*) Lahir di Surabaya, 28 Oktober 1974. Alumni Bahasa dan Sastra Indonesia, FIB, Universitas Airlangga Surabaya. Pernah bergiat di Teater Gapus Unair, Bengkel Muda surabaya dan sekarang aktif di KEDAIILALANG Kali Malang Bekasi. Puisinya dimuat di harian Surabaya Post, Sinar Harapan, dan aktif menulis puisi di Blog. Bekerja di Bekasi, di perusahaan ekspedisi dan bertempat tinggal di Jl. Patuha Raya No.01 Blok 21, Perum Wika, Bekasi Selatan. No HP. 021 94571950 dan 0857 1709m6963. Alamat e-mail : fitrahanugrah@yahoo.com dan fitrahanugrah@ymail.com
Puisi-Puisi Weni Suryandari
http://oase.kompas.com/
1. Perempuan Ini
Kesepian mengetuk-ngetuk dadaku begitu nyaring
Rupanya ingin merenggut waktu sibukku
Bukan lantaran lelakiku ingin dibelai
Atau anakku minta disusui
Atau setumpuk pekerjaan kantor di meja
Tapi jemu yang akut ikut menggoda kepalaku
Untuk melompat dari dunia kini
Dunia keperempuanan yang menuntut tenaga
Juga hati.
Sedang lelaki hanya punya satu ukuran, bekerja
Manakah yang terbaik, jika perempuan yang bekerja
ingin jeda sebentar saja.
Bukan berarti perempuan tak punya kekuatan
Tapi hanya ingin menghitung sisa waktu untuknya
Desember 2009
2. Perempuan Perkasa
Mencangkul angan terserak
Pada pelepah mati
Di tanah-tanah retak
Melepuh terpanggang matahari
Demi detak waktu bergegas
Perempuan menanam perih
Sambil menelan keringat jerih
Menumpu sabar menanti tunas
Pada tanda-tanda zaman
Saat pria memakai kebaya
Perempuan memanggul beban
Payungi pria tak berdaya
Serupa tuan lindungi hamba sahaya
Lalu dogma ada di mana
Mei , 2009
3. Perempuan Senja
Perempuan senja termangu letih
Menghitung masa di helai putih
Bercermin pada mata laut
menjejak kerutmerut
di wajah bulan yang membungkus
rindu di balik kerudung hijau pupus
bertanya tentang cinta yang dulu
pernah memberinya pelangi
Perempuan senja bangkit mencari cintanya
Yang masih ranum dan kenyal
Lalu ia temukan prasasti tertulis
“di sini ada cinta purba”
Juni 2009
4. Perempuan Berkerudung
Di wajah laut kulihat bulan sedang manis
Terbitkan jejak pantai menantang gerimis
Pasir-pasirnya adalah seluruh getar
Menelusuri tubuh senja di selasar
Lalu meninggalkan bayang-bayang
Ketika rindu mengamuk begitu berang
Pada sunyi yang kian menipis
Do’aku adalah bibir gemetar menerima ciumMu
Lalu kusembunyikan rindu di balik kerudungku
Yang terbuat dari bungkus bulan yang sedang matang
1 Juli 2009
5. Ziarah Tubuh Perempuan
Tubuhku bukan wilayah terlarang
Yang belum kau ziarahi
Di sipit bulan kau bermata jalang
Mencari wilayah sedahi
Padahal di sana ada wilayah terlarang
Untuk kau singgahi
Maka ziarahi tubuhku sekarang
Sebelum kokok menjelang
Juni 2009
*) Sarjana Bahasa Inggris dan berprofesi sebagai Instruktur Bahasa Inggris. Senang menulis cerpen, puisi dan novelette. Tinggal di wilayah Bekasi perbatasan dengan Bogor, Perumahan Vila Nusa Indah.
Pengalaman Menulis
Hobi menulis cerpen dan saat ini sedang bergiat di komunitas sastra Pasar Malam Reboan dan masih gandrung menulis puisi dan cerpen. Sebuah karya Novellettenya berjudul : Kesetiaan Seorang Sri memenangkan Sayembara Novelette Nyata 2008 yang diadakan oleh Tabloid Nyata bulan April lalu dan termasuk pemenang 7 Kategori Terpuji dari 565 penulis dari seluruh Indonesia dan manca negara
Sehari-hari penulis bekerja sebagai Guru Bahasa Inggris. Beberapa cerpennya berjudul: Untuk Emakku, Di Tikungan Waktu, Guling, Saputangan Buat Bapak dimuat di Kompas.Com/Oase/Ceritaku. Penulis menuangkan sebagian karya-karyanya pada blognya di Facebook, wenivni.multiply.com dan wenipurnama’s.wordpress.com
Saat ini novelettenya “Kesetiaan Seorang Sri” sedang dimuat di Tabloid Nyata edisi November - Desember 2009. Sudah menerbitkan Buku Antologi Puisi 10 Perempuan Penyair Facebook berjudul “Merah Yang Meremah”. Saat ini sedang proses cetak Antologi Cerpen Wanita 2009.
1. Perempuan Ini
Kesepian mengetuk-ngetuk dadaku begitu nyaring
Rupanya ingin merenggut waktu sibukku
Bukan lantaran lelakiku ingin dibelai
Atau anakku minta disusui
Atau setumpuk pekerjaan kantor di meja
Tapi jemu yang akut ikut menggoda kepalaku
Untuk melompat dari dunia kini
Dunia keperempuanan yang menuntut tenaga
Juga hati.
Sedang lelaki hanya punya satu ukuran, bekerja
Manakah yang terbaik, jika perempuan yang bekerja
ingin jeda sebentar saja.
Bukan berarti perempuan tak punya kekuatan
Tapi hanya ingin menghitung sisa waktu untuknya
Desember 2009
2. Perempuan Perkasa
Mencangkul angan terserak
Pada pelepah mati
Di tanah-tanah retak
Melepuh terpanggang matahari
Demi detak waktu bergegas
Perempuan menanam perih
Sambil menelan keringat jerih
Menumpu sabar menanti tunas
Pada tanda-tanda zaman
Saat pria memakai kebaya
Perempuan memanggul beban
Payungi pria tak berdaya
Serupa tuan lindungi hamba sahaya
Lalu dogma ada di mana
Mei , 2009
3. Perempuan Senja
Perempuan senja termangu letih
Menghitung masa di helai putih
Bercermin pada mata laut
menjejak kerutmerut
di wajah bulan yang membungkus
rindu di balik kerudung hijau pupus
bertanya tentang cinta yang dulu
pernah memberinya pelangi
Perempuan senja bangkit mencari cintanya
Yang masih ranum dan kenyal
Lalu ia temukan prasasti tertulis
“di sini ada cinta purba”
Juni 2009
4. Perempuan Berkerudung
Di wajah laut kulihat bulan sedang manis
Terbitkan jejak pantai menantang gerimis
Pasir-pasirnya adalah seluruh getar
Menelusuri tubuh senja di selasar
Lalu meninggalkan bayang-bayang
Ketika rindu mengamuk begitu berang
Pada sunyi yang kian menipis
Do’aku adalah bibir gemetar menerima ciumMu
Lalu kusembunyikan rindu di balik kerudungku
Yang terbuat dari bungkus bulan yang sedang matang
1 Juli 2009
5. Ziarah Tubuh Perempuan
Tubuhku bukan wilayah terlarang
Yang belum kau ziarahi
Di sipit bulan kau bermata jalang
Mencari wilayah sedahi
Padahal di sana ada wilayah terlarang
Untuk kau singgahi
Maka ziarahi tubuhku sekarang
Sebelum kokok menjelang
Juni 2009
*) Sarjana Bahasa Inggris dan berprofesi sebagai Instruktur Bahasa Inggris. Senang menulis cerpen, puisi dan novelette. Tinggal di wilayah Bekasi perbatasan dengan Bogor, Perumahan Vila Nusa Indah.
Pengalaman Menulis
Hobi menulis cerpen dan saat ini sedang bergiat di komunitas sastra Pasar Malam Reboan dan masih gandrung menulis puisi dan cerpen. Sebuah karya Novellettenya berjudul : Kesetiaan Seorang Sri memenangkan Sayembara Novelette Nyata 2008 yang diadakan oleh Tabloid Nyata bulan April lalu dan termasuk pemenang 7 Kategori Terpuji dari 565 penulis dari seluruh Indonesia dan manca negara
Sehari-hari penulis bekerja sebagai Guru Bahasa Inggris. Beberapa cerpennya berjudul: Untuk Emakku, Di Tikungan Waktu, Guling, Saputangan Buat Bapak dimuat di Kompas.Com/Oase/Ceritaku. Penulis menuangkan sebagian karya-karyanya pada blognya di Facebook, wenivni.multiply.com dan wenipurnama’s.wordpress.com
Saat ini novelettenya “Kesetiaan Seorang Sri” sedang dimuat di Tabloid Nyata edisi November - Desember 2009. Sudah menerbitkan Buku Antologi Puisi 10 Perempuan Penyair Facebook berjudul “Merah Yang Meremah”. Saat ini sedang proses cetak Antologi Cerpen Wanita 2009.
Puisi-Puisi Budhi Setyawan
http://oase.kompas.com/
KEMBANG PERBATASAN
kekasih,
masihkah aku tertanam
dan kau rawat di kebun jiwamu?
akulah puisi,
yang berasal dari tapal batas
tumbuh di antara pegunungan impian
dan lembah kenyataan
DEBAR DENYAR
sekuntum puisi yang kuberikan dulu
masihkah segar di taman rindumu?
NGEBUT
wuss….wess…wiss
sejarah melaju dengan kencangnya
kami yang mencoba berjalan agak ke tengah
lagi-lagi tertabrak dan terpental
lagi-lagi menciumi geragal
lalu kapankah jalanan ini diperlebar?
wueisss…..
RUMAH SAJAK
ini rumah beralas sunyi
berdinding mimpi
beratap pelangi
di sini
di tiap detak masa kucumbui kekasihku:
gelinjang desah resah kata-kata menggoda
kusetubuhi ribuan sosok pantun dan syair
beranak pinak
mengalirlah wajah-wajah ranum
sajak-sajak berkecipak
ISTIRAH 1
taburkan puisi-puisi
segar ranum
aneka rupa
beragam rasa
rebahkan indah
gelarkan pasrah
biar menyatu
damai dalam tidur panjangku
PUISIMU PENJAGAMU
penyair cahaya
puisimu setia melulur tiap jengkal langkah
tampakkan sosokmu di tiap penjuru
seperkasa rindu
bahkan saat kau telah diringkas sang waktu
puisimu setia di pusara dan seluruh jejakmu
memelihara nafas dan semangatmu
di pagelaran sejarah
menjagamu,
dari amuk gerus segala debu
DINDING 1
senja yang parau
bersama ombak ganas lautan
dengan menunggang lari lembab angin
pulang,
bersarang ke dalam biru matamu
dan aku tertinggal di lanskap pasir
yang memelukku ringkih
KILAS PUTIH
ada riak gelombang mungil
melumur senyummu: tubuh putihmu
dan rerumputan belumlah sadar benar
apakah ini sudah pagi
di belakangmu matahari baru bangkit dari mimpinya
menapak pada ranting daun
meraba pada senyap pohon
bercerita tentang labirin waktu
menelusup pada kilas cahayamu
adalah mengurai riwayat panjang
tentang silsilah mimpi
Tentang Penyair:
*) Lahir di Purworejo, Jawa Tengah, 9 Agustus 1969. Alumnus Fakultas Ekonomi Akuntansi UGM Yogyakarta, sekarang bekerja di Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan, Jakarta. Hobi musik & sastra. Pernah menjadi drummer Douane Band di Balikpapan, Kalimantan Timur. Beberapa tulisannya dimuat di Tribun Kaltim, Republika, Jurnal Nasional, Sinar Harapan, Seputar Indonesia, Majalah GONG, Majalah STORY, Jurnal The Sandour, Bulletin Littera, Bulletin Cangkir, Tabloid Apakabar(Hongkong), dll. Juga menulis puisi dalam bahasa jawa (geguritan) dimuat di majalah Damarjati, Panjebar Semangat, Jayabaya. Puisinya ada dalam antologi bersama: Kemayaan dan Kenyataan (Fordisastra, 2007), Pedas Lada Pasir Kuarsa (TSI II, 2009), Kakilangit Kesumba (Purworejo, 2009), Antologi Musibah Gempa Padang (Malaysia, 2009). Buku antologi puisi tunggalnya: Kepak Sayap Jiwa (2006), Penyadaran (2006), Sukma Silam(2007). Sekarang aktif di kegiatan sastra Reboan di Bulungan, Jakarta Selatan. blog: www.budhisetyawan.wordpress.com. email: budhisetya69@yahoo.com
KEMBANG PERBATASAN
kekasih,
masihkah aku tertanam
dan kau rawat di kebun jiwamu?
akulah puisi,
yang berasal dari tapal batas
tumbuh di antara pegunungan impian
dan lembah kenyataan
DEBAR DENYAR
sekuntum puisi yang kuberikan dulu
masihkah segar di taman rindumu?
NGEBUT
wuss….wess…wiss
sejarah melaju dengan kencangnya
kami yang mencoba berjalan agak ke tengah
lagi-lagi tertabrak dan terpental
lagi-lagi menciumi geragal
lalu kapankah jalanan ini diperlebar?
wueisss…..
RUMAH SAJAK
ini rumah beralas sunyi
berdinding mimpi
beratap pelangi
di sini
di tiap detak masa kucumbui kekasihku:
gelinjang desah resah kata-kata menggoda
kusetubuhi ribuan sosok pantun dan syair
beranak pinak
mengalirlah wajah-wajah ranum
sajak-sajak berkecipak
ISTIRAH 1
taburkan puisi-puisi
segar ranum
aneka rupa
beragam rasa
rebahkan indah
gelarkan pasrah
biar menyatu
damai dalam tidur panjangku
PUISIMU PENJAGAMU
penyair cahaya
puisimu setia melulur tiap jengkal langkah
tampakkan sosokmu di tiap penjuru
seperkasa rindu
bahkan saat kau telah diringkas sang waktu
puisimu setia di pusara dan seluruh jejakmu
memelihara nafas dan semangatmu
di pagelaran sejarah
menjagamu,
dari amuk gerus segala debu
DINDING 1
senja yang parau
bersama ombak ganas lautan
dengan menunggang lari lembab angin
pulang,
bersarang ke dalam biru matamu
dan aku tertinggal di lanskap pasir
yang memelukku ringkih
KILAS PUTIH
ada riak gelombang mungil
melumur senyummu: tubuh putihmu
dan rerumputan belumlah sadar benar
apakah ini sudah pagi
di belakangmu matahari baru bangkit dari mimpinya
menapak pada ranting daun
meraba pada senyap pohon
bercerita tentang labirin waktu
menelusup pada kilas cahayamu
adalah mengurai riwayat panjang
tentang silsilah mimpi
Tentang Penyair:
*) Lahir di Purworejo, Jawa Tengah, 9 Agustus 1969. Alumnus Fakultas Ekonomi Akuntansi UGM Yogyakarta, sekarang bekerja di Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan, Jakarta. Hobi musik & sastra. Pernah menjadi drummer Douane Band di Balikpapan, Kalimantan Timur. Beberapa tulisannya dimuat di Tribun Kaltim, Republika, Jurnal Nasional, Sinar Harapan, Seputar Indonesia, Majalah GONG, Majalah STORY, Jurnal The Sandour, Bulletin Littera, Bulletin Cangkir, Tabloid Apakabar(Hongkong), dll. Juga menulis puisi dalam bahasa jawa (geguritan) dimuat di majalah Damarjati, Panjebar Semangat, Jayabaya. Puisinya ada dalam antologi bersama: Kemayaan dan Kenyataan (Fordisastra, 2007), Pedas Lada Pasir Kuarsa (TSI II, 2009), Kakilangit Kesumba (Purworejo, 2009), Antologi Musibah Gempa Padang (Malaysia, 2009). Buku antologi puisi tunggalnya: Kepak Sayap Jiwa (2006), Penyadaran (2006), Sukma Silam(2007). Sekarang aktif di kegiatan sastra Reboan di Bulungan, Jakarta Selatan. blog: www.budhisetyawan.wordpress.com. email: budhisetya69@yahoo.com
Langganan:
Postingan (Atom)
A. Mustofa Bisri
A'yat Khalili
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Wachid B.S.
Abi N. Bayan
Abidah El Khalieqy
Acep Syahril
Acep Zamzam Noor
Adi Toha
Adrian Balu
AF Denar Daniar
Afrizal Malna
Agus Manaji
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Maltuf Syamsury
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Ala Roa
Aldika Restu Pramuli
Alfatihatus Sholihatunnisa
Alfiyan Harfi
Ali Makhmud
Ali Subhan
Amelia Rachman
Amie Williams
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Andry Deblenk
Anggie Melianna
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Aprinus Salam
Ariandalu S
Arieyoko Ksmb
Arya Winanda
As Adi Muhammad
Asep Sambodja
Atrap S. Munir
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Badaruddin Amir
Bakdi Sumanto
Bambang Darto
Bambang Kempling
Bambang Widiatmoko
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Bernando J. Sudjibto
Bernard S. Y. Batubara
Binhad Nurrohmat
Budhi Setyawan
Budi Palopo
Bustan Basir Maras
Chairul Abhsar
Chavchay Saifullah
Cut Nanda A.
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Afriady
Dadang Ari Murtono
Daisy Priyanti
Daysi Priyanti
Dea Anugrah
Dea Ayu Ragilia
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Desti Fatin Fauziyyah
Dewi Kartika
Dharmadi
Diah Budiana
Diah Hadaning
Dian Hartati
Didik Komaidi
Dimas Arika Mihardja
Djoko Saryono
Dody Kristianto
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Edy Lyrisacra
Effendi Danata
Eimond Esya
Eka Budianta
Eko Hendri Saiful
Eko Nuryono
El Sahra Mahendra
Ellie R. Noer
Elly Trisnawati
Emha Ainun Nadjib
Endang Supriadi
Endang Susanti Rustamadji
Eny Rose
Eppril Wulaningtyas R
Esha Tegar Putra
Esti Nuryani Kasam
Etik Widya
Evi Idawati
Evi Melyati
Evi Sefiani
Evi Sukaesih
Fadhila Ramadhona
Fahmi Faqih
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Fikri MS
Fina Sato
Firman Wally
Fitrah Anugerah
Frischa Aswarini
Gampang Prawoto
Ghaffur Al-Faqqih
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gunawan Maryanto
Gunoto Saparie
Gus tf Sakai
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hari Leo
Haris del Hakim
Hasan Al Banna
Hasan Aspahani
Hasta Indriyana
Helga Worotitjan
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Maja Kelana
Herlinatiens
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Ibnu Wahyudi
Ikarisma Kusmalina
Ike Ayuwandari
Ilenk Rembulan
Imam S Arizal
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santoso
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indrian Koto
Isbedy Stiawan ZS
Iwan Gunadi
Javed Paul Syatha
Jibna Sudiryo
Johan Khoirul Zaman
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Saputro
Jufri Zaituna
Jusuf AN
Kadek Wara Urwasi
Kadjie Bitheng MM
Kartika Kusworatri
Kedung Darma Romansha
Kika Syafii
Kirana Kejora
Kirdjomuljo
Kurnia Effendi
Kurniawan Junaedhie
Kurniawan Yunianto
Kusprihyanto Namma
Kuswaidi Syafi’ie
L.K. Ara
Lailatul Muniroh
Landung Rusyanto Simatupang
Lela Siti Nurlaila
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Linus Suryadi AG
Liza Wahyuninto
Lubis Grafura
Lutfi Mardiansyah
M. Badrus Alwi
M. Faizi
Maghfur Munif
Maghie Oktavia
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maman S. Mahayana
Maqhia Nisima
Marcellus Nur Basah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marwanto
Mas Marco Kartodikromo
Mashuri
Mathori A. Elwa
Matroni el-Moezany
Maya Mustika K.
Mega Vristian
Miftahul Abrori
Mohammad Yamin
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muntamah Cendani
Mustiar AR
Mustofa W Hasyim
Mutia Sukma
Nadjib Kartapati Z
Nanang Suryadi
Nezar Patria
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Noor Sam
Nunung S. Sutrisno
Nur Iswantara
Nur Lodzi Hady
Nur Wahida Idris
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Pariyo Adi
Pringadi AS
Pringgo HR
Puisi-Puisi Indonesia
Purwadmadi Admadipurwa
Puspita Rose
Putri Sarinande
R. Toto Sugiharto
Rachmat Djoko Pradopo
Raedu Basha
Ragil Suwarno Pragolapati
Rakai Lukman
Rama Prabu
Ramadhan KH
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Ribut Wijoto
Rikard Diku
Robin Al Kautsar
Rozi Kembara
Rudi Hartono
Rusydi Zamzami
S Yoga
Sahaya Santayana
Saiful Bakri
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Selendang Sulaiman
Seli Desmiarti
Sigit Sugito
Sihar Ramses Simatupang
Siska Afriani
Sitok Srengenge
Sitor Situmorang
Slamet Rahardjo Rais
Slamet Widodo
Sosiawan Leak
Sreismitha Wungkul
Sri Harjanto Sahid
Sri Jayantini
Sri Setya Rahayu
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sumargono SN
Suminto A. Sayuti
Sunardi KS
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Sutirman Eka Ardhana
Syifa Aulia
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Triaton
Tengsoe Tjahjono
Tharie Rietha
Thowaf Zuharon
Timur Sinar Suprabana
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Ulfatin Ch
Umbu landu Paranggi
Unieq Awien
Usman Arrumy
W. Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Hidayat
Wahyu Subuh
Warih Wisatsana
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Widi Astuti
Wiji Thukul
Winarni R.
Y. Wibowo
Yonathan Rahardjo
Yosi M Giri
Yudhi Herwibowo
Yudhiono Aprianto
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Yuswan Taufiq
Yuswinardi
Zaenal Faudin
Zainal Arifin Thoha
Zamroni Allief Billah
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae