Rabu, 30 Desember 2009

Puisi-Puisi Iman Budi Santoso

http://jurnalnasional.com/
Manusia 1

Walau tubuhmu kian lapuk dengan mati
Jiwamu masih kusimpan dalam puisi

(12 Juni 2008 08:24 WIB)



Rumah

Malam kelam telah datang
Langit menyanyikan keheningan
Tidurlah, kekasihku, tidurlah
Biar lelahmu kian merebah

Kau tak perlu menceramahi
Tentang bagaimana mencintai
Kau bahkan tak tahu pasti
Seperti apa mencintai
Kau hanya ingin memiliki!

Kau cepat sekali terlelap

Kau terlalu banyak berharap!

Aku menari sunyi di langit
Sambil mengirimkan kasih
Untuk menyelimuti lelapmu
Biar hadirlah mimpi indahmu

Apa yang aneh dari perpisahan?
Bukankah itu terjadi berulang
dalam setiap kisah kehidupan?
Mengapa air matamu berlinang
seakan hujan tak lagi menggenang?

Sebenarnya aku ingin memelukmu
Seraya kau tidur, seperti dulu
Tapi aku enggan melakukannya
Tubuhku membatu dengan lara

Tak usah dikenang
Walau terasa dalam
Biar dendam melayang
Biar langkah terbebaskan

Ketika kau terbangun esok pagi
Mungkin kau akan mencium wangi melati
Nikmatilah
Itu yang sengaja kutinggalkan

Untuk apa mencaci yang telah mati?
Untuk apa mengharap yang tak pasti?
Kuburan tersedia di mana-mana
Tapi kau masuk ke liang yang sama

Akankah senyummu merekah karenanya?
Tak ada keyakinan yang memastikan
Semuanya terasa hanya perkiraan
Kita pun mungkin hanya perkiraan
Tersesatkah kita?

Selalu ingin kembali
Setelah terlanjur pergi
Tidakkah kau lelah
melahirkan gundah?

Kita harus mencari jalan sendiri
Tapi tak harus pulang kembali

(28 Mei 2009 06:40 WIB)



Lupa

Ayah, kita senantiasa mencatat kelam
Pada hujan di sore kelabu
Yang meneteskan sendu
Adzan magrib pun berkumandang
Membawakan pesan
Tentang kemarau yang indah:
Kering air mata lirih kita

Perlukah merasa tersakiti bila sudah terobati?

Ayah, kini aku lupa pergantian musim
(Kenanganmu tak lagi bermukim)

(7 Mei 2009 23:09 WIB)



Kau Baru Saja Pergi

Kau baru saja pergi
Angin masih membelai kulitku
Lembut sekali
Tak menghembuskan kepergianmu

Detak jam bergerak cepat
Kau baru saja pergi
Kenangan penting terus dicatat
Aku membaca goresan pelangi

Seprei kasur berantakan, belum kubereskan
Biarkan saja, begitu katamu dengan nyaman
Kau baru saja pergi
Pintu kamar seharusnya dikunci

Mungkin aku selalu lupa
Ini hanya perkara biasa
Cinta bukan lagi fiksi
Kau baru saja pergi

(21 Juni 2009 12:31 WIB)



Untuk Seorang Penyair

Wahai penyair
Aku tak bisa terlelap saat malam menjelma
Di mataku selalu nampak jiwamu membara
Mendobrak tatanan diri yang telah kubangun rapi
Seperti tahun-tahun berlalu dalam sejarah sepi

Awalnya kau basuh jiwaku dengan air puisi
Sampai bersih berkilau dari noda duniawi
Hingga bersamamu kugenggam dayung panjang
Sebrangi laut kehidupan yang lengang
Ungkapkan misteri yang tak terpecahkan

Deru mimpi pun kau libas bagai kereta api
Bermil-mil melaju menuju lorong-lorong sunyi
Hidupkan nurani yang telah lama mati
Pun derita yang menggulung dari gunung
Kurasakan sedemikian luka, menambah tetes air mata
Dalam kemanusiaan yang indah di tepi asa
Dan aku menaiki satu tangga dari langit
Kuraih tinggiku bersama pelukanmu yang hangat

Tapi entahlah saat ini
Jiwamu kian padam bersama lilin yang semakin jarang
Saat kutemui wajahmu di sebrang pulau mati
Kini ramaimu yang menyiar syair:
Mantra-mantra kelabu bertebaran
Lecet pun tak terhindari, menjadi bahan duka nan abadi

Wahai penyair
Akhirnya aku berjalan di kegelapan metafora
Kutemukan berbagai buntu yang penuh imaji
Puisimu usang dimakan kutu yang bersarang di otakku
Atas semua yang terjadi saat terakhirmu itu
Entah apa yang kini kutoreh dalam kata-kata
Mungkin hanya sebait makna yang mencari nyawa

(19 Juni 2008 01:49 WIB)



Di Pengasingan

Sejak dulu, di pengasingan, aku selalu menyanyikan lagu
Diiringi bunyi kegelapan yang menyuarakan luka waktu
Liriknya tentang kemerdekaan yang menghilangkan ragu
Terdendang bersama belenggu kelabu pada kesendirianku

Sebenarnya, aku tak sendirian, ada gelisah yang menemani
Juga dengung kenangan yang terdengar sendu sekali
Menambah merdu alunan lagu yang kunyanyikan
Hingga bertabuhan air mata yang berlinang

Seringkali, sambil menyanyi, aku merindukan mentari
Ia selalu tersenyum padaku saat datangnya hari
Dan mengecupku dengan embun-embun puisi
Di pengasingan, mentari diusir hingga pergi

Seharusnya, dengan sadar, aku tak boleh menyanyi
Di pengasingan, ada peraturan “dilarang menyanyi”
Bila melanggar, sepi akan menghukum dengan keji
Atas undang-undang fana berlandaskan lara hati

Sayang sekali, aku tak peduli, walau aku selalu dihukum
Biar langit jiwaku membasah, agar hujan kasih kian turun
Berharap membanjiri pengasingan hingga luluh dan runtuh
Walau perjuangan telah mengorbankan hakikat tubuh

(6 September 2009 18:04 WIB)



Tangisan Hitam

“Mungkin matahari takkan bersinar lagi di wajahku
Aku tahu
Wajahku dipenuhi dendam pada pagi yang kabur

Mungkin rembulan takkan terpancar lagi di senyumku
Aku tahu
Senyumku ternodai luka pada malam yang lebur”

Ternyata aku meratapinya
Dan saat semua itu belum tiba:
Dengan riang aku berjalan
Menuju candu di pesakitan

Tanah retak bukanlah keluhan
Hujan luka tidaklah sialan
Kisah senantiasa berulang
Menebarkan pengalaman

Tangisan hitam kualirkan
Pada sungai kenistaan
Berharap sampai di lautan
Deburkan ombak kearifan

(30 Juli 2009 16:49 WIB)



Sebuah Pertemuan 1
: Dika Jatnika

Akhirnya kita sama-sama tahu
Cuaca dingin yang menebar angin kali ini
Adalah rindu-rindu awan kelabu:
Sebelum gerimis datang, terucaplah doa
Tentang pertemuan hujan yang tak sempat terwujud

Demikianlah
Hingga menjadi cerita di musim yang basah
Pada batas khatulistiwa yang meradang
Dan langit meratap, sebuah kebiasaan
Mendirikan kehampaan

Maka
Kau pun melebur ke dalam udara
Di musim selanjutnya, sambil menanti hujan
Membasahi tangismu yang mengering
Sedangkan aku menjadi puing-puing
Yang terombang-ambing
Oleh alam yang menjerit nyaring

(6 Februari 2009 15:15 WIB)



Sebuah Pertemuan 2
: Dika Jatnika

Dan kita pun merebus pertemuan itu
Menjadi air mata yang mendidih
Menebarkan uap yang melukis perih
Menyatu dengan angin riuh nan lirih

Lantas kau putuskan untuk terbang
Agar melaju ke angkasa pilu
Raih awan-awan kelabu
Seperti harapan tanah tandus pada hujan

Sedangkan aku masih terdiam
Membeku dengan dinginnya malam
Mendurja pada kelam yang selalu bungkam
Seolah menghilangkan bising kejujuran
Mungkin hanya kicau burung hantu
Yang bisa menjelaskan
Mengapa sunyi itu penuh rahasia

(10 Februari 2009 23:40 WIB)

Puisi-Puisi Dian Hartati

http://jurnalnasional.com/
Pelataran Kawah Putih

memasuki wilayahmu
ada hampar pasir jadi gerbang
anakanak angin membangunkan segala ruh
rantingranting membatu
cahaya kehijauan mencipta langit teduh

aku datang membawa raga
dari tangkuban parahu
menyampaikan salam junghuhn
untuk kau yang merajai patuha

eyang jaga satru, aku mendengar laskar yang kau pimpin
suarasuara itu menyadarkan aku
betapa alam begitu ambigu

aku hirup belerang
bau cadas yang siap menyerang setiap ingatan
tanahtanah mengering, batubatu memenjarakan jarak

mengitarimu,
aku mendapati aroma memikat
jalan setapak
hangat udara
juga cakrawala yang tak pernah senja

kau yang menguasai kawahkawah
asapasap pengintai usia
juga suara domba putih, domba lukutan

eyang jaga satru, inikah kerajaanmu
yang setiap hari didatangi peziarah
dari kotakota berlainan

SudutBumi, 2009



Menyulam Sisa Hujan

di teras rumahku ada payung,
sisa hujan sore tadi

kuperhatikan
: masih tersisa jejak kakimu yang basah

sisa kunjungan yang tak usai

SudutBumi, 2009



Jalan Air

aku menelusuri jalan air
menginjakkan kaki di antara deru; lalu lalang tak henti

hujan terus saja menemani perjalanan pulang
menjauhi riuh hari juga senyum bertemu

waktu panjang untuk kamis yang manis
tualang di sebuah kotak
: bernama kantor

air begitu mahir memilin lajur
menggenangi jejak pejalan juga petak sawah yang siap panen

kakiku terus melangkah
bergegas
menyibak jalanan yang mulai digenangi air
khawatir panen gagal esok hari

SudutBumi, 2009



Terkadang, Kita Lupa
dengan Masa Lalu

tanah
dari yang dilahirkan
bernama sihir
selalu mengalir
menempa segala

dari yang terurai
bertumbuhan sesak
kenangan

jalanan
tenggelamlah
temukan setiap akar
ingatan

ketika gerak
menepiskan waktu
lunaslah semua

dan tawa itu
jadi sebuah reklame
mahal

kawan
sebuah dilatasi
disekat
digiring ruang waktu

lagi dan lagi
disempurnakan
tawa

SudutBumi, 2009
buat kawan: ria novitasari

Perempuan di Tepi Jendela

[1]
sejak kapan
perempuan jadi perona
membuat warna hati berlainan

kau merangkum seluruh kisah
jadi segenggam rindu
lalu kau bawa pergi

berlari ke laut
menyisir setiap bayang matahari

[2]
sampai hari ini, kau tetap membeku
jadi kawanan gerimis
yang tajam
tak mau diam
berseliweran
bersama angin yang tetap bersetia

bukankah ia lelaki?
ahhh kau, tetap membatu

[3]
“apa yang hendak kau lukis sekarang?”
warna pelangi atau rimbun hijau hatimu

SudutBumi, 2009
buat kawan, risma dewi



Dalam Sebuah Kartu Nama

di sebuah mal, kau bersama anak dan istri
hatihati aku melewatimu
memperhatikan senyum rekah di wajah tua
ada banyak bangunan di sana
geliat mimpi masih jelas kubaca
kau terus mendirikan tonggak
tak henti membuka pintu
memberikan ucapan selamat
bagi pendatang sepertiku
bukan hanya gedunggedung tinggi bertumbuhan
kau membentuk setiap senja bersama warna kamboja

di sebuah cafe, aku dan kamu bermanja
lupakanlah kantor, ucapmu ketika aku menolak sebuah tatapan
berjalanlah agak santai
agar malam lebih terasa ramainya
dan tak akan ada lagi yang merasa dingin
sebab kepala sudah dipenuhi angan
dan telapak tangan sudah ditafsirkan
genggamlah
maka tak akan ada yang berani mematikan
alun musik itu

di sebuah pertemuan, siapapun tak akan tahu
siapa pernah menjalin siapa
mobil, ponsel, buku, rumah, garasi, mawar,
cokelat, cerpen, tongseng, jakarta, kereta, taksi
siapa yang dapat membendung kata
keinginan kepergian
seluruhnya telah disepakati
aku dan kamu
dalam perjamuan siang yang tak istimewa
hanya menghadirkan fatamorgana senja
serupa kamboja

SudutBumi, 2009
buat kawan perjalanan kusnandar



Nama Calon Anakku

saraswati tirta arum, misalkan kau anak pertama
genaplah aku sebagai perempuan
menyusur mata air
berjalan di bawah pohon amarta
dan kukemas segala haru
kutumpahkan pada dada limbung bahagia
ai, tumbuhlah mengikuti aliran
yang dicecapkan ubunubun

sastra bayu laksana, jika kau hadir pertama
penyempurna doa bagi hari penantian
kisah yang mengakas
bagi lelaki di tepi rindu
selalu kejutkan rahim milik ibu
as, melarunglah
sejauh masa lalu sekuat angin

saraswati banyu arum, laksmi banyu arum
jika bumi membelah ganda
sastra bayu pratama, sastra lindu pratama
menawarkan rekah bunga pada musim penghujan
kemaslah hari dan berlarilah bersamaku

SudutBumi, 2009



Mengasah Pisau

[ruang makan]
pandai benar kau mengiris roti
menuangkan selai ke permukaannya
memadupadankan tepung dan cerita
dalam ruang kecil
bersekat ganda

[halaman belakang]
di dekat pintu
kau menyiapkan batu asah, air, juga secuil cerita
sambil menggosokkan besi dan batu
kau terus mencerocos
perihal politik yang hampir basi
dan tentang uang sekolah yang tak lagi ada jaminan
pandanganmu terus saja menggamit mata pisau
sesekali kau mencobanya
membelah kentang dengan tegas

[dapur]
di dalam tungku segalanya matang
rumah tangga kian menua
rumput di depan rumah semakin pudar warnanya
pisau dan batu tak bosan meracik rasa
bernama cinta

SudutBumi, 2009



Kemarau Tiba,
Kulitku Robek Karenanya

dingin mencatat di pagi lunta
berapa lagi selimut harus dipesan
agar mimpi tak jadi usang

datang juga kemarau
memerahkan kulit
menjadikan gatagatal

seumpama kata
tak mau diam
terus saja mengumpat

seolah tanah rekah
retak di sanasini
tak menghasilkan apapun
hanya angin
mencoba merapatkan kenangan

SudutBumi, 2009

Puisi-Puisi Hasan Al Banna

http://jurnalnasional.com/
Gurindam Perpisahan
‘”kepada penyair-penyair perindu

apabila pulang kukata,
pergi kau kira.

kita bertolak dari dermaga yang sama,
dermaga abjad yang terluka.

tatkala beranjak padamu,
berdiam bagiku.

aku kau berarung pada laut yang tiada berbeda,
laut kata-kata.

jikalau datang kaubilang,
hilang kuhidang.

kau aku terombang pada badai yang senama,
badai kalimat yang bergelora.

manakala gaib kausaji,
wujud kuberi.

aku kau terkapar pada karang yang tiada berlainan,
karang bait yang berkenan.

ketika pergi padaku,
tinggal bagimu.

kau aku tenggelam pada kedalaman yang serupa,
kedalaman makna.

apabila rumah kauduga,
kelana kusangka.

kita tersungkur pada palung yang satu,
palung rindu.

Jambi-Medan, 2008



Perkara Tubuh dan Bayang

perkara pertama:
tatkala tubuh dan bayang menolak di belakang
siapa yang pantas berdiri di depan

tergantung cahaya
sepihak mata atau sekutu tengkuk

perkara kedua:
manalah tubuh ada di kanan
kalau cahaya menoleh dari kiri

jangan harap bayang pulang ke kiri
sebelum cahaya pergi ke kanan

perkara ketiga:
panjang mana tubuh ketimbang bayang
sejauh cahaya memilih derajat ketinggian

tak usah tubuh dan bayang takut pendek
segegas cahaya terbit di kepala atau di kaki

cari perkara:
jika tubuh atau bayang tak di depan tak di belakang
di kiri tiada di kanan alpa

serahkan saja
pada keserongan cahaya.

Jakarta, 2009



Yang Digunjing dan Penggunjing
Berbalas Gurindam

yang digunjing:

mengapa kepada sehadap gajah matamu buta,
kepada sejauh semut matamu menyala.

manakala gajah kausangka tiada,
tersebutlah kau rabun benda.

tatkala semut kau kata titik yang mengada-ngada,
mengapa yang tiada kausebut nyata.

penggunjing:

gajah di depan mata seonggok bayi cuma,
semut di sebalik sana sewujud raksasa.

apabila gajah kausimpul besar senantiasa,
terbilanglah kau dangkal akal dan rasa.

ketika semut kauanggap berdiam dalam lobang saja,
mengapa dengan mudah ia membangun istana.

Medan, 2008



Kunci Pintu

heit, lidahku tak pandai berdusta,
hanya bisa bilang jangan atau sila.

kuasaku tak sampai pada titah,
hanya berdiam pada pasrah.

tapi jangan pernah membentak,
karena aku ciut tak.

pula percuma menghiba,
sebab aku tiada penenggang rasa.

jika hendak jadi penakluk,
mengapa kau cuma mampu mengetuk.

jika berani mengaku menantu,
mengapa kau tak gandeng anakku.

ah, lihai benar kau menyuguh rayu,
untung aku tak tertipu.

mahir juga kau menukar rupa,
untung aku bukan pelupa.

sungguh, tiada aku penentu musti,
kecuali karena pesuruh hati.

sumpah, tiada aku pengingkar janji,
kecuali karena linggis pencuri.

Medan, 2008



Engsel Pintu

andai kau kata diriku semacam kupu-kupu,
tak lah terbang menjadi keahlianku.

sayapku kaku tapi tidak hatiku,
hinggapku satu namun tak mudah kau temu.

jangan kau kira aku makhluk pemalu,
aku hanya sepintal ingin yang semu.

jangan nobatkan aku sebagai tubuh yang malang,
sebab aku tak pernah menggapai hilang.

jikalau aku kuak sepasang lengan,
tiada hendak menagih sebuah pelukan.

jikalau aku tengah berpangku tangan,
tak lah hendak bermalas-malasan.

andai deru napasku sehiruk parau,
bukan karena bertolak dari dada yang risau.

andai biru napasku sewujud bening,
bukan karena mataku sedang berpicing.

Medan, 2008



Lelaki di Depan Selimut

mengapa meringkuk di depan selimut
jika di belakangnya kau boleh leha

dari depan selimut kembaraku bermula
melacak kekasih ke ceruk tidur
sebab tiada tercumbu ia
selain di bilik mimpi

katakan, sepisah apa kau
dari gadismu?

sebuah kejauhan tidak semata tunduk
pada sengketa angka
bukankah hati yang berpaling
adalah jarak yang sukar untuk ditempuh?

khianat selalu mengasah kebencian
ia tidak butuh kau!

tapi kebencian bukan ibu mandul
yang tak mampu mengandung janin rindu
ah, mengapa kebencian senantiasa diremas
dilantingkan ke jantung selokan

beranjaklah dari depan selimut
pulanglah ke belakangnya

aku pilih tegak di depan selimut
karena berlari di belakangnya
serupa mendekam di penjara
di balik rambut kekasih yang menjelma jeruji!

Jakarta, 2009

Puisi-Puisi Beni Setia

http://jurnalnasional.com/
LEMBANG, HOTEL PANORAMA

telepon di sisi pembaringan melengkung karena
menunggu, tak seperti ranjang dan kasur yang
lempeng karena sepreinya selalu diganti para pelayan

telepon itu ingin berbisik pada dirinya setelah
berhari, berminggu dan berbulan tak ada yang
menelpon dan membisikan kata-kata sayang merindu

senantiasa kesepian di udara dingin (malam) berkabut



PENGENALAN DIRI

kita dijaga oleh syaraf. tulang-tulang
dibungkus kulit yang berlapis daging
tempat ribuan urat mengalirkan darah
–jantung mengisap serta mengempa
seirama dengan paru-paru menapis udara

kita dililit syahwat. dibina instink akar kiara
tumbuh dengan tekad menjulang mengaling
semak-semak dan rumput dari berkah surya
jadi yang senantiasa menyala di tengah semesta
di antara planet dan astroid–reruntuk eksistensi

sesal gerabah pecah dengan jejak embus nafas-Nya



DONGENG SEBELUM SARAPAN

suatu pagi aku semakin mengerti: kenapa
lelaki tua itu sekuat tenaga memampatkan
udara ke dalam selongsong ban becak tuanya

di dingin pagi ketika hujan tidak mau nereda
dan langit cerah, saat surya gagap menandai
hijau daun dan orang-orang beku disaput lapar

itu seperti satu momen–nun dahulu kala:
ketika yang satu meniupkan nafas ikhlas
dan kebebasan pada rongga dada ciptaan-Nya



SOREANG, SILSILAH

kenapa pohon-pohon membentuk canopy daun,
tudung bagi batang tegak dan hunjaman akar?

melengkung bagai tenda café halaman dengan
menú es krim dan steak sapi, dengan lelampu
temaran dan sepasang mata yang bersipergok
–dan jari-jari berjalin bagai anyaman tas rotan

seperti payung ibu ketika pulang dari pasar,
seperti parasut pasukan komando yang mau
menyusup ke sarang teroris, seperti selendang
di antara sejoli sehati diijabnikahkan penghulu

tapi kenapa pohon-pohon itu merontokkan daun
sebelum batang kerontang dan akar mengering?



RENOKENONGO, MEMO

bila surat itu tak sampai–tak terbaca
karena tersangkut di meja birokrasi

: duka akan berteriak–sampai urat leher
putus. dan bila masih tak juga sampai

: duka menjadi angin–setiap saat
mengusap kening. mengingatkan
akan rumah yang lenyap ditelan lumpur

setiap saat akan mengetuk jendela mimpi
melulurkan dampak bencana pada kantuk



CARUBAN, BANJIR

dari pundak dan punggung: hujan tumpah
gemuruh–meluncur bersama bibir jurang

membendung. mencegat tumpahan semalam
di hulu, dan membuat arus itu menggelegak
: ”kenapa kau hambat perjalanan bergegas ini?”

wilis yang termangu itu, wilis yang menjulang
di selatan ingin bercerita tentang pohon-pohon
ditebang–dengan melumpurkan hamparan tanah

”tak ada yang tersisa” katanya–menyimpan bah
di balik pelangi, menahan arus lalu melontarkan
semuanya dalam hitungan detik. gemuruh menghilir



CATATAN LIBURAN

kabut tipis menghalangi matahari
pagi. ”ini saat yang tepat untuk
tidur melungker,” kata kucing di
keset beranda–dari jauh tercium
wangi kopi dan sisa ruap keringat petani

: pasangan kasmaran akan senantiasa malas
menyibak selimut. tapi lelaki rembang usia
itu memakai sepatu dan mulai menyusuri
setapak. mau menghabiskan dingin pagi dengan
langkah cepat dan debur jantung pekerja pabrik

setelah riol ia memilih belok ke kiri–ke
arah setapak berbatas sawah dan ladang,
lantas pohon beringin di ladang bambu,
turunan dan deru arus sungai selepas hujan
semalam. desah sia-sia meraih bibir tebing

”saat yang tepat untuk kembali,”
kata benalu. bungalow di tebing,
panorama kota di utara dan angin
sia-sia mengajak ke selatan. kini dingin pagi
mengabarkan usia lewat tunas tunggul randu

10/12.2008

Puisi-Puisi Fitrah Anugerah

http://oase.kompas.com/
Ledakan Kebencian

Meledak kebencianmu yang tersimpan dalam kaleng cat.
Ah amarahmu semburat pada wajahku
Dan plafon pikiranku terwarnai hitam cacimu

Aku tahu lukamu sedemikian mengubah warna hidup.
Hingga dendam, hingga relakan gelap mencampur,
Putihmu telah mengelupas perih dari kesakitan tak berbalas.

Dan meledak sudah meledak kebencian.
Meninggalkan warna menawan dari senyummu.
Terhapus suci airmata dan doa.

Bekasi nov09



Saat Aku Menuju Padanya

Aku tersisa dalam langit benakmu. Mengintip setiap kabar darinya.
Dengan kemilau bintangmu. Kau lempar mataku.
Menjadi silau tanpa aimata. Aku buta depanmu dan depannya.

Aku adalah setan penghalang jalan menujunya.
Kutahu kau akan korbankan kehormatan padanya.
Bayangku menghalang. Berpuluhan batu terlempar.
Batu dari ludah kejimu.Yang tercurah setelah mendengar namaku terucap.

Ada luka mendarah.
Aku lari terbirit tanpa darah
dan mengintip sebuah kemenangan Dia
Mengorbankanmu.

Bekasi, nov09



Kwetiauw Goreng

Kusajikan sepiring kwetiauw goreng di meja
Dengan sebaran repih-repihan hatiku dalam piring
Hatiku yang kuambil dan kupotong-potong
Lalu kumasak berbaur sulur kuning kwetiauw
dan cuilan bawang merah+putih,
garam, cuka, cabe, kaldu sapi dan lada.

Dadaku bagai wajan penggorengan buat segenap bahan masakan
Api kerinduan percepat mematangkan.Tercium aroma
Yang akan membukakan pintu penjara dalam perutmu.

Kau begitu menyukai.Melahap tandas setiap bagian
Tanganmu telah menangkap diriku dan aku jinak depan mulutmu.
Hingga kau jebloskan aku dalam penjara di perutmu.

Tiada sanggup melepas. Tiada bisa melihat wajahmu
Setelah menelan pedasnya diriku yang kau buang.
Kau marah dan kau curahkan segelas air dingin dalam penjara.
Tercurah penuh menggelontorku.Merendam pedasku
Sebentar lagi kau melepasku dalam genangan air.
Kau mau hanyutkan ku di sulur panjang aliran sungai.

Bekasi, 17nov09



Hikayat Kucing dan Anjing

Aku melihat dia bagai kucing liar
Menyeret-nyeret tubuh mudamu
Lalu mencabik-cabik dalam kegelapan
Dia pandai telah membaca lengahku

Bagai anjing kesetanan, aku membentak pada dia.
Dia lari aku kejar.Ah dia hanya pecundang.
Pada sunyi mengendap-endap temui engkau
Agar takut tajam taring pendeknya.

Dan dia lari menuju ketiak pengasuhnya.
Aku takut. Aku lunglai.
Sebab wajah pengasuhnya ingatkanku pada kunti.

Oh aku serupa anjing terkapar di pinggir pagi.
Melihat tubuhmu telah dirobek dia.
Darahmu akanlah mengering nanti.
Kujilat-kujilati tubuhmu tetaplah kau kaku.
Aku menjerit. Aku menggonggong.
Rasanya telah keluar sumpahku.
Akan membuat dia bertelanjang.Tak berbulu halus…

Bekasi, 17nov2009



Selamat Sore Buatmu

Sepi senja.
Lebay jiwa.
Pergi kereta.
Mengejar surya.
Tak terucap kata pisah.
Tiket terbuang.
Anganku sia-sia.
Sebentar lagi kuterkapar.
Dalam hampa telaga.
Tiada mengenang.
Hanya langit jingga bersaksi kelak.
Bila kupernah tenggelam dalam airmata.

Bekasi, nov09



Kubayangkan Surga

Kubayangkan surga berangkat temuimu di senja hari.
Dengan langkah tersuruk bagai langkah kereta yang kepayahan.
Dan jejal ratusan keinginan penghuninya.
Lalu engkau simpan surga pada cangkir kopi
Sebab nanti malam engkau akan menghitung jarak surga-neraka.

Bekasi, nov09



Jejak Cinta

Dia hadjar berpeluh buat ismail.
Berlari-lari pada gersang gurun. Shofa-Marwah.
Kering Pasir pun kemilaukan terik matahari.
Jadi saksi meski dikata fatamorgana.

Itu hadjar membekaskan jejak tapak kaki.
Tak ada duka.Tiada keluh.
Keikhlasan menyertai. Peziarah mengikuti.
Lihatlah peluhnya menjadi kolam cinta
Buat ismail. Buat yang mau menjejakkan kaki

Bekasi nov09

*) Lahir di Surabaya, 28 Oktober 1974. Alumni Bahasa dan Sastra Indonesia, FIB, Universitas Airlangga Surabaya. Pernah bergiat di Teater Gapus Unair, Bengkel Muda surabaya dan sekarang aktif di KEDAIILALANG Kali Malang Bekasi. Puisinya dimuat di harian Surabaya Post, Sinar Harapan, dan aktif menulis puisi di Blog. Bekerja di Bekasi, di perusahaan ekspedisi dan bertempat tinggal di Jl. Patuha Raya No.01 Blok 21, Perum Wika, Bekasi Selatan. No HP. 021 94571950 dan 0857 1709m6963. Alamat e-mail : fitrahanugrah@yahoo.com dan fitrahanugrah@ymail.com

Puisi-Puisi Weni Suryandari

http://oase.kompas.com/
1. Perempuan Ini

Kesepian mengetuk-ngetuk dadaku begitu nyaring
Rupanya ingin merenggut waktu sibukku
Bukan lantaran lelakiku ingin dibelai
Atau anakku minta disusui
Atau setumpuk pekerjaan kantor di meja

Tapi jemu yang akut ikut menggoda kepalaku
Untuk melompat dari dunia kini
Dunia keperempuanan yang menuntut tenaga
Juga hati.
Sedang lelaki hanya punya satu ukuran, bekerja

Manakah yang terbaik, jika perempuan yang bekerja
ingin jeda sebentar saja.
Bukan berarti perempuan tak punya kekuatan
Tapi hanya ingin menghitung sisa waktu untuknya

Desember 2009



2. Perempuan Perkasa

Mencangkul angan terserak
Pada pelepah mati
Di tanah-tanah retak
Melepuh terpanggang matahari

Demi detak waktu bergegas
Perempuan menanam perih
Sambil menelan keringat jerih
Menumpu sabar menanti tunas

Pada tanda-tanda zaman
Saat pria memakai kebaya
Perempuan memanggul beban
Payungi pria tak berdaya

Serupa tuan lindungi hamba sahaya
Lalu dogma ada di mana

Mei , 2009



3. Perempuan Senja

Perempuan senja termangu letih
Menghitung masa di helai putih
Bercermin pada mata laut
menjejak kerutmerut
di wajah bulan yang membungkus
rindu di balik kerudung hijau pupus

bertanya tentang cinta yang dulu
pernah memberinya pelangi

Perempuan senja bangkit mencari cintanya
Yang masih ranum dan kenyal
Lalu ia temukan prasasti tertulis
“di sini ada cinta purba”

Juni 2009



4. Perempuan Berkerudung

Di wajah laut kulihat bulan sedang manis
Terbitkan jejak pantai menantang gerimis

Pasir-pasirnya adalah seluruh getar
Menelusuri tubuh senja di selasar

Lalu meninggalkan bayang-bayang
Ketika rindu mengamuk begitu berang

Pada sunyi yang kian menipis
Do’aku adalah bibir gemetar menerima ciumMu
Lalu kusembunyikan rindu di balik kerudungku

Yang terbuat dari bungkus bulan yang sedang matang

1 Juli 2009



5. Ziarah Tubuh Perempuan

Tubuhku bukan wilayah terlarang
Yang belum kau ziarahi
Di sipit bulan kau bermata jalang
Mencari wilayah sedahi

Padahal di sana ada wilayah terlarang
Untuk kau singgahi
Maka ziarahi tubuhku sekarang
Sebelum kokok menjelang

Juni 2009

*) Sarjana Bahasa Inggris dan berprofesi sebagai Instruktur Bahasa Inggris. Senang menulis cerpen, puisi dan novelette. Tinggal di wilayah Bekasi perbatasan dengan Bogor, Perumahan Vila Nusa Indah.

Pengalaman Menulis
Hobi menulis cerpen dan saat ini sedang bergiat di komunitas sastra Pasar Malam Reboan dan masih gandrung menulis puisi dan cerpen. Sebuah karya Novellettenya berjudul : Kesetiaan Seorang Sri memenangkan Sayembara Novelette Nyata 2008 yang diadakan oleh Tabloid Nyata bulan April lalu dan termasuk pemenang 7 Kategori Terpuji dari 565 penulis dari seluruh Indonesia dan manca negara
Sehari-hari penulis bekerja sebagai Guru Bahasa Inggris. Beberapa cerpennya berjudul: Untuk Emakku, Di Tikungan Waktu, Guling, Saputangan Buat Bapak dimuat di Kompas.Com/Oase/Ceritaku. Penulis menuangkan sebagian karya-karyanya pada blognya di Facebook, wenivni.multiply.com dan wenipurnama’s.wordpress.com
Saat ini novelettenya “Kesetiaan Seorang Sri” sedang dimuat di Tabloid Nyata edisi November - Desember 2009. Sudah menerbitkan Buku Antologi Puisi 10 Perempuan Penyair Facebook berjudul “Merah Yang Meremah”. Saat ini sedang proses cetak Antologi Cerpen Wanita 2009.

Puisi-Puisi Budhi Setyawan

http://oase.kompas.com/
KEMBANG PERBATASAN

kekasih,
masihkah aku tertanam
dan kau rawat di kebun jiwamu?

akulah puisi,
yang berasal dari tapal batas
tumbuh di antara pegunungan impian
dan lembah kenyataan



DEBAR DENYAR

sekuntum puisi yang kuberikan dulu
masihkah segar di taman rindumu?



NGEBUT

wuss….wess…wiss
sejarah melaju dengan kencangnya
kami yang mencoba berjalan agak ke tengah
lagi-lagi tertabrak dan terpental
lagi-lagi menciumi geragal
lalu kapankah jalanan ini diperlebar?
wueisss…..



RUMAH SAJAK

ini rumah beralas sunyi
berdinding mimpi
beratap pelangi

di sini
di tiap detak masa kucumbui kekasihku:
gelinjang desah resah kata-kata menggoda

kusetubuhi ribuan sosok pantun dan syair
beranak pinak
mengalirlah wajah-wajah ranum
sajak-sajak berkecipak



ISTIRAH 1

taburkan puisi-puisi
segar ranum
aneka rupa
beragam rasa
rebahkan indah
gelarkan pasrah
biar menyatu
damai dalam tidur panjangku



PUISIMU PENJAGAMU

penyair cahaya
puisimu setia melulur tiap jengkal langkah
tampakkan sosokmu di tiap penjuru
seperkasa rindu
bahkan saat kau telah diringkas sang waktu
puisimu setia di pusara dan seluruh jejakmu
memelihara nafas dan semangatmu
di pagelaran sejarah
menjagamu,
dari amuk gerus segala debu



DINDING 1

senja yang parau
bersama ombak ganas lautan
dengan menunggang lari lembab angin
pulang,
bersarang ke dalam biru matamu

dan aku tertinggal di lanskap pasir
yang memelukku ringkih



KILAS PUTIH

ada riak gelombang mungil
melumur senyummu: tubuh putihmu
dan rerumputan belumlah sadar benar
apakah ini sudah pagi

di belakangmu matahari baru bangkit dari mimpinya
menapak pada ranting daun
meraba pada senyap pohon
bercerita tentang labirin waktu

menelusup pada kilas cahayamu
adalah mengurai riwayat panjang
tentang silsilah mimpi

Tentang Penyair:
*) Lahir di Purworejo, Jawa Tengah, 9 Agustus 1969. Alumnus Fakultas Ekonomi Akuntansi UGM Yogyakarta, sekarang bekerja di Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan, Jakarta. Hobi musik & sastra. Pernah menjadi drummer Douane Band di Balikpapan, Kalimantan Timur. Beberapa tulisannya dimuat di Tribun Kaltim, Republika, Jurnal Nasional, Sinar Harapan, Seputar Indonesia, Majalah GONG, Majalah STORY, Jurnal The Sandour, Bulletin Littera, Bulletin Cangkir, Tabloid Apakabar(Hongkong), dll. Juga menulis puisi dalam bahasa jawa (geguritan) dimuat di majalah Damarjati, Panjebar Semangat, Jayabaya. Puisinya ada dalam antologi bersama: Kemayaan dan Kenyataan (Fordisastra, 2007), Pedas Lada Pasir Kuarsa (TSI II, 2009), Kakilangit Kesumba (Purworejo, 2009), Antologi Musibah Gempa Padang (Malaysia, 2009). Buku antologi puisi tunggalnya: Kepak Sayap Jiwa (2006), Penyadaran (2006), Sukma Silam(2007). Sekarang aktif di kegiatan sastra Reboan di Bulungan, Jakarta Selatan. blog: www.budhisetyawan.wordpress.com. email: budhisetya69@yahoo.com

A. Mustofa Bisri A'yat Khalili Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Wachid B.S. Abi N. Bayan Abidah El Khalieqy Acep Syahril Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu AF Denar Daniar Afrizal Malna Agus Manaji Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Maltuf Syamsury Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Ala Roa Aldika Restu Pramuli Alfatihatus Sholihatunnisa Alfiyan Harfi Ali Makhmud Ali Subhan Amelia Rachman Amie Williams Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Andry Deblenk Anggie Melianna Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Aprinus Salam Ariandalu S Arieyoko Ksmb Arya Winanda As Adi Muhammad Asep Sambodja Atrap S. Munir Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Badaruddin Amir Bakdi Sumanto Bambang Darto Bambang Kempling Bambang Widiatmoko Beni Setia Beno Siang Pamungkas Bernando J. Sudjibto Bernard S. Y. Batubara Binhad Nurrohmat Budhi Setyawan Budi Palopo Bustan Basir Maras Chairul Abhsar Chavchay Saifullah Cut Nanda A. D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Afriady Dadang Ari Murtono Daisy Priyanti Daysi Priyanti Dea Anugrah Dea Ayu Ragilia Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Desti Fatin Fauziyyah Dewi Kartika Dharmadi Diah Budiana Diah Hadaning Dian Hartati Didik Komaidi Dimas Arika Mihardja Djoko Saryono Dody Kristianto Dorothea Rosa Herliany Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Edy Lyrisacra Effendi Danata Eimond Esya Eka Budianta Eko Hendri Saiful Eko Nuryono El Sahra Mahendra Ellie R. Noer Elly Trisnawati Emha Ainun Nadjib Endang Supriadi Endang Susanti Rustamadji Eny Rose Eppril Wulaningtyas R Esha Tegar Putra Esti Nuryani Kasam Etik Widya Evi Idawati Evi Melyati Evi Sefiani Evi Sukaesih Fadhila Ramadhona Fahmi Faqih Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fatimah Wahyu Sundari Fauzi Absal Felix K. Nesi Fikri MS Fina Sato Firman Wally Fitrah Anugerah Frischa Aswarini Gampang Prawoto Ghaffur Al-Faqqih Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Gunawan Maryanto Gunoto Saparie Gus tf Sakai Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamid Jabbar Hari Leo Haris del Hakim Hasan Al Banna Hasan Aspahani Hasta Indriyana Helga Worotitjan Heri Latief Heri Listianto Heri Maja Kelana Herlinatiens Hudan Hidayat Hudan Nur Ibnu Wahyudi Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilenk Rembulan Imam S Arizal Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santoso Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indrian Koto Isbedy Stiawan ZS Iwan Gunadi Javed Paul Syatha Jibna Sudiryo Johan Khoirul Zaman Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Saputro Jufri Zaituna Jusuf AN Kadek Wara Urwasi Kadjie Bitheng MM Kartika Kusworatri Kedung Darma Romansha Kika Syafii Kirana Kejora Kirdjomuljo Kurnia Effendi Kurniawan Junaedhie Kurniawan Yunianto Kusprihyanto Namma Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lailatul Muniroh Landung Rusyanto Simatupang Lela Siti Nurlaila Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Linus Suryadi AG Liza Wahyuninto Lubis Grafura Lutfi Mardiansyah M. Badrus Alwi M. Faizi Maghfur Munif Maghie Oktavia Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maqhia Nisima Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marwanto Mas Marco Kartodikromo Mashuri Mathori A. Elwa Matroni el-Moezany Maya Mustika K. Mega Vristian Miftahul Abrori Mohammad Yamin Muhammad Ali Fakih Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muntamah Cendani Mustiar AR Mustofa W Hasyim Mutia Sukma Nadjib Kartapati Z Nanang Suryadi Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Noor Sam Nunung S. Sutrisno Nur Iswantara Nur Lodzi Hady Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Pariyo Adi Pringadi AS Pringgo HR Puisi-Puisi Indonesia Purwadmadi Admadipurwa Puspita Rose Putri Sarinande R. Toto Sugiharto Rachmat Djoko Pradopo Raedu Basha Ragil Suwarno Pragolapati Rakai Lukman Rama Prabu Ramadhan KH Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Ribut Wijoto Rikard Diku Robin Al Kautsar Rozi Kembara Rudi Hartono Rusydi Zamzami S Yoga Sahaya Santayana Saiful Bakri Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Selendang Sulaiman Seli Desmiarti Sigit Sugito Sihar Ramses Simatupang Siska Afriani Sitok Srengenge Sitor Situmorang Slamet Rahardjo Rais Slamet Widodo Sosiawan Leak Sreismitha Wungkul Sri Harjanto Sahid Sri Jayantini Sri Setya Rahayu Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunardi KS Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutirman Eka Ardhana Syifa Aulia Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Ranusastra Asmara Teguh Triaton Tengsoe Tjahjono Tharie Rietha Thowaf Zuharon Timur Sinar Suprabana Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Ulfatin Ch Umbu landu Paranggi Unieq Awien Usman Arrumy W. Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyu Subuh Warih Wisatsana Wayan Sunarta Weni Suryandari Widi Astuti Wiji Thukul Winarni R. Y. Wibowo Yonathan Rahardjo Yosi M Giri Yudhi Herwibowo Yudhiono Aprianto Yurnaldi Yusri Fajar Yusuf Suharto Yuswan Taufiq Yuswinardi Zaenal Faudin Zainal Arifin Thoha Zamroni Allief Billah Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae