Rabu, 16 September 2009

Puisi-Puisi Eimond Esya

http://www.sastra-indonesia.com/
http://www.facebook.com/people/Eimond-Esya/1345467895
Soda

Tentang mereka yang terjepit bagai senja di antara siang mumi
dan malam mayat, bagai batas keabadian teror yang sesekali
memang bahagia
Itulah bunker alam tempat kau bisa mendengar raung kultikula
pertanda beberapa fosil tengah diserang uban dan gatal
Sedang sesungguhnya kau tak pernah mati meski sesekali

memang sedih

Pada perang kasih yang berulang-ulang dikumandangkan
Seterang suara sepanjang gema aku peringatkan,
Bahwa gema tak pernah ada karena cinta tak berdinding
dan berdiri di atas bumi yang sesekali, coba kau pikirkan:
memang piring.
Karena itulah jiwamu yang berjalan sejauh batas elips tertentu

sementara
yang kau perduli dan nikmati masih ciuman buntu

Tepatnya,
Betapa sempitnya ruang hampa
Keabadian menyewa energi seperti kasih sayang membayar tunai
hutang tak terbayar tubuh pada ruh yang selalu mengajarkan
hidung mencium makna wangi-wangian,
telinga mengukur tikungan, dan
leher agar tetap longgar meski yang menghapus haus,
akhirnya nanti

Bukan air.

E.E 2009



Aku
:Chairil

Kubingkai bayangan manismu
Duduk di limpa malam
menuliskan sajak keras
Tentang angin yang tak terbakar oleh api

Tapi
Tinggi kudengar sekarat angin
Ketika kalimat api kau kobarkan padanya
Walau siapa yang mampu membakar angin?
Kecuali seribu tahun musim dingin?

Akhirnya kau tuliskan dirimu sendiri
Pelosok sunyi antara Karawang dan Bekasi
Saat tak ada yang bergerak,
Yang kudengar hanya lenguh serak
ranting-ranting sajakmu yang kuinjak

2001



A Chant for Yuhilma

I.
Anginpun jatuh deras dan menyapu ladang
Lepas kerak tanah di mata bajak
Yang tak hendak pulang

Di sana, di sebuah ngarai yang tak kau tahu
akar-akar gulma karam
gemerisik ilalang liar
Adalah lirih sunyi yang mengejar-ngejar
Hingga ke ujung tanjung ranting

Dalam unggun belukar yang berayun-ayun
Rinduku sehelai daun kering
Tangkainya berguncang menahan angin

II
Akulah mercu yang menunggu, O Yuhilma
Namun kusaksikan kemudian
laut menggarami matahari

Sauh senja dan segala yang terang
Kilat air juga halus suar cintaku
Seketika padam dijangkar malam

Kemudian serupa perahu di bawah bulan muram
Aku kandas dan oleng
Di tampung ombang gelombang
Hanyut ke tengah kepundan kabut

Ketika itulah kuingat jurai rambutmu yang panjang
Dan Kita yang terhampar dijerat subuh kelam
Bersentuhan pinggang
Dalam segala bisikan yang jadi pelukan

III
Meski tak akan pernah kumengerti hal ini
Kikis penantian
Pantai-pantai yang mundur digempur ombak
Karang-karang yang pecah
Jiwa dan cinta yang akhirnya jadi semata
pulau kecil tempat singgah

Tapi kesana lah kulihat induk burung kembali
Membawa ke sarang sesuap harap
Bagi anak-anak mereka yang tak bersayap

Aku pun mencobanya O, Yuhilma
Terbang ke sudut langit
Hingga basah perasaanku dalam buih awan
Serupa kain yang tercelup air mata Tuhan

Namun betapa kau telah begitu jauh lepas
Mengikuti angin luas nan deras
Meninggalkan pesisir dingin
Dalam pemahaman-pemahamanku yang lincir

Akan kenangan
Akan segala cinta yang pernah kucicip

Dengan rasa gaib

E.E 1998-2003



Gonggong

Pernahkah kau dengar hujan katak, hujan daging,
Ikan-ikan segar dan gerimis serbuk batu?
Kini tatapan mendung lebih keji
Jantung matanya duri

Lihatlah ketika tangisnya menghambur
Sungai-sungai seketika mencuci maut
Luncuran liat malaikat belut
Ke pelosok celah menung bangkai

Yang koyak tak berbunyi
Tak usai usai
Seperti geming cemburu lonceng mati
Pada gonggong gembira kawanan anjing
Setiap terkais lagi nestapa,

Sepotong tulang mendung
Kembali menatap mereka.

E.E 2007



Nostalgik

Perlahan dan setenang bayangan
Kita tersipu dalam rayu
Lenganku melingkar ramping pinggangmu
menggoda rusuk mudamu hingga malu

Saat itu, kau dan aku seranum apel segar
Semu tebal rona, pendam manja tenaga
Merah senyummu, getar bibirku
melepas haus, cumbu tak putus-putus

Hulu laut hilir sungai menyambut rindu
Tapi muara, bukan hanya akhir segala yang sampai
Di sana segala yang bersatu, terbelah
ketika tajam lidah laut memisah arus yang kusut

Kau pun lenyap seperti cawan suci
Entah kemana ombak menyeret mu pergi
Hanya kukumu yang mencakar pasir
Menorehkan cacat parut, jejak cinta nan terusir

Sedang aku, lalu menemui hidup di ruang bidik
catur takdir yang licik
laju serang pion waktu, papan tempur hitam-putih
jebakan-jebakan pelik; ruang kosong

Betapa mungkin,
Semua yang kau tunggu justru masa lalu
Meski sebuah fianseto membawamu maju
Ingatlah,
Ketika matahari semakin terang,
rambutmu akan menjelma

Pirang

E.E 2006

Puisi-Puisi Yuswan Taufiq

http://www.sastra-indonesia.com/
http://www.facebook.com/mbahYuswan
“sendang ngiang”

Kukata ceruk-ceruk menggelandang!

Sesayup sengau yang telentang
Setajam buaian yang menggantang
Landai jua ruas-ruas itu lantang
. . . menunjuk wewangi ilalang

Terserak dirimu telah menguap?

Kiniku segera pulang
Pada suluk periuk telah mengusap
Hingga tanak dan tinggal menunggang
Pada jarak menua telah lama bersedekap

Hingga kiniku memamah diang
Bukan lagi legam seranjang karang

(28 April 2009)



“angin belumlah usai”

Lebam membiru kekaca berangsur buram
Tergulung pasungan selimut hangat mengeram
Tersangka dalam pelarian ombak menuju karam

Hinggakah ajal telah menemu puncak terengah
. . . pada rerimbun nyiur pantai bersulur jengah?

Lambaiku teperdaya selarik bimbang telah lama terperam
Menuntun ninabobo segenggam dian yang muram
Dan terseok di antara riuh angin malam yang gemas
. . . berebut menjambak ke laut lepas

Hingga secawan kuarung lagi kayuhan darah
Membentang seluasmu mengukir ziarah terdedah

(3 mei 2009, surabaya)



“kerontang ngiang”

Kuingat selangka yang gamang!

Sesak menggumpal itu berceceran
Telak menghimpit meradang diam
Selintas menari-ronta bersahutan
. . . genderang yang menantang jeram

Terhanyut kelakarmu pada sungut menjulang?

Penjuruku tidaklah sebuas kelewang
Hanya sejumput taut menutup lubang
Menderas pada serat kayu terjengkang
Pada selulit pualam bekam yang terjerang

Hinggalah curam sepokok runutan bertualang
. . . rajutan yang menjembatan pialang

Parutan membumi menghanguskan kuduk menyalang!

(05 mei 2009, sby)



“gelanggang benam”

Sekerangka naga ranum mengaum
Seluruh nadi mencecar pendulum
Gersang yang setiba berayun
Memojokkan dulang ke dalam rabun terhunus

Cecar yang haus menembus membungkus
Di galang rasuk menusuk hingga tertekuk, belumlah bertekuk
Kalang kabut yang membius dan menggerus jerumus
Ketuk kasak-kusuk bersambut lubuk terduduk

. . .

Cetus yang semula menghembus
Ditawan hasut berbulu kasut yang lembut
Adalah beranjak susut dan membujur hangus
Setapak yang pudar dihembus angin berkabut

Biarlah tegak seayun kelakar ini
Lambai pun takkanlah usai bercengkerama
Sebagai naung menyusur geliat jala jerami
Menumbuk gema mega di dasar bejana membara

Senada tuli lalu berburu kelabu

(25 Mei 2009, surabaya)



“ilalang ngiang”

Rajamlah biduk kambang menggeramang!

Seriang usang di padang pinang
Seremuk tulang atas layang telanjang
Menderu sekam jua jejak itu pulang
. . . pada linang bermata senjang

Selelap gasing mematut terang
Segelap diang menyusur jengkang
Terperam jua ladam melayang-layang
. . . di sela pedang bermuka nyalang

Terjerembab dirimu menebah galah?

Jangkauku hendaklah menaut patut
Di sirip kecapi yang meruah gundah
Dan terjebak di antara taut menyemut
Menggelandang jengah meneguk cercah berkilah

Setelanjang itu dulang meremang pandang
Bentang yang gamang mengunci kala merajang

(31 Mei 2009, Surabaya)

Puisi-Puisi Heri Latief

http://oase.kompas.com/
DEJA VU

rasa manis pahitnya
pengalaman
bercumbu dalam konflik
kepentingan
seperti senyum deja vu
merayumu?

Amsterdam, 10/05/2009



Refleksi Sejarahmu

puluhan tahun yang lalu
di radio pemimpin besar berpidato
tolak bantuan asing yang menjajah!

begitu kenyataan jaman dulu
sipatnya tegas dan tekadnya keras
anti nekolim dan makelarnya

di masa itu rakyat memuja kemandirian
gotongroyong membangun kekuatan
mana lagi sekarang sisa kesadaran?

keberhasilan minjam hutang dibanggakan
upah buruh dan jaminan sosial diminimalkan
yang kaya makin genit memamerkan harta
yang miskin boleh sirik tapi jangan ngamuk?

oya?!

puluhan tahun tertindas sepatu lars
sepanjang jalan kenangan berdarah
siapa mampu nolak refleksi sejarah?

Amsterdam, 06/05/2009



Sajak Kowloon Park

baca sajak di kowloon park
syair buruh migran teriak
ayo bela persamaan hak

merantau jauh derita kaum buruh
primadona devisa indonesia
di kampungnya diperas calo ganas

negara bisanya nikmati uang pajak
buruh migran tetap termajinalkan
dicari pemimpin rakyat yang peduli

berani bela bangsanya dan mandiri
demi keadilan buat buruh migran
solidaritas atas nama kemanusiaan

Amsterdam, 23 Mei 2009
ps: sajak ini buat buruh migran indonesia di seluruh dunia. tetap smangat!



Sajak Buat Diunk

jaman taon jebot tujuhpuluhan
dalam mimpinya tinejer ngejeger
musiknya nge-rock en roll beybeh!
gayanya ngehippie banget deh
hidup ini patut dinikmati
dalam tanda kutip emosi
siapa dia generasi bunga?
terbaca dari sajak dan emosinya
nyanyian rindunya anak jalanan
perdamaian dan keadilan buat semuanya
dalam syair puisi yang berlawan?

Amasterdam, 03/05/2005



Puisi Dua

dualisme dalam demokrasimu
musuh kemarin teman sejalan
kemana kawan hilang muka?
kapan janji pemilu dibuktikan
lupa memori pahitnya kenyataan?
sampah kampanye berserakan
maling curang tikus berpesta
tanya setan nyari jawaban?
bangsa miskin tanahnya kaya
dikuras demi pensiun pemodal
bangsa miskin koruptornya kayorayo bah!
tragedi kemanusiaan tanpa batasan
anak-anak lapar keliaran di jalanan
terpaku kita pada facebookmu?

Amsterdam, 03/05/2009



Di balik Wajah Politik

Ketika hujan adalah banjir
Uang sebagai alat berkuasa
Manusia mau jadi budaknya
Materi dibalut madunya duka

Katalepsi tesis orang termajinalkan
Tak ada yang tau kemana angin merayu

Membebek swara dari atas
Terjebak keajaiban tukang sulap

Merindu sajak yang berlawan
Dibakar dendam sejarah berpolitik

Pertarungan siasat dan sejuta intrik
Mengubah janji wajah munafik

Di batas senja merah menyala
Sisa kopi dan sebaris puisi
Bisikan dari akar rumput liar
Kataklisme menebar bau persaingan

Berdoalah agar tak terjadi frustasi
Siapa mampu bermimpi revolusi?

Amsterdam, 11/04/2009



Libas Phobias!

golput itu katanya partaiphobia
gayanya suka banget berpolitik
kayak cinta campur benci politik

bukan demokrasi tanpa diawasi
mestinya ide bertarung di gelanggang
supaya perubahan terjadi lagi

jangan apatis mandang masa depan
belajar bersaing di jalan yang benar
berani memilih suatu keyakinan
masa depan itu harus diperjuangkan

proses demokrasi tetap berjalan
walau pun berbeda kita sodara
sebangsa sebahasa setanah air
dalam semangat syair
: yang berlawan!

Amsterdam, 6 april 2009



Puisi di antara Dua Benua

di sini
tanah seberang lautan ide
demi langit merah menyala, api
membakar pahitnya duka

kami punya sejarah terluka
luka dibawanya ke muara, cinta
tanah air mata air kehidupan
mengembara di dunia maya, terbang
bersama debu dan mimpi-mimpinya

nyanyian jejak puisinya?
meminimalis ilusinya
tanah air mata air cintanya!

Amsterdam, 2005



BUNGA

selamat datang di dunia maya
cintamu habis dirayu waktu

demi musiknya dewi malam
lagu kenangan anak jalanan

sajak dimimpi pemuja cinta
wanginya kopi koalisi air api

bisikan daun dibelai rindu
musim semi bunga bernapsu

Amsterdam, 02/04/2009



Jangan Sampai Otakmu Tercuci

ketika otakmu asik dicuci
cintamu hanya pada ayat suci
demi sorga bidadari menanti
lupa indonesia tanah airmu?

biarkan segala warna dan ideologi
jangan kau paksa munafik lagi
budaya kita adalah nusantara
dari sabang sampai merauke

kemana tujuan kemerdekaan?
itulah yang mestinya dikerjakan
bukan cuma ngitung pahala dan dosa
persatuan bangsa penting adanya

ayo jangan mau tercuci otakmu
belajar bicara dari hati nurani
siapa yang punya urat malu
pasti tau arti cuci otakmu

Amsterdam, 27/03/2009



Jakarta Kita


kampungnya urbanisasi
tanah air semua perantau
harapan pendatang berkilauan
terjebak cinta macet di jalanan
terasing ide kemanusiaan
dirayu jilatan anak setan

jakarta itu biang kerok
pabriknya kasak kusuk busuk
langganan banjir isu
jual pahala beli dosa
bikin orang napsu berkuasa

jakarta panggungnya sandiwara
rakyat tertipu mimpinya penguasa

Amsterdam, 23/03/2009

Puisi-Puisi Liza Wahyuninto

http://celaledinwahyu.blogspot.com/
Balada Cinta

Karena kita tak tahu esok kan tetasp ada mentari
Pada setiap waktu berilah arti
Tidak ada kepastian dalam mimpi
Tapi selalu ada harap dalam kecewa yang sepi

Cinta adalah doa dan pengaharapan yang berujung kecewa
berilah makna pada setiap kata
Kelak ia kan menjelma sumpah

Mawar tak pernah terlahir tanpa duri
Setiap ramai slalu kan berujung sepi
Keindahan teragung adalah dapat berbagi
Dan sikpa paling dicintai adalah dapat mengabdi

Malang, 27-28 April 2008



Kecantikan Itu

Alangkah eloknya bila tak hanya paras yang cantik
Tapi jua bijak dalam kata
Anggun dalam langkah
Baik dalam pekerti

Bukan kecantikan yang menawan sungguh
Serupa Rafflesia yang indah
Tak nak didekati
Hanya dipandangi
Tengoklah pula pada mawar
Berapa hidung yang mengorbankan diri
Meski duri jadi lawan sejati

Akan tiba saatnya
Bukan mata,
Bukan telinga
Bukan pula lidah
Yang memilih
Tapi hati

Kecantikan, keanggunan, keindahan
Semuanya
Ada di sini
Pada nurani

Malang, 2009

Puisi-Puisi Samsudin Adlawi

http://www.sastra-indonesia.com/
Pintu

ketuk pintu

hati ini berlumut
dosa kami jumud

buka pintu

hati ini rindu
cahaya jatuh

buka pintu

setetes air
ia butuh

di muka yang sama
jatuh dalam irama

seperti hunjam hujan
mata batu berlubang

the sunrise of java, 26062009



Bunga Taman

matahari
musim hujan
silih ganti kau undang
cumbui bunga di taman

dalam belainya kuncup bunga rekah
nyenyak di kelopaknya kami tak

lingkar merah membingkai bibirnya
nyaman di mayangsarinya kami tak

tanamlah bunga
yang rekahnya rela

tirah kami dilindung
dari sengat kumbang

the sunrise of java, 25062009



Menjaring Embun

di mulut malam bejana kami menganga
menjaring guguran embun diayak angin
bejana muntah di kaki anak matahari
secanting kami gunakan menyuci hati
secanting lagi untuk merendam mantra
selebihnya kami taruh dalam kendi yang
mulutnya memanggil para musafir yang
hilang arah melayarkan haus dalam jiwa

the sunrise of java, 22062009



Memilih Arah

akhirnya sampai juga
di pembuangan lelah

badan rebah mata melangkah
menjumput kelebat tandatanda

arah menuju bertukang punggung
gantung diri di tiang persimpangan

ke kanan menyuci hati
ke kiri mencincang hati

air mata seguci tumpah
menghapus arah kiri

the sunrise of java, 16062009



Menjadi Laut

hidup ini lautan
kita musti bersilancar
memecah ombak
menerjang gelombang
mencumbui karang
berdansa bersama ikan
di atas kilau pasir

hidup ini lautan
daging amis
keringat asin
kita niscaya

the sunrise of java, 12062009

Puisi-Puisi Maghie Oktavia*

http://www.kompas.com/
Tiga Keping Keindahan

Menelusuri terowong hati
Kusapa kau,dia dan dirinya
Kau
Kelebat meteor yang lintasi jiwa
Menggurat ukiran palung hati terdalam
Terdiam anggun
Lalu sontak menyeruak
Bangkitkan ruh semara yang terlelap
Dia
Kerlip susastra yang taburi malamku
Kadang hilang
Tersaput mendung yang betah dengan kelam
Lalu kembali bercengkerama dalam senyap
Temani jelaga sunyiku
Dirinya
Baskara yang bujuk pagiku untuk tersenyum
Padanya hujan asinpun kerontang
Ia satukan sari pati kasih tersisa
Lalu beranjak pongah
Tapakkan fatamorgana
Aku
Masihlah milikku
yang tak ingin tinggalkan basat pada sesak
Karena kau,dia dan dirinya
Siluet terindah di jeda masa



Mata Hati yang Terlambat Terjaga

Kupungut siluet indah yang teronggok di sudut meja
Debu bingkai yang berjatuhan retaskan rangkaian frase
yang terpekur pada kenang
tahukah kau
awanku telah lelah dendangkan elegi pada kelam
dan selembar kasa kusam masih mendekap keping hati yang basah memerah
Menahun
Palawa coba gerogoti hibatku yang berkelana di atas fatamorgana
Jiwaku pun labil ikuti arahmu yang entah
Ku hanya temui senyap
Menjauhlah!
Kuingin tegakkan baluarti pada jalanku menuju karam
dapat kudengar dewi amor memaki mata hatiku yang terlambat terjaga
di atas asaku yang tersudut pada diam
Ahhhh…
Letih ku memeluk doktrin kesetiaan!



Terbelenggu Sepi

Kucoba langkahkan kakiku yang lesu diatas petak-petak ubin yang berdebu.
Syaraf di tubuh rumah ini terasa membeku bersama hatiku yang layu.
Aku tergugu…mencoba ingkari setiap tarikan nafasku yang pilu.

Kutermenung
di antara jendela yang sunyi
Menjemput senja tak bertepi
Tak dapat kunikmati aurora
Merah,hijau,ungu…
Entah,semua bergradasi jadi kelabu

“Mendekat sini,nak. Biarkan jiwa Ibu mendekapmu erat malam ini.
Kau adalah mestika terindah dalam hidupku. Tapi…”

Masih terngiang lirihmu yang tercekat
Di balik semburat wajahmu yang memucat

“Ruhku begitu merinduNya, nak”
“Apa maksudmu, bu? Kumohon jangan tinggalkan gamang di hatiku”
Namun kau hanya tersenyum syahdu lalu tertidur damai di atas peraduanmu

Jawabmu
Kau kirim lewat fajar yang layuhkan jantungku
Pada nisan yang tak bergeming oleh luruh air mataku
Takkan pernah kutemui lagi pelangi itu

Bu,tak ada yang tersisa untukku

Cakrawala kini terbungkus pakaian yang sama
Hitam…



Virga

Kuhirup setiap kepahitan di sela bayu yang resah
Tak sanggup penjarakan bulir bening pada kelopakku yang gundah
Kau pun tahu
Semara ini bukanlah virga pada mendungmu
pun sekedar roman picisan yang singgah pada kisahku
dan detik ini
Dua puluh empat jam tersisa dalam genggaman
Sebelum baku tubuhmu yang tersusun sempurna
tapaki altar suci bersamanya
Tinggalkan kalbuku yang berperang membekam gamang
andai bisa kuadili Tuhan kita
yang semestinya sama



Sang Penari

akulah sang penari
kesuma layu yang terkubur di tubir nista
Jarijari terus menyentuh lekuk tubuh yang gelisah
Hentakan irama rasuki gelora yang membuncah
Terlupakan sudah cerita tentang pekat
yang terselip di antara buku-buku kodrat
Mara menyeringai bahagia
Nikmati tiap gairah yang terteteskan
di antara peluh yang melekat
Kali ini ia berteriak
“takkan kubiarkan birahi pada koma!”



Setia yang Retak

Malam kembali sibukkan kelopak mata yang coba memeluk tidur
Membawa sebongkah hati yang menganga tertoreh luka
Kutuang darahnya dalam bejana terindah
lalu kuteguk sepuasnya hingga ku jengah

tak pedulikan lagi tafsir tentang tetesan embun dan air mata
karena ternyata keduanya saling mencinta



Luka yang Sempurna

Siluet di hadapan hanya terdiam
Saat mulai kurobek dada dan jelajahinya

Kemana hati?
Karena yang kutemui
hanya bercakbercak darah yang telah mengerak
Berserak…

Kucari dan kucari hingga layuh
Tapi yang ada cuma rongga kosong tak bernyawa

Jangan jangan di bawa ibuku ke kuburan?
atau digadaikan ayahku di pelelangan?
mungkinkah ditenggelamkan adikku di jeladri terdalam?

Ahhh…
Lebih baik tapakkan jiwa pada bumi
atau sembunyikan saja raga di rahimnya!

———-
*) Lahir di kota Pangkalpinang Provinsi Bangka Belitung pada 3 Oktober 1976. Lulusan Sastra Inggris UNPAD Bandung ini kini bekerja sebagai Voice Over talent di berbagai PH di Jakarta
Wadah persahabatan:E mail / FB / YM id : m4ghie@yahoo.co.id
Komunitas sastra :kemudian.com & apresiasi sastra

Puisi-Puisi Esha Tegar Putra

http://www.korantempo.com/
UBUR-UBUR MABUK

kukira kau ubur-ubur mabuk di ujung teluk
berpura ngamuk dan membenturkan kulit lembut
pada mata kail si pemancing yang tangannya buntung
sebelah–meski sebenarnya kau cuma berusaha
mengajarkan, bahwa persuaan antara kulit lembut dan
runcing mata kail adalah permainan saling menggelitik

kau ubur-ubur mabuk yang salah sangka
di lapisan dalam kulit lembutmu tersimpan daging sintal
idaman para penguasa laut. kau ubur-ubur suntuk yang
kehilangan akal bagaimana cara menumbuhkan sepasang
sayap burung di punggung lunakmu
agar kau bisa terbang, lepas dan terbebas
dari aroma garam dan ngilu percik pecahan karang

dari sebuah jarak, entah itu jauh atau dekat, dengan lendir
di tubuh dan mata yang menetaskan pecahan garam
kau memperhatikannya dengan penuh maksud

si pemancing yang tangganya buntung sebelah itu
telah bermalam lamanya menunggu agar kulitmu
menggelipat pada mata kailnya. di gelembung riak teluk
di isyarat laut yang kesekian kali memberi pertanda

sambil merapal beberapa doa, dengan geletar harap
yang begitu besar. ia terus merapal, agar agar kaki
dan punggung lembutmu itu menggelipat
dan menyangkut di mata kailnya

Gunuangpangilun, 2009



PENYAIR BUTA

kudengar kau bersenandung di tepi perigi, tapi tak semerdu rumi
yang kerap mengukur dalamnya sepi. kau, begitu lembutnya
mengusap kelopak mawar yang tangkainya bekas terbakar, sebab
kau inginkan penawar bagi penyakit sukar tidurmu. duh, rengkuhmu
pada sebatang padi seolah inginkan juga dalamnya sepi
tapi matamu berpura buta, di dalamnya rahang serigala bertaring
panjang lebar terbuka

dari asal apakah kau mendapat makna duri sedangkan kau tak pernah
tertusuk sekali? sebab matamu berpura buta, di dalamnya
serigala mulai menjulurkan lidah dan mengeluarkan getah lendir

kini kulihat kau menari (seolah rumi) di bulan terang, meminta
datang hujan, bagi bulir-bulir padi yang tak unjung meninggi
sungguh termat sepi jantungmu, seperti betung selesai ditebang
ruasnya berlubang tapi tak ada setitik air yang mengisi
ucapmu selalu duri dan sesekali menyesalkan kobaran api
di sebalik bukit yang berusaha menyentuh langit. aku kira kau
tak begitu paham makna sepi ataupun tusukan duri. sebab matamu
berpura buta, dan kini serigala leluasa menancapkan taringnya

Kandangpadati, 2009

*) Sedang belajar di Sastra Indonesia, Universitas Andalas. Kumpulan puisinya, Pinangan Orang Ladang (Frame Publishing, 2009).

Puisi-Puisi Acep Syahril

http://www.kompas.com/
negeri yatim
:wiji thukul wijaya

di rumahmu yang sumpek itu tanpa basa basi
kita saling mentertawakan diri sendiri
kau tertawa melihat telapak kakiku yang lebar
aku juga tertawa melihat mata dan gigimu
yang maju nanar leak karib yang mempertemukan
kita cuma tertawa lalu kau perkenalkan sipon
istrimu padaku aku serius menyambut
uluran tangannya tanpa tawa karena aku tau
kau terus mengawasi hatiku yang menggoda
setelah itu kita mulai cerita dan tak banyak
bicara soal sastra tapi sedikit menyinggung
tentang negara kau bilang hidup di indonesia
seperti bukan hidup di negara kita lalu
ku bilang kalau saat ini kita hidup
di negeri yatim yang sudah lama di tinggal
mati bapak sedang ibu pergi menjadi angin
kau cuma mengangguk-angguk tapi dari dialekmu
yang gagap dan cadel itu kau seolah memeram
amarah kau bilang ibu kita yang angin itu
telah di kawin paksa lelaki kejam dan tiran
dia sering kali mengirim tentara polisi
dan mata-matanya untuk menghabisimu
serta teman-teman kita
mereka tidak lebih jantan dariku katamu
mereka seperti sudah kehabisan akal bahkan
tak punya waktu berpikir untuk mengatasi
persoalan bangsanya selain menggunakan fisik
kekuasaan dan senjata menculik atau kalau
bisa membantainya mereka sungguh tak punya malu
sayang ibu kita cuma angin katamu
sejenak kita terdiam tapi aku membaca siratan
kecewa di gelisahmu tentang pilih kasih
orang tua kita yang lebih berpihak pada
penghianat maling dan pecundang itu
karena mereka adalah asset hidup yang bisa
dijadikan pemuas nafsu para penegak hukum
dan aku juga bercerita banyak soal
saudara-saudara kita yang dikejar-kejar
polisi karena mencuri ayam atau jemuran
tetangganya lalu kaki atau paha mereka
dibolongi timah panas kalau tidak digebugi
sampai sekarat dengan interogasi gaya kompeni

di luar matahari tegak berdiri di dalam kau
tengkurap di atas amben bambu menghadap
kali aku duduk di sofa bodol kempes yang
kondisinya seperti saudara-saudara kita
yang kurang gizi sembari cerita kalau kemarin
aku baru saja berkelahi dengan polsuska
distasiun balapan solo seusai baca puisi di
gerbong eksekutif karena mereka kira aku sedang
demonstrasi atau sedang menghasut orang
untuk menentang kejahatan penguasa di negeri ini
setelah sempat pukul-pukulan aku lari karena
aku tau ibu kita cuma angin sedangkan mereka
tak punya hati lalu kau tertawa dengan mata
terbenam dan mengingatkan agar aku jangan lagi
ngamen puisi di depan polisi

tak terasa di luar matahari makin miring
ke kiri sementara kita masih ingin menuntaskan rindu
untuk bicara apa saja tentang negara dan
berencana mencari kuburan bapak yang entah dimana
serta menunggu belaian ibu yang hanya
terasa kelembutannya

ah kita benar-benar yatim katamu
dan sebelum matahari benar-benar pergi aku
pamit dengan harapan kita bisa bertemu dan saling
mentertawakan diri lagi membacakan puisi
dengan leluasa di hadapan ibu
tapi kuperhatikan kau tercenung lama seperti ada
sisa kecewa yang belum juga bisa kau terima
atas siksa yang pernah kau rasa dari kepal tinju
para penindas dan hantaman popor senjata
kaki tangan penguasa lalu dengan arif kujagakan
kediamanmu serta meyakinkan kalau suatu saat
ibu kita yang angin itu akan memuntahkan
kembali segala bentuk kecurigaan dan tuduhan
serta pidato pediti politik atau ceramah cerimih
mereka lalu kata-katanya berubah jadi hewan buas
menakutkan yang akan mencabik-cabik
mulut mereka dan senantiasa mengusik setiap
upacara pagi apel bendera

solo, tegal, indramayu



setelah perjumpaan ini
:bersama thukul dan leak

setelah perjumpaan ini aku tak tau seberapa
lama lagi kau bisa mencium aroma matahari selain
wangi popor senjata atau amis sepatu serdadu wagu
yang tak mengerti cara bersenda
setelah pertemuan ini aku tak tau seberapa lama
lagi kau bisa mencium aroma bintang-bintang
selain amis keringat pecundang atau bau busuk
nafas mata-mata yang mengendap-endap di sekitar
persembunyian kita kawan setelah perjumpaan ini
aku tak tau seberapa lama lagi kau bisa mencium
aroma bulan selain pantul cahaya 500 watt
di ruang proses cuci otak berukuran 2 x 2 meter
dengan kata-kata jorok yang berlompatan dari
mulut busuk introgator kelas teri dan memotong-
motong 70 juta sel syaraf di kepalamu setelah
perjumpaan ini aku tak tau seberapa lama lagi
kau bisa menyentuh anak dan membenamkan diri
di tubuh isrimu selain bau kedzaliman potongan
urat nadi suntik mati amunisi yang menembus
tengkorak kepalamu atau krematorium nyanyian babi

setelah perjumpaan ini aku tak tau
bagaimana nasibmu kawan

solo – jakarta, indramayu



koruptor + tai

di atas kloset tanpa mengetuk pintu dia
masuk ke dalam dirinya seseorang sejak tadi
menunggu untuk bercakap-cakap di sebuah ruang
tak ber air condition sejuk aman dan dia sulit
membayangkan betapa nyamannya
di dalam tapi sayang dia jarang pulang

selesai ngeden dia kembali ke dalam sejenak
hidungnya terganggu oleh tainya yang meleset

bukankah ini bau taimu yang sama dengan
bau tai mereka lagi pula mengapa
kau cemaskan fikiranmu ingin tampil dengan tai
yang berbeda dan lolos cek tai dari pemeriksaan
sebuah lembaga

lalu dia geremet kepalanya membayangkan
tai yang encer dan kelam biji kedele dari
tempe kangkung dan bayam dari puluhan juta
burit yang seringkali gagal dicerna

lagi pula mengapa kau cemaskan fikiranmu
bukankah tak ada cakar ayam gigi tetanggamu
atau biji besi dari taimu untuk dijadikan
barang bukti

selesai ngeden dia merasa malu ketika
seseorang itu semakin banyak tau tentang
dirinya selain makanan yang dia konsumsi
dan kloset tempatnya membuang tai menjadi
focus percakapan

mengapa kau cemaskan fikiranmu bukankah kloset
dan tai tak boleh dihadirkan untuk jadi saksi

sekali lagi dia geremet kepalanya sambil
membayangkan anak-anak dan istrinya yang selalu
ingin tampil beda dengan rumah serta
perhiasan dan pasilitas mewah yang mereka punya
tiba-tiba berubah jadi hewan buas yang
perlahan-lahan menggerogoti daging serta akal
fikiran mereka

mengapa kau cemaskan fikiranmu
bukankah semua itu hanya bagian dari gaya
hidup yang juga dimiliki para penyidik
pimpinan sidang atau hakim yang senantiasa
tersenyum padamu
selesai ngeden dia kembali kedalam tapi
kali ini dia dikejutkan oleh wajahnya sendiri
yang tampak tak utuh di tembok kramik serta
kemaluannya yang mulai terhalang oleh lemak
yang kian mumbung di perutnya

mengapa kau cemaskan fikiranmu bukankah
keberanian dan ketakutan adalah pilihan
dan resiko yang akan menentukan
jalan ke depan

kembali dia geremet kepalanya dan
membayangkan wajahnya muncul di televisi dan
di koran-koran yang kemudian menghambat proses
pelepasan tainya dengan posisi yang tidak
nyaman di atas kloset serta tarikan nafas
yang mulai tersendat membuatnya ingin selalu
dekat pada seseorang tadi dengan bertanya apa
yang harus kulakukan

mengapa kau cemaskan fikiranmu
padahal kau tak pernah mencemaskan
kepiawaianmu menculik angka-angka dari sumber
keringat dan darah serta menculik waktu yang
tak mungkin bisa kau kembalikan seperti semula
atau menculik kata-kata yang kau kira bisa bikin
semua orang percaya

pulanglah
sering-seringlah pulang ke rumahmu ini sebelum
kau benar-benar pulang cuma membawa daging busuk
dan tai

indramayu



surat cinta dari sangkakala

ya allah
telah kami terima surat cintamu
tertanggal hari ini yang dikirim peniup
seruling sejati diantara kealfaan dan
keasyik masyukkan kami surat cinta yang
engkau tulis dengan tinta biru sebagai
tanda kasih dan maha sayangmu surat cinta
yang begitu panjang menegangkan yang engkau
tulis tak sampai dalam satu tarikan nafas
membuat kami terus menangis terisak tersedu
membaca gugusan kata-kata hancur berserak dengan
tubuh dan nyawa terlunta-lunta

surat cinta yang bercerita tentang tanah darat
laut udara sebagai ungkapan rindumu yang membuat
kami malu kami tau inilah surat cintamu yang
telah engkau janjikan itu dan telah kami terima
saat mata hati dan perasaan kami menjauh fana
ya allah
inikah surat cintamu dengan segala
keputusan yang harus kami terima selain bencana
korupsi yang nyaris membuat kami hilang akal
dan putus asa surat cinta yang kertasnya
lembab di tangan kesedihan tak berkira dengan
torehan luka maha dalam
surat cinta yang bercerita tentang hujan dan panas
surat cinta yang bercerita tentang air berwajah
beringas dengan lidah api dari laut lepas surat
cinta yang bercerita tentang angkasa dan
burung-burung meranggas
surat cinta yang bercerita tentang pohon-pohon
dan akar yang dikelupas
surat cinta yang bercerita tentang tanah pasir
dan lendir panas
surat cinta yang bercerita tentang tanah
rumah dan nyawa yang hilang nafas
ya allah
inikah surat cintamu yang penuh cemburu itu
yang dikirim peniup seruling sejatimu
disaat kami lupa mengingat dan merayumu
surat cinta yang memang sepatutnya kami terima
sebagai bukti bahwa kau benar-benar maha
mencintai sementara kami berpaling dari kemaha
asih dan sayangmu
ya allah
maafkanlah kami yang telah berselingkuh dari
kemaha setiaanmu dan berpaling ke cinta yang
tak kau ridhoi dengan menabur fitnah hasut dan
saling ingin menguasai tanah sekerabat sedarah
seurat tanah yang kau ciptabentang tegakkan urat
yang kau sebarsuburkan dan darah yang kau
alirhidupkan telah kami
rusak dengan saling mencacah menumbuk
penuh takabur dengan kekuatan
kerakusan dan keserakahan
tapi kini apa yang kami cintai itu telah
engkau ratakan dengan tanah harta tahta
dan dunia berubah runta darah daging dan tulang
membusuk dimana-mana

sekarang kami tak tau di mana ayah di mana
ibu di mana anak di mana adik di mana kakak
di mana ipar di mana keponakan di mana
saudara famili kerabat dan handai tauland
di mana di mana di mana yatim kan kami titipkan
ya allah
hari ini kami baru sadar akan jalan pulang
setelah membaca surat cintamu yang panjang
menegangkan surat cinta yang mengingatkan kami
untuk bertandang menemu cahya menemu gulita
menemu alfa menemu cinta

surat cinta yang mengajarkan kami untuk
pulang ke bilik ke latifa ke bilik ke sadik
ke bilik baqa
ya allah
ampunilah kami hamba-hambamu yang tak punya
malu ini ampunilah ampunilah ampunilah kami
ya allah

indramayu



rugi

raidah pergi ke sungai ke darat
menjemur pakaian ke keramaian ke rumah
belum juga pulang
waska pergi ke huma ke surau membeli iman
kekeramaian dan ke rumah belum juga pulang
bujang pergi ke sekolah ke kampus membunuh
kealpaan dan ke rumah belum juga pulang
raidah waska dan bujang pergi tapi belum
juga pulang-pulang

sorenya raidah pergi bertandang membawa-bawa
cermin yang ada wajah tetangganya dan membawa
badannya ke rumah tapi belum juga pulang
sorenya waska pergi tahlil mengirim doa pada
ruh orang lain dengan bayang-bayang kematian
dia bawa kakinya ke rumah tapi
belum juga pulang
sorenya bujang pergi kencan dengan pacarnya
bercerita rahasia cinta dan membawa harapan
masa depan ke rumah tapi belum juga pulang
raidah waska dan bujang pergi tapi belum
juga pulang-pulang

malamnya raidah pergi tidur melepas
fikirannya bertualang entah kemana
belum juga pulang
malamnya waska pergi tidur melepas
banyak beban
dan kadang memetik harapan dengan
tangan hampa belum juga pulang
malamnya bujang pergi tidur mengistirahatkan
kerja otak kecilnya memberi ciuman pada
kekasihnya belum juga pulang
raidah waska dan bujang pergi tapi belum
juga pulang-pulang

paginya raidah waska dan bujang mati
mereka benar-benar lupa jalan pulang

indramayu



sajak bebas

sajak ini sejak lama telah kehilangan nilai
puitika estetika dan sublimatika sebab dengan
nilai-nilai keindahan dan kehalus-lembutan
tidaklah menjadikan seseorang seperti penguasa
penindas dan koruptor akan tersentuh hatinya
apalagi merasa malu dan introspeksi sebaliknya
akan membuat mereka ambisi untuk menindas
menghidup-suburkan pencuri jadi inilah sajak
terang benderang seperti bendera dikibas angin
di udara terbuka merdeka sajak tanpa tawar
menawar bebas dan sebebas-bebasnya memilih kata
tidak seperti kalian yang memilih cara
bergaya demi mengelabui diri sendiri atau
orang lain untuk menutupi kebodohan kebobrokan
nilai pribadi yang telah menghisap-sedot-habisi
darah rakyat sendiri
inilah sajak bebas tanpa alamat surat pedas untuk
para penghianat yang tidak akan pernah hilang tujuan

Yogyakarta, Indramayu



suksesi

jangan ngomong kalau tadi kau pilih partai
lain demi menghindari calon wakil rakyat atau
pemimpin yang tak berpihak pada rakyat jangan takut
dimusuhi diancam apalagi dipukuli karena kau telah
menerima kaos sabun mandi beras gula dan kopi
jangan cemas sebab memilih adalah hak kamu untuk
menentukan yang terbaik dari yang terburuk

yakinlah roda becak roda angkot dan roda glodok
mulungmu lebih berharga dari kursi yang mereka
perebutkan hari ini yakinlah kursi reot di rumahmu
atau kursi kering di kantormu lebih berharga dari
kursi yang mereka perebutkan hari ini jadi jangan
lagi kompromi dengan mereka yang pura-pura bijaksana
kalau akhirnya akan mencabik-cabik dan membunuh
aspirasi kita

sekarang buka mata buka telinga membaca yang bijak
pilih yang berakhlaqul qarimah dan ingat kalau
kau memilih warna jangan lupa keberanian kalau
kau memilih angka jangan lupa kepribadian sebab
antara warna dan angka tersembunyi watak negarawan
dan bajingan juga pahamilah bahwa kehancuran
republik ini karena kemarin kita telah salah
memilih mereka yang diyakini mampu memimpin
diam-diam telah bersekutu dengan penghianat dan jin

antara koruptor maling penipu dan pembunuh kerjasama
dengan para penegak hukum antara perampok pemerkosa
dan pecundang kongkalingkong dengan wakil-wakil rakyat
akhirnya kita jadi keledai tersaruk-saruk di bawah
kekuasaan yang tergadai sekali lagi pahamilah
bahwa kekayaan kesederhanaan kemiskinan dan
ketertindasan sementara menjadi nasib kita
sedangkan partai jabatan dan kekuasaan adalah milik
mereka jadi kita harus mengerti siapa jembatan yang
merakyat dan siapa jembatan yang melaknat dan kita
juga harus mampu membaca mana simbol rakyat dan
mana simbol laknat sebab perjalanan indonesia lalu
adalah guru penguasa yang tidak punya malu

pringkasap, indramayu

———-
*) lahir desa cilimus, 25 november 1963, menjajakan sajak sejak 1982 diberbagai tempat di indonesia, kecuali di kuburan (pada saat upacara pemakaman) dan di pesawat terbang. sajak-sajaknya tergabung disejumlah buku kumpulan kumpulan puisi penyair Indonesia lainnya. sekarang tinggal di blok senerang desa sudikampiran rt.06/02 no. 314 kec.sliyeg-indramayu-jawa barat-indonesia. saat sedang mempersiapkan buku tentang surat-surat tkw bertajuk “keranjang air mata”

Puisi-Puisi Yuswan Taufiq

http://www.sastra-indonesia.com/
http://www.facebook.com/mbahYuswan
“mendulang sesyair”

Jika merajang sesyair puisi pertanyakan berjawaban
Semestinya ditengok langkah sehidup menggenggam bekalan
Jika melerai sesyair bersebrangan pertanyakan searah tujuan
Semestinya ditengok latar sehidup mengurai riak adaban

Tangan jangkau pikir mengulah hati merekah?
Atau akal menggigil rasa melengah pedang pun menjengah?
Adakah tertanya lubuk menyirat menggaduh kecamuk memucuk?
Atau hanya searah ingin dimaksud merujuk peluk semabuk?

Air pun memancar melenggok semua arah melantun alam
Menggenggam bumi memetak tanah menebar semi membuncah polah
Pun membecek hati meluap samudera mengamuk sepanjang kelam
Masih dipersoalkan dulangan sajak kepakan kalap angin menggubah?

Jika Dia hanya pentas cenderung terasi dan mengakuNya
Di mana onggokan sampah romantisme gila mencari pemilikNya!
. . .

Semestinya lagi direlakan tangan sesyair menjulur menggerayang alam!

jul09′08, sby



“sudut tua Surabaya kini”

Potret tua itu
Hingga gambaranmu kini
Melayang kenang terjejak haru
Tersisa isak tergerus nadi

Kokoh anggunmu menepi
Sombong jaman menyeruak sontak
Melayar cadar terkandas basi
Tertera dera terlecut keranda

Tatapmu goyah cendawan yang kau singgahi
Sepagimu sesak menahan remuk bergemuruh
Pijakmu terserak roda melengas kau terburai
Sesenja mengiba merebak kisah berkeluh

Lalu sayu senyummu menyapaku oleng
Selaksa halilintar mencekam kau gamang

Perlahan pasti…
Sampai kapan kuat bertahan?

may05′08, sby



“hadirmu”

Ku tersundut dalam riang
Menata sunyi lukisan sebaris mayang
Hingga remang kau menyisip
: sesaji lalu, yang mengetuk pintu ; ku mati

Ku tergugah sepenuh diam
Selibat sayu antara rayu terperam
Hingga lenggang kau coba kunci mata
batin yang melata
: selarik kenang, yang memeluk hening ; ku jaga

Sayup meronta berdesir letih
Tepis gurat rajah seraut buih
Lalu sapa kau hembus menerpa
dahaga ku yang jelaga
Hingga lambai pun melingkar luap
: selayang angan, yang mengiang kerjap ; ku kais

. . .

Kini ku genggam dian, disela hitam-putih berkejaran
bersulur, menangkup serpih-serpih
: sampai nanti, luka ku bersyair selembut pagi ; dirimu

jan17′09, sby



“TakSadar tergugukTersadar”

Sebodoh aku-an aku tupai meloncat
Sejatuh berdebam mengais-ngais akhirnya

Tak sadar kata ku melompat menampar
Tertutup kisi-kisi menyalak sesumbar

Tersadar saat ku di batas yang ambang
Terguguk tercenung kerisauan terkenang

Seolah kutuk seisi alam mengarahku
Bergetar geragap telah lukai sepanduku

Jika palu godam seberat hati semesta berayun
Selayak kias itu melabrak menjambak ku disayat

Berpongah mengurung terlena mencabik-cabik
Sungguh senja ku berbalut tawa cadas mengusik

Andai racun ku terlontar tak sudi-mu berbagi penawar
Karna harga sumbang tak mungkin terbayar
Maka hunjaman tajam ini
adalah tera bagi telisik ku memetik dawai senar

may22′08, sby



“tampar jelagaku”

Kuduk menelikung, bongkok merajuk-rajuk rusuk
Huuu, tak bosan berenang, hulu batur setia ditarik-tarik
Diri ditunjuk-tunjuk, terlepaslah piaraan punguk
Mbok ya terbang saja, mengintai lantas menukik

Lho, hanya mengerik seperti jangkrik?
Krik-krik-krik! Krik!
Cuma parkir, disambi menjaja kripik

Weleh-weleh, kok gak kapok-kapok!
Sudah, sudahi berpeluk tepuk!
Periuk sudah mau retak tuh
dipanggang menerus tanpa lauk pauk

Sesekali, seterusnyalah!
Nyalakan obor, sulut jalan menganga di depan
Minyak sudah penuh, bahkan sampai luber
: silahkan ditiriskan

Hmm..

Kata, membuka selangka, raup setatap matamata
Kaki, langkah membentang cakra, menjerat bening
Mata, meliuk kusyuk, menyengat paruh belantara
Batin, kosa menyemat pekat, menyimpul nadi beling

Karuan meremang jelaga, menina bobok, meremas-remas belaka
Tinggal telaga, melebah rambah, mencecap utas-utas niaga

Terbanglah terbang!
Tak perlu merayap-rayap, menjuling, menjinjing, apalagi memaling
Hanya menilik, memantik, mengutak-atik, menjalin benang keling
: pucat pasi hanya sejenak, bias-bias beranda kan jejaki kunang

jul19′08, sby



“hasrat terkalut mimpi”

Sejajak serupa pautan membelenggu kala
Terderak meringkik menyambut kelopak bala
Terburai mengacak serabut tarik tali pedati
Sebeku kutub hati tertekuk rajakan petian kaji

Semudah itu insan memaku diri dalam hasrat
Takkan pudar jejaknya meluntur dalam lautan masa
Setia melentur ikuti gerak nadi naungi jiwa sepi
Seusia hayat kan menuntun arah panggilan diri

Begitu nyenyak bertabur mimpi memasung hari
Takkan usai hingga tabir mimpi tergambar pasti

Adakah terbersit tanya kala senja jiwa berkabut?
Takkan mudah terurai segala tajuk terlanjur kusut
Seakan gayung bersambut semakin membusa tersaput kalut
Semesta hamba tak henti saling carut berebut marut

Hanya satu harap yang tertutup hijap kelam kabut
Yang senantiasa hanya pajangan di dinding kalbu
Hanya terucap bagi pemanis kata tertinggal makna
Seakan terlepas resah dalam kias membuminya bias

Seberkas harap dari jiwa-jiwa terlunta tanya
Senantiasa mencari keteduhan Sang Kala tuk akhiri semua

may13′08, sby



“meredam ngiang”

Sarat melekat erat di kalbu menjingkat-jingkat!
Hingga sembilu tergugah gundah menyemat rekat!

Menyenjang, ku terawang kata beradu jenjang
Meremang paruh berparut, merunutmu tikam rajang
Sekilas majas berutas talas, menggigil ku terpahat penat
Tak sadar cadar berujar, mengguman cawanmu bersekat pekat

Tak tertembus, andai kelebatnya meradang panggang
Berkarat, andai sejengkal pun tak jua melekang gamang

Sudut ku terenggut, mengais pahit terekam manis
Memucuk punguk, mencecar mahar terperam perih
Semburat, sungguh mahkotamu telah beruban sinis
Mengoyak, menyalak dan melabrak pedih!
. . .

Ahh, biarlah masa itu lintang pukang merajuk-rajuk
Ku tak peduli lagi wajah usang hari-hari semasyuk!

Usai sudah gelap itu kangkangi kuduk meruntuk!

nov21′08, sby



“berarak diri(Nya)”

Di mana engkau si kelana kalam?
Ahh, rupanya sedang mencengkerama senja
Tak habiskah penatmu membasuh kaki langit?
Wah, juga serupa itu senja engkau kini

Kapan hari, kulihat kaupahat pagi?
Hingga kukira sepagi itu dirimu terpatri?
Siang mendaki pun, tak ubahnya sepuja terik!

Lantas bagaimana kujumpa sebenar dirimu?
Kau jawab, tanyalah mereka tlah merangkaikanku

Hahahaha, malang rupanya mereka lacur bersahut hasut
Ya! Lantas, kau pertaruh di mana mukamu itu?

Lalu kulepas kau tenggelam ke dasar malam
Katamu,tanyalah pada-Nya, ada padamu kan?

may19′08, sby



“jejaK gundah”

Merebak menangis menangkis
menghunjam menata menampik

Senja apa yang kunaung kini?
Mengkikis mencabik mengurai

Tercerabut tak daya
semesta merambah mengiba

Ku terdiam kenang
Mencoba angan ke depan
Mengikat selibat kalang
Andai ku mampu bertahan

Akan kah ini kan ku akhiri?
Hanya tanya tak mampu ku jawab

Sayang, beribu umpama melebah jalan
Tak satu pun mampu menghalang
Hingga gemanya mengembara
dalam linang berpeluh kesah

Biarlah ini kan ku tanam
dalam dendang memanjat malam

Mengais malang berebut gundah
memanjat doa mendayu-dayu

may26′08, sby



“terhuyung apung”

Kutuk meruntuk, sepah menyerapah
Langkah menjengah, rapuh melepuh
Polah meranggas, akal beringas
Sanak menanjak, ranahku memanas

Teguh jatuh, rantas tertumpas hempas
Lemah bernanah, parah bersusah-susah
Keranda siap meminang perang
Tendang kanan tangkap kiri tajuk menggelandang

Gelang bergulung mengapung sepayung
Runtang-runtung menanggung beliung

Clung clung, pulung-pulung meliuk mendayung
Pentung bersambut gayung mengurung huyung
Duyun-duyun memasung sungsang mengganyang
Tindak menandak kelebat bebat menggoyang

Du rung dung dung, aku terhuyung-huyung
Kesandung tudung payung bergulung-gulung
Terkuras emosi, melepuh meranggas beringas
Takkan habis hingga tuntas menandas batas

Semat-menyemat, jagat menyengat kumat meruwat
Rehat merangkak, jinjing merinding memucat keramat

. . .

. . . belum habis umpat menjingkat kesumat!

jul13′08, sby

Puisi-Puisi Dharmadi

http://www.kompas.com/
KATA

ia sadar benar tentang sajaknya
yang belum juga berpuisi

diketuknya pintu demi pintu waktu
dicarinya kata yang selalu merayu
dalam angannya buat sajaknya nanti

khayalnya selalu buyar
ditumbuk pikuk dunia

rindunya tak pernah mati

dengan raga merana rasa terlunta
sambil bersenandung lagu hati dicarinya
kata yang selalu merayu angannya

dicatatnya segala;

yang dirasa
yang dibaca
yang diraba

kata tak juga mewujud puisi
dalam sajaknya

oh, angkasa raya bumi yang
fana, di mana kau sembunyikan
kataNya?

dibersihkan gairah sukmanya dari
limbah hari; didakinya bukit demi
bukit malam, ditelentangkan ruh
ketika terdaki puncaknya;

di batas sadar serasa mimpi
tiba-tiba di relung dadanya tumbuh
satu kata, ”Gusti”.

2008



IBU YANG KITAB
IBU YANG ZAT

-1-
dengan mata angan dibacanya dari
paragraf ke paragraf ibunya yang
kitab babad

tak sekata sekalimat terlewat

telah dihabiskan beribu pagina dan
bab tak tamat-tamat

sesaat dihelanya nafas;

“ibu, engkau kitab babad penuh misteri dan
tafsir riwayat; seakan kau bawa aku melayari
lautan sepi kapal, menembus rimba tak bertuan,
berkunjung ke kota-kota yang tak lagi bertanda,
menyelinap ke lorong-lorong tak bercahaya,
mendaki gunung mencari puncaknya dalam gelap”.

sesaat dilepasnya nafas;

jemari hatinya membuka
pagina berikutnya.

-2-
kini dengan lidah rasa dicecap-
cecap ibunya yang zat

sesaat dihelanya nafas;

“ibu, engkau zat dari segala anasir zat”;

lidah rasanya mencecap-cecap nikmat
ibunya yang zat, ditelannya liur, naik turun jakun
kelelakiannya.

tak ada lagi ingatan tentang bapaknya yang
telah menghilang sebelum ia sempat
merekam lengkap rupanya dalam memori

-3-
dengan misteri tafsir riwayat dan
rasa zat ibu dalam sadar suratan
mimpinya terus bertualang ke ruang-
ruang yang gelap yang senyap
yang gegap yang berkilap.

2008



SALIB NASIB

dipanggulnya salib nasib di
pundak kesetiaan;

sadar dengan tetesan darah
kepercayaan tak berpaling haluan;
dibacanya segala wajah dicarinya
bahasa manusia yang sejati pada mata,
bibir, dahi, pipi, dalam beribu gerak dan warna

aura

memutih
memutih

dalam api

diri

2008



MENITI TANGGA

dicobanya kembali untuk menghitung-hitung
berapa anak tangga yang telah dititi;

ia ingat, waktu itu, sejak di bilangan anak tangga yang ke sekian
tak lagi menghitung anak tangga selanjutnya yang telah menanti
untuk dititi, sampai saat titiannya sampai di sini, kini;
“mungkin sudah sekian”, ia mencoba meraba-raba angka.
“ah, mungkin sudah lebih, atau malah kurang?”, perasaannya
dipermainkan oleh keraguannya sendiri;
“tak mungkin balik lagi hanya untuk mulai menghitung kembali”.

diredakan rasa penasarannya; “akh, untuk apa mesti mengingat-
ingat angka, kalau akhirnya semua anak tangga mesti dititi”.

ditolehnya anak tangga yang telah dititi;
dilihatnya jejaknya tinggal sendiri dalam sepi.
pandangnya jauh ke sana, ke sisa anak tangga yang
menanti untuk dititi, berselimut sepi.

“sepi dan sepi”, hatinya bicara sendiri.

ia pun sadar, perjalanan ini perjalanan kesepian
yang telah dimulai sejak awal meniti;
sepi dan sepi yang terus menjadi-jadi sampai di
akhir titiannya nanti, untuk menghuni ruang sepi yang
paling sepi..

2008



RUPA DAN KATA

dari putih rupa dan kataNya
mengalir madu rasa

2008



DALAM BAYANG POHON WAKTU

berjalan dalam bayang
pohon waktu
memanjang di
liku laku

meremang sajakku;

kucari di mana putih
hayatnya tersembunyi.

demi kesejatian ucap, meski
dengan mata berkaca-kaca merasakan
perihnya, sepenuh rasa kukuliti selaput
gelap sajakku; kusayat timbunan lemak kata-
katanya, kutetak jaringan liar hurufnya, agar
terbuka remang tafsirnya.

bacalah dalam tafsirmu

2008



BAHASA IMPIAN

dalam samar waktu
disisirnya kabut laku

ia dengar gema kidung

sekejap kau menubuh
luput dari jerat mata
ia lupa pada apa yang
mesti diucap

kelopak khayalnya rekah
seakan ia dalam bayang
putih tubuhmu

bayangmu dalam bahasa impian
disempurnakan dengan tanda baca
dirapalnya dengan gairah rasa.

2008



TUBUH SAJAK

ditatapnya dari segenap kiblat tubuh sajaknya sehabis
dirias dengan bermacam aksesoris diksi yang dibeli di
pasar bumi.
“ternyata modis juga tubuh sajakku”,
pujinya, sambil mengulum senyum;
”sedikit narsis juga aku”.

dengan tetap hati dilepas tubuh sajaknya ke
pentas-pentas untuk menari bersama
tubuh-tubuh sajak terkini.

“mana tubuh sajakku, tubuh sajakku?”
tiba-tiba ia melaung; asing dengan tubuh
sajaknya sendiri, yang terlena menari dengan
aksesoris diksi dan gerak nyaris tak beda
dengan tubuh sajak lainnya.

ada yang tak ada lagi dalam tubuh sajaknya,

-budi diri-

tubuh sajaknya kembali dirias dengan aksesoris
yang tak riuh diksi, yang dicipta dari daya
imajinasinya sendiri;

“tak apa, meski nampak naïf dan tak lagi trendi”.

meruap bahagianya, tubuh sajaknya telah
kembali pada jiwanya sendiri;

tetap menari dalam
tarian rumi.

2008



SEIA SEKATA

serasa habis tidur beratus tahun dalam
mimpi panjang pepak dongeng purwa
ketika tiba-tiba ada yang membangunkan
kesadarannya.

‘kenapa sampai di sini,
mesti di sini, dan kini;

ini negeri apa dan siapa penghuni
ini negeri?’

tak ada petanda, suaranya
memantul kembali

tetap sendiri dan senyap semata

seperti ada yang dicari ketika ada yang
diingatnya kembali; serasa pernah seia sekata, tapi
alpa dengan siapa, juga tentang waktu dan
tempatnya, selain dari putih rupa dan katanya
mengalir madu rasa.

entah memetik dari mana, angin menyelinapkan
suara suluk dan antawacana dalang, bunyi keprak dan
gamelan, pesinden nembang, ke dalam rongga
telinga menggema di barak raganya

tak kenal jeda.

di panggung mana drama
wayang itu dipentaskan?

ia jadi blingsatan, anak-anak wayang mewujud
bayangan hitam imaji dengan laku ucap yang
tak lagi bisa ditengarai; mana satria mana raksasa,

siapa bibit-kawit mereka?

dilihatnya tubuh sendiri, ia pun nanap;
‘kenapa jadi legam begini?’
digalinya sumur ingatan, tak henti-henti,
mencari yang dulu pernah seia sekata, yang
berputih rupa dan kata, tak putus-putus melelehkan
madu rasa.

2008



TEKA-TEKI SILANG

ditatapnya petak-petak kosong tubuhnya,
‘dari mana mengawalinya?’
dengan petunjuk angka dan arah ia mesti
mengisinya, menuliskan jawab dari sekian tanya.

ia masih mencari-cari di kelompok arah mendatar,
dipungutnya satu tanya, di tulisnya jawab dari paru ke
jantung, dari angka satu ke lima: udara.
dipungutnya lagi tanya, dicoba ditulisnya di petak-petak
kosong tubuhnya; berganti-ganti arah dan angka
abjad-abjad membentuk jejaring, berkelindan dalam
urat darah, saling membangun jawab, hingga lengkap dan
sempurna mengisi petak-petak kosong tubuhnya.

belum juga rahasiamu terbuka.

2008



MALAM KEHILANGAN JALAN

malam berselonjor di trotoar
kehilangan jalan, ke mana lagi
mesti menjemput bulan

seakan mati jam

kota semakin membara dalam
nyala api birahi

bulan pingsan di pematang yang
kehilangan kerlip kunang
sawah dalam genangan kesedihan
yang mengalir dari dada orang-
orang bertelanjang

ada yang menelikung
nasib-Nya.

malam berselonjor di trotoar
bulan pingsan di pematang
tak ada lagi kerlip kunang
sawah dalam genangan
kesedihan

berjuta orang telanjang

2008



L U M P U R

tanah air melebur
membubur melumpur
menggusur mengubur

kau basuh tangan

lumpur melulur kalbumu
dalam laku homo economicus

2009

Puisi-Puisi Denny Mizhar

http://www.sastra-indonesia.com/
SISA PERTANYAAN AKAN KENANGAN

Bulan jingga setengah rentah
menyapa degub hati gelisa
hanyut dalam kesepian malam purna

Berserat-serat tarian dedaunan
memuja kelam
pada kejinggan dalam keterjagaan

Gegunungan memandang,
menunduk - berderet

Baris-baris lampu kota
hiasan mata memandang
Jauh lanskap petunjuk malam
pesona perbukitan, dimana kota menjadi kenangan

Seperti kemarin
dari jauh penuh harap
kau memandang

Kini ku dapati
kau menyelinap dibalik semak-semak, entah kemana?

harapan tertinggal sia
meranggas seperti jati di musim kemarau

kau pertanyakan perihal cinta, kepadaku?
mengejar
menyergap
terdesak
tertinggal keyakinan
tak mampu berkata-kata

Rembulan remang bercampur bintang
penghias malam serta petunjuk nelayan

Aku terperangkap dalam lembah-lembah, malam pekat
tak sadar lalu hilang,
bagai ashabul kaffi
mata terbuka dengan kebaruan

(Dimana ku temui percakapan panjang para filosof
tentang kebenaran cinta: sehabis aku tertidur didalamnya).

Malang, November 2008



MENGENALMU
;nt

Biarkan aku mengenalmu. Lewat tubuhmu dari ujung rambut hingga ujung lentik jemari kakimu. Belai panjang rambutmu temukan serpihan fikirmu, inspirasikan jalan terjal. kehidupan pengembala peradaban.

Kecup kening-cium bibirmu, temukan keindahan bahasa kemanusiaan lewat air liur yang menetes kendalikan nafsuku,
merajut nilai-nilai suci

Pelukkan tubuhmu mengajak pergi jauh temui lorong-lorong panjang kemunafikan, terhentikan seketika saat kenikmatan kuasai semu surga janjimu.

Dan kukenal pertikaian dari balik sikap tubuh acuh-bergumul, dengan laras senapan tak pernah berhenti menekan pelatuknya, ambisi kepuasan selaput tipis menurunkan derajatmu.

Kau mulai melepas sutra yang menempel ditubuh, membuat lupa siapa diriku? hatiku mati seketika bersama ledakan meriam-meriam tak pernah henti.

Harapku: kembalikan ranum bibir manis-bertabur senyum kemanusiaan, hentikan dangkal fikir-hidupkan luka hati

Mulai kenalkan kaki, langkah tegap menuju surga-surga tak berujung

Malang, 10 Januari 2008



KENANG PURNAMA

Pada malam purnama
Terbawa dalam satu asa
Bergelimpangan kesadaran

Terbang bersama ilusi
Temui gemintang berdegup kencang
Perjalanan seorang putri penjaga mimpi

Satu luka mengelupas dibawah bayangan bulan
Menginjak satu petanda zaman
Dua dinding hati membuka

Air tumpah
Di pelipis mata rindu
Lama tersimpan duka

Berjalan lambat
Mengikat pada satu langkah
Sakral tertumpah dalam peluk jiwa

Malang, Februarai 2009



DI PINTU MALAM

Terbuka sudah
Rahasia surga

Mengintip tanah tak rata
Kening menjadi saksi mata

Berduan larik sajak
Ketuk pintu ditiga baitnya

Malang, Februari 2009



MENJELANG PAGI

Seorang putri
Memamah payu darahnya
Terayu dahaga

Embun jatuh ditubuhnya
Tak sempat basah
Sudah tergugah

Bergeleparan mata terjaga
Berlarian rasa terjajah
Sembunyi di bilik dosa

Malang, Februari 2009



SEPEREMPAT MUSIM

Seperempat musim meretas nasib. Melahirkan aku yang kalah menyiasati waktu. Berlinangan darah mrembes ke dada, seketika berdegup kencang. Tanah-tanah tak lagi basah bahkan melebihinya. Ratusan mulut menganga: kedinginan tanpa tirai kehangatan.

Papan-papan kayu berlarian terus berputar. Serupa hantu tanpa waktu memenjarakan aku yang beranjak sembunyi?seakan tak mau tau. Kalimat suciku runtuh berlinangan air mata. Tak sanggup menahan haru.

Sedang segerombol orang menyelam tak sampai dasar tanah, lalu banyak bicara sembari tertawa tergelak-gelak tanpa pelatuk lucu. Aku kembali runtuh tak mampu mengadu. Di seperempat musim aku mati kutu.

Lamongan, Februari 2009



NYANYIAN PEZIARAH

Semburat aroma dupa
wewangian kembang tujuh rupa
masuk mata memicu mantra-mantra
do’a menjadi sedekah

Langit menangis
mukanya pekat-lebam
disertai teriakan petir
menjilat-jilat pepohonan
ranting patah
tanah-basah

Dalam ragu
orang-orang meminta keselamatan
menukar dengan dupa
kembang tujuh rupa

Langitpun tersenyum
dalam nada sakral para peziarah

petikkan melodi ingatan beku

kembang dupa mekar wangi
naiki langit
dinada akhir lagu merdu

Gunung Kawi, 3 Januari 2009



MERINDUMU
;kawan lama

Terkadang ada setumpuk rindu
dan lewat begitu saja.
(menyerangi nafas perjalanan)

Harapan adalah kesaksian akan masa depan
dan hanya beku di akal
hati pun enggan membakar.

Dulu-kini-esok
hanyalah waktu
berlagu merdu.

Berubahkah kalimat-kalimat suci itu
janji di ruang tunggu
menanti pintu-pintu
rumah: dimana kita berawal.
(saat-saat ingin bertemu).

Sesobek kesadaran menganga
dari kilatan pedang muasal rindu
beringsut dalam tanya; untuk apa?
(menatap wajahmu dengan ragu)

Malang, Februari 2009

Puisi-Puisi Kika Syafii

http://berbagipuisi.blogspot.com/
Kamu dan Aku

Malam ini melarikan diri
hanya kamu dan aku
mencari kedamaian
jauh melewati samudera

Kekasih, betapa kamu hidup
dalam nafasku…

Depok, 2009



Dialog

Dalam rintik hujan aku bertanya
kamu takut?
“tidak!” katanya
“kenapa menangis?” tanyaku
“aku sedih melihatmu kekeringan” sambungnya
“apakah kamu jatuh cinta padaku?” tanyaku
“tidak ada waktu menjawab itu…”
kamu menghindar
“aku jatuh cinta padamu….” bisikku lirih

Pada malam, pagi, siang dan sore
dingin, panas, mendung serta hujan
aku jatuh cinta
Ya…
betapa banyak cinta merenda hari

Depok, 2007



Gumam

Setiaku pada tulang putih
menumpuk, memasung perih
cintaku pada merah darah
menggigit, meresap nanah

Indonesia
kapan engkau MERDEKA!



Tak lagi Air

Sembari aku tangkup tangan
aku sebut namamu
mungkin kemarin adalah terakhir
disertai kaku kita bertemu

Semoga kamu selalu baik
sampai saat kita bertemu
saat itulah kita tak lagi air
namun juga udara, tanah dan api

Bandara Soekarno Hatta
2009.



Iris

Dulu..
setengah bergumam kamu bilang takut
takut bila hati hanya menjadi mainan
setengah waktu berlalu..
bibir, dada dan tubuhmu mengajakku
turut ke dalam keriangan tarianmu
keringatmu menjadi bagian
nafasmu adalah suguhan
aku pun terhisap
hanya untuk mengerti kamu

Kini…
setengah mengiris setengah memotong
pada awalnya kamu tusuk aku
kemudian pelan dan sangat pelan..
kamu putar haluan pisau itu
seperti mengiris
dan aku memang teriris
otak, hati dan lidahku terputus
hanya tangan menuliskan..

“akulah mainan itu”



Namaku Namamu

Pagi tadi aku temukan coretan lamamu
disitu ada kau tulis nama
gurat tebal membekas di balik kertas
namaku..

Sesaat,
katakata bijak yang terbiasa menyerta
seperti berjalan meninggalkan mulut
satu persatu,
hingga lidah kena paku..
hanya otak yang masih sanggup berkuasa
menertawakan mulut hingga telinga tergelak
meski ingin membentak
karena mata sudah mulai muncul riak
yang hampir mengalir menuju punggung hidung

Sembari kembang kempis menahan sesak
jantung menata ulang hati agar tetap di tempat
tidak pergi menjauh
dan tetap menyisir hitam rambut
persis seperti saat aku jatuh cinta
agar cermin pun selalu berbaik hati
menelungkup wajahku hingga hangat,
sangat hangat..

*

Sore ini aku temui warna kesukaanmu
melayangkan senyum ceria dan menyapa
rumahmu disana rumahku disini
namamu..

Depok, 2009



Aalia

Secarik semangat terus ku tarik demi masamu,
Secarik nafas terus aku kejar menjagamu,
tiada waktu berhenti,
tiada pula mati…

Kamu sungguh menggairahkan,
Kamu sungguh melupakan,
Maaf, bila aku sedikit meninggalkanmu,
karena itu untuk kembali kepadamu..

Waktu itu kamu berjanji akan menjaga,
meniscayakan percaya menghilangkan murka,
aku mengerti,
meski tidak pasti..

Esok lusa aku akan berjalan menuju fajar elok nun jauh disana,
semua hanya untuk kembali kepadamu,
tautan kegilaan hati, hanya kepadamu,
dan kepadamu..

Akan aku ambil serpihan-serpihan kelopak bunga,
ku rangkai dan ku bingkai untuk persembahanmu,
Sebelum semua mengetahui, sudah tersemat dilehermu,
hingga kecantikanmu tiada pernah terurai.

Puisi-Puisi Eimond Esya

http://www.sastra-indonesia.com
http://www.facebook.com/people/Eimond-Esya/1345467895
Lotus

(I) Seperti pelacur perawan. Dikepalamu Mahkota anyaman
ranting dan daun-daun zaitun melingkar. Di belakangmu
seekor Phoenix membentangkan sayap. Dua bayi bertubuh
monyet. Menggenggam trisula. Menjagamu tidurmu.

Demikian aku melihatnya. Ratusan tahun yang lalu. Ketika
kata-kata dan kebijaksanaan lebih sedikit dari jumlah telur naga.
Kau mengkudeta syair seorang penujum uzur dan kemudian
dilamar Midas. Memilih nurbuat yang bisa disentuh jadi emas.

Tapi kau memilih nasibmu sendiri. Sebuah telaga payau.
Yang paling hijau pekat. Tempat klorofil luntur. Dari jutaan
Lumut yang gugur. Disana kuncup-kuncup baru jantung bertunas

Tanpa harus kelaparan. Atau hilang ingatan. Saat sebuah kail
dicelupkan. Kau selalu timbul. Keluar dari kekudusan.
Dan sebutir kebijaksanaan kau lesatkan dari kedalaman

(II) Sebuah peringatan. Seperti ubun-ubun seekor paus.
Membersinkan bubuk kristal garam. Terlontar seperti peluru
sonar. Cambuk api yang melecut angkasa. Sebuah isyarat agar
Pesta dimulai. Kura-kura menyembulkan kepala. Rokok di mulut.

Nikotin asap dupa, manequin pengidap lepra. Buntung lengan
buntung kelamin menanggalkan busana. Punggung Lampu
ditumbuhi punduk. Cinta, cinta, cinta. Sepi, sepi sepi dituliskan
dengan menghentakkan kaki. Stalagnit jatuh gigi susu tumbuh.

Satu per satu. Sadu demi satu. Lalu kau tertawa. Menemukan
rantai roda gempa. Dengan telunjukmu kau putar geligi susu itu
Sampai pesta ini oleng. semakin mabuk semakin khusyu

Telah kau bayangkan sebuah dunia baru. Selat tertutup lenyap
Dan muara hanya tinggal lumpur kata-kata. Laut jadi telaga.
Tak ada yang terasing. Dalam hanya satu taman maha besar.

(III) Mungkin, hanya keyakinan. Bahwa semua ini hanyalah tipuan
Aku pernah mengatakannya. Bahwa dunia hanyalah buih besar
Dan perasaan adalah kain yang dicelupkan kedalam airmata Tuhan
Demikian pula, Jibril tak pernah berjanji pada nabi manapun.

Mungkin saja, ayat berikutnya dititipkan pada syair Rock and Roll.
Atau pada seorang pujangga hydrocepalous. Dalam resep janda-janda
thypus. Kita hanya perlu telinga yang lebih besar, sebuah
Cerobong asap. Jelaga kesakitan ini, tinggal kita beri ampul imunisasi

Siapa yang menentukan? Siapa yang lebih tahu? Bahwa waktu
Memang benar-benar berlalu? Atau ia diam dan kita yang sebenarnya
Pemburu? Kematian, kehidupan, beludru hitam tercukur diantaranya?

Hanya kesenduan, dan tak perlu kau sesali. Jika suatu saat nanti
lotus telaga ini jadi sepi, dan dunia berakhir dengan sebuah kiamat.
Tanpa sesuatu apapun yang rubuh luluh lantak dan hancur, kecuali:

Dirimu.
_______
E.E 2009



Matematika

Kukira, tubuhku hanyalah dua belas rusuk kubus
Konstruksi yang dibangun dari tulang-tulang putus
dan diagonal urat yang tak sama panjang. Penuh engsel
dan geometri model. Peralatan yang terlalu lemah untuk
membangun peradaban. Sejak sebuah angka dibolongi
taring seekor kupu-kupu

Sejak itu Kukira, aku juga hanya butuh sebuah
Tempurung yang lebih keras. Untuk kepalaku sendiri.
Hingga kau tak akan mampu menggedorku. Meski
dengan ayunan godam. Karena aku tidak belajar apapun
dari sebatang paku. Maupun sebuah simpul mati.
Berikan padaku sebuah trauma. Maka akan kutumpukan
Kaki dimensi di sana.

Selebihnya, saksikan saja pembuktianku. Kan ku bawa kau
keluar dari tubuhmu sendiri. Melakukan dosa sampai kau
menemukan sebuah Agama. Atau silahkan saja kau tetap
jadi matematika. Lihatlah, Kupu-kupu itu mulai meronta
demikian indahnya, dan kukira berikutnya, sesudah ini
dari celah bolong itu
Neraka akan
berdebam
ke dunia.
Dalam sebutir -yang mungkin masih akan kau kira-

apel merah menyala.
________________
E.E, 2009



Galaxies

Diunggah melalui Facebook Seluler
Tiba-tiba kau menetes dari sebuah lobang di langit malam
Mendung panas dan penuh racun. Listrik megalitikum
Badai yang takkan mungkin menyentuh gaunmu
Lapisan kain nan semurni bening selaput telur katak
Yang diperam garam-garam dalam lautan purba
Ku lihat sebuah teluk surut, dan ombak-ombak dibawah
matahari muda melepaskan diri dari pelukanku.

Ketika itu senja adalah sebuah hari dan bintang-bintang masih
demikian rendahnya. Seperti ujung-ujung api lilin ulang tahun
seorang remaja. Kau bisa saja menghembusnya hingga padam
Karena usia belum ditandakan, dan Tuhan masih sendirian
Namun sebuah taman telah berdiri di bibir tebing paling tinggi
Aku tepakur memahamimu. Dengan bola mataku
Yang terlihat seperti dua bulan putih susu.

Menyaksikan peri angin tiba-tiba membugili tubuhnya sendiri.
Gravitasi menarik nafas sebelum untuk pertama kalinya
menyelam ke dalam samudera. Ombak-ombak bergerak
maju sementara teluk semakin surut. Mendung membarakan
gelegak Nebula. Kelejat racun dan listrik memecut bola mataku.
Kusaksikan pula kemudian daratan dipahat pasang dan lahar.
Dan nasib air ditentukan saat itu juga. Semuanya akan
menjadi uap dan akhirnya lenyap seperti usia.

Kemudian yang tersisa hanya sebuah penjara. Belukar dan
kelenjar yang mulai tumbuh liar. Semak biru, kecil, mungil dan
damai. Seekor katak tiba-tiba melompat ke dalamnya.
Seorang pelayan telah mencatat semua pesananku, dan
sebenarnya telah kutitipkan dirimu padanya. Pada gugus
baru bintang-bintang di hadapan kita ini.

Karena seekor kera bungkuk sepertiku, harus menemukan
tempatnya sendiri. Memanggul semua sepi, memasuki goa
yang lebih luas dan kelam, meringkuk di dalamnya

Tersedu, bertepuk,
mengangguk.
___________
E.E, March 09



At Airport

Perjalanannya begitu singkat dan tiba-tiba kau terhenti di hamparan panjang ini.
Turbin kendur dan angin mendadak redup sebelum sempat menamparmu
Tapi pipimu tetap bergetar. Oleh kenanganmu yang kemudian melemah
Seperti bulu-bulu layu. Di pinggir landasan pacu, kau lihat rumput-rumbut bungkuk
Dan bunga dengan kelopak renta dikalungkan. Lehermu mencapai gerbang
selamat datang. Sebuah belalai terjulur. Lobang hidungnya lobang hitam
yang menyambut, dan menghisap dan menghabisimu dalam sekali sedak .
Sunyi.
Adalah segumpal dahak. Atau teori penghancuran alam raya.

Kemudian kau mulai berjalan. Menapaki koridor itu. Menyeret ekormu ke sebuah
ruang tunggu. Di atas tempat tidur yang asing dan masih berbau asin. Nanti akan
kau kibas-kibaskan ekor itu seperti seekor anjing senang sambil mengunci tusukan
Penuh rindumu. Seorang kapten berahang keras, bermata elang mendaratkan
mu dengan sempurna dari kepungan ruang hampa. Waktu tergenang di sepanjang
Koridor berikutnya. Langkahmu melayang. Punggungmu melepaskan diri
dari cahaya ungu. Diantara orang- orang yang bergerak maju dan berjalan mundur.
Menyeret ekor masing-masing atau duduk santai sambil menjadikannya lawan bicara.
Di sebuah sudut sepasang lutut disimpuhkan seorang biarawati
Memesan sebuah cuaca pada Tuhan dengan doa. Air liur menyentuh dagunya.
Dibawah naungan gema bisu sebuah lonceng raksasa.
Kau menjerit gembira

Dan aku menutup telinga. Agar airmataku tak keluar dari sana. Namun kau segera
melompat-lompat dalam jantungku, berputar-putar dalam kulumanku. Dalam
dekapan ketat. Seperti bulan pada bumi bumi pada matahari matahari pada waktu
waktu yang mengembalikan segalanya pada keheningan. Kitapun tenggelam seperti
bayi-bayi dalam kolam rahim. Mengapungkan gelembung nafas kita yang menderu
dalam riak kuning cairan ketuban. Sementara itu diluar sana kita biarkan segalanya
mendadak berhenti dan beku. Rapuh namun kukuh. Seperti patung-patung dari tepung.
Putih sempurna. Turbin kendur, Rumput-rumput bungkuk, kelopak renta bunga,
manusia-manusia berekor, kapten berahang keras, biarawati yang berdoa, Air liur
yang menyentuh dagu.

Lalu ketika semuanya kita hentikan, ada yang menyentakkan sebuah tali. Lonceng
bergema bisu itu seketika berdesing dan sebuah pesawat terbang ke angkasa luas.
Setinggi-tingginya. Liur di dagu biarawati menetes dan orang-orang kembali mencari
arahnya masing-masing.

Aku pun mengiris rahim itu. Meluncur keluar di atas hidup yang licin lalu tersungkur
dan memahami sesuatu:

Manusia mungkin hanya menjelajah dengan lidahnya. Mereka semua adalah semacam
Penjajah.

Semacam Fasis,

Fasis

Klitoris
_____________
E.E, March 2009



At Theater

Di sebuah menara terasing. Misteri meluaskan diri. Kubah tinggi, kurung dinding.
Rombongan penziarah berbaris. Mendaki ratusan kursi yang disusun serapat gigi
Sunyi duduk dengan kepala tegak. Sedingin nisan tak bergerak
Di jendela, dunia lain diciptakan. Dalam lapisan bedak para malaikat disisipkan.
Semua cahaya mampat di sana.

Aku menunggu. Bersama rencanaku yang lancang. Hidangan kisah untuk kesepian
Kata-kata kucampakkan. Di pintu masuk, hidup sesungguhnya kugantung.
Langit jingga dan awan-awan seremuk tisu lapuk. Kata-kataku meregang nyawa.
Jaket yang kukenakan terbuka.
Seseorang menarik tuas katrol. Sekelompok badut melompat.
Hidung biru senyum hitam. Tirai gelap turun sempurna

Panggung besar terbentang. Sunyi tergolek. Tersenyum lemah di atas bahuku.
Demikianlah aku berusaha meraba-raba kemana takdir melanjutkan tariannya.
Yang liar seperti gigil moncong senapan mesin menyemburkan peluru.
Seperti cinta yang menceritakan dirinya sendiri kembali sepanjang waktu.
Tanpa pernah punya kesempatan untuk kutafsirkan baik-baik
selain bergelung dan sesudahnya memasturbasi mimpi.

Tapi aku tak mampu bergelung lebih dalam lagi. Kusaksikan kemudian
Seluas mulut lapar, bayang-bayang hidup mengangakan rahang.
Sebuah parade merangkak keluar dan memulai perayaan.
Aku memekikkan terompet rencanaku yang lancang.
Mencekik ufuk agar kisah ini gagal diselesaikan.

Lalu Percikan Blitz terakhir mengerjab.
Bedakmu retak dan cairan besi meluap. Aku menjadi lebih luas, lebih keji dari misteri.
Sebuah Kutub kusentuh dan sunyi kembali tegak.

Maha magnit tercipta. Orang-orang sekarat disana. Menempel bernafas

Tapi tidak akan pernah, tidak akan pernah bisa benar-benar
benar-benar

Mati
__________
E.E 2009

Puisi-Puisi D. Zawawi Imron

jawapos.com
 
SELAMAT JALAN, SANG PUJANGGA!
In Memoriam WS Rendra
 
I
Aku seakan gagap menafsirkan kehilangan ini,
Daun-daun mengirimkan talkin
Barangkali bukan talkin
Tapi salam yang bercampur airmata

Puisi-Puisi Halimi Zuhdy

http://www.facebook.com/profile.php?id=1508880804&ref=fs
Untukmu

kusulam sajak ini, untukmu
hai! pecandu rindu dari kalbu
yang tergugah.

kurajut sajak ini, untukmu
hai! zeonis cinta yang harap debar kedamaian.
di sana, terlihat konspirasi-konspirasi
kemunafikan, keangkuhan, kedholiman, ketidak pastian

kurangkai sajak ini, untukmu
hai! Penyamun kekuasaan, yang tak lelah
melahap kemurkaan. Opera-opera berhenti
di penghujung ketidakjelasan. Sarung-sarung
melorot, jilbab-jilbab tergantung di pojok-pojok
kota, kesucian robek mengerang.

kutitipkan sajak ini, padamu
agar tak beku, punah, hancur, lusuh,
ditelan waktu.
bacalah! dengan riak-riak
rasa. dengan tetesan linangan mata.
tapi jangan sampai terbakar
dilahap bara.

Malang, 17 April 2005



Sajakku Tak Bermakna

lembaran putih
tinta hitam
melebur menjadi kata
kata yang tak bermakna
kau baca dengan larik mesra
namun kata itu
tetap tak bermakna
kutambah frasa, klausa, kalimat sehingga menjadi alinea
kau bilang masih tak bermakna
kata memang kadang tak mewakili cinta yang sebenarnya
kau memang pintar
kau bilang kata tak bermakna
karena kau menunggu cinta yang sebenarnya
bukan lewat kata yang mengandung seribu makna
kau hanya ingin satu makna
makna cinta
aku pun tak sia-sia
karena kata yang kutulis untukmu hanya
punya satu makna
makna cinta

Malang, 11 April 2005.



Negeri Tikus

1
diawal cerita kudengar negeriku indah nan subur.
biji bertebar dihembus angin
menjadi pohon tanpa tangan

2
anak-anak pada riang menikmati secangkir madu
serutu berhembus menebar angan bapak-bapak
asap pun mengepul, berbau kesturi dari bilik dapur

3
hijau dan rindang kutemukan dari alamku
kesejukan muncul dari angan dan kenyataan
anak-anak pada kuceritakan keindahan
senyum pun tersungging dari bilik mulut kecil itu

4
harapan hidup seribu tahun tak menjadi kenyataan
kini negeriku tak ada senyum
asap pun yang dulu mengepul dari bilik-bilik gubuk
pojong dusun
kini hanya mengepul dari bilik sang bapak
pemilik modal dan kekuasaan

5
biji menebar jadi tanaman
tak ada campur tangan, kini tak lagi kutemukan
karena gigi runcing tikus terus merayap
melahap dan melahap

6
anak-anak bosan dengar cerita, karena hanya hayalan
kini kusimpan dipeti mati, agar tangisan tak
terbuai lagi
dipenghujung cerita, aku hanya penatap
negeriku pilu penuh dengan tikus-tikus
yang katanya “tikus negeri paling banyak”

Malang, 16 April 2005



Tuhan pun Berdzikir
__________________satu

jalan-jalan sunyi menebar angan, malam
terselubung pekat
tak ada kata, tak ada cinta, tak ada rasa
yang ada hanya manusia, manusia tanpa nyali,
manusia tanpa malu

manusia pun lenyap dalam pesona, impian pun hancur
manusia tidak ada yang ada hanya ruh
ruh pun larut dalam genggaman Sang Maha,
Maha segala-nya
manusia dan ruh dalam kehampaan yang ada
hanya wujud
Ujud Maha Wujud, tak ada dua wujud
yang ada hanya Wujud-Nya
manusia pun tak berujud, karena
hakekat Wujud-Nya yang berwujud

aku berdzikir Tuhan pun berdzikir, karena
aku lenyap dalam Aku-Nya, yang ada hanya Wujud-Nya.
aku berdzikir Tuhan pun berdzikir, karena
aku adalah milik-Nya.
aku berdzikir Tuhanpun berdzikir, karena
aku lenyap yang ada adalah Dzat-Nya

aku berfikir Tuhan pun berfikir, karena
aku dalam kendali-Nya
aku hanya manefestasi dari-Nya
tak ada dualisme yang kekal.

*) Puisi Tuhan pun berdzikir terinspirasi dari perkataan Jalaluddin Ar-Rumi :
Uangkapan “Aku adalah Tuhan” bukanlah timbul dari sifat meninggikan diri. Melainkan suatu kerendahan hati yang total. Seseorang yang berkata “Aku adalah Hamba Tuhan” menyebutkan dua keberadaan, dirinya dan Tuhan. sedangkan ungkapan “Aku adalah Tuhan” berarti peniadaan diri, yakni, dia menyerahka keberadaan dirinya sebagai kekosongan. Dikatakan “Aku adalah Tuhan” bermakna : “Aku tidak ada; segala sesuatu adalah Dia. Keberadaan adalah Tuhan sendiri, aku bukan keberadaan sama sekali; bukan apa-apa. “ pernyataan ini luar biasa, lebih dari pengakuan segala kemulyaan. Sayangnya, banyak yang tidak memahami.

Malang, 2005



Tak Terbaca

sehelai tirai merahasiakan rindu
goresan-goresan pena mengunung
tak terbaca

lembaran-lembaran lontar berdebu,
tak berharga,
lenyaplah harapan mengecup kasih rindu
yang tersembunyi di balik lencana

Tuhan,
dulunya burung-burung
berdansa di rerimbunan kemakmuran
kini, ikan tak lagi menari-nari
karena mutiara itu,
terbungkus di kantong-kantong penyamun

Malang, 2003



Nafsu
__________silau__

lautan mencoba
merayu dengan suara ombaknya
yang syahdu,
ilalang melambai-lambai
menarik perhatian sang pujangga-jingga

syaitan
berlakon pak kiyai,
di pentas sanggar keangkuhan

Ifrit
berlakon pak pejabat
di meja-meja eksekusi
manusia ada di antara cinta dan kebencian
di gundukan kejujuran dan kemunafikan

Malang, 2003



Perempuan Tanpa Syahwat

bir di café itu, membuat hiruk pikuk. Lelaki setengah baya
mengangguk. Anggukan lirih menoreh makna.
senyum sampul menebar di keheningan malam. Desah hujan
menebar pesona. Rok tipis, rambut setengah bau,
lengan tak berbusana membuat suasana semakin riak.
Musik rok, jaz berdayu-dayu, menghantar penafsu berseloroh.
Mami tersenyum ramah. Selembar selendang datang, menyambar
seuntai senyum.

Perempuan itu, perempuan itu, menguak detak. Tak satu pun
nafas seloroh dengan alam sendirian. Ia tangkap malam,
keheningan bersua. perempuan itu, perempuan itu, lenyap.
Karena fulus tak akur dengan celotehnya. Syahwat Kumal dimakan usia
modal berdagang tinggal butira, itu pun kalau, kalau, kalau.

Malang, 13 April 2005



Titik Nol
———— kegilaanmu dipenghujung cinta dan harapan

1/
seuntai mutiara harapan, kau rajut
di altara cinta dan kasih sayang
kau cari kebahagiaan dengan tangan menengadah
dengan mulut komat-kamet, tubuh penuh keringat, napas tersengal
kau tembus panas keganasan metropolitan
kau tidur beralas koran dengan berbantal pualam.
yang keluar dari mulutmu “berat rasanya hidup ini”

2/
kau tak mengerti mengapa kau jadi begini. kau tak paham
mengapa kau terseok-terseok dengan harapan hampa.
kau tak mengerti kau telah dihianati di kerajaanmu sendiri.
kau sebenarnya yang berkuasa
tapi kini kau dikuasai
kau sebenarnya yang berhak mengatur, tapi kau kini diatur
suaramu tak lagi didengar, BBM tetap merangsung
kini kau diajak untuk berperang “ambalat”

3/
sekelilingmu menatap tanpa dosa
renai-renai mentari semakin susut
kelam tiba dalam rayuan
raja-raja dan bandit kekuasaan
menuai dadar dan roti hangat
sedangkan kau penuhi tubuhmu
racun-racun tikus, membinasakan.
karena kau lagi haus
kau jilat-jilat sepatu busuk di kerajaan yang katanya
“bertuhan”
kau tidak salah karena hidup di kerajaan para pengecut
jeritan terakhirmu kudengar, kau terhampar kaku
dengan perut tak berbutir
mulut tak berair
kau tebus keserakahan penguasa dengan titik nol
garis-garis hidupmu tak jelas, karena titik-titik itu
tak pernah bertinta

Malang, 14 Maret 2005
(to sebuah keserekahan dan penghianatan)

Puisi-Puisi Kedung Darma Romansha

jawapos.com

Surat Buat Bunda

Masih tentangmu, bun
Di Agustus yang murung ini
Sejarah adalah hal asing
Yang gampang berbohong
Dan mudah dilupakan.

Puisi-Puisi Tjahjono Widarmanto

http://www.jawapos.com/
TUNJUKKAN KOLAM ITU, TUHAN (1)

di kolam mana tempat aku bisa mencelupkan kepala, Tuhan !
tubuhku sarat dengan bangkai, nanah, dan air mata
belatung. anyir. hitam.
kefanaan melayang-layang.
entah sampai mana
wajah mengabut makin dekat ke sudut. anyirku mengalir
mirip akar sulur menjulur di sepanjang tembok penuh lumut
merayap
meleleh
berleleran
tuba tubuhku. racun bagi
segala ikan
di kolam mana, Tuhan, pada beningnya bisa kucelup kepala
senja telah larut
hanyut aku bersama fanaku

Ngawi-Surabaya, 2009



TUNJUKKAN KOLAM ITU, TUHAN (2)

batu-batu mengeram di bawah reruntuhan hatiku
batu-batu ini, resahku,
kengerian yang mengeram bagai harimau dengan taring hiu
menggerogoti akar batang-batang air dalam jiwa
beribu unggas pun berlarian
membawa cinta dan seluruh senyum
jasadku penuh ulat
zakarku sarang belatung
tunjukkan kolamMu. akan kucelup tubuh anyir
namun, tinggal sesobek doa
yang tak dipedulikan musim hujan.

2009



TUNJUKKAN KOLAM ITU, TUHAN (3)

sampai dasar kugali kolam
mata airMu
memburu tetes embun
yang tersisa
luput kutadahi dalam cangkir tanah liatku
mata airMu telah jadi bah
tubuhku terapung dibawa sunyi
entah sampai tepian mana
pertobatanku sia-sia
Engkau menyelam begitu dalam
tubuh -bahkan mayatku- hanya sanggup
mengapung ke ribuan kolam
menghisap air. menjilat-jilat lumut
Engkau menyelam begitu dalam
melambai-lambai
pada tubuhku yang dingin.

2009



BAYANG-BAYANG

sebuah kota mengapung di sudut-sudut kelopak matamu
stasiun-stasiun berjejer sepi bertabik pada debu yang menderu
menunggu kereta, mungkin terakhir, melintas di garis abu-abu
gerbong-gerbongnya tampak termangu melambai pada masa lalu

lelaki itu tersesat juga di matamu. menyelinap di antara kening
menari sebentar di pelupuk
dan alis mata
lantas sembunyi di balik payudara

lelaki itu terus menari
melambai pada matahari
sambil merayapi helai rambutmu.

di daun telinga dibisikkan seribu mantera:
‘’sebelum detak jam diburu musim kemarau, kusampaikan isyarat waktu padamu”

kau hanya tersenyum dan bergumam,
”lihat, kereta telah tiba!”

matahari pun lenyap saat kau bergegas jadi bayang-bayang hilang di kelok stasiun.

Ngawi, 2008-2009



INI UNTUKMU

ini untukmu, sepotong sunyi. sekerat takdir. dan separuh kemarau
kenangan yang tertinggal saat matahari lelah menatap bumi
tersisa dari secabik ingatan tentang : mawar yang meranggas!

tak pernah ingatkah kau dengan segala doa yang kau pintakan
tapi matahari menghanguskan semuanya. juga beranda
tempat kita mencium wangi bunga.

Kedah, 2008-2009

A. Mustofa Bisri A'yat Khalili Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Wachid B.S. Abi N. Bayan Abidah El Khalieqy Acep Syahril Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu AF Denar Daniar Afrizal Malna Agus Manaji Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Maltuf Syamsury Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Ala Roa Aldika Restu Pramuli Alfatihatus Sholihatunnisa Alfiyan Harfi Ali Makhmud Ali Subhan Amelia Rachman Amie Williams Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Andry Deblenk Anggie Melianna Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Aprinus Salam Ariandalu S Arieyoko Ksmb Arya Winanda As Adi Muhammad Asep Sambodja Atrap S. Munir Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Badaruddin Amir Bakdi Sumanto Bambang Darto Bambang Kempling Bambang Widiatmoko Beni Setia Beno Siang Pamungkas Bernando J. Sudjibto Bernard S. Y. Batubara Binhad Nurrohmat Budhi Setyawan Budi Palopo Bustan Basir Maras Chairul Abhsar Chavchay Saifullah Cut Nanda A. D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Afriady Dadang Ari Murtono Daisy Priyanti Daysi Priyanti Dea Anugrah Dea Ayu Ragilia Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Desti Fatin Fauziyyah Dewi Kartika Dharmadi Diah Budiana Diah Hadaning Dian Hartati Didik Komaidi Dimas Arika Mihardja Djoko Saryono Dody Kristianto Dorothea Rosa Herliany Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Edy Lyrisacra Effendi Danata Eimond Esya Eka Budianta Eko Hendri Saiful Eko Nuryono El Sahra Mahendra Ellie R. Noer Elly Trisnawati Emha Ainun Nadjib Endang Supriadi Endang Susanti Rustamadji Eny Rose Eppril Wulaningtyas R Esha Tegar Putra Esti Nuryani Kasam Etik Widya Evi Idawati Evi Melyati Evi Sefiani Evi Sukaesih Fadhila Ramadhona Fahmi Faqih Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fatimah Wahyu Sundari Fauzi Absal Felix K. Nesi Fikri MS Fina Sato Firman Wally Fitrah Anugerah Frischa Aswarini Gampang Prawoto Ghaffur Al-Faqqih Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Gunawan Maryanto Gunoto Saparie Gus tf Sakai Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamid Jabbar Hari Leo Haris del Hakim Hasan Al Banna Hasan Aspahani Hasta Indriyana Helga Worotitjan Heri Latief Heri Listianto Heri Maja Kelana Herlinatiens Hudan Hidayat Hudan Nur Ibnu Wahyudi Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilenk Rembulan Imam S Arizal Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santoso Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indrian Koto Isbedy Stiawan ZS Iwan Gunadi Javed Paul Syatha Jibna Sudiryo Johan Khoirul Zaman Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Saputro Jufri Zaituna Jusuf AN Kadek Wara Urwasi Kadjie Bitheng MM Kartika Kusworatri Kedung Darma Romansha Kika Syafii Kirana Kejora Kirdjomuljo Kurnia Effendi Kurniawan Junaedhie Kurniawan Yunianto Kusprihyanto Namma Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lailatul Muniroh Landung Rusyanto Simatupang Lela Siti Nurlaila Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Linus Suryadi AG Liza Wahyuninto Lubis Grafura Lutfi Mardiansyah M. Badrus Alwi M. Faizi Maghfur Munif Maghie Oktavia Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maqhia Nisima Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marwanto Mas Marco Kartodikromo Mashuri Mathori A. Elwa Matroni el-Moezany Maya Mustika K. Mega Vristian Miftahul Abrori Mohammad Yamin Muhammad Ali Fakih Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muntamah Cendani Mustiar AR Mustofa W Hasyim Mutia Sukma Nadjib Kartapati Z Nanang Suryadi Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Noor Sam Nunung S. Sutrisno Nur Iswantara Nur Lodzi Hady Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Pariyo Adi Pringadi AS Pringgo HR Puisi-Puisi Indonesia Purwadmadi Admadipurwa Puspita Rose Putri Sarinande R. Toto Sugiharto Rachmat Djoko Pradopo Raedu Basha Ragil Suwarno Pragolapati Rakai Lukman Rama Prabu Ramadhan KH Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Ribut Wijoto Rikard Diku Robin Al Kautsar Rozi Kembara Rudi Hartono Rusydi Zamzami S Yoga Sahaya Santayana Saiful Bakri Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Selendang Sulaiman Seli Desmiarti Sigit Sugito Sihar Ramses Simatupang Siska Afriani Sitok Srengenge Sitor Situmorang Slamet Rahardjo Rais Slamet Widodo Sosiawan Leak Sreismitha Wungkul Sri Harjanto Sahid Sri Jayantini Sri Setya Rahayu Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunardi KS Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutirman Eka Ardhana Syifa Aulia Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Ranusastra Asmara Teguh Triaton Tengsoe Tjahjono Tharie Rietha Thowaf Zuharon Timur Sinar Suprabana Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Ulfatin Ch Umbu landu Paranggi Unieq Awien Usman Arrumy W. Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyu Subuh Warih Wisatsana Wayan Sunarta Weni Suryandari Widi Astuti Wiji Thukul Winarni R. Y. Wibowo Yonathan Rahardjo Yosi M Giri Yudhi Herwibowo Yudhiono Aprianto Yurnaldi Yusri Fajar Yusuf Suharto Yuswan Taufiq Yuswinardi Zaenal Faudin Zainal Arifin Thoha Zamroni Allief Billah Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae