http://jurnalnasional.com/
ENGKAU AKHIRNYA MEMILIH DIAM
malam mengelopak oleh cahaya lampu yang gemulai
sepi menyusup ke sudut-sudut hati
ada kelelawar menggantung di bingkai bulan
meratapi gejala cuaca di lubuk kegelapan
jika engkau ingin menangis, menangislah
seperti gerimis yang turun dikelopak bunga
tertatih dengan segala beban yang hendak diledakan
ke bumi dimana bila dipijak terasa menginjak duri
atau jika engkau ingin tertawa, tertawalah
seperti gelombang di laut lepas
yang menepikan busa ombak ke pantai
membasuh punggung-punggung karang yang kekeringan
atau jika engkau ingin bernyanyi, bernyanyilah
seperti gemericik air pancuran yang ada di ujung dusun
yang mengundang ikan-ikan menari
hingga membentuk gelang-gelang air dipermukaan
atau jika engkau ingin diam, diamlah
seperti mikrofon yang ditinggalkan penyanyinya
seperti sepasang sepatu yang dibiarkan teronggok di raknya
hingga diammu teramat diam seperti akar yang mati
jika engkau ingin bertanya, bertanyalah
seperti embun pada batu, seperti debu pada deru
‘kenapa bunyi menyiksa, kenapa sudah luka didera?
kenapa yang lepas kian jauh, kenapa waktu kian melepuh?
engkau akhirnya memilih diam untuk menutupi seluruh lukamu
(namun diammu sediam gunung yang dikepung mendung
sedang kabut adalah gaunmu yang engkau selendangkan
di antara senyummu yang harus tetap mengalir seperti air).
Jakarta 8, Januari 2007
LELAKI YANG DATANG DARI ARAH PASAR
Rumput muda, dan jalan yang dibentengi batu kali
Tampak lebih anggun dari sinar matahari pagi itu
Seorang lelaki keluar dari arah pasar dengan membawa
Segumpal mimpi sambil menyeret bayang dirinya
yang tercabik oleh bayang-bayang modernisasi
Tak ada arah pada langkah lelaki itu. Dia hanya menyeret
Seonggok tubuhnya yang rapuh itu berjalan menjauhi pasar
Di simpang tiga ada sesuatu yang jatuh dari dalam dirinya,
Tapi entah apa. Dia sendiri hanya menatap ke bumi, berputar
Mengeliling bayang dirinya yang tampak gemetaran
Tak mungkin kugali bumi sedalam ini, pikirnya
Lalu dia pergi walau sempat sekali menoleh ke belakang:
Yang jatuh pantang kupunyut, yang hilang pantang
Kubilang, yang tertawa pantang kularang, yang jalang
Pantang kuhadang, yang menang pantang kutentang!
Lelaki itu meracik getar hati sambil berjalan. Isi di dirinya terus saja
Berjatuhan dan masuk ke dalam bumi. Tak ada seorang pun tahu kalau
Isi di dalam dirinya nyaris habis, bahkan kosong melompong
Kini dia berjalan dengan kekosongan. Melata di dinding waktu
Tanpa tenaga, tanpa seretan hasrat yang memerlukan arah
Tak perlu angin berkabar tentangku, renungnya
Lalu dia berjalan segaris horizon di pantai:
Yang lepas pantang kukemas, yang indah pantang kudedah
Yang batu pantang kupaku, yang mawar pantang kutawar
Yang darah pantang kumamah, yang suka pantang kubawa!
langit adalah lambang merenung, dan cinta selalu tersesat
Di rimba kata-kata karena tak bermata. Siapa yang mengusungnya
Jangan harap bisa membaca petanya. Dan lelaki itu adalah
Sampan yang kehilangan dayung, payung yang kehilangan
Matahari dan hujan
Dia melihat angin menggulingkan dingin ke sudut dinding
Tangkai yang penuh debu semakin beku. Tapi jalanan seolah
Ikan laut yang sedang ditiriskan, amis dan basah. sedang matahari
tak peduli pada yang bernama perih atau pedih. Dia melihat
orang-orang bukan orang seperti dirinya.
ANAK NELAYAN TAK PULANG KE LAUT
Memanggilmu dengan rintihan gerimis
berharap kau berhenti di depan pintu itu,
pintu yang telah kami siapkan seribu tahun lalu
dengan cara melepaskan seluruh pikiran kami
tapi kota-kota yang tumbuh dari sela jemari ibu,
tak bisa menghentikan dirimu. kau bagai debu,
beterbangan tanpa arah
kau enggan menyulam kembali hari-harimu yang robek
sedang lempengan mimpimu yang kian berkarat
tak selembarpun lepas dalam genggaman. kau bawa rasa pedih
seperti membawa bayangmu sendiri. percayalah, laut akan
selalu biru. karena laut adalah dunia kemerdekaan bagi ikan-ikan
dan tak seorang pun nelayan yang tahu arah mata ikan, katamu,
diselembar surat yang kau tulis dengan getah rindu
alam tak pernah belajar dari bencana sebesar apapun,
karena ia adalah kaki-tangan sang pencipta untuk
menyapa kita di malam dan siang. dan engkau, berada
di mana ketika tebing pipih menahan angin agar rumah
tak runtuh, agar ladang tak jadi lapang. dan ketika alam
mengirim getar ke dalam rindu kami, bingkai yang merengkuh fotomu
tampak menjelma lonceng bergerak ke kiri ke kanan
barangkali, masih harus kami buat satu pintu lagi agar engkau
menengok ke lukamu di sebelah kiri, dan menengok ke balik
dinding waktu di sebelah kanan, di mana luka kami bertabrakan
ketika rindu meragu. dan gelombang, si raja pembunuh itu
acap kali menahan perahu kami mendekat horizon, mendekati
perkiraan-perkiraan keberadaan rumahmu yang mencapai awan.
tapi, sekejam apapun jaring dunia, pulanglah, temui ibumu.
(anak nelayan tak pulang ke laut, tapi suaranya ada
di dalam lokan, begitu terdengar bisik yang dibawa ombak)
Citayam, Januari 2007
JIWA YANG TERBELENGGU
langit rekah. matahari gagah mengapung di cakrawala
panas bercampur dingin, karena angin bergerak kencang
dari arah lautan, membangunkan ombak, membentuk
gelombang. laut jadi remuk
ombak meledak di udara
segenggam pasir di tanganmu, untuk apa?
ditimpuk ke mana pun tak kan pernah bersatu
ia akan buyar di saat kaulempar ke tiang layar
segenggam batu di tanganmu, mau kau apakan?
kau lempar ke laut sekalipun, gelombang tak kan mundur
ia akan menyuruh ombak untuk mengulung nasibmu
bulan bugil. malam hitam mengulum bumi
dingin bercampur panas, karena uap panas mengepul
dari tungku batinmu, membakar embun, membentuk
pigura-pigura api di kepalamu. dan kesalmu meledak di kamar!
Citayam, Januari 2007
KETIADAAN
saat merasakan sakit, angin terasa memusuhi
melempar serbuk duri ke sekujur tubuh
bayangan rumah sakit mengapung, sedang
aroma obat mendominasi wangi parfummu
dan kau hanya berdiri diluar perihku
aku si penderita, tengah mengamati peta yang
menuju kuburan. sendiri membawa bendera kuning
dan menancapkan dipuncak gapura puisi
di batu nisan yang terbuat dari awan, tertulis:
telah meninggal dengan tenang, hati nurani.
Jakarta, Januari 2007
MEMBUJUK LUKA
membujuk luka jadi awan
agar jiwa jadi seringan kapas
namun sehelai alismu yang lepas
telah menjelma pisau menancap
di dadaku
di pelepah waktu aku menggonggong
menyodorkan leher ke tiang gantungan
sepi jadi begitu ramai
dan engkau menontonnya
dari balik pagar.
Depok, Januari 2007
KITA YANG BERLARI
sesuatu yang terbaring belum tentu mati
jemarimu mengepal bukan karena kesal
tapi sebuah energi tengah terkumpul
membentuk lambang-lambang bagi ingatan
kau berlari menembus ruang dan waktu
aku berlari menggapai waktu yang landai
seratus tahun kau berkumur dan berjemur
kulit dan pikiranmu tak menyatu dalam kubur
kejenuhanku tak sepi oleh kicau burung
ladang dan huma memekarkan kelopak jiwa
kesendirianku bukan sebuah penyesengsaraan
aku lelaki bersayap puisi tak limbung dibantai sepi
di seputar kita tuhan menanam pohon cinta
tapi kita sering mengencingi dan meracuni
kita sadar saat hati berdebar dipecut halilintar
kita pongah saat semua membuncah megah
kini nasib ranjangmu kaupikirkan sepanjang hari
dilipat atau dibiarkan berkarat
siapa akan memetikmu jika kau tumbuh di parit
di jambangan pun kelopakmu kerap layu menjerit.
Citayam, April 2007
MEMAKNAI CIUMANMU
kumaknai api ciumanmu tadi malam
sebagai mengikis lumut di batu
sebab matahari telah hilang
dari peta birahiku
adakalanya aku harus membunuh
tapi entah apa yang harus kumatikan
tak ada jalan yang sepi
sedang gang-gang telah penuh
oleh bag big bug orang berkelahi
angin beranjak ke sungai
ke meja-meja bar. aku lihat hatimu
terjemur antara roti kering
dan sayuran busuk di meja dapur
entah kapan kita bisa berkumpul lagi
mengisi malam yang becek
menyulam hati yang lembek
sudah lama kita tak tukar cerita
sejak kota terbakar di mana-mana
ranjang hanyut ke balik kabut
nama-nama jalan terendam lumpur
cium aku lebih lama kelak bertemu
biar mabukku jadi berita
biar tubuh kita berkeringat kata-kata
hingga terbaca oleh pengemis cinta.
Cikini, April 2007
LIDAH YANG MENCECAP RASA ASIN
apalah arti kepergianku setelah pohon cemara itu lebatnya
telah memayungimu. betapa banyak lidah pikiranku
mencecap rasa asin yang bertubi datang. aku tak harus
melepas sepatu atau lempar handuk. seletih apapun sungai
akan tetap membawa bebannya ke laut laut di dunia
perigi sejak pagi tercemar limbah babi
namun aku percaya di bukit atau hutan, ada genangan
yang bisa kuminum. meski ilalang kering jadi tempat
berbaring hewan bertaring. tapi aku suka dengan aroma
pesing kuda serta anyir lendir tapir. meski cacian dan
makian orang yang membencinya berkubang di situ
banyak kutemukan tikungan jalan yang tak menuju tujuan
tembok-tembok seperti parit yang mudah dilangkahi
tongkang-tongkang yang tak bisa merapat di dermaga
maka, siapakah kita bila bisa berada ditempat lain, sedang
di waktu yang sama si pelacur mati oleh belati milik kita sendiri?
mungkin aku akan jadi kayu yang terapung di sungai
pikiranmu. seperti kembang-kembang kapas yang berlepasan
dari pucuk ilalang. tapi biarlah aku jadi renta namun
tak buta. sebab masih ada yang harus kuwaspadai selain
bangkai bunglon di mulutmu; yaitu kehadiran hari esok.
Depok, Mei 2007
MERANGKUL BATU
kami merangkul batu
hawa dingin yang tersekap
di dalamnya terlanjur
kami sukai
anak-anak belajar membaca
dari sungai yang melintas
di dalam kamar kami. mereka
menangkap dan menjaring
huruf demi huruf yang dibawa arus
menuju kota-kota
di luar rumah kami
mereka menyukai juga
keheningan. sebab mereka tahu
dunia ini tumbuh dari batu
yang memiliki rasa diam
yang abadi
kenanglah kami
lumut yang tersisa
dari ampas dunia
kami akan membuat sejuk
semua matahari.
Citayam, 2003
AKU TERBARING
aku terbaring di antara tebing-tebing
waktu. mencabuti duri dari dalam diri
dan mengunyahnya agar jadi embun atau
kembang gula yang kutemukan pada masa
kecilku dulu
aku sendiri menunggu pantai surut
dari ombak, dan membiarkan angin membeku
di sudut-sudut dunia
aku terbaring dengan pekik segemerincing
gelang-gelang di kaki seorang bocah
yang sedang berlari. atau diam saat menyaksikan
tanah terbelah dan membiarkan pula jentik api
berterbangan di atas kepala
ini pesta siapa menghabiskan ruang-ruang
yang sepi. sehingga sejuta airmata tak bisa
memadamkan sejentik api? tuhan bikin apa
di balik karya-karya kita?
aku terbaring menakar sunyi, mereka-reka
kematian. adakah sesuatu yang hilang
di saat diriku ada? adakah sesuatu yang hadir
di saat diriku tak ada? dan siapa gerangan
yang datang saat aku terbaring, melucuti debu
di kelopak mata, mengendus aroma neraka?
Citayam, September 2004
ANAK-ANAK YANG BERNYANYI
anak-anak yang bernyanyi di jalan itu telah
membuat engkau terhibur. betapa mahal arti kesenangan
bagi kita. dan anak-anak itu telah melupakan beban
derita di pundaknya. kerak telor yang ia bagi-bagikan
seakan tak pernah habis. seperti gerimis yang tak pernah
berhenti sepanjang tahun
jangan kaget bila orang-orang merasa paling benar
isilah halaman dengan senandung daun kering yang disapu
sekerontang kemarau menyusup jauh sampai ke pulau
ada tanda akan hujan, tapi kenapa harus di matamu?
jarak dilihat bisa jauh
jarak dikenang bisa dekat
menjauhlah dari api yang muncul dari lidah
mendekatlah pada cermin sebelum mengenang wajah lain
akhirnya perdebatan harus selesai
permulaan harus dimulai
Depok, Mei 2007
MEMASUKI SEBUAH WILAYAH
aku memasuki sebuah wilayah di mana nyanyian tak pernah
terdengar. ruang yang luas tanpa penyekat, pohon-pohon
tak berdaun, sungai tak berair, burung-burung tak bersayap
kemarau di batinku mengirim dunia penuh rasa ikan asin
yang dijemur. batu-batu menangis dengan air mata debu
petunjuk jalanku adalah sebuah pisau yang selalu kugenggam
tak ada dunia yang pernah engkau ceritakan padaku, juga
sebuah hutan yang engkau bilang asri dari semua taman yang
ada di kotamu. lumut-lumut hanya melekat di setiap kata yang
kulontarkan. aku berkereta menuju alamat yang diberikan
oleh raung srigala di batinku, dan asap kereta yang
hitam pekat itu telah menuntunku jadi sebuah dayang bagi
segerombolan ulat yang menggerogoti bayang mungilmu
di wilayah tanpa pintu ini, kakiku kehilangan bumi. tawamu
yang pernah kujadikan arah menuju cerah, kali ini lenyap
aku ditelanjangi oleh kesunyian yang amat agung. entah
hasrat birahiku di mana. Sebab tak ada aliran darah saat
sekelompok buah dada melintas dihadapanku. aku tak bisa
berteriak atau memanggil. sebab akar-akar waktu telah menjerat
lidahku sedemikian rupa
tak mungkin aku mengundangmu ke wilayah ini. perempuan
atau lelaki tak bisa kubedakan makna senyumnya
ada yang mudah pergi, ada yang mudah datang. tapi siapa?
aku rindu padamu. sedang ruang di dalam wilayah ini tak cukup
untuk menampung pertanyaan-pertanyaan tentang rinduku kepadamu
tapi percayalah, pisau ini tak akan kutancapkan ke jantungku
sebelum engkau datang menunjukan sebuah ruang lain
untuk menitipkan diriku yang tak berkelamin ini.
Depok, Mei 2007
MENUJU SEBUAH JALAN
masuk ke dalam sebuah musim bersamamu
betapa nyeri duri punya arti. berdua digulung mendung
merekam rintih batu-batu di sungai yang deras. jembatan,
dan akar-akar yang berayun, gigil sepanjang hari
sedang lumut kian menebal di batu yang kita duduki
kini musim itu telah membusuk. amis diendus akar anganku
catatan-catatan membangkai. ranting yang engkau goreskan
dikulit dahan, melapuk dilumat cuaca berpasir
petir dan badai mengubur ketenangan di situ. di mana
kau kini? dahan-dahan waktu yang kau bentuk jadi perahu,
telah hancur di ujung hulu
lagu semakin sendu. jarak matahari tipis di atas kepala
orang-orang menari dalam kehancuran ini. tikungan-
tikungan jalan memasang rambu hinaan. aku mengendarai
rasa bersalah menuju ruang yang sepi. menciptakan sungai
dari semua kepedihan. kuceburkan diri ke kubangan kabut
yang senantiasa sembunyikan diri dari rasa nyeri. tapi aku percaya,
diseberang jalan masih ada jalan
lihatlah, darahku bisa untuk menulis. mencatat bagian-bagian
tubuhmu yang mawar. mencatat gemulai badai rindu dalam batin
aku masih berusaha jadi lelaki dengan menyingkirkan
busa sabun mandi yang menutupi buah dadamu
kau di mana? masih seperti lokankah yang menampung
erang gelombang, gerung sayatan? menyimpan derik daun pintu
saat aku pulang? cinta tak pernah mati, katamu di saat
rabun waktu. dan aku percaya pada sungai, percaya
pada angin. maka kutitipkan aroma tubuhku padanya
agar sudi mengabari padamu di mana letak kuburku.
Depok, Mei 2007
MENIMBA KESENANGAN SEMU
bagi: ida
hujan yang luncur ke bumi itu
meracau sampai menggetarkan dinding
tak ada jejak kaki yang bertahan diluar
sebagai tanda keberadaan insan di bumi
berapa kali kau bersetubuh dalam seminggu, da?
cahaya lampu tak pernah kaugunakan tuk melihat
seberapa deras keringat dan napasmu yang lepas
batang-batang cahaya itu hanya jadi siluet
bagi kelelawar-kelelawar lintas jalan dalam benakmu
dangkal bayang digali
teramat curam jiwa didaki
rembulan tak bisa menahan jatuhnya embun
di atas punggungmu yang mengerang
menjemput kenikmatan
saat sendiri, anak-anak tangga
kerap kaugunakan untuk bercakap menimang luka,
mengukur pedih-perih. juga menghitung
kesenangan-kesenangan yang semu
berapa lelaki kau jadikan batang tebu dalam sebulan, da?
aneh, kau merasa perkasa
sedang yang lain kau anggap lemah daya
hati-hati ‘da, lubang yang kaugali
suatu saat mungkin untuk dirimu sendiri.
Depok, Mei 2007
LUKA YANG BERCAHAYA
aku datang padamu dengan darah masih basah
lihatlah, tembok itu telah kurobohkan dengan
tanganku sendiri. mungkin kulit jari tanganku
masih tertinggal di reruntuhan puingnya
dan lihatlah, lubang persembunyian telah kututup
akan kutampakkan wajahku sekarang
yang penuh luka namun membawa kunci kemenangan
tak ada lagi beban berat yang kuseret setelah teka-teki
rumit itu kutemukan jawabannya
dalam hidup masih ada kesempatan kedua
dan amat konyol ada pepatah yang mengatakan:
“kesempatan tak datang untuk kedua kali.”
kini betapa segarnya bunga berduri
betapa indahnya jalan berliku
betapa syahdunya suara gerimis berdetap di atas atap
betapa manisnya secangkir kopi terhindang di atas pematang
akulah lelaki itu yang membawa sepotong bulan
berdiri di atas titian yang patah
yang meneguk anggur dari gelas retak
yang berlari di atas bara api
aku datang padamu dengan luka kemenangan
lihatlah, cinta telah memancarkan cahayanya
dari lubang-lubang bekas pedang di tubuhku.
Depok, Mei 2007
JAM BERPUTAR SEHARIAN
beranjak ke tepi, dari didih perih penantian
sampai langit membusuk oleh petir. seluruh rasa
kuasingkan ke hulu waktu. orang-orang berlari
dalam badai gerimis, nerobos angin berpasir
seharian tak henti. mencumbu bayang-bayang,
mengendus aroma jalan. mengejar jadwal, dan
mengunci kesal di kemacetan. lalu besuk, melihat
nasibmu di slang infus. butir-butir kehidupan
menetes ke tubuhmu. aku berdoa dan berzikir
diluar bayang-bayang terus berkejaran
di henti yang mana rindu mengelopak
menengok ranum buah dada, sehingga tercium
bau birahi digaduh desing kereta?
orang-orang terus berlari mencari jati diri
kau menghitung hitam putih jejak kita
mungkin dijulang tugu aku bisa melihatmu
setelah jembatan dan kaca gedung habis tertutup
pendemo dan selebaran hujatan. mungkin
dijulang tugu itu tuhan ada bersamamu
menjaring kristal air mata yang mendua rupa
beranjak ke sepi, bulan tertindih kelam
tapi bising jalan raya masih menggema dalam dada
aku ingin tertidur dan pejamkan mata. membunuh
penat dunia. tapi bagaimana aku bisa merajut
mimpi indah bila slang infus yang menghidupimu
telah menjerat leherku sekian waktu.
Depok, Mei 2007
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Senin, 26 Januari 2009
Puisi-Puisi Dharmadi
http://www.kompas.com/
SAJAK BATU
-medy lukito-
batu dalam basah embun
di dasar kali di musim kemarau
sambil mencucup cahaya pagi
bergumam sendiri;’engkau beri
aku enerji’
1999-2004
DALAM KEMARAU
demi hujan langit setia menjerat awan yang
digiring angin sambil mengingat bumi
2000
PENYUCIAN
embun membasuh malam
dari debu pengkhianatan
dalam tatapan rembulan
2000
SEBIJI BERINGIN
sebiji beringin
lepas dari mulut kelelawar
jatuh di ceruk batu
tumbuh dalam mainan cuaca
2000
SELEMBAR DAUN
selembar daun mengapung
pada sungai yang mengalir
di sela-sela retak batu
mencari samudra
2001
BULAN TUA
sesaat bulan tertegun
di atas rawa sehabis
mengembara
memandang wajahnya sendiri
tak lagi purnama
dalam mainan sisa riak gelombang
bersama gerimis turun
ke malam mana lagi aku mesti mencari?
2003
MUSIM KERING
kamboja tumbuh di retak-
retak sawah ladang
melintas-lintas gagak terbang
sungai meratapi diri
merasa tak berarti
gunung kelabu
di puncaknya tak ada lagi
langit biru
matahari tajam menatap bumi
tak henti-henti melelehkan api
2006
MUSIM KERING-1
angin merasa bersalah
mengembuskan deb
nempel di jendela-pintu
sanubari
bening kacanya jadi kelabu
angin merasa semakin berdosa
meniup-niup mengobarkan api
membakar yang hidup
bersama matahari
angin menyesali diri
embusannya berhenti
matahari tak peduli
tetap membakar hari
2006
MUSIM KERING-2
malam kering angin kering
lolong anjing ditingkah denting
melapis kening
2006
ARANG KAYU
sambil terus membara dalam kipasan
arang kayu menertawakan tukang sate yang
kepanasan; sesekali membolak-balik potongan-
potongan daging kambing di sindikan agar
tak hangus terbakar.
tukang sate menghentikan kipasan
setelah potongan-potongan daging siap disantap.
dalam sisa bara, arang kayu seperti mendengar
sayup rintihan kambing kesakitan;
tak tahan, hati serasa disayat-sayat, dibiarkan dirinya
padam mengabu.
2007
EMBUN
embun dalam kabut dengan langkah lembut
diam-diam setia mengirim hidup pada awal hari
yang beranjak berangkat menyusuri
jalan waktu
selalu ada yang tak dapat lagi
ikut menyambut
Lebih dulu telah Kau jemput
2007
GERHANA BULAN
bulan pucat;
dengan hati kecut
sesaat mencangkung di bibir
jendela langit, menatap bumi.
tak didengarnya lagi tetabuhan dan
bunyi-bunyi untuk mengusir sepi
dan menakut-nakuti sang waktu agar
tak membuntuti.
bulan menerima kodrat;
mati perlahan, disayat-sayat
sang waktu
Kau raba lukaku
2007
LANGIT
setia kaukirim subuh-mu
di kabut pagi membasuh debu
kalbu
aku dalam selimut
2007
SESAAT KAUGURAT BATU
sesaat kaugurat batu; seakan sampan tubuhmu, kemudian kaubawa
berlayar berayun dalam ombak nasib, gerak dayung di genggaman hati
mengikuti jejak bintang; di mana ekor pulau pungkasan?
ada yang mesti disebut tetapi selalu luput dari ingatan, tempat-tempat
tak lagi bertanda seperti ada yang mesti dirahasiakan
cadik sampan tubuhmu patah
keperkasaanmu tiba-tiba melepuh; meledak akar iman
kesunyian tajam menikam. kau mencari arah angin, tak ada
tanda-tanda suara; segala jejak seperti menghilang serasa segala hampa
“kapan kan sampai sekaligus jumpa?”, risamu mengambang
siapa tahu engkau akan bertemu di suatu sungai yang membeku,
di rawa yang pekat, atau di ujung teluk yang bertumupuk
bangkai kapal; mungkin juga di dermaga yang purba, tempat-tempat
tak bernama yang luput dari petamu, di mana ia menunggu di
sesat pelayaran sampan tubuhmu.
2007
SAJAK BATU
-medy lukito-
batu dalam basah embun
di dasar kali di musim kemarau
sambil mencucup cahaya pagi
bergumam sendiri;’engkau beri
aku enerji’
1999-2004
DALAM KEMARAU
demi hujan langit setia menjerat awan yang
digiring angin sambil mengingat bumi
2000
PENYUCIAN
embun membasuh malam
dari debu pengkhianatan
dalam tatapan rembulan
2000
SEBIJI BERINGIN
sebiji beringin
lepas dari mulut kelelawar
jatuh di ceruk batu
tumbuh dalam mainan cuaca
2000
SELEMBAR DAUN
selembar daun mengapung
pada sungai yang mengalir
di sela-sela retak batu
mencari samudra
2001
BULAN TUA
sesaat bulan tertegun
di atas rawa sehabis
mengembara
memandang wajahnya sendiri
tak lagi purnama
dalam mainan sisa riak gelombang
bersama gerimis turun
ke malam mana lagi aku mesti mencari?
2003
MUSIM KERING
kamboja tumbuh di retak-
retak sawah ladang
melintas-lintas gagak terbang
sungai meratapi diri
merasa tak berarti
gunung kelabu
di puncaknya tak ada lagi
langit biru
matahari tajam menatap bumi
tak henti-henti melelehkan api
2006
MUSIM KERING-1
angin merasa bersalah
mengembuskan deb
nempel di jendela-pintu
sanubari
bening kacanya jadi kelabu
angin merasa semakin berdosa
meniup-niup mengobarkan api
membakar yang hidup
bersama matahari
angin menyesali diri
embusannya berhenti
matahari tak peduli
tetap membakar hari
2006
MUSIM KERING-2
malam kering angin kering
lolong anjing ditingkah denting
melapis kening
2006
ARANG KAYU
sambil terus membara dalam kipasan
arang kayu menertawakan tukang sate yang
kepanasan; sesekali membolak-balik potongan-
potongan daging kambing di sindikan agar
tak hangus terbakar.
tukang sate menghentikan kipasan
setelah potongan-potongan daging siap disantap.
dalam sisa bara, arang kayu seperti mendengar
sayup rintihan kambing kesakitan;
tak tahan, hati serasa disayat-sayat, dibiarkan dirinya
padam mengabu.
2007
EMBUN
embun dalam kabut dengan langkah lembut
diam-diam setia mengirim hidup pada awal hari
yang beranjak berangkat menyusuri
jalan waktu
selalu ada yang tak dapat lagi
ikut menyambut
Lebih dulu telah Kau jemput
2007
GERHANA BULAN
bulan pucat;
dengan hati kecut
sesaat mencangkung di bibir
jendela langit, menatap bumi.
tak didengarnya lagi tetabuhan dan
bunyi-bunyi untuk mengusir sepi
dan menakut-nakuti sang waktu agar
tak membuntuti.
bulan menerima kodrat;
mati perlahan, disayat-sayat
sang waktu
Kau raba lukaku
2007
LANGIT
setia kaukirim subuh-mu
di kabut pagi membasuh debu
kalbu
aku dalam selimut
2007
SESAAT KAUGURAT BATU
sesaat kaugurat batu; seakan sampan tubuhmu, kemudian kaubawa
berlayar berayun dalam ombak nasib, gerak dayung di genggaman hati
mengikuti jejak bintang; di mana ekor pulau pungkasan?
ada yang mesti disebut tetapi selalu luput dari ingatan, tempat-tempat
tak lagi bertanda seperti ada yang mesti dirahasiakan
cadik sampan tubuhmu patah
keperkasaanmu tiba-tiba melepuh; meledak akar iman
kesunyian tajam menikam. kau mencari arah angin, tak ada
tanda-tanda suara; segala jejak seperti menghilang serasa segala hampa
“kapan kan sampai sekaligus jumpa?”, risamu mengambang
siapa tahu engkau akan bertemu di suatu sungai yang membeku,
di rawa yang pekat, atau di ujung teluk yang bertumupuk
bangkai kapal; mungkin juga di dermaga yang purba, tempat-tempat
tak bernama yang luput dari petamu, di mana ia menunggu di
sesat pelayaran sampan tubuhmu.
2007
Puisi-Puisi W.S. Rendra
http://budhisetyawan.wordpress.com/
KANGEN
Kau tak akan mengerti bagaimana kesepianku
menghadapi kemerdekaan tanpa cinta
kau tak akan mengerti segala lukaku
kerna luka telah sembunyikan pisaunya.
Membayangkan wajahmu adalah siksa.
Kesepian adalah ketakutan dalam kelumpuhan.
Engkau telah menjadi racun bagi darahku.
Apabila aku dalam kangen dan sepi
itulah berarti
aku tungku tanpa api.
KENANGAN DAN KESEPIAN
Rumah tua
dan pagar batu.
Langit di desa
sawah dan bambu.
Berkenalan dengan sepi
pada kejemuan disandarkan dirinya.
Jalanan berdebu tak berhati
lewat nasib menatapnya.
Cinta yang datang
burung tak tergenggam.
Batang baja waktu lengang
dari belakang menikam.
Rumah tua
dan pagar batu.
Kenangan lama
dan sepi yang syahdu
--------------
(diambil dari buku: EMPAT KUMPULAN SAJAK, karya RENDRA, penerbit Pustaka Jaya, cetakan kedelapan, tahun 2003).
KANGEN
Kau tak akan mengerti bagaimana kesepianku
menghadapi kemerdekaan tanpa cinta
kau tak akan mengerti segala lukaku
kerna luka telah sembunyikan pisaunya.
Membayangkan wajahmu adalah siksa.
Kesepian adalah ketakutan dalam kelumpuhan.
Engkau telah menjadi racun bagi darahku.
Apabila aku dalam kangen dan sepi
itulah berarti
aku tungku tanpa api.
KENANGAN DAN KESEPIAN
Rumah tua
dan pagar batu.
Langit di desa
sawah dan bambu.
Berkenalan dengan sepi
pada kejemuan disandarkan dirinya.
Jalanan berdebu tak berhati
lewat nasib menatapnya.
Cinta yang datang
burung tak tergenggam.
Batang baja waktu lengang
dari belakang menikam.
Rumah tua
dan pagar batu.
Kenangan lama
dan sepi yang syahdu
--------------
(diambil dari buku: EMPAT KUMPULAN SAJAK, karya RENDRA, penerbit Pustaka Jaya, cetakan kedelapan, tahun 2003).
Puisi-Puisi Ragil Suwarno Pragolapati
http://sastrakarta.multiply.com/
Membaca Koran Tempel
Hari-hari memberikan kabar monoton. Isi mirip beda judul
Advertensi pun menerkam semua kolom besar, over membius
"Gadis diperkosa!" teriak seorang bicah, jemu dan kecal
Kau pun menekur. Mahkota perawan dikoyak di kolam sudud
Brahmacorah seksualita jadi siluman di desa-desa dan kota
Hakim, KUHP dan palu pengadilan menabukan opini kecewa
Hokum suka melecehkan kesucian perawan pada vonis ringan
"Hakim itu dilahirkan dari rahim WAnita!" gerutumu marah
"Jika memvonis pemerkosa, bayangkan ibunyalah korbannya!"
Esok, esok, dan esoknya lagi, kabar seruba muncul kembali
Di halaman dua, ada vonis hakim. Ringan! Dicemooh public
Di halaman muka, ada "Seminar Keadilan Hukum" jadi proyek
Jagran, 1988
Sang Brahmancari
Yogya mengirim gerimis pagi bagimu di serambi masjid
Sendumu menyisa pada asap rokok, mengepulkan fantasi
Nasib nglangut. Mandi tidak perlu, berkumur pun cukup
Kambuhan penyakit 1968-1971. kau terbius dingin sudut
Ke timur, membayang Sala. Ke barat, takutkan Purwareja
Menundukmu risaukan Ampel dan Ungaran, baladamu deksura
"Aku grehasta! Punya istri dan anak!" bisikmu menyesal
"Tetapi hidupku brahmancari! Sendirian bagai perjaka!"
Kau pun tengadah. Tuhan dan ayat mengabur pada mendung
Kau menunduk. Nasibmu ruwet menoilak sesal pangkal-ujung
Nah, kau berbenah. Kembali mengembarai rimba raya Yogya
Meredam lapar-dahaga. Mengejami diri malang papa nestapa
Kauman, 1988
Pamitku Padamu
Kau-aku tuntas melewatkan pagi-sore dibuncah kepenatan
Siang-malam kebersamaan pun padat cerita dan kenangan
Kau-aku banyak belajar dari kerja, omongan atau diam
Aneh! Sempat juga hati berbunga dan pikiran mekar
Asyik! Banyak imba-beri manfaat, tahu fungsinya belajar
Kau-aku remaha kembali, sesekali jadi seperti bocah kecil
Telanjang tanpa cadar dan topeng, hilang malu dan minder
Kau-aku tahu tidaklah menarik lagi 1.001 kehebatan diri
Sebaliknya 1.000.000 kelemahan orang tidak selalu jelek
Ajaib! Kasih-sayang sejati tumbuh dari hal-ihwal naïf
Kau-aku menunggal dalam sebuah dunia, di sini, kemarin
Kita suntuk belajar tanpa pandang usia, guru dan murid
Kau=aku tahu, tugas kita seumur hayat: mendidik pribadi
Kok ajaib, hancurlah congkak dan kikuk, risi dan minder
Karena kasih! Hidup ini penuh arti, dalam cinta ugahari
Kau-aku deprogram jadual dan waktu, semua kini berlalu
Di sini, berakhir seluruhnya, biarpun belum puas tuntas
Kau-aku wajib pulang pada jagad kehidupan masing-masing
Kembali pada rutin. Pulang ke rumah tangga kita sendiri
Kini, di sini, pamiutku padamu adalah memutus pilu-pedih
Kau-aku dipertemukan Tuhan, segera kembali berjauhan
"Tidak ada selamat berpisah!" kataku meredam perasaan
"Sampai jumpa kembali!" bisikmu dengan senyum getir
Kau-aku wajib pulang, tidak mengkhianati rumah pribadi
Pamitku padamu adalah beribu memori, abadi dalam nurani
Jakarta 1986, Jember 1987, Klaten 1988
Membaca Koran Tempel
Hari-hari memberikan kabar monoton. Isi mirip beda judul
Advertensi pun menerkam semua kolom besar, over membius
"Gadis diperkosa!" teriak seorang bicah, jemu dan kecal
Kau pun menekur. Mahkota perawan dikoyak di kolam sudud
Brahmacorah seksualita jadi siluman di desa-desa dan kota
Hakim, KUHP dan palu pengadilan menabukan opini kecewa
Hokum suka melecehkan kesucian perawan pada vonis ringan
"Hakim itu dilahirkan dari rahim WAnita!" gerutumu marah
"Jika memvonis pemerkosa, bayangkan ibunyalah korbannya!"
Esok, esok, dan esoknya lagi, kabar seruba muncul kembali
Di halaman dua, ada vonis hakim. Ringan! Dicemooh public
Di halaman muka, ada "Seminar Keadilan Hukum" jadi proyek
Jagran, 1988
Sang Brahmancari
Yogya mengirim gerimis pagi bagimu di serambi masjid
Sendumu menyisa pada asap rokok, mengepulkan fantasi
Nasib nglangut. Mandi tidak perlu, berkumur pun cukup
Kambuhan penyakit 1968-1971. kau terbius dingin sudut
Ke timur, membayang Sala. Ke barat, takutkan Purwareja
Menundukmu risaukan Ampel dan Ungaran, baladamu deksura
"Aku grehasta! Punya istri dan anak!" bisikmu menyesal
"Tetapi hidupku brahmancari! Sendirian bagai perjaka!"
Kau pun tengadah. Tuhan dan ayat mengabur pada mendung
Kau menunduk. Nasibmu ruwet menoilak sesal pangkal-ujung
Nah, kau berbenah. Kembali mengembarai rimba raya Yogya
Meredam lapar-dahaga. Mengejami diri malang papa nestapa
Kauman, 1988
Pamitku Padamu
Kau-aku tuntas melewatkan pagi-sore dibuncah kepenatan
Siang-malam kebersamaan pun padat cerita dan kenangan
Kau-aku banyak belajar dari kerja, omongan atau diam
Aneh! Sempat juga hati berbunga dan pikiran mekar
Asyik! Banyak imba-beri manfaat, tahu fungsinya belajar
Kau-aku remaha kembali, sesekali jadi seperti bocah kecil
Telanjang tanpa cadar dan topeng, hilang malu dan minder
Kau-aku tahu tidaklah menarik lagi 1.001 kehebatan diri
Sebaliknya 1.000.000 kelemahan orang tidak selalu jelek
Ajaib! Kasih-sayang sejati tumbuh dari hal-ihwal naïf
Kau-aku menunggal dalam sebuah dunia, di sini, kemarin
Kita suntuk belajar tanpa pandang usia, guru dan murid
Kau=aku tahu, tugas kita seumur hayat: mendidik pribadi
Kok ajaib, hancurlah congkak dan kikuk, risi dan minder
Karena kasih! Hidup ini penuh arti, dalam cinta ugahari
Kau-aku deprogram jadual dan waktu, semua kini berlalu
Di sini, berakhir seluruhnya, biarpun belum puas tuntas
Kau-aku wajib pulang pada jagad kehidupan masing-masing
Kembali pada rutin. Pulang ke rumah tangga kita sendiri
Kini, di sini, pamiutku padamu adalah memutus pilu-pedih
Kau-aku dipertemukan Tuhan, segera kembali berjauhan
"Tidak ada selamat berpisah!" kataku meredam perasaan
"Sampai jumpa kembali!" bisikmu dengan senyum getir
Kau-aku wajib pulang, tidak mengkhianati rumah pribadi
Pamitku padamu adalah beribu memori, abadi dalam nurani
Jakarta 1986, Jember 1987, Klaten 1988
Puisi-Puisi Umbu Landu Paranggi
katakamidotcom.wordpress.com
Sajak Kecil (1)
dengan mencintai
puisi-puisi ini
sukma dari sukmaku
terbukalah medan laga
sekaligus kubu
Sajak Kecil (1)
dengan mencintai
puisi-puisi ini
sukma dari sukmaku
terbukalah medan laga
sekaligus kubu
Puisi-Puisi Emha Ainun Nadjib
http://sastrakarta.multiply.com/
Kudekap Kusayang-sayang
Kepadamu kekasih kepersembahkan segala api di dadaku ini demi cinta kepada sesama manusia
Kupersembahkan kepadamu sirnanya seluruh kepentingan diri dalam hidupku demi mempertahankan kemesraan rahasia, yang teramat menyakitkan ini, denganmu
Terima kasih engkau telah pilihkan bagiku rumah persemayaman dalam jiwaku remuk redam hamba–hambamu
Kudekap mereka, kupanggul, kusayang-sayang, dan ketika mereka tancapkan pisau ke dadaku, mengucur darah dari dada mereka sendiri, sehingga bersegera aku mengusapnya, kusumpal, kubalut dengan sobekan–sobekan bajuku
Kemudian kudekap ia, kupanggul, kusayang–sayang, kupeluk, kugendong-gendong, sampai kemudian mereka tancapkan lagi pisau kepunggungku, sehingga mengucur lagi darah dari batinnya, sehingga aku bersegera mengusapnya, kusumpal, kubalut dengan sobekan–sobekan bajuku, kudekap, kusayang-sayang
1994
Doa Syukur Sawah Ladang
atas padi yang engkau tumbuhkan dari sawah
ladang bumimu, kupanjatkan syukur dan
kunyanyikan lagu gembira sebagaimana padi itu
sendiri berterima kasih kepadamu dan bersukaria
lahir dari tanah, menguning di sawah, menjadi
eeras di tampah, kemudian sebagai nasi memasuki
tenggorakan hambamu yang gerah, adalah cara
paling mulia bagi padi untuk tiba kembali di
pangkuanmu
betapa gembira hati pisang yang dikuliti dan
dimakan oleh manusia, karena demikianlah tugas
luhurnya di dunia, pasrah di pengolahan usus para
hamba, menjadi sari inti kesehatan dan
kesejahteraan
demikianpun betapa riang udara yang dihirup,
air yang direguk, sungai yang mengairi persawahan,
kolam tempat anak–anak berenang, lautan penyedia
bermilyar ikan serta kandungan bumimu yang
menyiapkan berjuta macam hiasan
atas segala tumpahan kasih sayangmu kepadaku
ya allah, baik yang berupa rejeki maupun cobaan,
kelebihan atau kekurangan, kudendangkan rasa
bahagia dan tekadku sebisa-bisa untuk membalas
cinta
aku bersembahyang kepadamu, berjamaah
dengan langit dan bumimu, dengan siang dan malammu,
dengan matahari yang setia bercahaya dan
angin yang berhembus menyejukkan desa–desa
1988
Cahaya Maha Cahaya
Usiaku enam hari
Enam hari yang menakjubkan: Tuhan bermain
ruang
waktu di tangannya, bisa kau bayangkan?
Hari pertama cahaya maha cahaya
Cahaya maha cahaya tak bisa dikisahkan
Bisa, mungkin. Tapi kita ini dungu
Ilmu kita tingkat serdadu
Hari kedua kegelapan tiada tara
Beberapa kata mulai bisa mengucap, karena
rahasia mulai berlaku didepanmu sebagai
rahasia
Hari ketiga kau adalah kau, aku masih aku
Baru kelak Tuhan, semua kita nangis cengeng
Kita melempari galaksi supaya bintang runtuh, kita
mengais-ngais bumi mencari emas permata untuk
kita kunyah-kunyah demi mengisi hari dengan ketololan
Di hari keempat engkau adalah dunia ini
Kalau kau gembira bukanlah kau yang bergembira
sebab sesungguhnya tak kau perlukan
kegembiraan
Kalau kau bersedih kehidupanlah yang bersedih
sebab kesedihan tak sanggup menyentuh jiwamu
Kau tak membutuhkan suka duka, harta atau
kepapaan, kau tak terikat oleh penjara atau
kemerdekaan, kau lebih perkasa dari ketakutan
atau keberanian, kau lebih tinggi dari derajat
kehinaan, kau lebih besar dari kehidupan
atau maut
Di manakah engkau bersemayam kiranya?
Hari keempat telah senja dan fajar hari kelima
mulai menyiapkan pemenuhan janjinya
Hari kelima gelap gulita
Hari di mana engkau sirna, di mana engkau tak
engkau
hari yang menjelmakan kembali menjadi cahaya
menyatu ke hari keenam cahaya maha cahaya
1988
Kudekap Kusayang-sayang
Kepadamu kekasih kepersembahkan segala api di dadaku ini demi cinta kepada sesama manusia
Kupersembahkan kepadamu sirnanya seluruh kepentingan diri dalam hidupku demi mempertahankan kemesraan rahasia, yang teramat menyakitkan ini, denganmu
Terima kasih engkau telah pilihkan bagiku rumah persemayaman dalam jiwaku remuk redam hamba–hambamu
Kudekap mereka, kupanggul, kusayang-sayang, dan ketika mereka tancapkan pisau ke dadaku, mengucur darah dari dada mereka sendiri, sehingga bersegera aku mengusapnya, kusumpal, kubalut dengan sobekan–sobekan bajuku
Kemudian kudekap ia, kupanggul, kusayang–sayang, kupeluk, kugendong-gendong, sampai kemudian mereka tancapkan lagi pisau kepunggungku, sehingga mengucur lagi darah dari batinnya, sehingga aku bersegera mengusapnya, kusumpal, kubalut dengan sobekan–sobekan bajuku, kudekap, kusayang-sayang
1994
Doa Syukur Sawah Ladang
atas padi yang engkau tumbuhkan dari sawah
ladang bumimu, kupanjatkan syukur dan
kunyanyikan lagu gembira sebagaimana padi itu
sendiri berterima kasih kepadamu dan bersukaria
lahir dari tanah, menguning di sawah, menjadi
eeras di tampah, kemudian sebagai nasi memasuki
tenggorakan hambamu yang gerah, adalah cara
paling mulia bagi padi untuk tiba kembali di
pangkuanmu
betapa gembira hati pisang yang dikuliti dan
dimakan oleh manusia, karena demikianlah tugas
luhurnya di dunia, pasrah di pengolahan usus para
hamba, menjadi sari inti kesehatan dan
kesejahteraan
demikianpun betapa riang udara yang dihirup,
air yang direguk, sungai yang mengairi persawahan,
kolam tempat anak–anak berenang, lautan penyedia
bermilyar ikan serta kandungan bumimu yang
menyiapkan berjuta macam hiasan
atas segala tumpahan kasih sayangmu kepadaku
ya allah, baik yang berupa rejeki maupun cobaan,
kelebihan atau kekurangan, kudendangkan rasa
bahagia dan tekadku sebisa-bisa untuk membalas
cinta
aku bersembahyang kepadamu, berjamaah
dengan langit dan bumimu, dengan siang dan malammu,
dengan matahari yang setia bercahaya dan
angin yang berhembus menyejukkan desa–desa
1988
Cahaya Maha Cahaya
Usiaku enam hari
Enam hari yang menakjubkan: Tuhan bermain
ruang
waktu di tangannya, bisa kau bayangkan?
Hari pertama cahaya maha cahaya
Cahaya maha cahaya tak bisa dikisahkan
Bisa, mungkin. Tapi kita ini dungu
Ilmu kita tingkat serdadu
Hari kedua kegelapan tiada tara
Beberapa kata mulai bisa mengucap, karena
rahasia mulai berlaku didepanmu sebagai
rahasia
Hari ketiga kau adalah kau, aku masih aku
Baru kelak Tuhan, semua kita nangis cengeng
Kita melempari galaksi supaya bintang runtuh, kita
mengais-ngais bumi mencari emas permata untuk
kita kunyah-kunyah demi mengisi hari dengan ketololan
Di hari keempat engkau adalah dunia ini
Kalau kau gembira bukanlah kau yang bergembira
sebab sesungguhnya tak kau perlukan
kegembiraan
Kalau kau bersedih kehidupanlah yang bersedih
sebab kesedihan tak sanggup menyentuh jiwamu
Kau tak membutuhkan suka duka, harta atau
kepapaan, kau tak terikat oleh penjara atau
kemerdekaan, kau lebih perkasa dari ketakutan
atau keberanian, kau lebih tinggi dari derajat
kehinaan, kau lebih besar dari kehidupan
atau maut
Di manakah engkau bersemayam kiranya?
Hari keempat telah senja dan fajar hari kelima
mulai menyiapkan pemenuhan janjinya
Hari kelima gelap gulita
Hari di mana engkau sirna, di mana engkau tak
engkau
hari yang menjelmakan kembali menjadi cahaya
menyatu ke hari keenam cahaya maha cahaya
1988
Puisi-Puisi Kirdjomuljo
http://sastrakarta.multiply.com/
ANGIN PAGI
III
Yang pertama kupunya
dan terakhir kulepaskan
adalah kemerdekaan
Kemerdekaan yang lahir semacam alam
bersayap semacam burung
basah dengan cinta semacam pagi
Mengatasi segala apa pun
bagaimana juga permintaannya
atau pun dibunuhnya aku
Inilah milikku yang pertama-tama
IV
Yang pertama kucintai
dan akhirnya kukatakan
adalah kebenaran
Kebenaran yang lahir dari arti
mengalir dan melekat pada alam
dan hati
Kebenaran yang memberi sesuatu
dan mencerminkan
alam, cinta dan manusia
Karena ia adalah semacam permata
PENGGALI BATU KAPUR
Beginilah ia berjanji
dengan irama guyur batu
hingga ladang berderak
burung-burung merendah
merasa betapa berat langit
betapa berat hati
angin menggantungi sayap
kabut meradangi arah
Entah ia melepas dera
entah bertahan dari derik
atau tertantang keras batu
nyanyinya sederas getar derita
langsung mengenai dasar
darahku memutih
tulang menyusut
- Hula hule hula ho oo
hula hule hula oo
Begitu berat melepas
sekejap datang sekejap hilang
ditiupkan arah angin
matanya pudar hijau kapur
dahinya hitam-hitam batu
peluhnya deras putih letih
jejak makin dalam
lagunya makin memanjang
hilang lepas-lepas
Ketika satu berhenti mengayun
ia memandang padaku
bersenyum, senyum ladang
bertanya dengan suara bukit
- tuan heran memandang kami
kami lahir di tanah kapur
anakku empat, anakku putih
mata ayah hidung ibu
gelaknya melepas angin
- Aku terharu bapa
seluruh umur di tanah kapur
kulit bapa hitam batu
mata bapa jernih kapur
cinta berlebih, dari yang lain
hati bapa hati belerang
cinta alam sekeras bintang
tak pernah kujumpakan di manapun
- Begitu bercinta umur
tapi jangan tuan terlalu lama
memandang kami
jangan menerima seperti kami
sebelah utara ada laut
sebelah selatan ada pantai
kalau kami tak berjanji
pada diri dan kebun halaman
sudah bukan lagi penggali kapur
Salam tuan
marilah turut menyanyikan
akan tuan rasa nanti
getar apa tersimpan di hati
getar di hati kami
-
hula hulee hula ho oo
hula hulee hula ho oo
getar dalam hitam malam
getar jauh biru laut
ANGIN PAGI
III
Yang pertama kupunya
dan terakhir kulepaskan
adalah kemerdekaan
Kemerdekaan yang lahir semacam alam
bersayap semacam burung
basah dengan cinta semacam pagi
Mengatasi segala apa pun
bagaimana juga permintaannya
atau pun dibunuhnya aku
Inilah milikku yang pertama-tama
IV
Yang pertama kucintai
dan akhirnya kukatakan
adalah kebenaran
Kebenaran yang lahir dari arti
mengalir dan melekat pada alam
dan hati
Kebenaran yang memberi sesuatu
dan mencerminkan
alam, cinta dan manusia
Karena ia adalah semacam permata
PENGGALI BATU KAPUR
Beginilah ia berjanji
dengan irama guyur batu
hingga ladang berderak
burung-burung merendah
merasa betapa berat langit
betapa berat hati
angin menggantungi sayap
kabut meradangi arah
Entah ia melepas dera
entah bertahan dari derik
atau tertantang keras batu
nyanyinya sederas getar derita
langsung mengenai dasar
darahku memutih
tulang menyusut
- Hula hule hula ho oo
hula hule hula oo
Begitu berat melepas
sekejap datang sekejap hilang
ditiupkan arah angin
matanya pudar hijau kapur
dahinya hitam-hitam batu
peluhnya deras putih letih
jejak makin dalam
lagunya makin memanjang
hilang lepas-lepas
Ketika satu berhenti mengayun
ia memandang padaku
bersenyum, senyum ladang
bertanya dengan suara bukit
- tuan heran memandang kami
kami lahir di tanah kapur
anakku empat, anakku putih
mata ayah hidung ibu
gelaknya melepas angin
- Aku terharu bapa
seluruh umur di tanah kapur
kulit bapa hitam batu
mata bapa jernih kapur
cinta berlebih, dari yang lain
hati bapa hati belerang
cinta alam sekeras bintang
tak pernah kujumpakan di manapun
- Begitu bercinta umur
tapi jangan tuan terlalu lama
memandang kami
jangan menerima seperti kami
sebelah utara ada laut
sebelah selatan ada pantai
kalau kami tak berjanji
pada diri dan kebun halaman
sudah bukan lagi penggali kapur
Salam tuan
marilah turut menyanyikan
akan tuan rasa nanti
getar apa tersimpan di hati
getar di hati kami
-
hula hulee hula ho oo
hula hulee hula ho oo
getar dalam hitam malam
getar jauh biru laut
Puisi-Puisi Ahmadun Yosi Herfanda
http://sastrakarta.multiply.com/
REINKARNASI
kukembalikan dagingku pada ikan
kuserahkan darahku pada kerang
makanlah milikku, ambil seluruhku
kukembalikan tulangku pada tripang
jika aku mati
hanya tinggal tanah
jiwaku membumbung
ke kekosongan
bertahun-tahun aku mengail
berhutang nyawa pada ikan
berabad-abad aku minum
berhutang hidup pada laut
berwindu-windu aku berlari
berhutang api pada matahari
tiba saatnya nanti kukembalikan
semua hutangku pada mereka
kukembalikan jasadku pada tanah
sukmaku kembali ke tiada
: zat pemilik segalanya!
Jakarta, 1992.
AYAT-AYAT ALAM
berabad-abad wajah tuhan bertaburan
jadi ayat-ayat alam yang berserak pada batu-batu
tiap perciknya menjelma wajah yang berbeda
berabad-abad wajah tuhan bertaburan
dalam serpihan cinta sekaligus sengketa
berabad-abad pula adam gelisah
mencoba menyatukan wajah tuhan
dalam gambaran seutuhnya. namun
selalu sia-sia ia. sebab, tuhan lebih suka
hadir dalam keelokan yang beraneka
pada keelokan pohon dan keindahan batu
pada keperkasaan ombak dan kediaman gunung
pada wajah suci seorang bayi dan hangat matahari
dan pada wajah manis seorang istri
tuhan hadir dalam senyum abadi
berabad-abad wajah tuhan bertebaran
pada ayat-ayat alam yang selalu
menemukan tafsir sendiri
Jakarta, 1995/2007.
JALAN RINDU
Di jalan manakah engkau kini menunggu
Kekasih. Begitu panjang jalan kutempuh
Tapi, tak sampai-sampai juga padamu
Berapa abad lagi aku mesti
Menahan nyeri hati tanpamu
Kutanggung sendiri berwindu rindu
Kutahan sendiri sepi tanpamu
Di manakah kini engkau menunggu
Kekasih. Setelah kutinggal khianat tanpamu
Tak tahu lagi kini alamat bagi rinduku
Masih terbukakah pintu untuk kembali
Ke satu cinta hanya padamu?
Jakarta, 2007.
SAJAK EMBUN
hanya karena cinta embun menetes
dari ujung bulu matamu, membasahi
rumput dan daun-daun, lalu meresap
ke jantungku. cacing-cacing pun berzikir
padamu, mensyukuri kodratnya tiap waktu
siapa yang menolak bersujud padamu
yang tak bersyukur karena karuniamu?
barangkali hanya orang-orang congkak itu
orang-orang yang berjalan dengan kepala
mendongak ke langit sambil melirik
dengan cibiran harimau
hanya karena cinta hujan menetes
dari sudut pelupuk matamu, membasahi rambutku
menyusup ke pori-pori tubuh, syaraf dan nadi
menghijaukan kembali taman hatiku
burung-burungpun bernyanyi karenaku
berzikir dan bersujud padamu
-- ya allah, ampuni adaku padamu!
Yogyakarta, 1990/2007.
NYANYIAN SENJA SEORANG PENCINTA
jika aku mati, luluhlah bagai air
menyusup tanah dan batu-batu
menumbuhkan pohonan di tamanmu
putik bunga pun bertemu benihku
membuahkan cintamu
jika kau haus, minumlah jiwaku
jika tubuhmu berdaki
mandilah dalam kasihku
ikan-ikan bahagia dalam asuhanku
kafilah gembira menemuku
tiadalah arti hidup jika sekadar hidup
tiadalah arti mati jika sekadar mati
jika hidup tiada sebatas hidup
jika mati pun tiada sebatas mati
(jika tak takut hidup jiwa pun tak takut mati
karena dalam mati jiwa menemu hidup sejati)
jika aku mati, luluhlah bagai air
menyusup akar belukar dan pohonan
katak-katak bahagia dalam sejukku
teratai pun tersenyum
dalam ayunan jiwaku
tiada makna hidup
jika tiada menghidupi
tiada nikmat hidup
jika tiada memberi arti
-- jika engkau pelaut
layarkan perahumu
pada keluasan hatiku!
Yogyakarta, 1984/2007.
REINKARNASI
kukembalikan dagingku pada ikan
kuserahkan darahku pada kerang
makanlah milikku, ambil seluruhku
kukembalikan tulangku pada tripang
jika aku mati
hanya tinggal tanah
jiwaku membumbung
ke kekosongan
bertahun-tahun aku mengail
berhutang nyawa pada ikan
berabad-abad aku minum
berhutang hidup pada laut
berwindu-windu aku berlari
berhutang api pada matahari
tiba saatnya nanti kukembalikan
semua hutangku pada mereka
kukembalikan jasadku pada tanah
sukmaku kembali ke tiada
: zat pemilik segalanya!
Jakarta, 1992.
AYAT-AYAT ALAM
berabad-abad wajah tuhan bertaburan
jadi ayat-ayat alam yang berserak pada batu-batu
tiap perciknya menjelma wajah yang berbeda
berabad-abad wajah tuhan bertaburan
dalam serpihan cinta sekaligus sengketa
berabad-abad pula adam gelisah
mencoba menyatukan wajah tuhan
dalam gambaran seutuhnya. namun
selalu sia-sia ia. sebab, tuhan lebih suka
hadir dalam keelokan yang beraneka
pada keelokan pohon dan keindahan batu
pada keperkasaan ombak dan kediaman gunung
pada wajah suci seorang bayi dan hangat matahari
dan pada wajah manis seorang istri
tuhan hadir dalam senyum abadi
berabad-abad wajah tuhan bertebaran
pada ayat-ayat alam yang selalu
menemukan tafsir sendiri
Jakarta, 1995/2007.
JALAN RINDU
Di jalan manakah engkau kini menunggu
Kekasih. Begitu panjang jalan kutempuh
Tapi, tak sampai-sampai juga padamu
Berapa abad lagi aku mesti
Menahan nyeri hati tanpamu
Kutanggung sendiri berwindu rindu
Kutahan sendiri sepi tanpamu
Di manakah kini engkau menunggu
Kekasih. Setelah kutinggal khianat tanpamu
Tak tahu lagi kini alamat bagi rinduku
Masih terbukakah pintu untuk kembali
Ke satu cinta hanya padamu?
Jakarta, 2007.
SAJAK EMBUN
hanya karena cinta embun menetes
dari ujung bulu matamu, membasahi
rumput dan daun-daun, lalu meresap
ke jantungku. cacing-cacing pun berzikir
padamu, mensyukuri kodratnya tiap waktu
siapa yang menolak bersujud padamu
yang tak bersyukur karena karuniamu?
barangkali hanya orang-orang congkak itu
orang-orang yang berjalan dengan kepala
mendongak ke langit sambil melirik
dengan cibiran harimau
hanya karena cinta hujan menetes
dari sudut pelupuk matamu, membasahi rambutku
menyusup ke pori-pori tubuh, syaraf dan nadi
menghijaukan kembali taman hatiku
burung-burungpun bernyanyi karenaku
berzikir dan bersujud padamu
-- ya allah, ampuni adaku padamu!
Yogyakarta, 1990/2007.
NYANYIAN SENJA SEORANG PENCINTA
jika aku mati, luluhlah bagai air
menyusup tanah dan batu-batu
menumbuhkan pohonan di tamanmu
putik bunga pun bertemu benihku
membuahkan cintamu
jika kau haus, minumlah jiwaku
jika tubuhmu berdaki
mandilah dalam kasihku
ikan-ikan bahagia dalam asuhanku
kafilah gembira menemuku
tiadalah arti hidup jika sekadar hidup
tiadalah arti mati jika sekadar mati
jika hidup tiada sebatas hidup
jika mati pun tiada sebatas mati
(jika tak takut hidup jiwa pun tak takut mati
karena dalam mati jiwa menemu hidup sejati)
jika aku mati, luluhlah bagai air
menyusup akar belukar dan pohonan
katak-katak bahagia dalam sejukku
teratai pun tersenyum
dalam ayunan jiwaku
tiada makna hidup
jika tiada menghidupi
tiada nikmat hidup
jika tiada memberi arti
-- jika engkau pelaut
layarkan perahumu
pada keluasan hatiku!
Yogyakarta, 1984/2007.
Puisi-Puisi Suminto A. Sayuti
DONGENG SEBELUM TIDUR
1.
Itulah ular yang kau gambar tempo hari
dan diberi nilai delapan oleh ibu guru
: ular itu bernama Siapa Saja
bisanya luar biasa
Ialah yang telah menggoda bapa adam
dan ibu hawa di perkebunan karet
kaki bukit itu, seperti kata mereka
1.
Itulah ular yang kau gambar tempo hari
dan diberi nilai delapan oleh ibu guru
: ular itu bernama Siapa Saja
bisanya luar biasa
Ialah yang telah menggoda bapa adam
dan ibu hawa di perkebunan karet
kaki bukit itu, seperti kata mereka
Puisi-Puisi Dorothea Rosa Herliany
http://sastrakarta.multiply.com/
NIKAH PISAU
aku sampai entah di mana. Berputarputar
dalam labirin. perjalanan terpanjang
tanpa peta. dan inilah warna gelap paling
sempurna. kuraba gang di antara sungai
dan jurang.
NIKAH PISAU
aku sampai entah di mana. Berputarputar
dalam labirin. perjalanan terpanjang
tanpa peta. dan inilah warna gelap paling
sempurna. kuraba gang di antara sungai
dan jurang.
Puisi-Puisi Endang Susanti Rustamadji
http://sastrakarta.multiply.com/
SIANG ITU, ADA LUKA DI TATAPMU
Siang itu kau memakai baji biru
di tatapmu ada luka
dan langit yang renta sengaja berbaik hati
menyimpan kegelisahanmu yang mulai karatan itu
di antara menga-mega yang menggulung diri menjadi mendung
lalu menangkarkannya dengan guratan panjang
menjingga di cakrawala
Siang itu kau laburi langit hatiku
dengan warna biru muda
sukmaku mandah, batinku gelisah
ragaku lelah
Akulah anak kecil yang mencandai boneka lucu
yang menggemaskan, sementara antara lain
terditur dalam ayunan
Dan kau; rajawali luka
bersabung dengan angan-anang
tentang bidadari meniti pelangi
lalu kau ikuti mereka terbang ke nirwana
tak kau ingat zarah yang netes di kaki
dinginnya tusuki sanubari
amisnya adalah polusi yang cemari mega
keruhkan wajah langit
hingga jagakan malaikat, tergelincir
di tangga langit
Wahai, ada Tanya yang tetap amenggumpal
tak juga mencairi hati;
kau hadir
di tatapmu ada luka
obat itu,k adakah di muara anganmu?
Karangmalang, 19041990
TERMINAL
Jeritan aspal di jalanan hati yang
meleleh terpanggang matahari itu
tak kunjung sisan gema di telingaku
karma jatuh di palung hati ada jerit senada
yang lebih mengenaskan
Jantungku terinjak keterasingan
oleh ada apa apa karma apa
dari siapa untuk siapa
tak bisa kuduga
Dan kegerahan yang jilati sukmaku
tak purna terwartakan oleh peluh
berlebihan genangi telaga hati
Jendela usang di sisi tangga berlumutan
malas merekam makian
Jika kursi di beranda masih berlumuran
oleh segala kemungkinan
Aku menunggu aku
Karangmalang, 31 Mei 1990
ANDAI SAJA
Di senja yang kenes berpesta warna itu
Dia mengetuk pintu
kamarku yang kelabu
Ketika kutanya untuk apa,
dia menjawab tapi
Dia mulai cerita panjangnya:
tentang kedatangannya dari surga
setelah mengusir Jibril yang mencoba
halangi ia turun ke bumi
Wahai, andai dia kekasihku, kau kucatat
mimpi-mimpi indahku tujuhpuluh dua purnama
bersamanya
Di batas subuh, saat pilar-pilar malam perlahan-lahan runtuh
kueja lagi namanya, di lengkung tangga cakrawala
saat ragaku terjaga, kutemukan sumanya
melekat di selmut malamku
Ketika malam lebaran dia dating lagi
berkemeja hitam tua yang sama
hanya saja, dia tak lagi sendiri"
ada kegelisahan yang mengikutinya
Saat kutanya ada apa, dia menjawab tapi
Lalu dia bercerita tentang tujuhpukuh dua matahari
yang bergantian memegangi
(Ah, andai saja dia, pasti aku)
Karangmalang, 1 Mei 1990
SIANG ITU, ADA LUKA DI TATAPMU
Siang itu kau memakai baji biru
di tatapmu ada luka
dan langit yang renta sengaja berbaik hati
menyimpan kegelisahanmu yang mulai karatan itu
di antara menga-mega yang menggulung diri menjadi mendung
lalu menangkarkannya dengan guratan panjang
menjingga di cakrawala
Siang itu kau laburi langit hatiku
dengan warna biru muda
sukmaku mandah, batinku gelisah
ragaku lelah
Akulah anak kecil yang mencandai boneka lucu
yang menggemaskan, sementara antara lain
terditur dalam ayunan
Dan kau; rajawali luka
bersabung dengan angan-anang
tentang bidadari meniti pelangi
lalu kau ikuti mereka terbang ke nirwana
tak kau ingat zarah yang netes di kaki
dinginnya tusuki sanubari
amisnya adalah polusi yang cemari mega
keruhkan wajah langit
hingga jagakan malaikat, tergelincir
di tangga langit
Wahai, ada Tanya yang tetap amenggumpal
tak juga mencairi hati;
kau hadir
di tatapmu ada luka
obat itu,k adakah di muara anganmu?
Karangmalang, 19041990
TERMINAL
Jeritan aspal di jalanan hati yang
meleleh terpanggang matahari itu
tak kunjung sisan gema di telingaku
karma jatuh di palung hati ada jerit senada
yang lebih mengenaskan
Jantungku terinjak keterasingan
oleh ada apa apa karma apa
dari siapa untuk siapa
tak bisa kuduga
Dan kegerahan yang jilati sukmaku
tak purna terwartakan oleh peluh
berlebihan genangi telaga hati
Jendela usang di sisi tangga berlumutan
malas merekam makian
Jika kursi di beranda masih berlumuran
oleh segala kemungkinan
Aku menunggu aku
Karangmalang, 31 Mei 1990
ANDAI SAJA
Di senja yang kenes berpesta warna itu
Dia mengetuk pintu
kamarku yang kelabu
Ketika kutanya untuk apa,
dia menjawab tapi
Dia mulai cerita panjangnya:
tentang kedatangannya dari surga
setelah mengusir Jibril yang mencoba
halangi ia turun ke bumi
Wahai, andai dia kekasihku, kau kucatat
mimpi-mimpi indahku tujuhpuluh dua purnama
bersamanya
Di batas subuh, saat pilar-pilar malam perlahan-lahan runtuh
kueja lagi namanya, di lengkung tangga cakrawala
saat ragaku terjaga, kutemukan sumanya
melekat di selmut malamku
Ketika malam lebaran dia dating lagi
berkemeja hitam tua yang sama
hanya saja, dia tak lagi sendiri"
ada kegelisahan yang mengikutinya
Saat kutanya ada apa, dia menjawab tapi
Lalu dia bercerita tentang tujuhpukuh dua matahari
yang bergantian memegangi
(Ah, andai saja dia, pasti aku)
Karangmalang, 1 Mei 1990
Puisi-Puisi Linus Suryadi AG
http://sastrakarta.multiply.com/
ELEGI
Akulah tongkang sendirian
Perahu di tengah lautan
Sunsang menampung malang
Rambu-rambu dunia lataku
Mendayungkan tiang tenggelam
Meraih letih, o, gelombang
Lautan suara sibuk
Dalam diri memburu
Memburu yang kehilangan
1971
ALIBI
Antara ayat-ayat suci
Engkau pun mencari
Halaman yang hilang
(anak kecil mengejar bayang-bayang)
kapan cuaca tiba
meredakan gemuruh kedirian
berterompah impian
(di sisi kesepian)
ada pun sesuatu
derasnya topan
derunya rindu
dendam kekecewaan
1971
LAGU TENTANG SEORANG PENGGESEK REBAB
3000 gesekan lebih perih dari 3000 rajaman
3000 sayatan lebih pedih dari 3000 tikaman
mijil diulang-ulang. Tembang sedih; kenapa
mencapai kelembutan harus lewat kekerasan?
Sampai teriakan menjelma menjadi bisikan
Sampai kekakuan menjelma menjadi keluwesan
Sampai luluh derita. Sampai lebur di badan
Sampai tumbuh dan berbuah kebijksanaan!
1981
ELEGI
Akulah tongkang sendirian
Perahu di tengah lautan
Sunsang menampung malang
Rambu-rambu dunia lataku
Mendayungkan tiang tenggelam
Meraih letih, o, gelombang
Lautan suara sibuk
Dalam diri memburu
Memburu yang kehilangan
1971
ALIBI
Antara ayat-ayat suci
Engkau pun mencari
Halaman yang hilang
(anak kecil mengejar bayang-bayang)
kapan cuaca tiba
meredakan gemuruh kedirian
berterompah impian
(di sisi kesepian)
ada pun sesuatu
derasnya topan
derunya rindu
dendam kekecewaan
1971
LAGU TENTANG SEORANG PENGGESEK REBAB
3000 gesekan lebih perih dari 3000 rajaman
3000 sayatan lebih pedih dari 3000 tikaman
mijil diulang-ulang. Tembang sedih; kenapa
mencapai kelembutan harus lewat kekerasan?
Sampai teriakan menjelma menjadi bisikan
Sampai kekakuan menjelma menjadi keluwesan
Sampai luluh derita. Sampai lebur di badan
Sampai tumbuh dan berbuah kebijksanaan!
1981
Puisi-Puisi Akhmad Muhaimin Azzet
http://sastrakarta.multiply.com/
MENGANTAR MANUSIAKU
hari ini, aku mengantar manusiaku pergi
meninggalkan gerimis di perbukitan yang biru
selamat tinggal, duhai, lembah dan ngarai
juga jurang-jurang tempat indah menunggu
lorong-lorong kota akhirnya kusinggahi
ada yang bergetar, dari kabel dan televisi
manusiaku terpaku dibawah menara negri
ada yang mau runtuh, saat segalanya tergadai
hari ini, aku mengantar manusiaku pergi
bersama angin yang membadai di kepalaku
sebab langkah semakin ingin kembali
memunguti jejak yang kabur dari jantungku
Yogyakarta, 2006
DI LERENG MERAPI
asap tebal yang membumbung itu
mengarah ke utara
sementara aku menatap ke selatan
guguran lava menggetarkan jiwa
tetapi aku hanya terpaku
dalam pesona awan bergumpalan
--zet, sudah saatnya mengungsi
ke mana engkau menyelamatkan diri
namun kaki ini kaku, jiwa pun kelu
Yogyakarta, 2006
SEHARI SAJA
walau sehari saja aku menjadi sungai
sepanjang dada ini terasa tak lagi beruang
batu dan pasir betapa berhimpitan
dalam cairan limbah yang kian menghitam
ikan-ikan yang berenang di air mataku
lihatlah, bersusah payah bertahan
dari aroma busuk yang berhamburan
di antara kaleng bekas dan plastik
yang berserakan, timbul dan tenggelam
walau sehari saja aku menjadi sungai
sepanjang ususku terasa dialiri tembaga
yang membara di pertambangan celaka
tak sekadar mual atau ingin memuntah
sungguh nyeri melilit tiada lagi tara
Yogyakarta, 2006
RUMAH YANG GADUH
huruf demi huruf yang kita susun berloncatan
dari pintu ke pintu, mengusik kesunyian
tak pandang waktu terus menderu-deru
mengalahkan iklan televisi yang berputaran
demikianlah, rumah yang kita bangun
betapa gaduh tak berkesudahan
bagai gerbong tua melaju di atas makadam
yang bergemuruh tiada beraturan
selalu saja ada suara melebihi teriakan
persis letupan panas yel para demonstran
yang diprovokasi teriknya siang
lalu melemparkan ke seluruh ruang
Yogyakarta, 2006
05.53.57 WIB
masihkah engkau bertanya suara apakah itu
yang bergemuruh, ya betapa bergemuruh
lantas kita berlarian sungguh dalam ketakutan
sambil menggumamkan doa yang berloncatan
gemuruh itu seperti sepasukan entah bersautan
menjadikan seruang dada nyeri dan tertikam
sebab pagi baru saja menggeliat dalam hangat
jendela rumah masih tersisa deritnya usai dibuka
dan tanpa mengetuk pintu, bumi sontak guncang
semuanya mendadak melayang dan berjatuhan
Yogyakarta, 2006
MENGANTAR MANUSIAKU
hari ini, aku mengantar manusiaku pergi
meninggalkan gerimis di perbukitan yang biru
selamat tinggal, duhai, lembah dan ngarai
juga jurang-jurang tempat indah menunggu
lorong-lorong kota akhirnya kusinggahi
ada yang bergetar, dari kabel dan televisi
manusiaku terpaku dibawah menara negri
ada yang mau runtuh, saat segalanya tergadai
hari ini, aku mengantar manusiaku pergi
bersama angin yang membadai di kepalaku
sebab langkah semakin ingin kembali
memunguti jejak yang kabur dari jantungku
Yogyakarta, 2006
DI LERENG MERAPI
asap tebal yang membumbung itu
mengarah ke utara
sementara aku menatap ke selatan
guguran lava menggetarkan jiwa
tetapi aku hanya terpaku
dalam pesona awan bergumpalan
--zet, sudah saatnya mengungsi
ke mana engkau menyelamatkan diri
namun kaki ini kaku, jiwa pun kelu
Yogyakarta, 2006
SEHARI SAJA
walau sehari saja aku menjadi sungai
sepanjang dada ini terasa tak lagi beruang
batu dan pasir betapa berhimpitan
dalam cairan limbah yang kian menghitam
ikan-ikan yang berenang di air mataku
lihatlah, bersusah payah bertahan
dari aroma busuk yang berhamburan
di antara kaleng bekas dan plastik
yang berserakan, timbul dan tenggelam
walau sehari saja aku menjadi sungai
sepanjang ususku terasa dialiri tembaga
yang membara di pertambangan celaka
tak sekadar mual atau ingin memuntah
sungguh nyeri melilit tiada lagi tara
Yogyakarta, 2006
RUMAH YANG GADUH
huruf demi huruf yang kita susun berloncatan
dari pintu ke pintu, mengusik kesunyian
tak pandang waktu terus menderu-deru
mengalahkan iklan televisi yang berputaran
demikianlah, rumah yang kita bangun
betapa gaduh tak berkesudahan
bagai gerbong tua melaju di atas makadam
yang bergemuruh tiada beraturan
selalu saja ada suara melebihi teriakan
persis letupan panas yel para demonstran
yang diprovokasi teriknya siang
lalu melemparkan ke seluruh ruang
Yogyakarta, 2006
05.53.57 WIB
masihkah engkau bertanya suara apakah itu
yang bergemuruh, ya betapa bergemuruh
lantas kita berlarian sungguh dalam ketakutan
sambil menggumamkan doa yang berloncatan
gemuruh itu seperti sepasukan entah bersautan
menjadikan seruang dada nyeri dan tertikam
sebab pagi baru saja menggeliat dalam hangat
jendela rumah masih tersisa deritnya usai dibuka
dan tanpa mengetuk pintu, bumi sontak guncang
semuanya mendadak melayang dan berjatuhan
Yogyakarta, 2006
Puisi-Puisi Thowaf Zuharon
http://sastrakarta.multiply.com/
Sebuah Panggung Bernama Lampung
dalam sandiwara kali ini
beribu peladang
seketika menjelma budak kongsi dagang
beribu kapal asing memangsa gembur suburku
mengganti lada dengan hunjam desing peluru
tubuhku susut dipagut serdadu bermata biru
murka Eropa kira-kira tiga abad lalu
aku dulu punggung yang berdebu
riwayat sakit bertabur mayat di dadaku
pada berjuta tubuh kanak
jutaan inggu dikalungkan
agar kematian raib dari ingatan
dalam hamparan kesedihan yang perpalung
aku belajar mengenal kembali
angka dan angkara
pada pukau parau Ranau yang seperti angka nol
pada nyeri sunyi yang selalu mengincar puisi
ruhku memudar dalam panorama
yang menandaskan getar dan getir tak terhingga
aku mencoba menyusun melodi
dalam babak tragedi tanah ini
tapi semua ruang telah bising denting terapang
yang beradu dalam karnaval seteru
aku seperti pandawa kalah dadu
Kalianda menjelma Kurusetra
anyir darah sedalam telaga, jasad pun membukit
ingin kuabadikan semua itu dalam lagu kelabu
dengan talo balak kesayanganku
tapi tetap tak ada nada yang bisa mengada
hingga aku hanya bisa mendekap
yang fana dan yang baka
dalam tawa dan air mata
beribu adegan berlumur tangisan
penantian dan harapan tumpas
secepat dengan napas
segala alur seperti dimainkan mundur
segala renung tergulung dalam panggung
yang dirayakan ribuan peran
entah sampai kapan
meski sangkala akan mendera
belum tentu ada iringan nada
di ujung pertunjukan karena epilog tak kunjung dimainkan
Agustus 2006
Catatan:
Inggu: Kalung untuk anak yang ditinggal mati orang tuanya. Dalam mitologi rakyat Lampung di jaman dahulu, kalung dari India ini dimaksudkan agar anak yang ditinggal mati tidak menangis mencari orang tuanya.
Terapang: Senjata tradisional masyarakat Lampung
Talo balak: Alat musik tradisional masyarakat Lampung
Ranau: Nama danau terbesar di Lampung
Maut Menyemut di Beirut
saat tersuruk dalam reruntuh di sudut Beirut
masih bisa kudengar hirup terakhir
nafas bocah yang masih sempat
merekam isak sebuah kota,
serta muram dentum meriam.
sebuah kota yang telah dibisukan
oleh seribu serangan
angin menjadi begitu mungkin di Lebanon
meniupkan talking yang penuh pertanyaan dan jawaban
Baldatun Thoyibatun yang selalu menjadi mimpi,
seketika lesap ke perut bumi
atau hanya akan tercatat
dalam lembar baru ensiklopedi
maut semakin menyemut di Beirut
lalu lantang kuseru:
Umar! Wahai anak si Khatab!
sang Khalifah jaman nabi
kuingin sosokmu dulu
menitis dalam Beirut yang banjir peluru
tapi aku hampir pingsan melihat
Umar bangkit dari kuburnya
kulihat Umar menatap gurun bersama kilat pedangnya
begitu haus darah serdadu Tel Aviv,
ia mengungkap prahara,
merajam dusta adi kuasa yang tak pernah usai
memeras air mata para jelata
singa padang pasir meradang garang
di atas tank pemberian rasulnya
(diam-diam Dajjal mengincarnya dari Bermuda)
saat kutanya kenapa ia mau bangkit dari kuburnya,
begitu angkuh dijawabnya,
Umar begitu cemas,
jika Dajjal sampai tak membiarkan
tumbuh lagi ayat dan doa.
"Di ladang perang,
nyawa gampang remuk bagai kerupuk!" tandasnya getas.
di belakang Umar,
sekompi hezbullah sibuk melipat waktu
tak bisa sedikitpun tertawa
meski digelitiki tangan-tangan murka
Belajar Menjadi Sepatu
ujung tahun delapan, bulan berlumur tamu
aku demikian curam
terhujam tanduk banteng
di tiga Senin
meski ngilu masih menganga
tetap kusambut pula sobatku benalu
ke Jogja ia bertamu
tersebab berkah kata-kata
merengkuh Jogja, menukil mijil
di Kedaton Palawija
berikut secabik roman di dalamnya.
seketika tersusun ritus penghormatan
aku lesap dalam dasar tubuhnya
belajar menjadi sepatu
tamasya bersama kakinya
suntuk melata ke semua penjuru
diterangi percik kecil korek api
tak merasa ada gigil cuaca mendera
dan kami semakin beririsan
dalam segitiga warung senja
kekal terhimpun!
aku harus menjadi sepatu baginya
karena bunga budi masa lalu
telah tertanam dalam jantungku.
setulus udara, ia menyertaiku
menyatu dalam lembut lanskap Nusa Penida
rekahlah cengkerama kita
semata karena subur kata-kata
hujanlah wahana-wahana berjiwa:
legam senja Tanah Lot, bukit seksi Kintamani,
amis Sanur, denyut Pasar Badung.
riuh transaksi Sukowati, buih lirih Kuta, surga Ubud,
juga sendu tetirah Bedahulu yang terus menggoresiku
telah datang Si Gadang Rantau
dibuntuti aroma bayi dan tembakau
ia semakin berjelaga
semakin hangus oleh kobar kata-katanya sendiri
sekian waktu hanyut dalam Unibu, sesaji bait puisi,
swargaloka pulau dupa menitahkannya kemari
meniti darah leluhurku yang beku
yang enggan mengalir ke tubuhku.
dan sebelum ruh sedingin subuh
aku terus menjadi sepatu
hanya tumbal berdebu
sepanjang langkah membuat rambu
mengantar kaki menanjaki tebing batu
menuntun lelaku gelap berliku
melingkupi tumit dari getir panas pasir
terus bertahan, sama sekali tak takut solku usang!
sebagaimana perangai sepatu, sekadar alas saja,
sepulang kembara sunyi di pantai utara
kening masih kernyit terbelit simpul kekasih
di petilasan Cepuri Parangkusuma
dalih pun kujadikan tanda mata
bagi jejaka bersetubuh risau tak tentu
tanpa pernah dewasa
melulu menderu dalam cinta
cukup berdua saja di paruh Juli
melankoli meletup di kaki Merapi
jalan telah menikung lima kali.
jadi, sepatu ditinggal saja, karena keriut jejaknya
hanya akan mengganggu suci senggama
bukankah Kaliurang dan Kalikuning terlanjur indah sebagi melodi?
maka sepasang harmoni lekaslah menjadi!
hanya setengah windu, rindu mengendap seperti candu
ia mengajakku susup diri
di hutan Mentaok
berburu langsat rusa betina
yang urung ia panah semusim lalu
berderap aku sepatu
kubimbing kakinya menaiki kusa Sumba
ditemani busur dan mata panah Ekalaya
tapi genit geliat rusa bertina
semolek Banowati
sekejap tersingkap di sampingnya
merayunya semata menjelma dadu
dalam meja permainannya
hari semakin perih
lantaran tak kuasa menghidup wangi khuldi
ia lisut dalam lembut langsat rusa betina
angan sedekah diri seteguh Bisma
lalu patahlah busur dan mata panah
malam pun kian meruncing
aku pernah yakin, tamu
adalah obat bagi yang sendiri.
tapi, pada gamang sekarang,
sebagai sepatu yang kian usang.
aku semakin sangsi pada rute tamasya ini
gerimis yang ia janjikan di bulan Juni
telah ia ganti dengan air mata dan daki
alamat telah robek ditingkah seteru.
barangkali kita memang harus beradu
seperti dua gelas yang berdenting
ketika dicuci bersama dalam satu ember kecil
cukupkan saja langkahmu, Juli
tak perlu kau berburu klangenan lagi
jangan kau usangkan dirimu menjadi sepatu, sepertiku!
tak perlu lama menatap sriti senja!
masih ada kutilang di Pasar Ngasem
biarkan saja Sriti senja terus mengepakkan sayapnya
bukankah angin telan menjadi panglimanya yang setia
sehingga ia merasa begitu kokoh di angkasa?
kita hanya perlu mengawetkan derunya
dan merelakan diri menjadi sebiji puisi
terkunci abadi
dalam tipis bayangan Sriti
sebelum kepergiannya hanya untuk menjadi kata
aku memohon padanya:
aku cuma sepatu
selalu ingin sampai di mana saja
tak perlu kau hapus semua alamat
agar kita tak menjadi kawan seteru
aku hanya perlu kau kencangkan tali sepatu
agar loncatanmu sampai di awan baru
ia berlalu
tanpa perlu sepatu
tinggal sebersit kenangan kecil
tentang korek api yang hampir mati
Patehan Kidul, Juli 2007.
Sebuah Panggung Bernama Lampung
dalam sandiwara kali ini
beribu peladang
seketika menjelma budak kongsi dagang
beribu kapal asing memangsa gembur suburku
mengganti lada dengan hunjam desing peluru
tubuhku susut dipagut serdadu bermata biru
murka Eropa kira-kira tiga abad lalu
aku dulu punggung yang berdebu
riwayat sakit bertabur mayat di dadaku
pada berjuta tubuh kanak
jutaan inggu dikalungkan
agar kematian raib dari ingatan
dalam hamparan kesedihan yang perpalung
aku belajar mengenal kembali
angka dan angkara
pada pukau parau Ranau yang seperti angka nol
pada nyeri sunyi yang selalu mengincar puisi
ruhku memudar dalam panorama
yang menandaskan getar dan getir tak terhingga
aku mencoba menyusun melodi
dalam babak tragedi tanah ini
tapi semua ruang telah bising denting terapang
yang beradu dalam karnaval seteru
aku seperti pandawa kalah dadu
Kalianda menjelma Kurusetra
anyir darah sedalam telaga, jasad pun membukit
ingin kuabadikan semua itu dalam lagu kelabu
dengan talo balak kesayanganku
tapi tetap tak ada nada yang bisa mengada
hingga aku hanya bisa mendekap
yang fana dan yang baka
dalam tawa dan air mata
beribu adegan berlumur tangisan
penantian dan harapan tumpas
secepat dengan napas
segala alur seperti dimainkan mundur
segala renung tergulung dalam panggung
yang dirayakan ribuan peran
entah sampai kapan
meski sangkala akan mendera
belum tentu ada iringan nada
di ujung pertunjukan karena epilog tak kunjung dimainkan
Agustus 2006
Catatan:
Inggu: Kalung untuk anak yang ditinggal mati orang tuanya. Dalam mitologi rakyat Lampung di jaman dahulu, kalung dari India ini dimaksudkan agar anak yang ditinggal mati tidak menangis mencari orang tuanya.
Terapang: Senjata tradisional masyarakat Lampung
Talo balak: Alat musik tradisional masyarakat Lampung
Ranau: Nama danau terbesar di Lampung
Maut Menyemut di Beirut
saat tersuruk dalam reruntuh di sudut Beirut
masih bisa kudengar hirup terakhir
nafas bocah yang masih sempat
merekam isak sebuah kota,
serta muram dentum meriam.
sebuah kota yang telah dibisukan
oleh seribu serangan
angin menjadi begitu mungkin di Lebanon
meniupkan talking yang penuh pertanyaan dan jawaban
Baldatun Thoyibatun yang selalu menjadi mimpi,
seketika lesap ke perut bumi
atau hanya akan tercatat
dalam lembar baru ensiklopedi
maut semakin menyemut di Beirut
lalu lantang kuseru:
Umar! Wahai anak si Khatab!
sang Khalifah jaman nabi
kuingin sosokmu dulu
menitis dalam Beirut yang banjir peluru
tapi aku hampir pingsan melihat
Umar bangkit dari kuburnya
kulihat Umar menatap gurun bersama kilat pedangnya
begitu haus darah serdadu Tel Aviv,
ia mengungkap prahara,
merajam dusta adi kuasa yang tak pernah usai
memeras air mata para jelata
singa padang pasir meradang garang
di atas tank pemberian rasulnya
(diam-diam Dajjal mengincarnya dari Bermuda)
saat kutanya kenapa ia mau bangkit dari kuburnya,
begitu angkuh dijawabnya,
Umar begitu cemas,
jika Dajjal sampai tak membiarkan
tumbuh lagi ayat dan doa.
"Di ladang perang,
nyawa gampang remuk bagai kerupuk!" tandasnya getas.
di belakang Umar,
sekompi hezbullah sibuk melipat waktu
tak bisa sedikitpun tertawa
meski digelitiki tangan-tangan murka
Belajar Menjadi Sepatu
ujung tahun delapan, bulan berlumur tamu
aku demikian curam
terhujam tanduk banteng
di tiga Senin
meski ngilu masih menganga
tetap kusambut pula sobatku benalu
ke Jogja ia bertamu
tersebab berkah kata-kata
merengkuh Jogja, menukil mijil
di Kedaton Palawija
berikut secabik roman di dalamnya.
seketika tersusun ritus penghormatan
aku lesap dalam dasar tubuhnya
belajar menjadi sepatu
tamasya bersama kakinya
suntuk melata ke semua penjuru
diterangi percik kecil korek api
tak merasa ada gigil cuaca mendera
dan kami semakin beririsan
dalam segitiga warung senja
kekal terhimpun!
aku harus menjadi sepatu baginya
karena bunga budi masa lalu
telah tertanam dalam jantungku.
setulus udara, ia menyertaiku
menyatu dalam lembut lanskap Nusa Penida
rekahlah cengkerama kita
semata karena subur kata-kata
hujanlah wahana-wahana berjiwa:
legam senja Tanah Lot, bukit seksi Kintamani,
amis Sanur, denyut Pasar Badung.
riuh transaksi Sukowati, buih lirih Kuta, surga Ubud,
juga sendu tetirah Bedahulu yang terus menggoresiku
telah datang Si Gadang Rantau
dibuntuti aroma bayi dan tembakau
ia semakin berjelaga
semakin hangus oleh kobar kata-katanya sendiri
sekian waktu hanyut dalam Unibu, sesaji bait puisi,
swargaloka pulau dupa menitahkannya kemari
meniti darah leluhurku yang beku
yang enggan mengalir ke tubuhku.
dan sebelum ruh sedingin subuh
aku terus menjadi sepatu
hanya tumbal berdebu
sepanjang langkah membuat rambu
mengantar kaki menanjaki tebing batu
menuntun lelaku gelap berliku
melingkupi tumit dari getir panas pasir
terus bertahan, sama sekali tak takut solku usang!
sebagaimana perangai sepatu, sekadar alas saja,
sepulang kembara sunyi di pantai utara
kening masih kernyit terbelit simpul kekasih
di petilasan Cepuri Parangkusuma
dalih pun kujadikan tanda mata
bagi jejaka bersetubuh risau tak tentu
tanpa pernah dewasa
melulu menderu dalam cinta
cukup berdua saja di paruh Juli
melankoli meletup di kaki Merapi
jalan telah menikung lima kali.
jadi, sepatu ditinggal saja, karena keriut jejaknya
hanya akan mengganggu suci senggama
bukankah Kaliurang dan Kalikuning terlanjur indah sebagi melodi?
maka sepasang harmoni lekaslah menjadi!
hanya setengah windu, rindu mengendap seperti candu
ia mengajakku susup diri
di hutan Mentaok
berburu langsat rusa betina
yang urung ia panah semusim lalu
berderap aku sepatu
kubimbing kakinya menaiki kusa Sumba
ditemani busur dan mata panah Ekalaya
tapi genit geliat rusa bertina
semolek Banowati
sekejap tersingkap di sampingnya
merayunya semata menjelma dadu
dalam meja permainannya
hari semakin perih
lantaran tak kuasa menghidup wangi khuldi
ia lisut dalam lembut langsat rusa betina
angan sedekah diri seteguh Bisma
lalu patahlah busur dan mata panah
malam pun kian meruncing
aku pernah yakin, tamu
adalah obat bagi yang sendiri.
tapi, pada gamang sekarang,
sebagai sepatu yang kian usang.
aku semakin sangsi pada rute tamasya ini
gerimis yang ia janjikan di bulan Juni
telah ia ganti dengan air mata dan daki
alamat telah robek ditingkah seteru.
barangkali kita memang harus beradu
seperti dua gelas yang berdenting
ketika dicuci bersama dalam satu ember kecil
cukupkan saja langkahmu, Juli
tak perlu kau berburu klangenan lagi
jangan kau usangkan dirimu menjadi sepatu, sepertiku!
tak perlu lama menatap sriti senja!
masih ada kutilang di Pasar Ngasem
biarkan saja Sriti senja terus mengepakkan sayapnya
bukankah angin telan menjadi panglimanya yang setia
sehingga ia merasa begitu kokoh di angkasa?
kita hanya perlu mengawetkan derunya
dan merelakan diri menjadi sebiji puisi
terkunci abadi
dalam tipis bayangan Sriti
sebelum kepergiannya hanya untuk menjadi kata
aku memohon padanya:
aku cuma sepatu
selalu ingin sampai di mana saja
tak perlu kau hapus semua alamat
agar kita tak menjadi kawan seteru
aku hanya perlu kau kencangkan tali sepatu
agar loncatanmu sampai di awan baru
ia berlalu
tanpa perlu sepatu
tinggal sebersit kenangan kecil
tentang korek api yang hampir mati
Patehan Kidul, Juli 2007.
Kamis, 22 Januari 2009
Puisi-Puisi Mustofa W Hasyim
http://sastrakarta.multiply.com/j
THE KILLING FIELDS
Angin
memenggal suara-suara
Penari
meledakkan selendang
Terompet
membunuh sisa-sisa jiwa
Nol
bumi terbungkus kata
Pertanyaan
kehilangan langit dan lautnya
Cahaya
menjerat bocah tak berkepala
1995
POTRET KELUARGA
Kursi
tua di halaman
Album
dijilat kolam
Bayi
menangisi puting
Pengantin
berdatangan di tikar
Pohon
bergerilya di kamar tamu
Lukisan
merobek dinding.
1995
ADA YANG MENGANIAYA KUPU
Ada yang menganiaya kupu
pagi hari
Taman
dipersiapkan untuk perang
Luka
dipersiapkan untuk perang
Luka
ditertawakan
Kematian
dikubur kata-kata
Catatan
disembunyikan tulisannya
"Gusti Allah ora sare,"[*])
kata saksi
yang terpenggal jarinya
Kupun menunggu senja
yang menenggelamkan.
1997
ANAK-ANAK BERLIBUR DI KUBURAN
Anak-anak berlibur
di kuburan waktu
Sibuk
dengan tikungan-tikungan
Menjelajahi kerumitan
jaring-jaring keluarga
"Kereta api
disumpal manusia."
"Kota-kota
setengah tidur."
"Taman hanya menjanjikan
sampah dan debu."
"Museum menjadi senjata
untuk mengemas kenangan."
Dendam dilempar
keluar jendela
1998
MASYARAKAT ANJING MELAWAN MATAHARI
Mereka membayangkan
matahari seperti tulang
Waktu dihabiskan
untuk menggonggong
"Enaknya pesta
jika langit runtuh."
Anjing besar
taring besar
Anjing kecil
lidah panjang
Anjing tua
bersenjata mata
"Mari kibarkan sampah
menjadi bendera!"
Barisan panjang
digilas kebosanan
1995
THE KILLING FIELDS
Angin
memenggal suara-suara
Penari
meledakkan selendang
Terompet
membunuh sisa-sisa jiwa
Nol
bumi terbungkus kata
Pertanyaan
kehilangan langit dan lautnya
Cahaya
menjerat bocah tak berkepala
1995
POTRET KELUARGA
Kursi
tua di halaman
Album
dijilat kolam
Bayi
menangisi puting
Pengantin
berdatangan di tikar
Pohon
bergerilya di kamar tamu
Lukisan
merobek dinding.
1995
ADA YANG MENGANIAYA KUPU
Ada yang menganiaya kupu
pagi hari
Taman
dipersiapkan untuk perang
Luka
dipersiapkan untuk perang
Luka
ditertawakan
Kematian
dikubur kata-kata
Catatan
disembunyikan tulisannya
"Gusti Allah ora sare,"[*])
kata saksi
yang terpenggal jarinya
Kupun menunggu senja
yang menenggelamkan.
1997
ANAK-ANAK BERLIBUR DI KUBURAN
Anak-anak berlibur
di kuburan waktu
Sibuk
dengan tikungan-tikungan
Menjelajahi kerumitan
jaring-jaring keluarga
"Kereta api
disumpal manusia."
"Kota-kota
setengah tidur."
"Taman hanya menjanjikan
sampah dan debu."
"Museum menjadi senjata
untuk mengemas kenangan."
Dendam dilempar
keluar jendela
1998
MASYARAKAT ANJING MELAWAN MATAHARI
Mereka membayangkan
matahari seperti tulang
Waktu dihabiskan
untuk menggonggong
"Enaknya pesta
jika langit runtuh."
Anjing besar
taring besar
Anjing kecil
lidah panjang
Anjing tua
bersenjata mata
"Mari kibarkan sampah
menjadi bendera!"
Barisan panjang
digilas kebosanan
1995
Puisi-Puisi Fauzi Absal
http://sastrakarta.multiply.com/
MENGAJARI KUPU-KUPU
Kita benamkan dalam air
Kolam tujuh bidadari mandi
Lalu kita angkat
Kita goreng di bawah terik matahari telanjang
Sampai klojotan
Kita ajari ia
Patah hati
Kita bawa bertamu
Pada sahabat di negeri sukses
Kita remas-remas
Lantas masukkan dalam kulkas
Sementara kita ngoborol tentang kehidupan
Yang hangat penuh kasih lagi mesra
Kita ajari ia menggigil
Kedinginan
Kita seret ke dunia industri
Sementara gusur-menggusur terus belangsung
Kita biarkan kandas hingga kuyub
Biar terolah lalu tertempa lalu tercor
Lalu terbeton
Lalu kita sekolahkan mendalami mata pelajaran dia
Agar terbiasa mengolah jeritan
Hingga sorotan matanya keras dan rasional
Belum, belum selesai
Kita ikat ia dengan benang merah
Pada gema adzan yang membersamai reputasi zaman
Agar terbawa terbang
Ke mana angin bertiup
1996
MELIHAT KUPU-KUPU
hati siapa terkirim lewat kupu-kupu
ia terbang kian kemari di udara wening. sunyi
melintasi pesta bisik
merendah, meninggi, meliuk dan menukik
menari-nari hanya berbekal cahya mentari
sedang cinta kasihnya menunggu di sayap
tak kenal cuaca dan waktu.
ia menggiring siapa mata yang memandang
dalam kelelahan
2007
SUNGAI
di puing-puing di bagu-batu di terjal-terjal
hati terus menetes mengalir
mengulum panas mencumbu dingin di tebing-tebing
memantulkan bulan meredam matahari menegakkan ayat-ayat
hati terus mengalir seperti air rindukan bentuk
menawar hujat menentang debat melawan kantuk
menterjemahkan gertakan dari kerling mata zaman
yang menikam
07
KETIKA MENDUNG BERBAGI RASA
Ada yang senantiasa harus dijaga
dari lambaian negeri orang-orang terhanyut
yang menjauhkan hati dari nurani
nadi dari detak jantungnya.
Sebagaimana semut dan rayap siang malam
memelihara sarangnya, yakni
mimpi-mimpi merpati sepasang menegakkan kedamaian
dalam pondok pagupon mungil di emperan.
Betapapun dihajar panas-dingin gejolak.
Ada yang senantiasa harus dipertahankan
dalam tiada hentinya musim menyenandungkan himne
tangisan alam silih berganti
membuntuti rasa sakit karena ulah oknum
sakit jiwa manusia
07
DALAM TIDUR SIANGKU
Jalan raya inilah usus besarku.
Denyut nadi dan suara-suara ambisi
berawal dari diriku sendiri bermuara
ke dalam diriku sendiri.
Aku bercakap-cakap mabuk impian sampai dini hari
memeras hati katak untuk
sampai ke dalam diriku sendiri.
Aku berjumpa seorang kyai
wajahnya setampan emas murni
dalam himpitan brosur suatu negeri
aku bagai loyang menggigil dalam auranya
surgaku telah ambyar menjadi kota besar.
Aku bersua seorang pastur
doanya bagai kapas putih membubung ke langit biru
"tapi aku tidak mengaku dosa"
dosaku sekujur tubuh telah meleleh jadi peradaban
dunia.
Aku bertemu seorang panglima perang yang gagah perkasa
camkan diriku sendiri "aku bukan kau"
senjataku telah berbalik menhunjam jantungku
aku kalah oleh diriku sendiri.
Aku berkenalan dengan seorang penyair pemuja perdamaian
"bukan kau", jiwaku sudah jadi medan sengketa
realita guna merebut diriku sendiri
dari manipulasi nilai dan harga.
Aku gila aku geli gula-gula dunia
seperti gelandangan berkembang cakar-cakarnya
Melewati jalan raya maha panjang ini
seraya menertibkan kegalauan, ada tanda-tanda
aku bukan siapa saja.
Bila ada orang tertawa seperti dendeng diiris-iris
tukan masak, jangan ragu-ragu: itulah aku
penyair praktis dari dunia pragmatis.
Sukmaku menggeliat dari perut ular naga yang kronis.
Aku tendang kata-kata rayuan gombal seperti bola kaca
atau gelas piala yang diperebutkan hingga pecah
berantakan.
Aku berangkat dari fatamorgana satu ke fatamorgana lain
hanya beringsut dari nol min ke nol plus.
Sudahkah kalian baca?
Hidup ini semakin karikatur semata.
Aku berikan diriku sepenuh hati, lalu kukuras kembali.
Jangan bicara tentang musyawarah denganku
selama aku masih merasa kekurangan
nanti bisa kurampok hak-milikmu.
Hidup ini karikatur semata.
Aku-kau jadi tertawaan para ahli kubur.
Sudahkah kalian bosan merasakan?
Aku-kau dipersatukan dalam ukuran-ukuran yang semakin
mahal menggelisahkan.
Camkan!
Dalam tidur siangku sering bermimpi
kalian berbisik-bisik dalam telingaku
bersemangat merusak segala kaidah
karena hubungan teori dan kenyataan
semakin tak masuk dalam perhitungan akalmu
1987-2007
MENGAJARI KUPU-KUPU
Kita benamkan dalam air
Kolam tujuh bidadari mandi
Lalu kita angkat
Kita goreng di bawah terik matahari telanjang
Sampai klojotan
Kita ajari ia
Patah hati
Kita bawa bertamu
Pada sahabat di negeri sukses
Kita remas-remas
Lantas masukkan dalam kulkas
Sementara kita ngoborol tentang kehidupan
Yang hangat penuh kasih lagi mesra
Kita ajari ia menggigil
Kedinginan
Kita seret ke dunia industri
Sementara gusur-menggusur terus belangsung
Kita biarkan kandas hingga kuyub
Biar terolah lalu tertempa lalu tercor
Lalu terbeton
Lalu kita sekolahkan mendalami mata pelajaran dia
Agar terbiasa mengolah jeritan
Hingga sorotan matanya keras dan rasional
Belum, belum selesai
Kita ikat ia dengan benang merah
Pada gema adzan yang membersamai reputasi zaman
Agar terbawa terbang
Ke mana angin bertiup
1996
MELIHAT KUPU-KUPU
hati siapa terkirim lewat kupu-kupu
ia terbang kian kemari di udara wening. sunyi
melintasi pesta bisik
merendah, meninggi, meliuk dan menukik
menari-nari hanya berbekal cahya mentari
sedang cinta kasihnya menunggu di sayap
tak kenal cuaca dan waktu.
ia menggiring siapa mata yang memandang
dalam kelelahan
2007
SUNGAI
di puing-puing di bagu-batu di terjal-terjal
hati terus menetes mengalir
mengulum panas mencumbu dingin di tebing-tebing
memantulkan bulan meredam matahari menegakkan ayat-ayat
hati terus mengalir seperti air rindukan bentuk
menawar hujat menentang debat melawan kantuk
menterjemahkan gertakan dari kerling mata zaman
yang menikam
07
KETIKA MENDUNG BERBAGI RASA
Ada yang senantiasa harus dijaga
dari lambaian negeri orang-orang terhanyut
yang menjauhkan hati dari nurani
nadi dari detak jantungnya.
Sebagaimana semut dan rayap siang malam
memelihara sarangnya, yakni
mimpi-mimpi merpati sepasang menegakkan kedamaian
dalam pondok pagupon mungil di emperan.
Betapapun dihajar panas-dingin gejolak.
Ada yang senantiasa harus dipertahankan
dalam tiada hentinya musim menyenandungkan himne
tangisan alam silih berganti
membuntuti rasa sakit karena ulah oknum
sakit jiwa manusia
07
DALAM TIDUR SIANGKU
Jalan raya inilah usus besarku.
Denyut nadi dan suara-suara ambisi
berawal dari diriku sendiri bermuara
ke dalam diriku sendiri.
Aku bercakap-cakap mabuk impian sampai dini hari
memeras hati katak untuk
sampai ke dalam diriku sendiri.
Aku berjumpa seorang kyai
wajahnya setampan emas murni
dalam himpitan brosur suatu negeri
aku bagai loyang menggigil dalam auranya
surgaku telah ambyar menjadi kota besar.
Aku bersua seorang pastur
doanya bagai kapas putih membubung ke langit biru
"tapi aku tidak mengaku dosa"
dosaku sekujur tubuh telah meleleh jadi peradaban
dunia.
Aku bertemu seorang panglima perang yang gagah perkasa
camkan diriku sendiri "aku bukan kau"
senjataku telah berbalik menhunjam jantungku
aku kalah oleh diriku sendiri.
Aku berkenalan dengan seorang penyair pemuja perdamaian
"bukan kau", jiwaku sudah jadi medan sengketa
realita guna merebut diriku sendiri
dari manipulasi nilai dan harga.
Aku gila aku geli gula-gula dunia
seperti gelandangan berkembang cakar-cakarnya
Melewati jalan raya maha panjang ini
seraya menertibkan kegalauan, ada tanda-tanda
aku bukan siapa saja.
Bila ada orang tertawa seperti dendeng diiris-iris
tukan masak, jangan ragu-ragu: itulah aku
penyair praktis dari dunia pragmatis.
Sukmaku menggeliat dari perut ular naga yang kronis.
Aku tendang kata-kata rayuan gombal seperti bola kaca
atau gelas piala yang diperebutkan hingga pecah
berantakan.
Aku berangkat dari fatamorgana satu ke fatamorgana lain
hanya beringsut dari nol min ke nol plus.
Sudahkah kalian baca?
Hidup ini semakin karikatur semata.
Aku berikan diriku sepenuh hati, lalu kukuras kembali.
Jangan bicara tentang musyawarah denganku
selama aku masih merasa kekurangan
nanti bisa kurampok hak-milikmu.
Hidup ini karikatur semata.
Aku-kau jadi tertawaan para ahli kubur.
Sudahkah kalian bosan merasakan?
Aku-kau dipersatukan dalam ukuran-ukuran yang semakin
mahal menggelisahkan.
Camkan!
Dalam tidur siangku sering bermimpi
kalian berbisik-bisik dalam telingaku
bersemangat merusak segala kaidah
karena hubungan teori dan kenyataan
semakin tak masuk dalam perhitungan akalmu
1987-2007
Puisi-Puisi Hari Leo
http://sastrakarta.multiply.com/
MATI WAKTU
Mati
Waktu
Di pundak
langit menghempas
sarat beban
tangis diri dicaci
Anak laut
Jadi takut ombak
anak gunung jadi takut kabut
anak hutan takut arah
anak kini takut mati
Kemana
ibu bisa disebut?
YOGYA 2007
BATU DIAM
Diam
batu ku pahat
wajah manis sepi sendiri
ragu aku menyapa
mimpi berulangkali
bertanya
siapa?
YOGYA 2007
PINTU MATI
Ia ingin pulang
tapi ia sendiri lupa dimana pernah tinggal
jalan jalan yang pernah dilewati
tidak lagi janjikan kapan bakal sampai dan kembali
yang ia ingat hanyalah sungai kecil dengan air bening
membelah jalan menuju pintu mati
itu saja belum cukup bagi dirinya untuk arah pedoman
Ia mati dalam kehidupan
tapi ia tetap hidup dalam kematian
Batu batu adalah singgasana keramat
dinding dinding adalah batas pandang
Ia tinggalkan rumah menuju taman bunga
sebelum ia sampai pada tempat yang dikehendaki
Ia ingin pulang
tapi ia merasa bodoh dalam pijakan
tidak ada lagi matahari yang memancarkan cahaya jingga
bagi hidup dan alam keterasingan
lalu iapun pilih diam
digenggamnya keterbatasan dan keberadaan semu
lalu iapun pilih diam
menimbang ada dalam ketiadaan
Ia ingin pulang
entah sampai kapan?
‘91
NYANYIAN BAGI JIWA
Jangan biarkan
rumah itu kosong begitu saja
isi dengan keinginan atau hasrat yang membara
bila perlu bernyanyilah untuk semesta
suaramu pasti akan sampai di pucuk nurani
menangislah bagi diam dan keraguan
yang selama ini menjeratmu
bagi jaring
menyesakkan
AIRMATA DARAH AIRMATA CINTA
Airmata darah sejuta mata anak-anak lapar
adalah airmata cinta anak-anak bangsa
yang berlari di tepi tembok-tembok sejarah
sambil mengucapkan salam pada dunia
tentang nurani dan jiwa yang terluka
sementara di pinggir-pinggir jalan
para badut menjajakan bangkai tikus
yang dibungkus kain sutera bagai tumbal
kebohongan atas bumi yang merdeka
Airmata darah airmata cinta sejuta mayat
yang diam tertimbun tanah menyebarkan bau wangi
dan orang-orang menghirupnya
menjadi kenangan masa silam
atas perang dan pemberontakan
Airamata darah airmata cinta
meleleh mengaliri sungai-sungai menuju muara
di laut anak-anak berenang mencari butiran emas yang tersisa
‘97
MATI WAKTU
Mati
Waktu
Di pundak
langit menghempas
sarat beban
tangis diri dicaci
Anak laut
Jadi takut ombak
anak gunung jadi takut kabut
anak hutan takut arah
anak kini takut mati
Kemana
ibu bisa disebut?
YOGYA 2007
BATU DIAM
Diam
batu ku pahat
wajah manis sepi sendiri
ragu aku menyapa
mimpi berulangkali
bertanya
siapa?
YOGYA 2007
PINTU MATI
Ia ingin pulang
tapi ia sendiri lupa dimana pernah tinggal
jalan jalan yang pernah dilewati
tidak lagi janjikan kapan bakal sampai dan kembali
yang ia ingat hanyalah sungai kecil dengan air bening
membelah jalan menuju pintu mati
itu saja belum cukup bagi dirinya untuk arah pedoman
Ia mati dalam kehidupan
tapi ia tetap hidup dalam kematian
Batu batu adalah singgasana keramat
dinding dinding adalah batas pandang
Ia tinggalkan rumah menuju taman bunga
sebelum ia sampai pada tempat yang dikehendaki
Ia ingin pulang
tapi ia merasa bodoh dalam pijakan
tidak ada lagi matahari yang memancarkan cahaya jingga
bagi hidup dan alam keterasingan
lalu iapun pilih diam
digenggamnya keterbatasan dan keberadaan semu
lalu iapun pilih diam
menimbang ada dalam ketiadaan
Ia ingin pulang
entah sampai kapan?
‘91
NYANYIAN BAGI JIWA
Jangan biarkan
rumah itu kosong begitu saja
isi dengan keinginan atau hasrat yang membara
bila perlu bernyanyilah untuk semesta
suaramu pasti akan sampai di pucuk nurani
menangislah bagi diam dan keraguan
yang selama ini menjeratmu
bagi jaring
menyesakkan
AIRMATA DARAH AIRMATA CINTA
Airmata darah sejuta mata anak-anak lapar
adalah airmata cinta anak-anak bangsa
yang berlari di tepi tembok-tembok sejarah
sambil mengucapkan salam pada dunia
tentang nurani dan jiwa yang terluka
sementara di pinggir-pinggir jalan
para badut menjajakan bangkai tikus
yang dibungkus kain sutera bagai tumbal
kebohongan atas bumi yang merdeka
Airmata darah airmata cinta sejuta mayat
yang diam tertimbun tanah menyebarkan bau wangi
dan orang-orang menghirupnya
menjadi kenangan masa silam
atas perang dan pemberontakan
Airamata darah airmata cinta
meleleh mengaliri sungai-sungai menuju muara
di laut anak-anak berenang mencari butiran emas yang tersisa
‘97
Puisi-Puisi Iman Budhi Santosa
http://sastrakarta.multiply.com/
CATATAN HARIAN SEORANG SULTAN
Sekian purnama kelelawar-kelelawar menyerbu
ke dalam semadiku. Melati kenanga bersengketa
asap dupa tak berbau, keris tombak berdiri
berontak dari genggaman para abdi
Kemudian remang ada pada tiang, mahkota lusuh
membisu di sudut ruang. “Siapakah engkau
jika istana tinggal bayang-bayang
lalat nyamuk menari di pagelaran
burung-burung gereja bersarang di bubungan?”
Sesekali aku berdiri mencari puncak Merapi
sebelum gerbang terkunci. Sesekali meniti buih
laut selatan, menapaki pasir karang
sambil mengaca, “Aku bukan raja…”
Sebab, tikus mulai ada di kamar pusaka
burung malam seperti mengecam
kota dan tembok benteng yang berseberangan
Sekian musim bercermin pada rumput
pada taman yang berlumut, sisa keraton
tinggal bangunan tua dan rindang pohon.
“Jangan panggil aku Gusti…”
Tapi, mereka nekat ngapurancang di depan cepuri
menunduk pada huruf-huruf Jawa yang tak terbaca
oleh lidah yang lama mengembara
1997
ORANG-ORANG BATIK USIA SENJA
BELAKANG KERATON YOGYAKARTA
Masih dengan hati ia memainkan canting
malam yang bening. Meniupnya sesekali
menusuknya dengan ijuk, membuang karat daki
begitu khusyuk. Kadang bersila, atau bersimpuh
seperti luluh (menitiskan ruh)
janji sehidup semati lirik sidamukti
merawat kawung, kiblat tak pernah suwung
Masih dengan sabar ia melukis prasasti
stupa candi, mawar teratai, sampai kijang
dalam dongeng bahari. “Biarlah jika uban
dan keriput sudah mengunci. Akan kusambung
guratan pujangga, kisah suci Mahabharata
menjadi sari sutera, permadani tanah Jawa.”
Maka, ia tersenyum (kendati leher tanpa kalung)
santun dengan nasib yang terus mengapung
Masih dengan bijak ia merangkak
dari hari ke hari, mori demi mori
tanpa sangsi. “Nanti selimuti tubuhku
dengan kain panjang. Ikat daguku dengan selendang
seperti dulu ketika ditimang
lahir ke bumi
dengan telanjang.”
Kini, aku menunduk. Ngapurancang dan takluk.
Disini masih ada cinta. Masih ada jari
meracik pernik cantik, membatik wajah Srikandi
menatahnya sebagai wasiat di atas kening sendiri
1997
SETANGKAI BUNGA BUAT IBU GURU TK
Dengan mulut mawar hati melati, ia mengajak
anak-anak berdiri, berbaris, menggambar
dan menyanyi. Menyelipkan merpati dan kupu-kupu
ke dalam buku, bersama angka-angka
bilangan demi bilangan yang membuat dunia
terbuka. “Bintang memang jauh, anakku.
Tapi, engkau punya kaki untuk berlari
mata untuk mencari dan tangan untuk menggapai.”
Seperti sinar matahari, ia menguak jeruji
menorobos kisi-kisi. Langkahnya seringan angin
dadanya serupa permadani atau padang rumput
(tak ada kabut, lengkung cakrawala berpaut).
Ia tak menjual madu, janji-janji beledu
ia hanya patut disebut ibu. Ibuku ibumu
karena ribuan anak telah melesat ke angkasa
lewat pundaknya. Tapi, ia tetap di sini
seperti jembatan, menunggu jejak-tapak anak
berlari dan menginjak, yang membuat wangi
nama dan kuburnya kelak
2000
MUSIM KETIGA DI TEPI SUNGAI OYA
Sembilan anak laki perempuan, telanjang
menyerupai anggang-anggang, mencari tempat
mandi, karena air tinggal sebatas mata kaki.
Seperti iba dan ingin menjaga
angin dan sepi pun setia menemani
juga derit bambu ori
sehingga hutan
serasa taman Suwelagiri
Ah, akankah sekering lembah ini
hidup mereka nanti, meskipun sungai Oya
konon, tak pernah mati?
Sembilan anak laki perempuan, menghitam
ditelan buih muntahan zaman
ketika lubuk tinggal batu
kurun waktu mustahil kembali
mengalir ke hulu
2002
KETIKA BERUMAH PADA ANGIN DAN MATAHARI
Ketika retak mulai jadi bercak
langit selebar tenda, koran kehabisan cerita
pagi engkau kembali tersenyum dengan sepotong cermin tua
karena selain uban dan keriput, tak ada cacat-cela
atau luka membekas pada alis mata
Jadi, adakah yang patut
kita sebut
hidup ini tercerabut?
Sebab, maut bukan bencana, bisik cicak
sambil berdecak melihat rencana-rencana tertunda
karena pundak tangan terus menunggu
sampai tiang bambu pun tak jadi ditegakkan
karena kehabisan tali dan paku.
Tapi, bukankah sedikit air mata
pantas untuk mengenangnya?
Lantaran di kolong dipan sekarang kami bercinta
di bawah rembulan anak-anak mengaji dan membaca
Ketika rumah kembali tanah
angin dan matahari, baju bekas penuh sidik jari
jadi selimut kelambu penuh berkah
liur ludah pun jadi semanis sepah tebu
ketika sumur parit mengering
ketika hidup terpelanting
ke dalam potongan sejarah yang tercetak miring
2006.
CATATAN HARIAN SEORANG SULTAN
Sekian purnama kelelawar-kelelawar menyerbu
ke dalam semadiku. Melati kenanga bersengketa
asap dupa tak berbau, keris tombak berdiri
berontak dari genggaman para abdi
Kemudian remang ada pada tiang, mahkota lusuh
membisu di sudut ruang. “Siapakah engkau
jika istana tinggal bayang-bayang
lalat nyamuk menari di pagelaran
burung-burung gereja bersarang di bubungan?”
Sesekali aku berdiri mencari puncak Merapi
sebelum gerbang terkunci. Sesekali meniti buih
laut selatan, menapaki pasir karang
sambil mengaca, “Aku bukan raja…”
Sebab, tikus mulai ada di kamar pusaka
burung malam seperti mengecam
kota dan tembok benteng yang berseberangan
Sekian musim bercermin pada rumput
pada taman yang berlumut, sisa keraton
tinggal bangunan tua dan rindang pohon.
“Jangan panggil aku Gusti…”
Tapi, mereka nekat ngapurancang di depan cepuri
menunduk pada huruf-huruf Jawa yang tak terbaca
oleh lidah yang lama mengembara
1997
ORANG-ORANG BATIK USIA SENJA
BELAKANG KERATON YOGYAKARTA
Masih dengan hati ia memainkan canting
malam yang bening. Meniupnya sesekali
menusuknya dengan ijuk, membuang karat daki
begitu khusyuk. Kadang bersila, atau bersimpuh
seperti luluh (menitiskan ruh)
janji sehidup semati lirik sidamukti
merawat kawung, kiblat tak pernah suwung
Masih dengan sabar ia melukis prasasti
stupa candi, mawar teratai, sampai kijang
dalam dongeng bahari. “Biarlah jika uban
dan keriput sudah mengunci. Akan kusambung
guratan pujangga, kisah suci Mahabharata
menjadi sari sutera, permadani tanah Jawa.”
Maka, ia tersenyum (kendati leher tanpa kalung)
santun dengan nasib yang terus mengapung
Masih dengan bijak ia merangkak
dari hari ke hari, mori demi mori
tanpa sangsi. “Nanti selimuti tubuhku
dengan kain panjang. Ikat daguku dengan selendang
seperti dulu ketika ditimang
lahir ke bumi
dengan telanjang.”
Kini, aku menunduk. Ngapurancang dan takluk.
Disini masih ada cinta. Masih ada jari
meracik pernik cantik, membatik wajah Srikandi
menatahnya sebagai wasiat di atas kening sendiri
1997
SETANGKAI BUNGA BUAT IBU GURU TK
Dengan mulut mawar hati melati, ia mengajak
anak-anak berdiri, berbaris, menggambar
dan menyanyi. Menyelipkan merpati dan kupu-kupu
ke dalam buku, bersama angka-angka
bilangan demi bilangan yang membuat dunia
terbuka. “Bintang memang jauh, anakku.
Tapi, engkau punya kaki untuk berlari
mata untuk mencari dan tangan untuk menggapai.”
Seperti sinar matahari, ia menguak jeruji
menorobos kisi-kisi. Langkahnya seringan angin
dadanya serupa permadani atau padang rumput
(tak ada kabut, lengkung cakrawala berpaut).
Ia tak menjual madu, janji-janji beledu
ia hanya patut disebut ibu. Ibuku ibumu
karena ribuan anak telah melesat ke angkasa
lewat pundaknya. Tapi, ia tetap di sini
seperti jembatan, menunggu jejak-tapak anak
berlari dan menginjak, yang membuat wangi
nama dan kuburnya kelak
2000
MUSIM KETIGA DI TEPI SUNGAI OYA
Sembilan anak laki perempuan, telanjang
menyerupai anggang-anggang, mencari tempat
mandi, karena air tinggal sebatas mata kaki.
Seperti iba dan ingin menjaga
angin dan sepi pun setia menemani
juga derit bambu ori
sehingga hutan
serasa taman Suwelagiri
Ah, akankah sekering lembah ini
hidup mereka nanti, meskipun sungai Oya
konon, tak pernah mati?
Sembilan anak laki perempuan, menghitam
ditelan buih muntahan zaman
ketika lubuk tinggal batu
kurun waktu mustahil kembali
mengalir ke hulu
2002
KETIKA BERUMAH PADA ANGIN DAN MATAHARI
Ketika retak mulai jadi bercak
langit selebar tenda, koran kehabisan cerita
pagi engkau kembali tersenyum dengan sepotong cermin tua
karena selain uban dan keriput, tak ada cacat-cela
atau luka membekas pada alis mata
Jadi, adakah yang patut
kita sebut
hidup ini tercerabut?
Sebab, maut bukan bencana, bisik cicak
sambil berdecak melihat rencana-rencana tertunda
karena pundak tangan terus menunggu
sampai tiang bambu pun tak jadi ditegakkan
karena kehabisan tali dan paku.
Tapi, bukankah sedikit air mata
pantas untuk mengenangnya?
Lantaran di kolong dipan sekarang kami bercinta
di bawah rembulan anak-anak mengaji dan membaca
Ketika rumah kembali tanah
angin dan matahari, baju bekas penuh sidik jari
jadi selimut kelambu penuh berkah
liur ludah pun jadi semanis sepah tebu
ketika sumur parit mengering
ketika hidup terpelanting
ke dalam potongan sejarah yang tercetak miring
2006.
Rabu, 21 Januari 2009
Puisi-Puisi S Yoga
http://jurnalnasional.com/
http://syoga.blogspot.com/
LILIN
telah kumusnahkan tubuh yang dulu
hingga dapat kuciptakan bayangan baru
dengan api yang selalu menghabiskan
kepercayaan kepercayaanku telah jatuh
ke dalam jurang jurang malam
pada langit yang tak pernah kujangkau
kuharap kau merunduk dan menciumku
karena hanya ruang yang dapat kupahami
dengan waktu pun aku telah menjauh
karena hanya akan mengekalkan kesunyian
yang selalu kumusuhi dalam mencari terang
aku hanya bertamsil pada angin yang membisu
di atas meja berplitur yang menggoda
debu debu telah bersetubuh dengan waktu
mengincarku dengan bidikan lumpur
agar aku runtuh dalam lobang yang sama
lobang yang pernah kugali saat kejatuhan dulu
saat aku membenci warna yang menyilaukan
ketika aku menyihir bayang bayang
dari kenikmatan kenikmatan dunia
di atas penderitaanmu
memang kebahagiaan yang selalu kucari
dengan api yang menerangi kegelapan
sebelum tubuh habis dilalapnya
***
IKAN
bukan aku yang ingin mendustai
sisik sisik ini bukti keremajaanku
meski telah kutempuh berpuluh lautan
jurang, palung dan kapal karam
yang selalu menggoda adalah waktu
yang tak pernah mau menunjukkan arah
hingga cahaya lautan tak dapat kutaklukkan
maka terimalah aku sebagai kepunyaanmu
bila belum dengan apa aku harus datang padamu
akan kuberikan jika kau minta seluruh harta di laut
namun kau hanya mengirimkan isyarat ombak
yang kuterjemahkan dalam ibadah
bahwa keikhlasanku belum sampai batas
kugali lagi darah air agar dapat menjadi bukti
bahwa aku pernah sampai di palung terdalam
untaian untaian mutiara ini buktinya
yang telah kuraih dari mulut tiram yang karam
istana dan kerajaan lautan pun pernah kusinggahi
namun tak kutemukan kau di singgasana
hanya ada jerangkong kosong bermahkota lumut
telah kusihir beribu kuda laut agar takluk
namun desirmu telah menggagalkan semua rencana
padahal pasir pasir telah berjamaah bersamaku
agar selalu setia menemani dalam kesepian
agar selalu setia menemani dalam kegelapan
akan kutunggu dan kujebak kedatanganmu
kusiapkan perangkat doa agar kau menerimaku
sebelum matahari mengeringkan lautan
***
TULANG
telah kuterima nasihatmu wahai sang malam
agar aku tabah menerima semua ini
menerima kepurbaan yang terus melapuk
menerima lumpur yang terus menyembur
darah atau lumpur tak pernah kuingat benar
ke dalam pori pori yang tak pernah berkuasa
bukan aku menolak tapi isyarat malam terus menatap
karena matahati telah terkubur di jantung nafsu
dan sumsum hidup telah terhisap ke dalam lambung
aku tak ingin melukai hatimu yang rapuh
dan tak ingin menyempurnakan kefanaanmu
setiap hari aku hanya bercermin pada labirin waktu
yang kuterjemahkan sebagai tugu kesunyian
sebelum kebangkitan cahaya yang pertama
arwahmu telah memintaku untuk kembali
namun aku masih sabar menghadapi kegelapan
***
AKIK
telah kuserap semua cahaya yang kukenal
ke dalam diri yang gelap gulita
agar raga dapat kau lihat dengan kemilau
agar kesempurnaan bukan lagi kemustahilan
apa gunanya bertapa di dalam gua
bila batu batu tetap menyertai
tubuh begitu berat sebelum terbasuh dalam air
rasa yang tak pernah kujumpa sebelum kejatuhan
langkah besarku menjadi begitu bebal dan gagal
bila kusidik dari jemari tangan yang hening
gerinda telah membuatku mahir memainkan peran
menggosok tubuh hingga mengilap
jasad yang sebentar tampak indah
lumpur lumpur telah kutaklukkan dalam air bening
telah kusuling menjadi kristal kristal cahaya
sebelum musuh musuhku membuatku lebih berharga
batu mulia kau sebut ragaku yang baru
namun aku undur dalam kata kata mutiara
sebelum para aulia
mempercayai
***
MATA
kubenamkan matahati di air hening
ketika subuh mengutusku ke dalam sepi
kubuka jendela dan matahari menghampiri
sisiknya bergelantungan di janggut pepohonan
berkilauan diiringi cericit burung pipit
dengan api pagi kuambil jaketku yang lusuh
siap berangkat bertarung dengan waktu
mataku kini memang sunyi di bawah tatapanmu
tapi percayalah dendam telah kusimpan rapi
di almari hati yang luka oleh kenangan
sebenarnya enggan aku menatap sebening telaga
karena cahaya hanya memantul di permukaan air
ingin aku tenggelam selamanya di dasar kolam
agar raga berlumut dan menebal dalam warna kelam
agar diri terhindar dari gelombang cahaya
telah kusidik luas dan panjang palungmu
dengan mata yang hampir buta karena luasmu
tak mampu kujangkau dan kuukur kekufuran ini
sedang jejak jejak yang pernah tertinggal
hanya samar dan hampir terhapus kitab waktu
batu dan ilalang telah kujinakkan
dalam rumah doa dan savana
agar ia tabah dalam mencari mata sejati
yang berwajah kesunyian
***
http://syoga.blogspot.com/
LILIN
telah kumusnahkan tubuh yang dulu
hingga dapat kuciptakan bayangan baru
dengan api yang selalu menghabiskan
kepercayaan kepercayaanku telah jatuh
ke dalam jurang jurang malam
pada langit yang tak pernah kujangkau
kuharap kau merunduk dan menciumku
karena hanya ruang yang dapat kupahami
dengan waktu pun aku telah menjauh
karena hanya akan mengekalkan kesunyian
yang selalu kumusuhi dalam mencari terang
aku hanya bertamsil pada angin yang membisu
di atas meja berplitur yang menggoda
debu debu telah bersetubuh dengan waktu
mengincarku dengan bidikan lumpur
agar aku runtuh dalam lobang yang sama
lobang yang pernah kugali saat kejatuhan dulu
saat aku membenci warna yang menyilaukan
ketika aku menyihir bayang bayang
dari kenikmatan kenikmatan dunia
di atas penderitaanmu
memang kebahagiaan yang selalu kucari
dengan api yang menerangi kegelapan
sebelum tubuh habis dilalapnya
***
IKAN
bukan aku yang ingin mendustai
sisik sisik ini bukti keremajaanku
meski telah kutempuh berpuluh lautan
jurang, palung dan kapal karam
yang selalu menggoda adalah waktu
yang tak pernah mau menunjukkan arah
hingga cahaya lautan tak dapat kutaklukkan
maka terimalah aku sebagai kepunyaanmu
bila belum dengan apa aku harus datang padamu
akan kuberikan jika kau minta seluruh harta di laut
namun kau hanya mengirimkan isyarat ombak
yang kuterjemahkan dalam ibadah
bahwa keikhlasanku belum sampai batas
kugali lagi darah air agar dapat menjadi bukti
bahwa aku pernah sampai di palung terdalam
untaian untaian mutiara ini buktinya
yang telah kuraih dari mulut tiram yang karam
istana dan kerajaan lautan pun pernah kusinggahi
namun tak kutemukan kau di singgasana
hanya ada jerangkong kosong bermahkota lumut
telah kusihir beribu kuda laut agar takluk
namun desirmu telah menggagalkan semua rencana
padahal pasir pasir telah berjamaah bersamaku
agar selalu setia menemani dalam kesepian
agar selalu setia menemani dalam kegelapan
akan kutunggu dan kujebak kedatanganmu
kusiapkan perangkat doa agar kau menerimaku
sebelum matahari mengeringkan lautan
***
TULANG
telah kuterima nasihatmu wahai sang malam
agar aku tabah menerima semua ini
menerima kepurbaan yang terus melapuk
menerima lumpur yang terus menyembur
darah atau lumpur tak pernah kuingat benar
ke dalam pori pori yang tak pernah berkuasa
bukan aku menolak tapi isyarat malam terus menatap
karena matahati telah terkubur di jantung nafsu
dan sumsum hidup telah terhisap ke dalam lambung
aku tak ingin melukai hatimu yang rapuh
dan tak ingin menyempurnakan kefanaanmu
setiap hari aku hanya bercermin pada labirin waktu
yang kuterjemahkan sebagai tugu kesunyian
sebelum kebangkitan cahaya yang pertama
arwahmu telah memintaku untuk kembali
namun aku masih sabar menghadapi kegelapan
***
AKIK
telah kuserap semua cahaya yang kukenal
ke dalam diri yang gelap gulita
agar raga dapat kau lihat dengan kemilau
agar kesempurnaan bukan lagi kemustahilan
apa gunanya bertapa di dalam gua
bila batu batu tetap menyertai
tubuh begitu berat sebelum terbasuh dalam air
rasa yang tak pernah kujumpa sebelum kejatuhan
langkah besarku menjadi begitu bebal dan gagal
bila kusidik dari jemari tangan yang hening
gerinda telah membuatku mahir memainkan peran
menggosok tubuh hingga mengilap
jasad yang sebentar tampak indah
lumpur lumpur telah kutaklukkan dalam air bening
telah kusuling menjadi kristal kristal cahaya
sebelum musuh musuhku membuatku lebih berharga
batu mulia kau sebut ragaku yang baru
namun aku undur dalam kata kata mutiara
sebelum para aulia
mempercayai
***
MATA
kubenamkan matahati di air hening
ketika subuh mengutusku ke dalam sepi
kubuka jendela dan matahari menghampiri
sisiknya bergelantungan di janggut pepohonan
berkilauan diiringi cericit burung pipit
dengan api pagi kuambil jaketku yang lusuh
siap berangkat bertarung dengan waktu
mataku kini memang sunyi di bawah tatapanmu
tapi percayalah dendam telah kusimpan rapi
di almari hati yang luka oleh kenangan
sebenarnya enggan aku menatap sebening telaga
karena cahaya hanya memantul di permukaan air
ingin aku tenggelam selamanya di dasar kolam
agar raga berlumut dan menebal dalam warna kelam
agar diri terhindar dari gelombang cahaya
telah kusidik luas dan panjang palungmu
dengan mata yang hampir buta karena luasmu
tak mampu kujangkau dan kuukur kekufuran ini
sedang jejak jejak yang pernah tertinggal
hanya samar dan hampir terhapus kitab waktu
batu dan ilalang telah kujinakkan
dalam rumah doa dan savana
agar ia tabah dalam mencari mata sejati
yang berwajah kesunyian
***
Langganan:
Postingan (Atom)
A. Mustofa Bisri
A'yat Khalili
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Wachid B.S.
Abi N. Bayan
Abidah El Khalieqy
Acep Syahril
Acep Zamzam Noor
Adi Toha
Adrian Balu
AF Denar Daniar
Afrizal Malna
Agus Manaji
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Maltuf Syamsury
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Ala Roa
Aldika Restu Pramuli
Alfatihatus Sholihatunnisa
Alfiyan Harfi
Ali Makhmud
Ali Subhan
Amelia Rachman
Amie Williams
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Andry Deblenk
Anggie Melianna
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Aprinus Salam
Ariandalu S
Arieyoko Ksmb
Arya Winanda
As Adi Muhammad
Asep Sambodja
Atrap S. Munir
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Badaruddin Amir
Bakdi Sumanto
Bambang Darto
Bambang Kempling
Bambang Widiatmoko
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Bernando J. Sudjibto
Bernard S. Y. Batubara
Binhad Nurrohmat
Budhi Setyawan
Budi Palopo
Bustan Basir Maras
Chairul Abhsar
Chavchay Saifullah
Cut Nanda A.
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Afriady
Dadang Ari Murtono
Daisy Priyanti
Daysi Priyanti
Dea Anugrah
Dea Ayu Ragilia
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Desti Fatin Fauziyyah
Dewi Kartika
Dharmadi
Diah Budiana
Diah Hadaning
Dian Hartati
Didik Komaidi
Dimas Arika Mihardja
Djoko Saryono
Dody Kristianto
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Edy Lyrisacra
Effendi Danata
Eimond Esya
Eka Budianta
Eko Hendri Saiful
Eko Nuryono
El Sahra Mahendra
Ellie R. Noer
Elly Trisnawati
Emha Ainun Nadjib
Endang Supriadi
Endang Susanti Rustamadji
Eny Rose
Eppril Wulaningtyas R
Esha Tegar Putra
Esti Nuryani Kasam
Etik Widya
Evi Idawati
Evi Melyati
Evi Sefiani
Evi Sukaesih
Fadhila Ramadhona
Fahmi Faqih
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Fikri MS
Fina Sato
Firman Wally
Fitrah Anugerah
Frischa Aswarini
Gampang Prawoto
Ghaffur Al-Faqqih
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gunawan Maryanto
Gunoto Saparie
Gus tf Sakai
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hari Leo
Haris del Hakim
Hasan Al Banna
Hasan Aspahani
Hasta Indriyana
Helga Worotitjan
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Maja Kelana
Herlinatiens
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Ibnu Wahyudi
Ikarisma Kusmalina
Ike Ayuwandari
Ilenk Rembulan
Imam S Arizal
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santoso
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indrian Koto
Isbedy Stiawan ZS
Iwan Gunadi
Javed Paul Syatha
Jibna Sudiryo
Johan Khoirul Zaman
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Saputro
Jufri Zaituna
Jusuf AN
Kadek Wara Urwasi
Kadjie Bitheng MM
Kartika Kusworatri
Kedung Darma Romansha
Kika Syafii
Kirana Kejora
Kirdjomuljo
Kurnia Effendi
Kurniawan Junaedhie
Kurniawan Yunianto
Kusprihyanto Namma
Kuswaidi Syafi’ie
L.K. Ara
Lailatul Muniroh
Landung Rusyanto Simatupang
Lela Siti Nurlaila
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Linus Suryadi AG
Liza Wahyuninto
Lubis Grafura
Lutfi Mardiansyah
M. Badrus Alwi
M. Faizi
Maghfur Munif
Maghie Oktavia
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maman S. Mahayana
Maqhia Nisima
Marcellus Nur Basah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marwanto
Mas Marco Kartodikromo
Mashuri
Mathori A. Elwa
Matroni el-Moezany
Maya Mustika K.
Mega Vristian
Miftahul Abrori
Mohammad Yamin
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muntamah Cendani
Mustiar AR
Mustofa W Hasyim
Mutia Sukma
Nadjib Kartapati Z
Nanang Suryadi
Nezar Patria
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Noor Sam
Nunung S. Sutrisno
Nur Iswantara
Nur Lodzi Hady
Nur Wahida Idris
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Pariyo Adi
Pringadi AS
Pringgo HR
Puisi-Puisi Indonesia
Purwadmadi Admadipurwa
Puspita Rose
Putri Sarinande
R. Toto Sugiharto
Rachmat Djoko Pradopo
Raedu Basha
Ragil Suwarno Pragolapati
Rakai Lukman
Rama Prabu
Ramadhan KH
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Ribut Wijoto
Rikard Diku
Robin Al Kautsar
Rozi Kembara
Rudi Hartono
Rusydi Zamzami
S Yoga
Sahaya Santayana
Saiful Bakri
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Selendang Sulaiman
Seli Desmiarti
Sigit Sugito
Sihar Ramses Simatupang
Siska Afriani
Sitok Srengenge
Sitor Situmorang
Slamet Rahardjo Rais
Slamet Widodo
Sosiawan Leak
Sreismitha Wungkul
Sri Harjanto Sahid
Sri Jayantini
Sri Setya Rahayu
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sumargono SN
Suminto A. Sayuti
Sunardi KS
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Sutirman Eka Ardhana
Syifa Aulia
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Triaton
Tengsoe Tjahjono
Tharie Rietha
Thowaf Zuharon
Timur Sinar Suprabana
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Ulfatin Ch
Umbu landu Paranggi
Unieq Awien
Usman Arrumy
W. Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Hidayat
Wahyu Subuh
Warih Wisatsana
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Widi Astuti
Wiji Thukul
Winarni R.
Y. Wibowo
Yonathan Rahardjo
Yosi M Giri
Yudhi Herwibowo
Yudhiono Aprianto
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Yuswan Taufiq
Yuswinardi
Zaenal Faudin
Zainal Arifin Thoha
Zamroni Allief Billah
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae