Sabtu, 22 November 2008

Puisi-Puisi Sri Wintala Achmad

http://www.lampungpost.com/
Menjelang ke Jakarta

Selagi bisa membaca bahasa burung
Saat pagi membangunkan orang-orang
Dari ruang tidur, maka
Dengarkan senandung jiwa
Serenyah kicau segairah kepak
Sebelum belajar menyukuri sisa waktu
Buat berbenah tinggalkan rumah masa kecil
Menuju ladang perburuan
Atas mimpi keliarannya sendiri
Sebagai tangkapan lelaki yang
Pantang kembali

Sanggar Gunung Gamping, 2004-2008



Kepada Penjaga Malam

Dengan bahasa anjing
Telah kaujaga mahkota malam
Berparas purnama bermata safir Maria
Atas para pencuri yang
Mengendap-endap serupa kucing
Menerobos lewat pintu dan jendela rumah
Tak terkunci penghuninya

Sanggar Gunung Gamping, 2004-2008



Sebelum Tidur

Memetik bintang-gemintang
Sebelum dipanen pagi
Bagimu kekasih yang
Berhasrat merangkainya menjadi cinta
Kepada burung bence
:Penjaga mimpi anak-anak
Dari para maling masa depan
Di dalam rumah kita sendiri
Anak-anak adalah matahari yang
Mengisyaratkan aku sebagai nahkoda
Dan kau sebagai pembentang layar
Atas bahasa angin, sebelum
Sampai di dermaga senja
Buat mengistirahkan kapal purba
Dengan bibir serupa bunga bakung yang
Mengembang berkat doa anak-anak kita
Selagi masih jaga
Berdoalah untuk anak-anak
Sebagaimana kau syukuri
Awal persuaan kita
:Seindah puisi yang
Niscaya berakhir tanpa noktah

Sanggar Gunung Gamping, 2005-2008



Kebun Depan Rumah Pagi Hari

Di kebun depan rumah
Kupu-kupu hinggap dari rumput
Ke rumput liar lainnya
:Bercinta melampaui bahasa anjing
Kupu-kupu: kebengalan lelaki yang
Dilahirkan tanpa cinta
Dari rahim ibu ilalang pada musim kemarau
Sesudah berselingkuh dengan rembulan kesepian
Sebagaimana lelaki tuliskan pada setiap sajaknya
Bahwa lapar cintanya, senasib
Sisifus mendorong batu di puncak gunung
Tak pernah terpuaskan oleh rindu-dendamnya sendir

Sanggar Gunung Gamping, 2005-2008



Senja di Kaki Merapi

Sesudah lelaki membentangkan cakrawala
Dan mengoyaknya sendiri, kau
Tersenyum sedingin monster
Berparas bukit senja yang
Meluruhkan kabut di jalan-jalan
Kepadanya, penggali kubur masa silam
Sebagaimana anak-anak
Lelaki pulang ke rumah ibu
Tanpa layang-layang tanpa airmata
Sebab esok bukan sekadar bianglala yang
Menuangkan mimpi di lambung telaga
Melainkan gunung karang terbakar matahari
:Menawarkan puncak pendakian
Sebelum kibar bendera putih
Mengisyaratkan kemenangan maut tanpa nisan

Sanggar Gunung Gamping, 2005-2008

Jumat, 21 November 2008

Puisi-Puisi Eny Rose

http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/
SEHELAI NAFAS

bulan
bunga
malamku runtuh beracun
pada sehelai nafas
beribu jejak ombak turut menitipkan
tembang lautan
pada jiwajiwa yang teringkari
namun gemuruh pagi
masih saja membisik di sela
kepunahan langit
pada karang tak terangkai

engkau
aku
masihkah malam kan membelit
kita pada jaringjaring alam
yang terpekamkan luka?

Lamongan 2008



TAK BERJEJAK

dan hijau bungabunga rumput
yang kau semaikan tepat di jantungku
adalah hiasan tiaptiap nafasku
karena aku hanyalah sekelebat kabut
yang tengah mencari rindu
rindu yang kau kurung dalam ruang hampa
aku yang selalu diburu kesesatan
dan pergulatan waktu
sungguh pada siapa aku memetik
gitar cerita pemujaan roh cintamu?

sedang harihariku dibasahkan kesetiaan
meski harus berakhir tak
berjejak.

Lamongan 2008



SERUAS AKSARA

di tapaktapak kencanamu
kututurkan setitik hati lewat bisikan raga
lewat pergantian wangi musim
juga lukisanlukisan senja
marilah beranjak bebas
seperti anginangin suluh
yang menghampiri peradaban-nya
sejauh jiwa mengepung
malam dari seruas aksara
karnanya kututup saja jendela
usang itu
dari keterlepasan muara
demi nama yang telah runtuh

aku sungguh tak berarah
lentera di kemudi tubuhku sendiri

dan masih saja
kau rangkai kereta dalam bunyian pedang
patahan langit yang mengekalkan luka.

Lamongan 2008



MEMBUKA KANCING GEREJA

jika saja kering malam tak kau biaskan
maka daundaun tak jatuh di tubuhmu

bilakah deruh kias langit
merogoh kekalutan dalam damai
di ujung samudramu
akan kukikis sebait sajak
kala gerimis berbinar dari matamu

biar saja nyanyian itu
dikhusyukan dalam diam
sajaksajakku

tapi
langit ingin hidup
hidup dalam kehidupan itu sendiri
saat hantuhantu paus membuka kancing gereja
dari tidurnya
demi nyawa kebijaksanaan
kuraih namamu disela lebat hujan
yang disalibkan dalam ruhul kudus
tubuhku.

Lamongan 2008



PARADOK BATU BIRU

gadis kecil berlari kecil
memburu gelap kabut
malam yang menyelimuti
tubuhnya
membatu di atas batu
biru yang menganga
luka yang membiru.

Lamongan 2008



PADA MUARA PERSENDIHANKU

ya robb
adakah kau relakan kehadiranku berlinang cambuk
tanpa rupa
tanpa daya
dihujat kecemburuan kawanan anjing
yang kian menegaskan muara matahari
pada aroma bunga diujung rindu
dalam perjamuan para wali cinta-mu

istikharahku
dalam balutan cadar dan mukenah
tak kujumpai air pun dari jerat wudhu
lantas malam sujud itu
tak juga beruluk salam

ya robb
kuatkan aku dalam hajar-mu
atau jika boleh aku meminta
jadikan aku seekor lebah yang elok
dengan sengatnya.

Lamongan 2008



PERCAKAPAN AIR

“maaf aku kira engkau selaput rinduku”
“akulah syair tak tersantun akulah saksi percintaan sepasang persik di kerajaan laut”
“sirnakah engkau diterbangkan angin dari peradaban lautmu ?”
“bacalah aku dalam senandung jejak ombak dan matahari”

lantas kepada keranda sutra aku titipkan payungku
dalam perbendaraan sunyi
dalamlah ia merintih
pada sayu kecantikanmu yang menyalai tiaptiap lilin
disegala ruang istanakau
dalam pelayaran tuhan
mendermaga air di tiap pesta kita
sebab akupun tak mungkin disandarkan pada
kesadaran muaramu.

Lamongan 2008



PADA EMBUN TAK TERANGKAI

rembulan
malamku runtuh beracun
pada sehelai nafas tanpa cahaya

beribu penaku menitipkan
tembang lautan
pada jiwa tak berombak

“aku tak pernah bisa mendustakan-mu”

gemuruh bintang
masih saja membisik
di sela langit penghabisan
pada embun tak terangkai

engkau
aku
masihkah malam kan membelit
kita
pada jaringjaring alam
yang terpekamkan luka.

Lamongan, 2007



SALAMKU BINTANG THARIQ
Bagi: Ustadz Javed

hati
adakah engkau surau putih pada jiwa tak terukur
bagi warna pagi

tak hidupkah
tak tumbuh
mati dan terjatuh

pada sejenak jiwa
kutitipkan sebait salam untuk-mu
lewat bintangbintang thariq
“aku merindukan-mu
pada selepas angin pertemuan
dan perjalanan malam yang tak berjilid
di balik syairsyairku”

di ujung perjamuan cinta ini
adalah pesona kasih segala kekasih

bilakah tangan sunyi telah menyulam
dalam garis doa yang terhijab.

Lamongan, 2007



GALERI PUISI
- jps

kekasih
apakah yang selama ini kau cari dengan hanya bersembunyi dari balik tirai katakata? kenyataan ini tak urung membantaiku habis-habisan pada sebuah eksperimen tak berkesudahan. dimana nyawa dan jiwa tak ada beda dalam bias cermin. pernahkah engkau sepertiku? mengejar air dari dalam gelas yang mana di luar itu adalah pantulan dari ngiang suaraku sendiri.

(entahlah
dia adalah sebuah bayangbayang
jangan dikejar sebab dia akan lari
maka sentuhlah genggamlah
diamlah gembiralah
sebab cinta hanya datang pada jiwajiwa yang terpilih)

jika suatu saat “cinta hanya sebatas bayangbayang itu sendiri” tak ada namun melelahkan, tak apalah. sebab nyatanya kita telah bersiap menyambut kedatangannya dengan segala sesuatu yang indah.

~ bilakah cinta hadir dari hempas surga ~
datanglah pada dirimu
datanglah pada tuhanmu

duhai
pernahkah kita mendatangi tuhan hanya untuk sekedar bercinta?
maka jangan salah jika cinta justru hendak membantai kita

inilah realitas dari sejuta kebodohanku
yang terpaksa aku pamerkan dalam galerigaleri puisiku.

Lamongan, 2008

Puisi-Puisi Marhalim Zaini

http://www.jurnalnasional.com/
Seribu Lima Ratus Sebelas

seribu lima ratus sebelas
di dinding gereja merah saga
burung-burung hitam
melepas gaun melaka.
tembok meninggi
membangun ritus
di kaki langit tua
aku menurunkan
gumpalan kota
dari pundak malam
yang memberat
di anak tangga ke tujuh
pada dingin
yang disalibkan.

aku tamu
berharap bertemu
separuh tubuhku
di tanah bekas waktu
menurunkan gerimis
menjejakkan kaki portugis
tapi tangis itu
tangis itu juga yang mencumbu
menggelapkan segala peluk
pada kutuk
ia hinggap di ujung-ujung rambutku
membangun jembatan rumpang ke masa lalu.

ia menungguku
dentang jam pada lengang
mengirimkan becak penuh bunga
seorang tua menebak wajah sejarah
di raut asing bahasa lautku
tapi ia tahu
di jalan lurus yang kurus
sebuah kota sedang bekerja
membuat pagar dari kaki-kaki
pendatang yang kekar
turunkan aku di sini, tuan

di mana rumah itu
tempat kebisuan dibatukan
gedung tua saling pandang
membuat tubuhku terasa telanjang
aku takut menyebut siak
mulutku tertinggal di kursi retak
aku ragu memanggil lingga
lambaiku tersangkut di singapura
duhai
jauhlah badan
di tanah orang
berebut rumah
di negeri sendiri

pada senja tua
burung-burung hitam melepas
seribu lima ratus sebelas gaun melaka
di bawah tembok gereja yang meninggi
aku membangun ritus merah saga
di kota-kota tua
di anak tangga ke tujuh
pada dingin malam
yang disalibkan.

Melaka, 2004-2008



Riwayat Sampah Rumah

seperti hujan
ia turun berkerumun
menyusun kulit kayu
di tidurku
sungai duku yang layu
mematikan lampu-lampu
membiarkan anak-anak
berdebur di tidurmu
seorang ibu dari
onggokan sampah rumah
mengibas debu
dari sepotong ubi kayu
yang bau batu:
ini malam, atau pagi
yang mati?

ia seperti renta
kardus-kardus buangan
dari derita sungai
yang menanggung sisa
tak ada api di wajah mereka
hangusnya mengirimkan
ikan-ikan keli dari suku asli
yang terapung mati
ke jantungmu

(mungkin yang berendam
tadi malam
membungkus bangkai hutan
dalam plastik waktu
aku tak pernah mendengar
ada tangis yang menyerupai lagu)

orang sungai
tak mengerti puisi
ia hanya mengutip anak pasir
satu-satu dari tanah tubuhnya
yang basah
berjanji mengembalikan
garam pada asinnya
mengembalikan asin
pada lautnya

(seusai demam panjang itu
hari-hari saling menunda cerita
tentang sebuah kota mati
yang ditinggalkan puisi)

hanya bahasa kuli
belajar berdiri
di atas jembatan usia
menuju sepi
belajar merumuskan tubuh
dalam hitungan jam
yang diam-diam
membidikkan tikam

ia turun berkerumun dalam hujan
yang menyusun kulit kayu di rumahku
lampu-lampu sungai duku
membiarkan anak-anak layu
dalam debur tidur seorang ibu
dalam mimpinya
sepotong ubi kayu
ia temukan dalam onggokan
riwayat sampah rumah
jadi batu di bawah abu
tungku waktu.

Pekanbaru, 2004-2008



Gelang Rotan

Sehabis lembubu, jumat oleng.
Kau memeluk kaki-kaki rumah
seperti gelang rotan memeluk
kaki-kaki perempuan

Semalam, menyumpah mulutmu
pada selat hantu:
“Oi, burung sipumpung, raja lelaki,
pinang aku, sungai sepi
yang pandai menari.”

Daun birahi merimbun di dahimu,
bekas kecup selamat tinggal
yang kekal. Serupa siput,
matamu mengintip dari celah kerudung
dari bilik batu-batu rindumu.
diam-diam ada api berkecambah
dalam kebayamu. Ada pulau terbakar
dalam sarungmu.

(sarung nelayan, tempat senja
menyimpan amis matahari)

Setelah karam berkali-kali
kau tahu, kematin adalah upacara
yang selalu tak tuntas.
Masih tersisa hidup di gelang rotan
sebagai sepasang kenangan.

Lalu kau ringkus musim
dalam ketiakmu yang bau kemenyan.
Mengusap perut laut
tubuh yang terus naik pasang.
Memanggil burung-burung
menemani sunyi sepanjang malam
menyusun nama-nama tuhan
di ujung puting yang kering sentuhan.

Dan sepotong riwayat kampung pasir
dalam gerimis, kaukenang, kautimang,
ibarat bayi dari kelahiran yang sungsang.
Di sini, lelaki menjadi gelang rotan yang
memeluk kaki-kaki perempuan.

Yogyakarta, 2003-2008

Puisi-Puisi Akhmad Sekhu

http://www.jurnalnasional.com/
Sajak Seribu Tahun

Seribu tahun lagi, aku mungkin
datang kembali tidak dengan raga ini
tapi puisi-puisi. Sukmaku menjelma
makna-makna yang mengental
dalam pemahamanmu

Puisi-Puisi Ni Made Purnamasari

jurnalnasional.com
SEUSAI SUNYI
: Rilke

Di dunia ini,
ada lampu yang kehilangan warna,
ada labirin untuk jejak langkah
yang bahagia.
Tapi di ujung titik,
hanya ada kata-kata
dan hampa yang percuma.

Puisi-Puisi Budhi Setyawan

Jurnal Kebudayaan The Sandour III 2008
ODE PENYAIR LUKA

akulah
penyair luka
terlahir dari darah nanah

kutawarkan rintih duka kepada samudera
untuk kutukar dengan: ombak ganas

kutawarkan bosan nuansa kepada ladang
untuk kutukar dengan: gesit musang

kutawarkan hambar jiwa kepada sabana
untuk kutukar dengan: taring singa

kutawarkan keluh sengsara kepada belantara
untuk kutukar dengan: aum harimau

kutawarkan beku cinta kepada gunung
untuk kutukar dengan: gelegak lava

masih ku duduk di kepak kata
menunggu jawabnya,
sambil menghitung sisa usia

Jenewa (Swiss), 27 Juni 2007



SAJAK PENYAIR LUPA

bukan ini yang kumau
mengapa puisi begini menjadi
ini hanyalah najis dalam bangunan kata-kata manis

“duhai kata pujaan
bermalam-malam
berbulan-bulan
bertahun-tahun
kau benamkan aku dalam perahu renjana
melintasi taman teduh sekujur pembuluh
setia meski di ruang keruh
bahkan banyak yang ingin membunuh
tiada keluh mengaduh
sampai engkau kurengkuh, sungguh”

“engkau terus membelit menggodaku
namun kau tak pernah hadir di bait-bait sajakku
mengapa kau udarakan rayu manja,
begitu aku semangat; engkau khianat?”
ternyata,
puisi yang diharapnya
tak pernah tercipta
hingga sang kala meremahnya
di jalan menikung, senja yang mendung
penyair berlalu sendirian dan lupa bersenandung

Jenewa (Swiss), 28 juni 2007



KUDA-KUDA MEMERCIK API

kuda-kuda kekar berlari gagah
menepuk jalan
menjejak jarak
mengeluarkan percik api
menghambur sepanjang cerita

percik-percik api membara
terus menyala
cakrawala tak pernah padam

di belahan dunia sana
anak-anak muda
rajin memunguti butir-butir bara
lalu dikumpulkan
dan kini tlah menjadi matahari

di sini,
anak-anak bangsa masih nyaman
berjalan dalam temaram
lalu siapa pewaris negeri ini
yang akan tekun menyusun bara-bara ini
hingga menjadi seribu matahari

Jakarta, 11 Januari 2008



SESAL PAGI

hari telah mengepak siang
ketika pagiku ketinggalan di gerbong kereta
mencari bisik suara perjalanan usia

dijilati lidah kemarau yang kerontang
udara meradang
ditingkah jerit geragal usang

Bekasi – Jakarta, 24 Agustus 2007



MENUJU PERTEMUAN

senja tersungkur matahari berbaur
lautan meringis teriris menahan gemeretak ombak
tanah-tanah terbelah tampakkan pasrah
senyap arah
danau sungai peluk temaram
terhisap suara ke dalam untai debar
gunung perbukitan menundukkan tubuh
khidmat menempuh jalanan luruh

ini dunia
hanya permainan dan canda belaka


batu kapur,
melapuk umur
menuju kubur

Jakarta, 2 November 2007

Puisi-puisi Bambang Kempling

...Menisik Luka

jarum jam menisik luka
:menyebalkan
kaukah yang terjebak dalam tanda
diantara dera cuaca dan guyur hujan?

ada yang tersimpan
dalam genangan air di jalan
:sesosok jiwa
mengerdil
ia menari bersama pelor-pelor hujan
untuk sebuah lagu yang hampir usai
lalu terdengar dentang di pembatas waktu
menuju senja.

sesosok kunang-kunang
mengejanya ketika hujan telah reda
malam terdiam
takjub pada cahanya

13 April 2007



Hari Ini Kau Terjaga

hari ini kau terjaga: di sudut peron stasion
ruang menjalamu
rel kereta memanjang dalam gaib
balok-balok yang abadi itu
masih begitu setia
menghitung angka-angka

sampai hari ini: saat kau terjaga
dengan kerdip mata
yang begitu lelah
deru kereta hanya sayup terdengar

terkadang kau pun sangsi
pada persetubuhan yang harus kau lakukan
saat perjalanan belumlah sampai.

April 2007

Puisi-Puisi Dian Hartati

Di Balik Tikungan
buat budi p hatees

h/
malam telah menghabiskan cahaya
seluruhnya diserap tubuhmu
aura apa yang kau sisakan di gelap ini
yang silang di balik jabat tangan

ternyata jalanan telah mempertemukan kita
arah datang katakata tak diduga
mencecar tawa dalam ruang yang melaju

t/
siang tadi aku masih mencermati tikungan ini
sepi, hanya angin yang menghibur diri
dan gugur daunan mendatangkan kupukupu
apakah itu pertanda kau akan datang

menjelang malam serangga itu pergi
berganti dirimu
duduk menanti di tikungan

aku abai melewatimu
yang sibuk di antara genggam ponsel
tertawa begitu renyah
kau berbicara dengan siapa
sungguh aku ingin tahu

s/
di balik tikungan
akhirnya kita saling sapa
menorehkan segumpal kenangan
selalu dalam tawa yang hangat

SudutBumi, 30 April 2008



Melati yang Aku Curi

kata leluhurku,
datangilah setiap pelaminan yang digelar di ranah kerinduan
di situ ada cinta yang diikat sempurna oleh janji sehidup
ada hati yang tak dapat mengaburkan kenangan
tersebab harihari dilalui dengan asa

kata leluhurku,
belajarlah memainkan jemari ketika bersalaman dengan pengantin perempuan
dan pejamkan matanya
“agar kau dapat mencuri kantil melati”
merebut kesempatan yang sama
menjadi pengantin di hari yang berbeda

mainkan jemarimu
tanpa pengetahuan raja dan ratu sehari

kata leluhurku: “agar sempurna kau menjadi perempuan”

SudutBumi, 11 Juni 2008



Firasat Waktu

akhirnya aku tahu
ada jarak dari sekian perjalanan panjang
dari lubuk ke lubuk
hilir yang melantakkan tubuh

ini hanyalah perjalanan air
yang terus mengambang kehilangan tenaga
berenang mencapai sesuatu yang tak kumengerti

sebagai ikan,
hanya kunantikan
arah datangnya cahaya
dari permukaan

SudutBumi, 1 September 2008



Melepasmu dengan Doa

maka kugumamkan basmalah
mengiringi langkahmu menuju tangga itu
kuuraikan segala doa,
katakata yang tak mungkin kuungkap

tersebab hati berkata lain

demi ubunubun yang telah kau sematkan doa
malam penuh tanda tanya
adakah hatimu terbuka karenanya
hingga kelam matahari kurasakan di senja ini

pergilah
akan kunantikan sebuah waktu
ketika cakrawala mempertemukan kembali
angin dan laut
lembayung dan jingga
teruslah merapalkan doa untukku
agar tuhan kita mempertemukan hati yang saling membatu

tersebab mata berkata lain

kuakhiri juga rasa ini
memaksa putus sesuatu yang belum selesai
penuh tanda tanya
karena begitulah jalan takdir
tak bisa memaksa

SudutBumi, 8 September 2008



Perumpamaan Rindu
untuk kau, sungguh aku tak ingin menuliskan namamu

aku merindukanmu
selayaknya matahari merindu awan
peraduan yang dinantikan siang hari
tempat singgah segala lelah
ketika bumi ingin menepi dari panas purba

seumpama matahari
aku siap menanti kunjungan angin
yang datang bersama awan
dari arah tak terduga

selalu aku sebut namamu
tentunya –disertai nama tuhanku
segenap ingatan yang tak lepas
berlesatan
menyusuri setiap tepi hari
waktu ke waktu
dan aku selalu menemukan jalan
yang buntu
hingga rindu ini tak mungkin luruh

“hai angin, sampaikan padanya”
seperti lagu usang yang kusuka
“katakan, sampai kapan aku harus menunggu”

mendung di langit seolah pertanda
tetapi aku akan tetap bersetia

seumpama matahari
datang dan pergi di waktu yang sama
menarik usia bumi
menuju kesempurnaan
–yang difirasatkan semesta
aku merindukanmu
sungguh!

SudutBumi, 14 September 2008

Puisi-Puisi Wayan Sunarta

http://www.kompas.com/
Puisi untuk WL

walau cuaca galau dan
angin memeram benih malam
namun kau masih setia berjalan
dari waktu ke waktu pertemuan
antara kenangan dan kerinduan

lebih puisi hari-harimu kini
endapan semerbak wangi rambutmu
o, kilau cahaya yang ragu
pada batas kelam kelopak mata
ombak merayap mencapai mulus betismu
letih telah paripurna di tepian senja
dan camar yang mengembara sendiri
akan kembali pulang ke sarang jiwamu

Karangasem, Bali, 27 Mei 2008



Sajak

aku tahu kau akan tiba dengan kutukan baru
aku tahu kau akan tiba dengan jubah baru
aku tahu kau akan tiba dengan perahu baru
maka begitu pula kau tahu
aku akan tiba dengan kematian baru

(2008)



Padangbai Pagi Hari

perahu kembali tiba
dari jenuh pelayaran
anak-anak ombak
mengeja riak di tepian
dan terbaca lagi air matamu
yang bagai kilau mutiara
dalam kandungan cangkang kerang
bertahun-tahun lampau

ufuk pagi menyala dari matamu
di mana tertambat segala lara
dan rindu akan kepulangan

kabut masih merambat di tiang-tiang layar
dan ikan layur masih pula setia
menyusuri alurnya sendiri
melulur perjalanan dan kenangan tiada bertepi

perahu kembali berangkat
tergesa dalam pelayaran
tanpa sempat pamit
pada air mata yang mengerak
di sudut-sudut dermaga

(2008)



Upacara Seroja

angin apa yang membawamu kepadaku
resah serupa arwah bawah tanah,
wabah dari masa lalu
impikan keabadian saat usia mulai rapuh
nujumanmu hanya sisa sampah sejarah
dimana segala cuaca mati rasa di tubuhmu
akhir sempurna dari mabuk tequila

hio wangi cendana kau nyalakan
upacara malam hampir padam
relung rahasia bunga seroja perlahan terbuka
inikah avalokitesvara yang kau angankan
pejamkan mata, merasuklah ke lubuk jiwamu

(Karangasem, Bali, November 2007)



Gapura Tiga Puluh Dua

memasuki gapura ke tiga puluh dua
akan sampai dimana kau tiba
duka telah lama berlalu dari parasmu
enyah serupa bayang-bayang pudar

selalu kau nyalakan unggunan api bagi jiwa pengembara
umpama purnama yang rekah di legam rambutmu
dingin pun menyingkir dari kerumunan halimun
agar udara leluasa berbagi cahaya dengan jiwa,
nuansa nelangsa yang memabukkan pejalan
iringi irama hari yang pergi sendiri

gairah akan punah di ambang ruh
ungsikan letihmu ke arah cahaya
yang senantiasa menjadikanmu bintang sabitah,
olahan jiwa yang kau ramu dengan keteguhan
tapa di hutan penuh bebayang, danyang dan kekunang

(Karangasem, Bali, Agustus 2006)



Di Pantai Sindu, Sanur
- bersama gioia risatti-

ombak telah mencoba setia
pada pantai
ia tiba dan tiba lagi
seperti semula

namun perahu telah lama menunggu
laut menolak biru
sebab biru hanya milik langit

kabar cuaca hari ini
ialah kesiasiaan
tapi kau masih saja gagu di sampingku
mata birumu menatap kelam lautan
mencoba menduga yang tak terduga

seperti percuma rindu kita
meraba getar ombak
merasa debar buih

perahu masih menunggu
dan kita lama termangu
di pantai sindu

Denpasar, awal Mei 2006



Taman Rahasia

taman rahasia itu
bernama kenangan
ketika malam ungu
tiba di akhir waktu
apakah kita tiada harap

harapan adalah semerbak bunga
yang dibawa angin lembah
yang basah airmata

dan airmata,
getah dari duka pohon-pohon
yang menggumpal
menjadi kenangan
di taman rahasia

Tirtagangga, 23 Juli 2006



Ular

selingkar ular belang menghadang jalan
setapak samar dibasuh cahya bulan
kepala ular itu sembunyi di rerimbun rumput
kulitnya hitam-putih berkilau

aku melintasi setapak itu
agak ragu
ngeri membayangkan ular
menjelma naga taksaka
atau raksasa seribu kepala
yang semayam dalam jiwamu

tapi ular itu tidur melingkar
di celah bongkah batu hitam
siaga memagut nyawa siapa saja
yang mengusiknya

agak mabuk aku pergi tidur
berharap lupa pada si ular
tapi ular menjenguk mimpi
dan igauku

pagi-pagi sekali aku terbangun
kudapati tubuhku bersisik
aku menjelma ular!

Tirtagangga, 7 Agustus 2006

Puisi-Puisi Dadang Ari Murtono

Jurnal Kebudayaan The Sandour III 2008
TIGA BELAS FRAGMEN BUAT SINDHU

sepasang mata selebar piring berdiri di dada ibumu,
di kelamin ayahmu


1. Tidur
aku bermimpi menjadi sebatang pohon
dan saat terbangun
rambutku telah berganti daun-daun

2. Pertemuan
menuju muara
tubuhku mencair dan mengalir
mengikuti liku-liku tubuhmu

3. Keberangkatan
satu persatu orang-orang pergi
dan tubuhku tinggal gerimis

4. Handphone
jerit yang terus menyala
ijinkan aku tidur di relung matamu

5. Di Bawah Akasia
gerimis telah menjadi hujan
mari, berlindung di balik puisi

6. Bir
di riak busanya
tertulis norma, agama dan dunia
“mabuklah”

7. Kerinduan
pantatmu tercecer di lorong-lorong sunyi
yang membentang dalam tumpukan
puisiku

8. Doa
setelah berjuang melahirkan kata
aku ingin mati di rindang senyummu

9. Buka
segera siapkan pisau paling tajam
kita tikam lapar di ulu jantungnya
agar tuntas segala dendam
biar lepas segenap beban

10. Sendiri
masuklah ketubuhku
penuhi relung dan lorong
juga gang-gang sempit berbahaya
tak perlu sungkan atau malu
sekian lama aku menunggu
menancapkan kejujuran di
antara belahan dada
dan lingkar pinggulku

11. Bagaimana
bagaimana bisa kubentangkan
lanskap senja di tengah hamparan
gerimis
bila hujan dan malam
telah merobek-robek sajakku

12. Eden
di kelopak matanya
adam meringkuk telanjang
menunggu kata-kata
yang tak kunjung pulang
mencari selembar daun salam
untuk menghias kelamin istrinya

13. Mawar
mekarlah, bersahajalah
seperti senja yang teduh dan cantik

sepasang mata selebar piring berdiri di dada ibumu,
di kelamin ayahmu

2007

Puisi-Puisi Mashuri

http://mashurii.blogspot.com/
Lorong Tak Berujung

rahasia yang berkumpar di bayangmu membuatku piatu
hidup begitu asing seperti pemancing
tak berumpan dan berkail
di kapal, aku hanya menghapal depa laut
yang tak kunjung susut aku layari
ah, masihkah kau sembunyi di balik ufuk

Puisi-Puisi Tjahjono Widijanto

http://jurnalnasional.com/
BISMA

“telah kusediakan hari dan pengantinku sendiri…!”

desir pasir di gigir ini menyimpan rahasianya sendiri
ramalan musim berbiak sejarah melata di selakang waktu
memintal kembali tekstur buram rajah nasib lancip di urat nadi

tak ada waktu untuk kembali
seonggok jubah kelabu, mahkota terbelah
mengubur syahwat yang juga gelisah

jagat dalam tatapan lensa tua terbungkuk-bungkuk
menanggung riwayat larut oleh hujan
yang mendadak berubah lempeng logam

seperti memahat batu yang tak henti belajar beku
tafakur serupa bayang-bayang kastil purba
dalam tatapan letih mata malaikat tua
yang perlahan-lahan mendengkur

tak ada yang dapat dilakukan kecuali mentakzim sunyi
angslup ke dasar jantung dalam gelora gemuruh
sesaat setelah tabik terakhir
dalam sayatan yang juga terakhir

Ngawi, 2007



ARAFAH

entah siapa menyuruhku menghitung kembali tulang igaku, tetap saja hilang satu
berjuta yang lain juga mencari tak ketemu-temu sebelum pada senja yang mendekati gelap ia datang sendiri mengetuk pintu pelan-pelan

“apa kabarmu? lama tak jumpa akhirnya rambutmu memutih juga seperti kabut yang cuma sesekali sambang di dini hari”

aku menjawabnya dalam keisengan anak remaja mengingat cinta pertamanya
“cipir godhong tela, kau tak mampir hatiku jadi nelangsa!”

aku tak tahu mengapa gigir bukit ini begitu bersedia menyediakan altarnya untuk kebisuan yang kering, menyimpan rendevous mefosil dalam urut-urutan waktu bergerak mengambang dalam musim yang tak pernah ditumbuhi gerimis

dan kini kenduri ini dimulai lagi, orang-orang kembali menghitung tulang-tulang rusuknya. tetap saja hilang satu, mencari dalam lipatan baju, saku celana, jaket atau kaos kaki yang cuma sesekali di cuci.

2007



DEPAN KA’BAH

seperti pemula dalam panggung yang gagal
aku mabuk memimpikan pengunjung yang
setia memberikan tepuk tangannya.
yang kulihat cuma kenangan-kenangan tua, beruban.
menyendiri menunggui cintanya yang hilang sia-sia

kenapa kau seret aku seperti darwis dilanda mabuk tak tuntas-tuntas
sedang aku tak pandai menari?
setelah kau jeret laherku dan rontokkan tulang-tulangku
tak ada lagi yang bisa kubagi, tinggal asin keringat
yang dapat kau peras sebagai maharku untukmu
dan sebelum kau copot biji mataku
biarkan aku mencakar-cakarmu

2007



GERIMIS DI TAN’IM

seperti dalam lurung dengan seribu pintu terkunci
aku hanya bisa membayangkanmu, samara-samar
sekali ini ada gerimis, di dalamnya aku berlari-lari
mengejar bayang-bayang sendiri
bayang-bayang yang membelah diri
berkelebatan, berjumpalitan, bertubrukan
menjadi sempalan-sempalan tak terbaca
sempalan-sempalan yang meleleh kembali jadi sperma
meluncur mencari kembali liang-liangnya

di tan’im ini kau serupa jagal
membelah leher, mengelupas tempurung
yang menyimpan rahasia api ,buah larangan, juga ular
ular yang mendesis dalam lolong panjang
sempurna seperti malam yang terbelah
dengan bulan yang menggigil di atasnya

di tan’im ini aku gagal menguntitmu
tali yang kusediakan untuk menjeratmu
malahan mencekik leherku sendiri
dan bayang-bayangku yang menariknya,
pelan-pelan, seinci demi seinci
aku sekarat dalam senyummu

Tan’im, 2007/2008



PASUNG

tak ada lemut hanya derit jangkrik desir ular dalam urat perut. mereguk sungai
memahat riwayat nasib. ingatan lari pada tali gantungan meringis di sela-sela dingin yang terbatuk-batuk
tak ada kabar di sini cuma bulan menyisakan sedikit cahayanya angin mengabarkan busuk semboja bersama langit yang menjerit

“jangan berontak hikmati kekal asing ini!”

tak ada waktu untuk mendongeng sehabis percakapan selepas malam yang payah
gagak senggama di nadimu berbiak musim dan kematian riuh silih berganti
jalanan membara oleh geram demonstran sesekali dikuyupi tik-tak bom di jakun
tak ada pangeran dan kereta perang menggempur sarang nasib sialan ini, don kisot telah lama berpulang di selakang ibunya.

bila kau temukan sebilah sangkur dalam mimpimu rajah
suratan kisah pada kulit jangat banjir asin keringatmu geram
nyeri kerongkongmu akan menjelma erang birahi penyair mabuk dan sekarat

Jakarta, 002/005



KWATRIN-KWATRIN GERIMIS BULAN SEIRIS

1.
di ujung gerimis bulan seiris tak lagi mampu membaca isyarat
sedang subuh semalaman protes pada embun
yang terlampau setia mendekap bumi
meski kabut masih ingin bersetubuh dengannya

2.
sepanjang ini tak ada yang pernah mengerti
tentang musim yang setia menderu
batu-batu tafakur mendengar requiem daun
memeluk bumi dengan bau kembang pecah putiknya

3.
selalu kau tak pernah mau percaya
ketika pernah dibisikkan pada hari-hari
mengapa harus ditulis sepenggal sajak
menjerit disembelih pagi tenggelam di palung kali

4.
apakah perlu kita mengadu pada perdu
setelah gagal meraih matahari
bersama sebilah galah tua, lapuk tangkainya
bulan sungsang tangsang dipucuk bambu

5.
selalu ada yang mencoba setia pada sebaris sajak
yang lelah ditulis selepas senja bersama kunang-kunang
gelisah mencemburu nyala api
meringkuk di ladang kehilangan petani

6.
dalam nadi horizon dan candikala bertemu
ayat-ayat bangkit dari tidur bersama pelafal kehilangan lidah
roh yang bernyanyi bersama separuh malam, separuh bulan
hujan layu di sisa malam

Ngawi, 2005



SUKUH

Ceruk liat.
Seribu urat mengeram di sini
ini pelabuhanku. Persinggahan tanpa loket dan penjual karcis
di pinggulku tersimpan rahasia api
api,api! aku membakarmu!

Liang yang tak pernah padam. Lampu terang
rambu-rambu tentang nikmat buah larangan
: jangan tinggalkan aku
aku tak bisa ranggas sendiri
seribu sungai berpusar dalam perut
riak- gelegak merambah menerjang bulu-bulu pohon

Berlatihlah jadi nahkoda
menyaisi perahu oleng ditimpuk badai
hanyut ke rawa-rawa juga hutan
pohon-pohon dengan sulur mengkilap
goa-goa pertemuan yang bacin
tempat matahari menyembunyikan rembesan cahaya
basah oleh ludah dan air mata
awal sepenggal kitab riwayat
fosil coklat liat

Jasad dengan bau lumpur dan humus
sebermula kenangan di mulai
julangan bukit cadas
terjal
mengacung
batu-batu tersusun dengan angkuh
pelaminan abadi

002/2006



HIKAYAT KOTA

Ingin kuledakkan matahari pada pusar-pusarmu. Kota akan jadi mimpi yang sibuk dengan tafsir tak pernah usai. Diam-diam kubayangkan Tuhan berbisik: bukalah! maka semoga terbuka pintumu.

Seorang anak di seberang jalan dengan kaki telanjang dituntun ibunya tak juga memberimu senyuman, berlutut dengan cara ganjil pada batas trotoar kota: matahari itu milikku dan milikmu, tapi kapan kita berbagi?

Tak ada siapa-siapa di sini. Orang cuma bicara dengan wajah asing sambil membayangkan kampung halaman setelah bertahun-tahun melipatnya pada saku celana.
Orang-orang segera jadi tua dan pemurung di sini. Mengembara serupa ahasveros kehilangan jejaknya sendiri, menemukan seutas tali gantungan saat sepatu terkoyak dan gerimis berubah jadi bongkahan api menerpa wajah kepala dan kita merayap keluar dari rahim waktu

Tak ada yang sempat menyebutkan nama di sini.
Tuhan dibayangkan turun sebagai bocah jahil, bermain-main pada sisa lapangan rumput di batas-batas jalan dan berfirman, jadilah kalian kanak-kanak kembali, ayo kita bikin manusia, pasar, kota, dunia dengan fantasi cilikmu sesukamu!

Tak ada yang dapat mengeja namanya sendiri di sini. Orang-orang sibuk menggambar wajah sendiri pada lempung yang makin hari makin mengering sambil bersama-sama menyanyikan himne perkabungan bersama kelebet bendera yang turut menjadi sayu
esoknya anak-anak beramai-ramai mendulang kubur bapa-ibunya dan berkata

“papa, mama ajari kami bunuh diri!”

Ngawi-Surabaya, 003/006

Puisi-Puisi Y. Wibowo

http://www.lampungpost.com/
Sungai Sindang dan Jejak Pasir-pasir

Sejak air melulur pasir di lembar bukubuku buram
riwayat ikan menjelma bulan, luput tak tercatat
ada juga keong yang bertutur lisan
sebagai bayang masa silam
sulur cahaya berpendar menebar rawan
aku hadir sebagai pemulung muram
memungut secarik alamat

Memungut peraduan masa silam
tempat berpercik kembang setaman
denyar persetubuhan
seperti larik pasirpasir
jejak resap surut air

Mungkin saat itu udara menggelepar
pandangan tertebar pada yang nanar
kilau air berbuih meracau
desah asap lecut mendesau
dan semayup kehangatan telah beranjak
menyisa keriut noktah
menghampiri si pemulung berambut hitam
berkulit coklat, mencacah kenangan
mengkunyah masa depan
menciptakan alamat pada sungai
pada rompal batu dan jejak pasir
yang ingin kembali berdesir



Sekawanan Buih Danau Ranau

saat airmatamu telah jadi ikan
apa yang kucari di pulau itu?
dengan segala yang membuat aku bertanya
mungkin itulah makna buih --yang di kutuk angin

; berulangkali musnah tinggal rangka
tinggal cerita pelipur lara
yang datang dari kaganga
abjad-abjad yang kujelajahi wangi bunga
kelopak tujuh rupa, dan asap yang telanjang
bergelombang, lenguh senja berbaring
menggenang di udara.

sejenak buyar pandang, dari ketinggian jauh
kalimat-kalimat menjejal
menyeruak dalam kisah mu

; kanak-kanak yang dibalut resah
sebening mata bocah memeram tekateki
sebuah bayang
di ambang muram. ayo,... larungkan saja segala rencana
bukankah setiap tanya hanya akan menjadi fosil pucat
berserak dalam palung yang menagguk kekalahan
berpusar dan melingkar menjelma penari
yang lupa asal gema dan rancak tetabuhan
saat ombak mengeras dari alur menderas
itu saat kita melupakan sekawanan abjad
dan tak usah kau cari muara asal
jika ceritaku telah banal dan memar
karena yang kutemu di pulau seberang
hanya tinggal rangka kenangan
tentang seorang walihakim yang telanjang
di dalam jiwa dan langit batinnya
terseok membopong-bopong gelombang
saat itu airmatamu telah jadi ikan



Way Nipah

serumpun air murung
dayung menggelantung
di tiang layar
yang berputar
menggerit harihari
lelehan matahari
aku diam
menggendam pasir
tungku waktu, mimpi kandas
ke bumi tandas
maka kualamatkan
razah & mantram
ke tiang layar
ke senja temaram
merangkum jejak
ombakombak beranak
dian yang menyala
dari balik jendela
menjadi petunjuk
doadoa kikuk
dan untukku
seorang ibu
menyeduhkan kopi
melarungkan mimpi



Labuhan Maringgai, Arus Masih Menderas

belajar mengeja bulat bulan
langit menyatu dengan bumi
di batinmu, cakrawala dahaga
memburu pahlawan
di setiap penjuru
di setiap arus yang menderas

; anak-anak zaman lahir
dari arah utara
--arah pintu langit masih terbuka
dan membentangkan layar fana, angin lesap
udara senyap, tapi aku mendengar lirih dzikir
senandung patahanpatahan ayat
dari ribuan kitab
yang menjelma lebah dan kupukupu
terbang riang ke bulat bulan



Serenada Batu Balak

aku belum lagi menepi
dari deras arus yang menyeret
ribuan hari, yang kau rangkum
dalam bait lagulagu
sebuah batu -pecah oleh kisahmu
sebuah perjalanan
meniti jalanjalan
bayangan muram yang rompal
dan gumpil, berbongkah
pecah lebur berserbuk
serupa debu serupa pasir
serupa siul lagumu
menggema bersahutan
di hamparan padang lalang
di gunung di ngarai dan sungai
hanyut dari deras arus
sebelum akhirnya menepi
diam mengetam sunyi

Puisi-Puisi Pringgo HR

Berperahu

simpulsimpul di tiang rindu
engkau urai satusatu kian longgar membebat
renggangi ruas rasa pada camar camar yang resah
benturan debur

luka kain layar mengolengkan perahu
berpusing di pusaran angin yang tak pernah setia
meniti setiap lengkung gelombang

tinggalah tiangtiang telanjang berdiri mengurus
menghitung angkaangka di kalender nasib
berharihari merasai panggang matahari

berayunhayun perahu berpayung ombak
selalu menikung
di setiap bentur.
di setiap tubi cambuk debur
membuat papanpapan setia meretaki
luka

barangkali semisal Nuh
menenggelam sayatan satu demi satu
atau terdampar
menyisahkan tanda
dari pantai ke pantai
dari musim ke musim

saksi aku dan engkau
pernah berperahu

Babat, 16 September 2006



Oktober Ke 20 - 2006
: untuk C.I3

malam ini menyuntingmu masuk dalam dekapan
tanpa rembulan hanya angin dingin yang mengabar
oktober segera menjatuhkan gerimis yang pertama
rerintiknya membasahi lincin antara jalanan maret
sampai tepian rindu

aku terpelanting terjerembab
di semak katakatamu yang mengulur musim
hingga rantingranting kemarau belum juga mau
menggugur daun
mengangan barangkali sampai di musim teduh:
merenungi setiap urai kata di jengkal hari yang terlintasi.
melepuh jalan antara mataku dan matamu

embun serasa tak mampu membasah retak reranting
daundaun luka mengering
menjatuh menyayat kenangan demi kenangan
saat malam memeluk tanpaku
di bilik yang hangat ketika dingin menyergap tibatiba

aku membelukar dalam ngiang tawamu menjelah larik
larik larut menuju pagi
:begitu halus angin yang engkau hembuskan ke tubuh
hingga kerinngat yang membasah begitu senyap
kemudian aku menyujudkan ke wajah
sepimu

memang hanya sepi ternyata yang engkau suguh
di pucuk penantian mengelanai setiap sungging tawa
sesudah engkau pergi
masuk ke dalam dekapan
malam

Sukodadi, 20 Oktober 2006



Kukunjungi Lagi Pantaimu

ke pantaimu hari ini aku berkunjung
sekadar menghitung pasir setia yang setengah musim
kautinggal

oh, itu perahu berayunayun nyisir ombak
semakin jauh ninggalkan pantai
tak terlihat lambaian
samar seperti senja yang tibatiba mengurung

masih juga di butir pasir ini kutulis
:kesetiaan yang siasia
karena malam segera menjemput ke pelukan diamnya

aku tak mampu melihat pada dermaga mana perahu
berlabuh kesetian yang tertelan diam malam dan
pasang membuat rabun di getar waktu yang makin rapuh

jika di dermagaku ingin dilabuhkan,
aku berharap tiangtiang kian mengeropos dipasang ombak
dan membiar saja terjungkal mencair mengisi laut.
bukan karena jengah disinggah namun
setiap buih harus dilarungkan jauh hingga batas pandang
tak minta kembali

dengan kesetian, aku terus saja
menjagai kerangkerang kosong
mimpimu

Sukodadi, 21 Maret 2007



Ketika Juni

hujan telah menipis dari rintiknya
dan angin mulai belajar diam, engkau
masih sanggup menyahut namaku di kerumunan
harubiru rindu
ketika sepenggal juni kutinggal perlahanlahan

sudah tak mungkin lagi menoleh kebelakang
bukan kekecawaan yang terluka tetapi jalanan basah
telah melukis setapaksetapak tak bisa kuhapus
menyusut langkah ke waktu awal singgahan hujan

aku tahu engkau luka
ingin menyambung penggalpenggal juni
di gerimis yang mulai habis tak mungkin menyelesai utuh
sebuah tahun
karena kawatkawat pengikat telah hanyut
bersama ricik air yang diam

siasia bila hari saling berkejaran menuntaskan bulan
sedang engkau hanya menyahutkan potongan
potongan kata setia, tanpa:
harus mematah langkah yang hampir sampai
menghentikan senjaku
atau ninggalkan deraiderai kecewa membasah waktumu

hanya bertubi sesal saling bentur
ketika juni telah habis bersama gerimis

Sukodadi, 30 Juni 2007

Puisi-Puisi Anis Ceha

SEBELUM KU TAHU ENGKAU

Sebelumnya aku gelisah:

“apakah ada sesuatu di hatiku
ketika kita saling menyapa?”

hujan menurunkan kaki-kakinya,
berlarian saling mendahului
kemudian genangan air melimpah-ruah.

Dan kilatan-kilatan petir saling bertukar cumbu
dengan bumi,
lalu gelegarnya menuai reda,
waktu tenang;
dahaga tak lagi ada.

Malam itu ada jawab,
yang sebelumnya aku gelisah!

Malam itu aku melepas pasrah.

051129



MALAM

Akhirnya
ada jawab
tentang kau;

kekasih
di degupan jantung angan.

051129



PURNAMAKAH AKU?

Jika ku temui dirimu di ujung bulan,
akan jadi apakah?
Permaisuri raja,
pungguk rindukan bulan.

Jika ku temui dirimu di awal senja,
kemudian menghitam,
larut dalam adukan kental kopi selir lamunan
atau sekedar embun sepi di malam-malam lalu,
menjadi selimut tebal;

justru membuat beku segala kelu.

Maka, purnamakah aku
bagi bumi mendadak gelap?

050829



KU DAPATKAN DIRIKU

Ku jadikan diriku
selembar daun mengharum senyum,
kala pagi menghijau
atas kesejukan malam ku jelang,
agar ku bisa sentuh sepimu sendiri jadi raja
lalu karam di larutan detak jam.

Ku jadikan diriku setitik air,
agar kau bisa temui di setiap jeda wudhu;

mengiba, membelai lara jadi setetes embun,
segelas air kemudian
larut dalam arus dahaga.

Sayang, itu tak kan terjadi;

aku menjadikan diriku apa saja,
agar kau bisa sentuh
di setiap jeda waktumu merindu aku.

050923



ADA LELAKI

Ada lelaki diam saja;
raut mukanya teduh tak sedang berduka
tapi memang ada kerendahan jiwa.

Ada lelaki diam saja;
tenang gelisahnya merajut karisma
setiap derap di langkahnya,
membagi angka kesunyian nyata.

Ada lelaki diam saja;
jauh, sebelum bertandang
parasnya di hadapan malam, gemetaran.

Nov, 05



IBUKU MENDEKAP JINGGA

Langit semburat senja, ibuku mendekap jingga
burung-burung ke sarang pulang menemui
gelisah
anak riang bertemu selepas ditinggalkan.

Seperti kembala bawa rumput muda
di waktu senjakala,
bundanya menunggu setia
dengan kepak-kepak ke sarang doa.

Okto, 2005

Puisi-Puisi Ahmad Muchlish Amrin

De Javu

Kasih;
Dalam tidur malamku, kamu datang dengan sebilah tanda tanya, tanda
tanya mirip gumpalan titik koma, kurasakan lembab tanda seru
bersembunyi pada batang takdir yang kucipta dalam rahim ibu.

Seperti garis peta yang menghunjam jantungku, ingin kutafsir jalan nasib
lewat petualangan tiada akhir.

Aku menangkap wajahmu serupa wajah dalam mimpi-mimpi, wajah yang
datang tiba-tiba di keheningan batinku.

Aku merindukan kurung buka untuk merapal nama-nama bintang
sesuai angka kelahiran dan
kutemui wajah-wajah yang sama meski beda nama, mereka pergi bila
kutanya.

Aih, rupanya aku sudah mulai gila padahal belum kutulis kurung tutup
lewat tangan yang gemetar jika mendengar namamu disebutkan

Ibu;
Meski semakin jauh aku berjalan, semakin terjal jarak kampung halaman:
itulah kepulangan. meski nasib tak menentu dan kenangan-kenangan
gugur di jalanan; aku masih bertualang.

Selalu aku menyusu pada matahari yang terbit dari do’amu meski cahaya
kisut dan usiaku makin keriput
lihatlah, Ibu! lihatlah gambarku dalam buku-buku anak sekolahan, gambar
yang sedang melambai kepadamu
dan entah kenapa, suatu waktu dalam tidur malamku, kamu minta
disetubuhi, aku melakukannya berkali-kali
tanpa sesal, aku ingin tinggal di neraka sendirian
agar aroma tubuhmu bisa kuingat dari rantau

Yogyakarta/Tang Lebun, Februari-Maret 2007



Kurasakan Tubuh Hujan
-untuk zizi

Mata;
Aku mendalami sepi di matamu dan kurasakan runcing dingin yang gigil,
garis nasibku melintang serupa jalan pulang, di manakan tepian?

--hujan ini tak membuat kita celaka – katamu.

Tatapmu yang kesekian menidurkan mimpi musafir di gubukku
dan aku ingin bertualang lebih jauh lagi, mengenal hitam putih matamu.

Cerita yang belum selesai di pagi hari menenun kata yang tak mampu
kamu tulis di atas daun bakau, impian berkali-kali usang walau cerita
lama belum kamu tamatkan. Ah, ingin kulihat lagi mata sunyi hujan agar
gigil kembali kurasakan.

Rambut;
Tak bisa kulihat rambutmu sore ini, Zi, tak dapat kupantau awan legam di
atas keriting yang menyala – adakah uban di rambutmu? Hari ini kepalaku
menjadi rotasi bola-bola cinta yang mirip matahari. Ingin kumainkan di
depan gawang yang licin.

Biarkan rambut hujan terus memanjang, memanjang dan merumbai ke
punggung senja agar seluruh pertapa tahu, dingin menggigil itu hanya di
tubuhku. Entah mengapa, bila tatap berkalikali kamu luncurkan, aku
berharap selalu hujan.

Yogyakarta/Tang Lebun, Februari-Maret 2007

Puisi-Puisi Sosiawan Leak

http://budhisetyawan.wordpress.com/
BERALAS SAJADAH KUTULIS PUISI

timpuh di sajadah
kutulis sajak
tentang pelacuran,
pornografi dan kehidupan malam.
tapi tidak ada mesias apalagi tuhan
kitab suci terbakar bersama tembakan
dan huru hara kartun nabi.
timpuh di sajadah
kutulis sajak
tentang mata anakku yang terpejam
kecapaian di tengah malam
entah karena mimpi atau lantaran permainan siang hari
tentang wajah ibunya yang dirajang-rajang usia
lantaran pekerjaan rumah, kenekalanku yang meremaja
atau kesibukan kerja.
tapi tidak ada malaikat
surga terbakar kenaikan harga
neraka menggurita di mana-mana
di tiap trafick light dan pojok kota
merdeka dan sentosa!
kaki tangannya menjelma tuhan, nabi, kitab suci
juga malaikat dan surga
bahkan juga puisi, timpuh dan sajadah ini.

Pelangi Mojosongo, Solo, Maret 2006



NEGRI KADAL

negri kami negri kadal
negri yang tidak pernah sepi dari juluran lidah
menjelma dasi, panji-panji hingga janji-janji
yang selalu terpelanting bacinnya ludah.
sambil melata, kami mengendap,
menikam dan bersenggama
sesekali menelikung lawan juga kawa.
negri kami negri kadal
negri yang bersemak rempah
berbelukar bahan tambang, berrerimbun hutan
namun selalu lapar
dengan pertikaian dan asap tebal
dari berbagai kayu bakar
; agama, harta dan kekuasaan
kami selesaikan masalah
hanya lewat desis dan kata-kata
sedang tindakan tersembunyi dengan sempurna
di ujung ekor yang tak berdaya
menjelma bom, meledak sembarangan.
curiga mulus beranak pinak di sela sisik
malih rupa ketakutan
yang tak pernah terungkap di pengadilan
di negri kadal.

Solo, 19 September 2000

(sumber: buku DUNIA BOGAMBOLA, karya Sosiawan Leak, Penerbit Indonesia Tera, Jogjakarta, cetakan pertama, April 2007)

Puisi-Puisi Ilenk Rembulan

http://www.kompas.com/
Lapindo Satu
: bude Umi

dua ramadhan sudah berlalu
ini ramadhan ke tiga
adakah gema takbir di ujung sana?



Lapindo Dua
:bulek Menik

jemari menyisir sahur di ujung rambut
tetesan peluh menakar gelas kosong
adakah mukena bersih yang masih tersisa?



Lapindo Tiga
:guru Tono

keluh menghimpit
di ujung tumpukan buku
jemari menghitung
papan tanpa tulisan
menunggu bagdo buka
masih adakah bingkisan datang?



Lapindo Empat
:ustadz m.arifin ilham

lafal dzikir bergema
gelegak lumpur mengiringi
lambaian tasbih menari
jeritan puasa berjama’ah
sudahkah kau kirim tahajud padaKu?



Lapindo Lima
:tuanku bakrie

keranjang parcel masih terhidang
lipatan sarung dalam jutaan
kuketuk selembar hatimu
sudahkah kau kirim zakat untukKu?

Jakarta, 9.10 wib, 16 september 2009

Puisi-Puisi Ahmad Syauqi Sumbawi

Interlude di Remang Malam

terdengar itu,
jam dinding membentak
hitungan waktu yang terpenggal
tak pernah gagal

rupanya,
kita sudah menjadi kebal
terus mengotak-atik waktu
dari 1 ke 1001
: mimpi manusia

tapi,
suara tokek itu
masih sempat membikin kita tersentak juga



Perjalanan Ke Bukit

aku tak ‘kan mengharap
jalan datar di depan sana
dan doa yang mengharapkannya
akan ditertawakan udara
sebagai ketololan yang sia-sia

”telah kering sang Pena”

iklim-cuaca pun mencatat
bahwa perjalanan ke bukit
otot-otot menjadi kawat
butir-butir nasi menjadi keringat
dan semangat ditumbuhi karat

dan manakala aku tergelincir menggelinding
aku tak mau ada di antara ngeri dan mimpi
yang tak lain adalah diam yang menyiksa

biarlah hancur binasa
sebab kehidupan akan tergelar segera
dengan memandang mekar wajahku
di bukit sana



Kepada Waktu

coret saja namaku dalam daftarmu
berkali-kali tak sambut buangan kakimu
dan buang saja ludah pahitmu ke mukaku
seperti yang selalu kaulakukan membikin sesal

memang hijau jari-jari di dada rentan patah
apalagi untuk kali pertama
sekawanan laba-laba membangun sarang
saat mencoba menampakkan udara
yang terjaring malam itu

dalam kamar gelap dan pengap
aku tak peduli lagi itu berbahaya
aku tak peduli iklim dan cuaca yang berubah
juga pada jarum jam dinding
yang menangkapmu di tiap detik
dengan tawa persulangan di remang malam

kutuk aku!
ya, kutuklah!
kutuklah seperti yang selalu kaulakukan
mungkin begitu, aku lebih mengenalmu



Di Sebuah Konser

di sebuah konser
aku ingin menari, bersama
mencebur dalam riaknya
bukan dangdut, rock n’ roll, punk,
grunge, black metal, underground,
ska, campur sari, hip hop, R&B,
dan sebagainya

di sebuah konser
aku ingin menyanyi, bersama
mengalir dalam alunannya
bukan pop, slow rock, blues, jazz
seriosa, keroncong, kasidah,
dan sebagainya

di sebuah konser
aku ingin menari dan menyanyi, bersama
diiringi musik yang tersembul
dari palung diri
yang mengalir mendesir darah
hangat di dada

lebih merdu dari tarikan vokal
lebih lembut dari sentuhan keyboard
lebih kuat dari hentakan drum dan perkusi
lebih lengking dari petikan gitar dan gesekan biola
lebih..
lebih…
membebaskan…



Bila Mata Tiba-tiba Pecah

benarkah, telah binasa mekar wajah?
mata tiba-tiba pecah
jika kautanya, barangkali ‘kan
menyentak juga:
“keruh kening takkan pernah cukup terhapus
oleh lelehan air mata. malah,
rentan melajatkan sepai diri bersama
kesepian bebatang kaktus.”

di bawah malam,
oase menggambar purnama
apakah ada yang lewat?
menyentuh pada kemilaunya
jika kautanya sekali lagi,
barangkali ‘kan menyentak kembali:
“setelah keruh kening luntur,
maka terlihatlah juga
air jatuh dari wajah dan tangan
mengirimkan getar-getarnya
menjelma sungai membayang muara.”

dalam dada menghisap debur samudera
apakah mesti berangkat? merelakan
buih-buihnya

jika kautanya kembali,
barangkali ‘kan menyentak sekali lagi:
“buih-buih adalah pasti.
pasir dan karang membentuk daratan.”
jika masih bertanya-tanya juga,
terkubur lautan tanpa nisan

Kamis, 20 November 2008

Puisi-Puisi Imamuddin SA

DARI ALIF SAMPAI YA’
kepada Sang Nabi

lidahku laksana kutub
dan sarafku tak bergaun wol
hingga bibirku membeku
membisu

imajiku kaku
tiada aksara terangkai untukmu
hampa mengukir puitika puja nan merdu,
sungguh segalanya telah terlampaui keanggunanmu
gontai jalan hatiku

mengangan angan tuk kembali memujimu
sebab abjad terusang olehku

di sisa degup sahadat
merekat
kusisipkan rekaat munajat
lewat tembang-tembang yang kau gurat;

“dari alif sapai ya’
adalah bukti perjalanan waktu
disingkap kebersatuan laku
terkunci keyakinan kalbu,

esok kita kan bersatu
kala kusanggup membongkar tanda
yang kau kisah untukku
sebab yang tertuju hanyalah satu
kuyakin itu”

Kendalkemlagi, Maret 2008



KADO JATI SEREMONI

ia kenal tembangmu
walau ini sepedih rasa
meringkuk telah
di sekutu tanah,
kau rentang saja
sayap-sayap kalbu
merela gala teseru

adalah serimpi misi
mengarang kembang usai
lewat cendawan nanti
tak terbeli
atau tergadai lalui
liat lindu tempo hari
pun entah … ini
sebatas sirkus nadi
bagai kado jati seremoni

tiada seberat hati
melepas diri
bagimu terlalui
mengarang elegi kidung impi
dalam bilik sendiri

ya, rajut kembali
tusah peradaban sempat tercerai
bersama api suci jemari
meniti musim semi
dalam kisah misi
kembali

Kendalkemlagi 2007



LAYANG PERJAMUAN
kepada penyair Lamongan

menyisir waktu
mengeja jejak hampir sayu
ah, syukur aku
di hening samudraku
menyapa purnama rindu
namun, adakah sinar tak lagi merayu?

Kendalkemlagi, September 2006



ADA LUKA
kepada penyair Lamongan

mungkinkah bias nur malam
tak membius hatinya
meski kesempurnaan wajah telah
membumi tak tereja

ada luka,
sebab kehampaan jasad manusianya

batu-batu sangsi menghimpit kesadaran
menyemedikan batin yang tertahan,
ah, yang terdengar hanya kersik sayapnya
meski hati rindu bersua,
mendialogkan kata
tenggelam di kedalaman samudra tanda

adakah esok bulu-bulunya kan setia
mengukir puitika kisah jalan maqomnya?

Kendalkemlagi, Mei 2008

Puisi-Puisi Denny Mizhar

KABAR DARI KAMPUNG

Sawah Mbok Yem, gagal panen
Akibat limbah pabrik yang meracuni tanah sawahnya
Nasi pecel Mbok Jah tidak laku lagi
Akibat kalah bersaing dengan makanan instant dari luar
Karibku masuk bui
Akibat mencuri uang untuk ibunya yang sakit
Mbok Yem, Mbok Jah, Karibku entah besok siapa lagi?
Kampungku terasing, tersingkir atas nama pembangunan

Malang, Februari 2007



DI ANTARA DUA PILIHAN

Daun-daun berguguran saat musim hujan.
Sungguh aneh?
Itulah yang kulihat!
Tanpa kumengerti, dan terjadi begitu saja
Halnya dengan waktu
Aku tidak bisa memahami,
pergantiannya
arti sebuah malam dan siang
Semua terjadi…
Saat kucumbui kegaluan hati
menjelang persetubuhanku untuk menancapkan rasa hati

Malang, 5 Juni 2007



BURAM

Aku inggin bertanya,
Pada kita yang sebentar lagi menjadi gundukan tanah

Masikah kita menjadi manusia utuh?
Ketika yang nyata menjadi maya

Masikah kita otentik?
Ketika dalam diri kita ada yang lain

Tuhan,
Adakah diri kita sejati dimana hitam dan putih bercampur,
dalam bayang eksistensi jiwa bebas manusia

Tuhan,
Dimana diri-Mu?
saat diri kita terbelah menjadi asing bagi kita sendiri

Aku menunggu petunjuk-Mu

Malang, 26 agustus 2007

Puisi-Puisi Sri Wintala Achmad

SULUK SRIKANDI

(I)
Di alun-alun
Rumput merimbun
Semilir angin
Buai sepasang beringin

Angkasa membiru-jingga
Membakar gairah asmara
“Kanda, ajarkan aku memanah matahari
Sebelum terbenam ke dasar hati!”
Ujar Srikandi, sembari
Mencolek pipi Permadi

(II)
Angin lelap di sarang malam
Tidak ada kecipak ikan di kolam
Hanya desah Srikandi di bibir ranum
Melenguh hingga ke tulang sungsum
Lunglai telanjang di ranjang
Di pipi, airmata berlinang

“Kanda, mengapa kita cepat berpisah
Manakala matahari terpanah
Koyak berdarah?”

(III)
Di depan gerbang istana
Hati Srikandi berbunga-bunga
Melepas Permadi ke Madukara
Dadanya hangat diraba
Namun matanya tersirat sendu
Sekali mencinta lelaki buat dimadu

Sanggar Gunung Gamping, 07082006



SULUK BANOWATI

Di depan Bunda Setyawati
Aku hancurkan cermin kaca
Malu hidup sekali
Sebagai wanita pendua cinta

Akulah si bungsu Narasoma
Yang terlepas dari kudangan
Bukan pecinta s’orang hingga senja tiba
Melainkan pengkhianat kasih pujaan

Tidak sebatas Aswatama
Aku rela dicap sephia
Menebus dosa seusai Baratayuda
Rela mati dicidra Kartamarma

Sanggar Gunung Gamping, 13032008



SULUK KUNTHI NALIBRATA

Di bengawan Suwilugangga
Aku alirkan aib keluarga Mandura
Sesudah perutku mengembang tanpa suami
Selain cinta dari jambangan hati

Karna, putra Surya yang lahir dari lubang telinga
Jangan simpan dendam matahari di dalam gendaga
Ibumu hanya mentaati titah Kakanda Basudewa
Yang lebih malu pada kawula daripada Raja semesta

Menjelang baratayuda tiba, datanglah kepadaku
Ibumu bakal merestui di mana kau berkubu
Sebab kunci surga bagi senopati sejati
Bertumpu pada kesetiaan janji

Sanggar Gunung Gamping, 14032008



BURISRAWA KASMARAN

Mbok Mbadra kembang Widarakandang
Kepadamu aku mabuk kepayang
Setiap malam kau menghiasi mimpi
Seanggun Wulan berselendang pelangi

Jangan kau tolak cintaku, Mbok Badra!
Meski wajahku seburuk raksasa
Namun kesetianku melampaui Permadi
Dan setara Bunda Setyawati

Mbok Badra, namun apa mau dikata?
Apabila hanya ilusi yang kau dambakan
Hingga perawanmu seharga kerennya rupa
Bukan jiwaku yang berakhir remuk berkepingan

Sanggar Gunung Gamping, 28032008



SULUK BALADEWA

Apa guna makutharama
Bila hanya memperpanjang usia percuma
Sebab mahalnya harga diri ksatria
Dijual di pasar baratayuda

Adinda Kresna, mengapa kau musti menipu
Memintaku bertapa di Grojogan Sewu
Meski aku sebagai senopati Kurawa
Pandawa kalis dari kesaktian nenggala

Ingin aku hancurkan makutharama
Berpuingan serupa negeri Astina
Mustahil segera pulih di tangan Parikesit
Raja muda berjiwa satria piningit

Sanggar Gunung Gamping, 15032008



SULUK DURYUDANA

Kurukasetra menderaskan hujan darah
Manakala sukmaku terbang dari sarang raga
Serupa burung pulang kehilangan arah
Langit berawan tak bercahaya

Jangan pongah Bima berbusung dada
Meski aku tak mendapat jatah surga
Dilayani seribu bidadari penuang anggur
Angkaraku bakal menjelma kilat dan guntur

Lantas apa yang kau banggakan
Atas kejayaan Pandawa dalam baratayuda?
Selain penyesalan berkepanjangan
Bahwa Kedamaian hanya petaka tertangguhkan

Sanggar Gunung Gamping, 14032008



SULUK ARJUNA

Telah Adinda lepaskan warastra
Dari busur paling nurani
Ke dadamu Kanda Suryatmaja
Buat meredam dendam matahari

Bukan lantaran Srikandi
Yang kau lepaskan kutangnya di Kurusetra
Hingga payudaranya senampak ranum khuldi
Selain demi harga diri seorang ksatria

Bukan salah Kanda apalagi Adinda
Baratayuda sekadar kunci pintu surga
Bagi kita senopati palagan pilihan
Bukan pecundang kematian

Sanggar Gunung Gamping, 11032008



SULUK KARNA

Di medan pertempuran
Kau memenuhi undangan Tuhan
Buat menyongsong Arjuna
Dengan dada terbuka
Di mana cintamu pada kehidupan
Tak memihak saudara atau lawan

Sebelum matahari menanggalkan lembar usia
Tuntaskan anak panah dari busurnya
Hingga ajal membuka langit surga
Tempat Tuhan memenuhi janji-Nya
Bersulang bersama di meja perjamuan
Atas kemenangan erat dalam genggaman

Sanggar Gunung Gamping, 03082006



SULUK SITI SENDARI

Kepadamu seorang
Cintaku tiada mencabang
Lelaki berjiwa satu
Senilai panah seribu

Langit telah terbuka
Tunggu aku di gerbang surga
Sebab cintaku adalah cahaya
Nyala dari api pancala?

Hanya Kanda Abimanyu
Pelabuhan cintaku
Tak berbataskan ruang dan waktu
Hingga kematian sebagai awal kehidupan baru?

Sanggar Gunung Gamping, 04082006

Puisi-Puisi Esha Tegar Putra

http://jurnalnasional.com/
Orang Ladang

tujuh petang menukak punggungnya, di bukit
ingin mencakau alang-alang. niat tinggal kalimat
tujuh petang gigih menikam, menyansam,
mirip ragam umbi yang ditanak dalam periuk
teruka ini tinggal batas, tinggal jejak, sebab di bukit
ia tumbuh dan menyusup ke dalam lempung tanah

tujuh petang menukak punggungnya, di ladang
ada yang tak pernah hafal desau biola, segelas anggur
atau niat untuk membangun rumah pasir di tepi pantai
sebab ia orang ladang. ia lesap ketika mengejar tupai dan beruk,
dia rapal musim petik kopi
dan ketukan yang berkali pada pintu dangau
ia tahu siapa yang tiba

maksud hanya menukak tanah lalu tanam. menanam
lalu petik. tapi sepi berkuasa terlalu dalam
ia ingin bertuju pada sebuah jalan batu, simpang
dengan udara masam, ilalang kering merabuk
ke sebuah tempat di mana tupai dan beruk berdamai,
bersamanya. mereka akan berkejaran di bukit
dalam botol anggur,
lalu mereka akan lelap di desau biola

tujuh senja adalah ia yang ingin berladang
pada sebuah tanah yang bernama puisi
yang berlari, yang terhenti, ia tetap orang ladang

Kandangpadati, 2008



Tampuk

ke tampuk batang jambu,
bila inginmu ikut bergelantung
kelamaan akan terhitung
mumbang yang berjatuhan dari sebelah
sebelum hijau memerah, batang rapuh melapuk,
tampuk merabuk

baiknya lubang atau kulit tergelubik
pecah dipijak serangga mabuk
dan membiarlah rampai hari tergujai.
biar bibir-bibir angin menikahi lumut
diam akan jadi berkah buah di penghujung bulan hujan
berkah air menikahi tanah, membiarlah.
ke tampuk, tetap kita akan mengembali
sebab waktu abadi di tumbuh-patahnya tampuk

ke kelok angin lihatlah,
“adakah tampak sepasang murai
sedang terbang mencari hinggap?”
padahal kaki sebelah luka dibawa berharap pada sayap

merabuk juga ini waktu
cerita makin pasi didendang hari. berkali menjalin kata,
berkali-kali tersungkur batu pijakan
barangkali tampuk, tempat tuju, menjadi lurah
bertumbuk jalan. biar jatuh jadi pokok pencarian lain
selain ingin bergelantung
mungkin batang jambu akan tumbuh
di tepian bebatu lurah

Kandangpadati, 2008



Sakit

dalam parak, gugusan daun
memendam kampung dalam lebam

serupa tungku, serupa abu,
serupa batu yang pecah diamuk bara
dan kubaca kau dalam igau
dalam parau tidur yang tak jadi nyata

rupanya rasa membilah hari
lewat tarian bulan garang

ingatlah yang berzanji
menyadap sebatang nira di lurah bermiang
dalam haus, lalu mereguk pincuran matanya
yang lahir dari ubun-ubun bukit sakit

Kandangpadati, 2008



Di Gelungan Rambut

di gelungan rambutmu telah kutanam rimba
tempat panas percintaan kita dengan kabut
bersemayam. dan kau telah menukak tanahnya
dengan garang, lalu menancapkan kota,
membuat sumur dalam yang penuh liur serigala.
mengingatnya, aku jadi rindu pada percintaan
masam tanpa garam. ingin aku bergumul lagi
dengan hamparan ilalang panjang. membiarkan tubuh
gatal dan mata yang memendam hujan lebat. maka
akan kita selusuri lagi
lekuk bukit, ceruk lembah, dari ketiadan

sumpah, di gelungan rambutmu telah kusembunyikan
beragam kerinduan dan kau akan menemui diriku
di lain waktu. seketika kota dengan beragam
bangunan yang kau tancapkan menjadi ingatan gilamu
pada percintaan kita. kau akan bersigegas menyisir
gelungan rambutmu yang terus merontok
dengan jemari yang membatu, sumpah

Padang, 2007



Lepas Ingatan

merinduimu sampai ke ngilu tulang adalah keharusan
apa yang tampak, apa yang tertanam, adalah kenangan
sebut aku yang berdiang di lipatan matamu
mendulang bebiji hari buat membayar hutang pada waktu

kau terlalu cepat menagih sakit yang tertuang
hingga puisi menjadi candu pahit
bakal pelepas ingat

mengingatmu adalah keharusan, sebab badan
terlanjur basah, terlanjur bermandi di gelegak pertemuan
“aku akan menjemputmu
seketika tahun menawarkan
sepetak tanah untuk membikin pondok”
meski seketika itu matamu berubah lain
dan geraian rambutmu tak lagi menjadi pertanda pertautan.
tetap akan kupersuakan padamu, senja yang
menyauh lesi angin laut emma haven
tempat kita bertandang pada sebuah cerita. di mana
lembaran-lembaran catatan tentang padang tersuratkan

Kandangpadati, 2008



Simpang Sawahan

bertolaklah pulang, badanku sedang di simpang sawahan
jalan menikung mana yang harus kutuju? sedangkan mata
hati kau bawa ke seberang laut dan dengan angin asin
yang tersangkut di selimut kau suruh aku menujumu

tak akan ada selasa yang mengganggu lagi, sebab hari
akan sama adanya. ketakutan telah kubenam di kampung
selebihnya kumuarakan ke danau (tempat kita duduk-duduk
lalu sepasang kumbang mengganggumu)

masihkah kau menyukai warna merah? ah, sementara
aku di simpang masih sempat bertanya gila,
bertolaklah pulang, badanku sedang di simpang sawahan

Kandangpadati, 2008



Tahun Kecil

rambutmu yang terurai, ingin aku mengepangnya
ke arah selatan pantai yang sesak perkabungan
dan ingin juga aku menyulamkan ratusan cadik berwarna
sampai rambutmu tak berterbangan lagi dicium badai
(badai yang seringkali
membangunkanmu di parak siang)

mari menyulam rambutmu dengan cadik, adinda
mungkin akan mengingatkanmu pada tahun kecil
di mana kau ingin berterbangan di atas asin laut
bersama bunga kapas yang tumbuh dalam tidurmu
(mengingatnya
mengembalikan inginku untuk pulang)

Kandangpadati, 2007



Nyanyi Sunyi

gemerisik daun dan gebalau angin
kangen terbengkalai di balik jarak
adalah nyanyian sunyi para peladang.
serupa perempuanku, memendam buncah jantung
dengan ucapan sakit paling garang. “berangkatlah,
masih banyak kapal ke padang!” begitulah ucap
tinggal ucap. sedangkan kau berusaha membenam
ingatan di tiap suapanmu

di pulau lama, diri akan mengembali sendiri
sebab aku hanya pemuisi yang lupa merapal jarak
maka ingatlah sepatah kata sakit ini “bahwasanya
aku telah berupa bengkalai tangis dalam matamu”

Padang, 2008



Puisi Kecil

puisi-puisi kecil
yang dikirim angin lembah harau
menyertai kau,
melepas gagau,
dalam beragam risau

moga kau ingat sebuah pagi dimana cuaca
melembabkan tampang-tampang padi. sebait saja
ini puisi baca dalam hati.
agar suatu kali kau menginginkan lagi
bermalam di pondok ladang
dan makan dialas daun pisang

2008



Cangkang

begitu desau biola lembab itu
disapu habis bulan yang basah
maka terlantar pohon-pohon
untuk melebarkan daunnya
di luar masih basah,
lembab juga belum tentu
bakal menetaskan
telur-telur ingatan kita

yang terpaut dalam cangkang cuaca
yang makin asing bermain selimut.
aku menginginkan sepi yang dulu,
bahkan berkali-kali sepi
berikanlah,

tapi bukan sepi telur
dalam cangkang di musim basah.

Kandangpadati, 2008



Perimba

lelaki perimba tiba dari basah selatan
membesuk ingatan yang tertinggal
mirip getah damar.
atau ingin menurunkan kapal yang disangkut
dulu di batang besar? ah, hebatnya kenangan
bermain di sela-sela jari, di bungkahan dada berisi
ia lelaki yang menari dalam jambangan
berkumur pedas tembakau hutan
dengan merah gigi, dengan merah bibir
yang disumbat gelungan daun nipah
ia menjadi si pembakar diri
dalam sebuah perhelatan yang dinamai pinangan:
adakah yang datang selain beruk, mungkin juga
celeng yang tersungkur di lubang galian?

ia perimba yang ingin lindap di kerumun belukar
dulu telah disuruh menanam cempedak
biar bisa digulai orang sekampung
malah menjuluk bebuah masam yang condong
ke parak orang

Kandangpadati, 2008



Kenanglah

gedebur ombak puruih, kenanglah
di senja yang menyimpan peristiwa pantai
serupa cadik yang membenam kisah pelabuhan
kota yang digarami angin-angin perantauan
membuat sekian liku pada pasir jejalanan

“dirimukah yang bercinta dengan teluk?’
malam memasang sayap untuk senja
orang-orang melepas kenangan dengan cepat
sehempas buah-buah meriam melepas hangat
kenangan yang kandas,
mabuk dalam diam

gedebur ombak puruih, kenanglah
di senja yang menyimpan peristiwa pantai
serupa parit batas kota yang dijauhi bunga ilalang
kenanglah, pun bila tak merindu
(perihal muara jumpa yang tersakiti.
ah, bangunan tua itu
juga sempat menikami pergantian malam)

Kandangpadati, 2007



Penakik Getah

sungguh aku yang berdandan
serupa memoles petang gamang
dalam cahaya mulai remang
makin bertumbuh saja cupang cupang di kuduk pesisiran
dan telah mengapit tetumbuh payau yang berbagai tangkai
sepanjang cuaca dan bahkan sekian lama
tertanam di antara runtunan bebuah katulistiwa
aku yang tak sempat lagi menyebut sesiapa
yang bergumam beriring serak suara segala malam
tertuang dalam sekian lama perang di badan
hingga yang tertelungkup bukan lagi kalah

sungguh aku yang meluka dalam sayatan
dikepal musim luka kayu yang timbul getah
hujan lama menuai gelisah penakik
cuma bau karet kering lekat di badan
hingga mereka mulai menghitung jejak padam
dalam pandam tempat orang orang kalah tersemayam

2007



Pulang

benar tak ada jalan untuk pulang?
aku hanya pamit sebentar menjenguk mimpi
yang semalam tertinggal di taman kota.
sebentar saja,
kalau tak pintu biar jendela itu kau buka
aku janji tidak pulang larut.

2007

Puisi-Puisi Javed Paul Syatha

DEMI WAKTU

Apa yang kau pikir tentang aku selama ini adalah kesalahan terbesar yang pernah dilakukan oleh waktu; keberadaan itu pencapaian di perjalanan waktu melampaui waktu; aku memang ada di jalanku sendiri, namai keadaan dengan penyerahan sesuatu yang memang seharusnya ada tapi tak terlihat, maka siapa menemui duniaku disana tidak bersembunyi dari jejakku, maka jejakjejak itu akan mengantarnya sendiri pada kabar mencapai kebenaran penempatan wajah tertinggi; demi waktu aku milikmu demi aku waktumu milikku.

Adakah kata kan disekat pembatas yang nyata sedang waktu sendiri adalah bahasa akhir melepaskan segala kehidupan.

Ini waktu bukanlah kebohongan, adalah yang menandai batas yang kau pikirkan: siapa melewatinya dengan pandangan kebenaran.

Lamongan, 2006



POETRY OF ABSOLUTION
:bagi kaum pemurtad dan berhala

Tentang kehidupan terasing ini; aku menangkap manusiamanusia di sekitarku tak lain adalah kesiaan, begitupun aku. Inilah kehidupan paling aneh yang pernah aku rasakan; kehidupan seakan karya fiksi atau sajak gelap yang tak ada maknanya, selain duka sekaligus kekecewaan paling aniaya.

Dengan menciptakan kehidupan seperti ini, bukankan tuhan ingin mengingkari eksistensi diri di luar dirinya? sungguh takdir yang aneh yang pernah aku pikir. Bukankah aku adalah penderitaan sekaligus ketidakberdayaan yang pernah diciptakan tuhan dengan imajinasi yang cerdas sekaligus kegilaannya? Maka aku tidak begitu saja percaya akan diriku sendiri akan harapanharapan yang pernah aku impikan di ujung langit sekalipun. Oleh karenanya aku hanya mendengar rasa yang selalu mengajakku bicara tentang bagaimana menghadapi kehidupan dengan segala ketenangan, lalu aku dengan sekujur kehidupan yang pongah menembusi warnawarna kabut akan kehidupan yang lain dan aku berjalan sebagai manusia yang siapapun bisa melihatnya dengan jelas.

Ya, akulah kejujuran tentang diriku sendiri tentang kehidupan yang rongsok ini. Aku menemukan tuhan untuk langit dan bumi, tapi bukan untuk aku yang membuang penghormatan dan makna bagi syurga. sungguh, tidak ada alasan lain untuk kehidupan selain pengingkaran akan kematian.

Telah aku terima segala nestapa menembusi temboktembok pengembaraan, menerbangi langit, merontokkan daun cahaya, tertatih menyeret sekujur tubuh masuki kehidupan absolut; ini jalan pintas sesungguhnya telah lama aku bangun, maka lihatlah jejakku dari wujud terima kasih itu: aku bingkis untuk kaum pemurtad dan berhala.

O, aku selalu sakit ketika bercerita tentang kerinduan kepadamu tuhan, tapi setidaknya aku telah jujur pada diriku sendiri membenci sesuatu yang aku anggap pantas untuk dibenci tentang lipatan idealogi dan zaman yang gelap yang pernah menjadi menara di kubangan paling menakutkan: tentang hayalan, keimanan dan kesangsian menjadi segugus dosa.

Aku sekarang menutup mataku secara berlahan sejenak melupakan segala, hanya hati yang memanggil kepada tubuhku sendiri; tubuh yang selama ini tergadaikan pada kepercayaan hayalanhayalan yang melampaui keyakinankeyakinanku.

Sungguh, aku tidak akan pernah berdamai dengan semesta pikiranpikiranku sendiri. kelak aku akan antusias sekali menghadapi kematian.

Lamongan 2006



SESAYAP KUNANG

Kunangkunang yang terjerat dalam tanah belantara, hendak menuju matahari. Tapi sayap yang ia pakai untuk terbang telah terlepas dari tubuhnya sebelum mencapai matahari.

Merambatlah kunangkunang di tanah belantara, ia kehilangan arah di tengah pohon keluarga. Semua jalanan buntu bahkan jejakjejak yang membawa kembali kepada perjalanan telah lenyap, tidak ada jalan keluar bagi kunangkunang yang tersesat.

Meski matahari pagi sendiri menghapus segala ketidakmungkinan kunangkunang untuk pulang ke suatu rimbanya. “duhai matahari; karena kebenaran tidak pernah terbang begitupun aku” teriak kunangkunang dalam ketidakberdayaannya ketika sangat merindu matahari.

Dan kunangkunang tidak pernah keluar dari tanah belantara dan kunangkunang tetap dalam dirinya.

Suatu masa ia terbang karena dirindu matahari sendiri; meski dengan tanpa sayap.

Lamongan, 2005

Puisi-Puisi Amien Kamil

kompas.com

MEREKAM DAUN GUGUR

Sebuah potret adalah…
Sebuah kesaksian akan masa silam
Ada cermin masa depan membayang
Ada daun gugur melayang

Potret, juga terbuka untuk berkaca
Mengenang siapa dan apa saja

Puisi-Puisi Amien Wangsitalaja

HIATUS
-pesan mai
 
selagi masih ada ruang keberanian
biarkan
kehendak yang tak masuk akal
menaruh kepercayaan, bahwa
takkan ada pengucilan
akibat kebencian, atau
hukum manusia

Puisi-Puisi Dian Hartati

Kamar Beraroma Apel 2

inilah garis singgung yang kucipta
sebuah dunia yang mendedahkan segala rasa
ketika tawa dan cerita hanya milikku
tak terdengar oleh sesiapa

di sinilah sudutbumi kuhamparkan
petapeta rahasia kubentangkan
penuh kepak kupukupu
kesegaran aroma apel
kecerahan matahari yang selalu bersinar
juga lelembah yang antarkan aku pada sebuah cahaya

di hampar permadani yang sejuk
kusebutsebut sebuah nama
juga kutuliskan banyak puisi
untuk mengenangkan seluruh kisahku
mengabadikan tangis yang diantar sebagian rasa gundah

jika kau masuki tempatku berada
lihatlah sketsa hidupku
seseorang telah melukiskannya untukku
di beranda sebuah mall
ketika angin memenjarakan aku di senja kota bandung

telusurilah angan yang kucipta
langkahlangkah sepasti sejarah
lekuk gairah yang lebur di tubuhku
semua menghadirkan senyuman yang banal

SudutBumi, 07 Maret 2008



Sketsa Hati

hatiku bukan hijau
ia ungu seperti yang tumbuh di mataku
ia dalam menutupi sumur kenangan
ada luka di hatiku
yang selalu gerimis
jika seseorang melihat di kedalamannya

SudutBumi, 17 Maret 2008



Wajah Pagi

kuterkaterka sebuah wajah,
wajah pagi yang dingin

lalu kuhantarkan matahari,
tempat luka dikeringkan

tempat segala rasa dirangkumkan
dalam sebuah cawan,
bernama kenangan

SudutBumi, 20 Maret 2008



Metawaktu

apakah kau bersiap
untuk sesuatu yang tak pernah terduga?
serupa aku yang menjelma di lelahmu
serupa aku yang berkelindan di ingatanmu

serupa kupukupu
aku siap
bermetamorfosis

SudutBumi, Maret 2008

A. Mustofa Bisri A'yat Khalili Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Wachid B.S. Abi N. Bayan Abidah El Khalieqy Acep Syahril Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu AF Denar Daniar Afrizal Malna Agus Manaji Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Maltuf Syamsury Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Ala Roa Aldika Restu Pramuli Alfatihatus Sholihatunnisa Alfiyan Harfi Ali Makhmud Ali Subhan Amelia Rachman Amie Williams Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Andry Deblenk Anggie Melianna Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Aprinus Salam Ariandalu S Arieyoko Ksmb Arya Winanda As Adi Muhammad Asep Sambodja Atrap S. Munir Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Badaruddin Amir Bakdi Sumanto Bambang Darto Bambang Kempling Bambang Widiatmoko Beni Setia Beno Siang Pamungkas Bernando J. Sudjibto Bernard S. Y. Batubara Binhad Nurrohmat Budhi Setyawan Budi Palopo Bustan Basir Maras Chairul Abhsar Chavchay Saifullah Cut Nanda A. D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Afriady Dadang Ari Murtono Daisy Priyanti Daysi Priyanti Dea Anugrah Dea Ayu Ragilia Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Desti Fatin Fauziyyah Dewi Kartika Dharmadi Diah Budiana Diah Hadaning Dian Hartati Didik Komaidi Dimas Arika Mihardja Djoko Saryono Dody Kristianto Dorothea Rosa Herliany Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Edy Lyrisacra Effendi Danata Eimond Esya Eka Budianta Eko Hendri Saiful Eko Nuryono El Sahra Mahendra Ellie R. Noer Elly Trisnawati Emha Ainun Nadjib Endang Supriadi Endang Susanti Rustamadji Eny Rose Eppril Wulaningtyas R Esha Tegar Putra Esti Nuryani Kasam Etik Widya Evi Idawati Evi Melyati Evi Sefiani Evi Sukaesih Fadhila Ramadhona Fahmi Faqih Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fatimah Wahyu Sundari Fauzi Absal Felix K. Nesi Fikri MS Fina Sato Firman Wally Fitrah Anugerah Frischa Aswarini Gampang Prawoto Ghaffur Al-Faqqih Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Gunawan Maryanto Gunoto Saparie Gus tf Sakai Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamid Jabbar Hari Leo Haris del Hakim Hasan Al Banna Hasan Aspahani Hasta Indriyana Helga Worotitjan Heri Latief Heri Listianto Heri Maja Kelana Herlinatiens Hudan Hidayat Hudan Nur Ibnu Wahyudi Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilenk Rembulan Imam S Arizal Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santoso Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indrian Koto Isbedy Stiawan ZS Iwan Gunadi Javed Paul Syatha Jibna Sudiryo Johan Khoirul Zaman Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Saputro Jufri Zaituna Jusuf AN Kadek Wara Urwasi Kadjie Bitheng MM Kartika Kusworatri Kedung Darma Romansha Kika Syafii Kirana Kejora Kirdjomuljo Kurnia Effendi Kurniawan Junaedhie Kurniawan Yunianto Kusprihyanto Namma Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lailatul Muniroh Landung Rusyanto Simatupang Lela Siti Nurlaila Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Linus Suryadi AG Liza Wahyuninto Lubis Grafura Lutfi Mardiansyah M. Badrus Alwi M. Faizi Maghfur Munif Maghie Oktavia Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maqhia Nisima Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marwanto Mas Marco Kartodikromo Mashuri Mathori A. Elwa Matroni el-Moezany Maya Mustika K. Mega Vristian Miftahul Abrori Mohammad Yamin Muhammad Ali Fakih Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muntamah Cendani Mustiar AR Mustofa W Hasyim Mutia Sukma Nadjib Kartapati Z Nanang Suryadi Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Noor Sam Nunung S. Sutrisno Nur Iswantara Nur Lodzi Hady Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Pariyo Adi Pringadi AS Pringgo HR Puisi-Puisi Indonesia Purwadmadi Admadipurwa Puspita Rose Putri Sarinande R. Toto Sugiharto Rachmat Djoko Pradopo Raedu Basha Ragil Suwarno Pragolapati Rakai Lukman Rama Prabu Ramadhan KH Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Ribut Wijoto Rikard Diku Robin Al Kautsar Rozi Kembara Rudi Hartono Rusydi Zamzami S Yoga Sahaya Santayana Saiful Bakri Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Selendang Sulaiman Seli Desmiarti Sigit Sugito Sihar Ramses Simatupang Siska Afriani Sitok Srengenge Sitor Situmorang Slamet Rahardjo Rais Slamet Widodo Sosiawan Leak Sreismitha Wungkul Sri Harjanto Sahid Sri Jayantini Sri Setya Rahayu Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunardi KS Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutirman Eka Ardhana Syifa Aulia Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Ranusastra Asmara Teguh Triaton Tengsoe Tjahjono Tharie Rietha Thowaf Zuharon Timur Sinar Suprabana Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Ulfatin Ch Umbu landu Paranggi Unieq Awien Usman Arrumy W. Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyu Subuh Warih Wisatsana Wayan Sunarta Weni Suryandari Widi Astuti Wiji Thukul Winarni R. Y. Wibowo Yonathan Rahardjo Yosi M Giri Yudhi Herwibowo Yudhiono Aprianto Yurnaldi Yusri Fajar Yusuf Suharto Yuswan Taufiq Yuswinardi Zaenal Faudin Zainal Arifin Thoha Zamroni Allief Billah Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae