http://www.lampungpost.com/
Menjelang ke Jakarta
Selagi bisa membaca bahasa burung
Saat pagi membangunkan orang-orang
Dari ruang tidur, maka
Dengarkan senandung jiwa
Serenyah kicau segairah kepak
Sebelum belajar menyukuri sisa waktu
Buat berbenah tinggalkan rumah masa kecil
Menuju ladang perburuan
Atas mimpi keliarannya sendiri
Sebagai tangkapan lelaki yang
Pantang kembali
Sanggar Gunung Gamping, 2004-2008
Kepada Penjaga Malam
Dengan bahasa anjing
Telah kaujaga mahkota malam
Berparas purnama bermata safir Maria
Atas para pencuri yang
Mengendap-endap serupa kucing
Menerobos lewat pintu dan jendela rumah
Tak terkunci penghuninya
Sanggar Gunung Gamping, 2004-2008
Sebelum Tidur
Memetik bintang-gemintang
Sebelum dipanen pagi
Bagimu kekasih yang
Berhasrat merangkainya menjadi cinta
Kepada burung bence
:Penjaga mimpi anak-anak
Dari para maling masa depan
Di dalam rumah kita sendiri
Anak-anak adalah matahari yang
Mengisyaratkan aku sebagai nahkoda
Dan kau sebagai pembentang layar
Atas bahasa angin, sebelum
Sampai di dermaga senja
Buat mengistirahkan kapal purba
Dengan bibir serupa bunga bakung yang
Mengembang berkat doa anak-anak kita
Selagi masih jaga
Berdoalah untuk anak-anak
Sebagaimana kau syukuri
Awal persuaan kita
:Seindah puisi yang
Niscaya berakhir tanpa noktah
Sanggar Gunung Gamping, 2005-2008
Kebun Depan Rumah Pagi Hari
Di kebun depan rumah
Kupu-kupu hinggap dari rumput
Ke rumput liar lainnya
:Bercinta melampaui bahasa anjing
Kupu-kupu: kebengalan lelaki yang
Dilahirkan tanpa cinta
Dari rahim ibu ilalang pada musim kemarau
Sesudah berselingkuh dengan rembulan kesepian
Sebagaimana lelaki tuliskan pada setiap sajaknya
Bahwa lapar cintanya, senasib
Sisifus mendorong batu di puncak gunung
Tak pernah terpuaskan oleh rindu-dendamnya sendir
Sanggar Gunung Gamping, 2005-2008
Senja di Kaki Merapi
Sesudah lelaki membentangkan cakrawala
Dan mengoyaknya sendiri, kau
Tersenyum sedingin monster
Berparas bukit senja yang
Meluruhkan kabut di jalan-jalan
Kepadanya, penggali kubur masa silam
Sebagaimana anak-anak
Lelaki pulang ke rumah ibu
Tanpa layang-layang tanpa airmata
Sebab esok bukan sekadar bianglala yang
Menuangkan mimpi di lambung telaga
Melainkan gunung karang terbakar matahari
:Menawarkan puncak pendakian
Sebelum kibar bendera putih
Mengisyaratkan kemenangan maut tanpa nisan
Sanggar Gunung Gamping, 2005-2008
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Sabtu, 22 November 2008
Jumat, 21 November 2008
Puisi-Puisi Eny Rose
http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/
SEHELAI NAFAS
bulan
bunga
malamku runtuh beracun
pada sehelai nafas
beribu jejak ombak turut menitipkan
tembang lautan
pada jiwajiwa yang teringkari
namun gemuruh pagi
masih saja membisik di sela
kepunahan langit
pada karang tak terangkai
engkau
aku
masihkah malam kan membelit
kita pada jaringjaring alam
yang terpekamkan luka?
Lamongan 2008
TAK BERJEJAK
dan hijau bungabunga rumput
yang kau semaikan tepat di jantungku
adalah hiasan tiaptiap nafasku
karena aku hanyalah sekelebat kabut
yang tengah mencari rindu
rindu yang kau kurung dalam ruang hampa
aku yang selalu diburu kesesatan
dan pergulatan waktu
sungguh pada siapa aku memetik
gitar cerita pemujaan roh cintamu?
sedang harihariku dibasahkan kesetiaan
meski harus berakhir tak
berjejak.
Lamongan 2008
SERUAS AKSARA
di tapaktapak kencanamu
kututurkan setitik hati lewat bisikan raga
lewat pergantian wangi musim
juga lukisanlukisan senja
marilah beranjak bebas
seperti anginangin suluh
yang menghampiri peradaban-nya
sejauh jiwa mengepung
malam dari seruas aksara
karnanya kututup saja jendela
usang itu
dari keterlepasan muara
demi nama yang telah runtuh
aku sungguh tak berarah
lentera di kemudi tubuhku sendiri
dan masih saja
kau rangkai kereta dalam bunyian pedang
patahan langit yang mengekalkan luka.
Lamongan 2008
MEMBUKA KANCING GEREJA
jika saja kering malam tak kau biaskan
maka daundaun tak jatuh di tubuhmu
bilakah deruh kias langit
merogoh kekalutan dalam damai
di ujung samudramu
akan kukikis sebait sajak
kala gerimis berbinar dari matamu
biar saja nyanyian itu
dikhusyukan dalam diam
sajaksajakku
tapi
langit ingin hidup
hidup dalam kehidupan itu sendiri
saat hantuhantu paus membuka kancing gereja
dari tidurnya
demi nyawa kebijaksanaan
kuraih namamu disela lebat hujan
yang disalibkan dalam ruhul kudus
tubuhku.
Lamongan 2008
PARADOK BATU BIRU
gadis kecil berlari kecil
memburu gelap kabut
malam yang menyelimuti
tubuhnya
membatu di atas batu
biru yang menganga
luka yang membiru.
Lamongan 2008
PADA MUARA PERSENDIHANKU
ya robb
adakah kau relakan kehadiranku berlinang cambuk
tanpa rupa
tanpa daya
dihujat kecemburuan kawanan anjing
yang kian menegaskan muara matahari
pada aroma bunga diujung rindu
dalam perjamuan para wali cinta-mu
istikharahku
dalam balutan cadar dan mukenah
tak kujumpai air pun dari jerat wudhu
lantas malam sujud itu
tak juga beruluk salam
ya robb
kuatkan aku dalam hajar-mu
atau jika boleh aku meminta
jadikan aku seekor lebah yang elok
dengan sengatnya.
Lamongan 2008
PERCAKAPAN AIR
“maaf aku kira engkau selaput rinduku”
“akulah syair tak tersantun akulah saksi percintaan sepasang persik di kerajaan laut”
“sirnakah engkau diterbangkan angin dari peradaban lautmu ?”
“bacalah aku dalam senandung jejak ombak dan matahari”
…
lantas kepada keranda sutra aku titipkan payungku
dalam perbendaraan sunyi
dalamlah ia merintih
pada sayu kecantikanmu yang menyalai tiaptiap lilin
disegala ruang istanakau
dalam pelayaran tuhan
mendermaga air di tiap pesta kita
sebab akupun tak mungkin disandarkan pada
kesadaran muaramu.
Lamongan 2008
PADA EMBUN TAK TERANGKAI
rembulan
malamku runtuh beracun
pada sehelai nafas tanpa cahaya
beribu penaku menitipkan
tembang lautan
pada jiwa tak berombak
“aku tak pernah bisa mendustakan-mu”
gemuruh bintang
masih saja membisik
di sela langit penghabisan
pada embun tak terangkai
engkau
aku
masihkah malam kan membelit
kita
pada jaringjaring alam
yang terpekamkan luka.
Lamongan, 2007
SALAMKU BINTANG THARIQ
Bagi: Ustadz Javed
hati
adakah engkau surau putih pada jiwa tak terukur
bagi warna pagi
tak hidupkah
tak tumbuh
mati dan terjatuh
pada sejenak jiwa
kutitipkan sebait salam untuk-mu
lewat bintangbintang thariq
“aku merindukan-mu
pada selepas angin pertemuan
dan perjalanan malam yang tak berjilid
di balik syairsyairku”
di ujung perjamuan cinta ini
adalah pesona kasih segala kekasih
bilakah tangan sunyi telah menyulam
dalam garis doa yang terhijab.
Lamongan, 2007
GALERI PUISI
- jps
kekasih
apakah yang selama ini kau cari dengan hanya bersembunyi dari balik tirai katakata? kenyataan ini tak urung membantaiku habis-habisan pada sebuah eksperimen tak berkesudahan. dimana nyawa dan jiwa tak ada beda dalam bias cermin. pernahkah engkau sepertiku? mengejar air dari dalam gelas yang mana di luar itu adalah pantulan dari ngiang suaraku sendiri.
(entahlah
dia adalah sebuah bayangbayang
jangan dikejar sebab dia akan lari
maka sentuhlah genggamlah
diamlah gembiralah
sebab cinta hanya datang pada jiwajiwa yang terpilih)
jika suatu saat “cinta hanya sebatas bayangbayang itu sendiri” tak ada namun melelahkan, tak apalah. sebab nyatanya kita telah bersiap menyambut kedatangannya dengan segala sesuatu yang indah.
~ bilakah cinta hadir dari hempas surga ~
datanglah pada dirimu
datanglah pada tuhanmu
duhai
pernahkah kita mendatangi tuhan hanya untuk sekedar bercinta?
maka jangan salah jika cinta justru hendak membantai kita
inilah realitas dari sejuta kebodohanku
yang terpaksa aku pamerkan dalam galerigaleri puisiku.
Lamongan, 2008
SEHELAI NAFAS
bulan
bunga
malamku runtuh beracun
pada sehelai nafas
beribu jejak ombak turut menitipkan
tembang lautan
pada jiwajiwa yang teringkari
namun gemuruh pagi
masih saja membisik di sela
kepunahan langit
pada karang tak terangkai
engkau
aku
masihkah malam kan membelit
kita pada jaringjaring alam
yang terpekamkan luka?
Lamongan 2008
TAK BERJEJAK
dan hijau bungabunga rumput
yang kau semaikan tepat di jantungku
adalah hiasan tiaptiap nafasku
karena aku hanyalah sekelebat kabut
yang tengah mencari rindu
rindu yang kau kurung dalam ruang hampa
aku yang selalu diburu kesesatan
dan pergulatan waktu
sungguh pada siapa aku memetik
gitar cerita pemujaan roh cintamu?
sedang harihariku dibasahkan kesetiaan
meski harus berakhir tak
berjejak.
Lamongan 2008
SERUAS AKSARA
di tapaktapak kencanamu
kututurkan setitik hati lewat bisikan raga
lewat pergantian wangi musim
juga lukisanlukisan senja
marilah beranjak bebas
seperti anginangin suluh
yang menghampiri peradaban-nya
sejauh jiwa mengepung
malam dari seruas aksara
karnanya kututup saja jendela
usang itu
dari keterlepasan muara
demi nama yang telah runtuh
aku sungguh tak berarah
lentera di kemudi tubuhku sendiri
dan masih saja
kau rangkai kereta dalam bunyian pedang
patahan langit yang mengekalkan luka.
Lamongan 2008
MEMBUKA KANCING GEREJA
jika saja kering malam tak kau biaskan
maka daundaun tak jatuh di tubuhmu
bilakah deruh kias langit
merogoh kekalutan dalam damai
di ujung samudramu
akan kukikis sebait sajak
kala gerimis berbinar dari matamu
biar saja nyanyian itu
dikhusyukan dalam diam
sajaksajakku
tapi
langit ingin hidup
hidup dalam kehidupan itu sendiri
saat hantuhantu paus membuka kancing gereja
dari tidurnya
demi nyawa kebijaksanaan
kuraih namamu disela lebat hujan
yang disalibkan dalam ruhul kudus
tubuhku.
Lamongan 2008
PARADOK BATU BIRU
gadis kecil berlari kecil
memburu gelap kabut
malam yang menyelimuti
tubuhnya
membatu di atas batu
biru yang menganga
luka yang membiru.
Lamongan 2008
PADA MUARA PERSENDIHANKU
ya robb
adakah kau relakan kehadiranku berlinang cambuk
tanpa rupa
tanpa daya
dihujat kecemburuan kawanan anjing
yang kian menegaskan muara matahari
pada aroma bunga diujung rindu
dalam perjamuan para wali cinta-mu
istikharahku
dalam balutan cadar dan mukenah
tak kujumpai air pun dari jerat wudhu
lantas malam sujud itu
tak juga beruluk salam
ya robb
kuatkan aku dalam hajar-mu
atau jika boleh aku meminta
jadikan aku seekor lebah yang elok
dengan sengatnya.
Lamongan 2008
PERCAKAPAN AIR
“maaf aku kira engkau selaput rinduku”
“akulah syair tak tersantun akulah saksi percintaan sepasang persik di kerajaan laut”
“sirnakah engkau diterbangkan angin dari peradaban lautmu ?”
“bacalah aku dalam senandung jejak ombak dan matahari”
…
lantas kepada keranda sutra aku titipkan payungku
dalam perbendaraan sunyi
dalamlah ia merintih
pada sayu kecantikanmu yang menyalai tiaptiap lilin
disegala ruang istanakau
dalam pelayaran tuhan
mendermaga air di tiap pesta kita
sebab akupun tak mungkin disandarkan pada
kesadaran muaramu.
Lamongan 2008
PADA EMBUN TAK TERANGKAI
rembulan
malamku runtuh beracun
pada sehelai nafas tanpa cahaya
beribu penaku menitipkan
tembang lautan
pada jiwa tak berombak
“aku tak pernah bisa mendustakan-mu”
gemuruh bintang
masih saja membisik
di sela langit penghabisan
pada embun tak terangkai
engkau
aku
masihkah malam kan membelit
kita
pada jaringjaring alam
yang terpekamkan luka.
Lamongan, 2007
SALAMKU BINTANG THARIQ
Bagi: Ustadz Javed
hati
adakah engkau surau putih pada jiwa tak terukur
bagi warna pagi
tak hidupkah
tak tumbuh
mati dan terjatuh
pada sejenak jiwa
kutitipkan sebait salam untuk-mu
lewat bintangbintang thariq
“aku merindukan-mu
pada selepas angin pertemuan
dan perjalanan malam yang tak berjilid
di balik syairsyairku”
di ujung perjamuan cinta ini
adalah pesona kasih segala kekasih
bilakah tangan sunyi telah menyulam
dalam garis doa yang terhijab.
Lamongan, 2007
GALERI PUISI
- jps
kekasih
apakah yang selama ini kau cari dengan hanya bersembunyi dari balik tirai katakata? kenyataan ini tak urung membantaiku habis-habisan pada sebuah eksperimen tak berkesudahan. dimana nyawa dan jiwa tak ada beda dalam bias cermin. pernahkah engkau sepertiku? mengejar air dari dalam gelas yang mana di luar itu adalah pantulan dari ngiang suaraku sendiri.
(entahlah
dia adalah sebuah bayangbayang
jangan dikejar sebab dia akan lari
maka sentuhlah genggamlah
diamlah gembiralah
sebab cinta hanya datang pada jiwajiwa yang terpilih)
jika suatu saat “cinta hanya sebatas bayangbayang itu sendiri” tak ada namun melelahkan, tak apalah. sebab nyatanya kita telah bersiap menyambut kedatangannya dengan segala sesuatu yang indah.
~ bilakah cinta hadir dari hempas surga ~
datanglah pada dirimu
datanglah pada tuhanmu
duhai
pernahkah kita mendatangi tuhan hanya untuk sekedar bercinta?
maka jangan salah jika cinta justru hendak membantai kita
inilah realitas dari sejuta kebodohanku
yang terpaksa aku pamerkan dalam galerigaleri puisiku.
Lamongan, 2008
Puisi-Puisi Marhalim Zaini
http://www.jurnalnasional.com/
Seribu Lima Ratus Sebelas
seribu lima ratus sebelas
di dinding gereja merah saga
burung-burung hitam
melepas gaun melaka.
tembok meninggi
membangun ritus
di kaki langit tua
aku menurunkan
gumpalan kota
dari pundak malam
yang memberat
di anak tangga ke tujuh
pada dingin
yang disalibkan.
aku tamu
berharap bertemu
separuh tubuhku
di tanah bekas waktu
menurunkan gerimis
menjejakkan kaki portugis
tapi tangis itu
tangis itu juga yang mencumbu
menggelapkan segala peluk
pada kutuk
ia hinggap di ujung-ujung rambutku
membangun jembatan rumpang ke masa lalu.
ia menungguku
dentang jam pada lengang
mengirimkan becak penuh bunga
seorang tua menebak wajah sejarah
di raut asing bahasa lautku
tapi ia tahu
di jalan lurus yang kurus
sebuah kota sedang bekerja
membuat pagar dari kaki-kaki
pendatang yang kekar
turunkan aku di sini, tuan
di mana rumah itu
tempat kebisuan dibatukan
gedung tua saling pandang
membuat tubuhku terasa telanjang
aku takut menyebut siak
mulutku tertinggal di kursi retak
aku ragu memanggil lingga
lambaiku tersangkut di singapura
duhai
jauhlah badan
di tanah orang
berebut rumah
di negeri sendiri
pada senja tua
burung-burung hitam melepas
seribu lima ratus sebelas gaun melaka
di bawah tembok gereja yang meninggi
aku membangun ritus merah saga
di kota-kota tua
di anak tangga ke tujuh
pada dingin malam
yang disalibkan.
Melaka, 2004-2008
Riwayat Sampah Rumah
seperti hujan
ia turun berkerumun
menyusun kulit kayu
di tidurku
sungai duku yang layu
mematikan lampu-lampu
membiarkan anak-anak
berdebur di tidurmu
seorang ibu dari
onggokan sampah rumah
mengibas debu
dari sepotong ubi kayu
yang bau batu:
ini malam, atau pagi
yang mati?
ia seperti renta
kardus-kardus buangan
dari derita sungai
yang menanggung sisa
tak ada api di wajah mereka
hangusnya mengirimkan
ikan-ikan keli dari suku asli
yang terapung mati
ke jantungmu
(mungkin yang berendam
tadi malam
membungkus bangkai hutan
dalam plastik waktu
aku tak pernah mendengar
ada tangis yang menyerupai lagu)
orang sungai
tak mengerti puisi
ia hanya mengutip anak pasir
satu-satu dari tanah tubuhnya
yang basah
berjanji mengembalikan
garam pada asinnya
mengembalikan asin
pada lautnya
(seusai demam panjang itu
hari-hari saling menunda cerita
tentang sebuah kota mati
yang ditinggalkan puisi)
hanya bahasa kuli
belajar berdiri
di atas jembatan usia
menuju sepi
belajar merumuskan tubuh
dalam hitungan jam
yang diam-diam
membidikkan tikam
ia turun berkerumun dalam hujan
yang menyusun kulit kayu di rumahku
lampu-lampu sungai duku
membiarkan anak-anak layu
dalam debur tidur seorang ibu
dalam mimpinya
sepotong ubi kayu
ia temukan dalam onggokan
riwayat sampah rumah
jadi batu di bawah abu
tungku waktu.
Pekanbaru, 2004-2008
Gelang Rotan
Sehabis lembubu, jumat oleng.
Kau memeluk kaki-kaki rumah
seperti gelang rotan memeluk
kaki-kaki perempuan
Semalam, menyumpah mulutmu
pada selat hantu:
“Oi, burung sipumpung, raja lelaki,
pinang aku, sungai sepi
yang pandai menari.”
Daun birahi merimbun di dahimu,
bekas kecup selamat tinggal
yang kekal. Serupa siput,
matamu mengintip dari celah kerudung
dari bilik batu-batu rindumu.
diam-diam ada api berkecambah
dalam kebayamu. Ada pulau terbakar
dalam sarungmu.
(sarung nelayan, tempat senja
menyimpan amis matahari)
Setelah karam berkali-kali
kau tahu, kematin adalah upacara
yang selalu tak tuntas.
Masih tersisa hidup di gelang rotan
sebagai sepasang kenangan.
Lalu kau ringkus musim
dalam ketiakmu yang bau kemenyan.
Mengusap perut laut
tubuh yang terus naik pasang.
Memanggil burung-burung
menemani sunyi sepanjang malam
menyusun nama-nama tuhan
di ujung puting yang kering sentuhan.
Dan sepotong riwayat kampung pasir
dalam gerimis, kaukenang, kautimang,
ibarat bayi dari kelahiran yang sungsang.
Di sini, lelaki menjadi gelang rotan yang
memeluk kaki-kaki perempuan.
Yogyakarta, 2003-2008
Seribu Lima Ratus Sebelas
seribu lima ratus sebelas
di dinding gereja merah saga
burung-burung hitam
melepas gaun melaka.
tembok meninggi
membangun ritus
di kaki langit tua
aku menurunkan
gumpalan kota
dari pundak malam
yang memberat
di anak tangga ke tujuh
pada dingin
yang disalibkan.
aku tamu
berharap bertemu
separuh tubuhku
di tanah bekas waktu
menurunkan gerimis
menjejakkan kaki portugis
tapi tangis itu
tangis itu juga yang mencumbu
menggelapkan segala peluk
pada kutuk
ia hinggap di ujung-ujung rambutku
membangun jembatan rumpang ke masa lalu.
ia menungguku
dentang jam pada lengang
mengirimkan becak penuh bunga
seorang tua menebak wajah sejarah
di raut asing bahasa lautku
tapi ia tahu
di jalan lurus yang kurus
sebuah kota sedang bekerja
membuat pagar dari kaki-kaki
pendatang yang kekar
turunkan aku di sini, tuan
di mana rumah itu
tempat kebisuan dibatukan
gedung tua saling pandang
membuat tubuhku terasa telanjang
aku takut menyebut siak
mulutku tertinggal di kursi retak
aku ragu memanggil lingga
lambaiku tersangkut di singapura
duhai
jauhlah badan
di tanah orang
berebut rumah
di negeri sendiri
pada senja tua
burung-burung hitam melepas
seribu lima ratus sebelas gaun melaka
di bawah tembok gereja yang meninggi
aku membangun ritus merah saga
di kota-kota tua
di anak tangga ke tujuh
pada dingin malam
yang disalibkan.
Melaka, 2004-2008
Riwayat Sampah Rumah
seperti hujan
ia turun berkerumun
menyusun kulit kayu
di tidurku
sungai duku yang layu
mematikan lampu-lampu
membiarkan anak-anak
berdebur di tidurmu
seorang ibu dari
onggokan sampah rumah
mengibas debu
dari sepotong ubi kayu
yang bau batu:
ini malam, atau pagi
yang mati?
ia seperti renta
kardus-kardus buangan
dari derita sungai
yang menanggung sisa
tak ada api di wajah mereka
hangusnya mengirimkan
ikan-ikan keli dari suku asli
yang terapung mati
ke jantungmu
(mungkin yang berendam
tadi malam
membungkus bangkai hutan
dalam plastik waktu
aku tak pernah mendengar
ada tangis yang menyerupai lagu)
orang sungai
tak mengerti puisi
ia hanya mengutip anak pasir
satu-satu dari tanah tubuhnya
yang basah
berjanji mengembalikan
garam pada asinnya
mengembalikan asin
pada lautnya
(seusai demam panjang itu
hari-hari saling menunda cerita
tentang sebuah kota mati
yang ditinggalkan puisi)
hanya bahasa kuli
belajar berdiri
di atas jembatan usia
menuju sepi
belajar merumuskan tubuh
dalam hitungan jam
yang diam-diam
membidikkan tikam
ia turun berkerumun dalam hujan
yang menyusun kulit kayu di rumahku
lampu-lampu sungai duku
membiarkan anak-anak layu
dalam debur tidur seorang ibu
dalam mimpinya
sepotong ubi kayu
ia temukan dalam onggokan
riwayat sampah rumah
jadi batu di bawah abu
tungku waktu.
Pekanbaru, 2004-2008
Gelang Rotan
Sehabis lembubu, jumat oleng.
Kau memeluk kaki-kaki rumah
seperti gelang rotan memeluk
kaki-kaki perempuan
Semalam, menyumpah mulutmu
pada selat hantu:
“Oi, burung sipumpung, raja lelaki,
pinang aku, sungai sepi
yang pandai menari.”
Daun birahi merimbun di dahimu,
bekas kecup selamat tinggal
yang kekal. Serupa siput,
matamu mengintip dari celah kerudung
dari bilik batu-batu rindumu.
diam-diam ada api berkecambah
dalam kebayamu. Ada pulau terbakar
dalam sarungmu.
(sarung nelayan, tempat senja
menyimpan amis matahari)
Setelah karam berkali-kali
kau tahu, kematin adalah upacara
yang selalu tak tuntas.
Masih tersisa hidup di gelang rotan
sebagai sepasang kenangan.
Lalu kau ringkus musim
dalam ketiakmu yang bau kemenyan.
Mengusap perut laut
tubuh yang terus naik pasang.
Memanggil burung-burung
menemani sunyi sepanjang malam
menyusun nama-nama tuhan
di ujung puting yang kering sentuhan.
Dan sepotong riwayat kampung pasir
dalam gerimis, kaukenang, kautimang,
ibarat bayi dari kelahiran yang sungsang.
Di sini, lelaki menjadi gelang rotan yang
memeluk kaki-kaki perempuan.
Yogyakarta, 2003-2008
Puisi-Puisi Akhmad Sekhu
http://www.jurnalnasional.com/
Sajak Seribu Tahun
Seribu tahun lagi, aku mungkin
datang kembali tidak dengan raga ini
tapi puisi-puisi. Sukmaku menjelma
makna-makna yang mengental
dalam pemahamanmu
Sajak Seribu Tahun
Seribu tahun lagi, aku mungkin
datang kembali tidak dengan raga ini
tapi puisi-puisi. Sukmaku menjelma
makna-makna yang mengental
dalam pemahamanmu
Puisi-Puisi Ni Made Purnamasari
jurnalnasional.com
SEUSAI SUNYI
: Rilke
Di dunia ini,
ada lampu yang kehilangan warna,
ada labirin untuk jejak langkah
yang bahagia.
Tapi di ujung titik,
hanya ada kata-kata
dan hampa yang percuma.
SEUSAI SUNYI
: Rilke
Di dunia ini,
ada lampu yang kehilangan warna,
ada labirin untuk jejak langkah
yang bahagia.
Tapi di ujung titik,
hanya ada kata-kata
dan hampa yang percuma.
Puisi-Puisi Budhi Setyawan
Jurnal Kebudayaan The Sandour III 2008
ODE PENYAIR LUKA
akulah
penyair luka
terlahir dari darah nanah
kutawarkan rintih duka kepada samudera
untuk kutukar dengan: ombak ganas
kutawarkan bosan nuansa kepada ladang
untuk kutukar dengan: gesit musang
kutawarkan hambar jiwa kepada sabana
untuk kutukar dengan: taring singa
kutawarkan keluh sengsara kepada belantara
untuk kutukar dengan: aum harimau
kutawarkan beku cinta kepada gunung
untuk kutukar dengan: gelegak lava
masih ku duduk di kepak kata
menunggu jawabnya,
sambil menghitung sisa usia
Jenewa (Swiss), 27 Juni 2007
SAJAK PENYAIR LUPA
bukan ini yang kumau
mengapa puisi begini menjadi
ini hanyalah najis dalam bangunan kata-kata manis
“duhai kata pujaan
bermalam-malam
berbulan-bulan
bertahun-tahun
kau benamkan aku dalam perahu renjana
melintasi taman teduh sekujur pembuluh
setia meski di ruang keruh
bahkan banyak yang ingin membunuh
tiada keluh mengaduh
sampai engkau kurengkuh, sungguh”
“engkau terus membelit menggodaku
namun kau tak pernah hadir di bait-bait sajakku
mengapa kau udarakan rayu manja,
begitu aku semangat; engkau khianat?”
ternyata,
puisi yang diharapnya
tak pernah tercipta
hingga sang kala meremahnya
di jalan menikung, senja yang mendung
penyair berlalu sendirian dan lupa bersenandung
Jenewa (Swiss), 28 juni 2007
KUDA-KUDA MEMERCIK API
kuda-kuda kekar berlari gagah
menepuk jalan
menjejak jarak
mengeluarkan percik api
menghambur sepanjang cerita
percik-percik api membara
terus menyala
cakrawala tak pernah padam
di belahan dunia sana
anak-anak muda
rajin memunguti butir-butir bara
lalu dikumpulkan
dan kini tlah menjadi matahari
di sini,
anak-anak bangsa masih nyaman
berjalan dalam temaram
lalu siapa pewaris negeri ini
yang akan tekun menyusun bara-bara ini
hingga menjadi seribu matahari
Jakarta, 11 Januari 2008
SESAL PAGI
hari telah mengepak siang
ketika pagiku ketinggalan di gerbong kereta
mencari bisik suara perjalanan usia
dijilati lidah kemarau yang kerontang
udara meradang
ditingkah jerit geragal usang
Bekasi – Jakarta, 24 Agustus 2007
MENUJU PERTEMUAN
senja tersungkur matahari berbaur
lautan meringis teriris menahan gemeretak ombak
tanah-tanah terbelah tampakkan pasrah
senyap arah
danau sungai peluk temaram
terhisap suara ke dalam untai debar
gunung perbukitan menundukkan tubuh
khidmat menempuh jalanan luruh
ini dunia
hanya permainan dan canda belaka
batu kapur,
melapuk umur
menuju kubur
Jakarta, 2 November 2007
ODE PENYAIR LUKA
akulah
penyair luka
terlahir dari darah nanah
kutawarkan rintih duka kepada samudera
untuk kutukar dengan: ombak ganas
kutawarkan bosan nuansa kepada ladang
untuk kutukar dengan: gesit musang
kutawarkan hambar jiwa kepada sabana
untuk kutukar dengan: taring singa
kutawarkan keluh sengsara kepada belantara
untuk kutukar dengan: aum harimau
kutawarkan beku cinta kepada gunung
untuk kutukar dengan: gelegak lava
masih ku duduk di kepak kata
menunggu jawabnya,
sambil menghitung sisa usia
Jenewa (Swiss), 27 Juni 2007
SAJAK PENYAIR LUPA
bukan ini yang kumau
mengapa puisi begini menjadi
ini hanyalah najis dalam bangunan kata-kata manis
“duhai kata pujaan
bermalam-malam
berbulan-bulan
bertahun-tahun
kau benamkan aku dalam perahu renjana
melintasi taman teduh sekujur pembuluh
setia meski di ruang keruh
bahkan banyak yang ingin membunuh
tiada keluh mengaduh
sampai engkau kurengkuh, sungguh”
“engkau terus membelit menggodaku
namun kau tak pernah hadir di bait-bait sajakku
mengapa kau udarakan rayu manja,
begitu aku semangat; engkau khianat?”
ternyata,
puisi yang diharapnya
tak pernah tercipta
hingga sang kala meremahnya
di jalan menikung, senja yang mendung
penyair berlalu sendirian dan lupa bersenandung
Jenewa (Swiss), 28 juni 2007
KUDA-KUDA MEMERCIK API
kuda-kuda kekar berlari gagah
menepuk jalan
menjejak jarak
mengeluarkan percik api
menghambur sepanjang cerita
percik-percik api membara
terus menyala
cakrawala tak pernah padam
di belahan dunia sana
anak-anak muda
rajin memunguti butir-butir bara
lalu dikumpulkan
dan kini tlah menjadi matahari
di sini,
anak-anak bangsa masih nyaman
berjalan dalam temaram
lalu siapa pewaris negeri ini
yang akan tekun menyusun bara-bara ini
hingga menjadi seribu matahari
Jakarta, 11 Januari 2008
SESAL PAGI
hari telah mengepak siang
ketika pagiku ketinggalan di gerbong kereta
mencari bisik suara perjalanan usia
dijilati lidah kemarau yang kerontang
udara meradang
ditingkah jerit geragal usang
Bekasi – Jakarta, 24 Agustus 2007
MENUJU PERTEMUAN
senja tersungkur matahari berbaur
lautan meringis teriris menahan gemeretak ombak
tanah-tanah terbelah tampakkan pasrah
senyap arah
danau sungai peluk temaram
terhisap suara ke dalam untai debar
gunung perbukitan menundukkan tubuh
khidmat menempuh jalanan luruh
ini dunia
hanya permainan dan canda belaka
batu kapur,
melapuk umur
menuju kubur
Jakarta, 2 November 2007
Puisi-puisi Bambang Kempling
...Menisik Luka
jarum jam menisik luka
:menyebalkan
kaukah yang terjebak dalam tanda
diantara dera cuaca dan guyur hujan?
ada yang tersimpan
dalam genangan air di jalan
:sesosok jiwa
mengerdil
ia menari bersama pelor-pelor hujan
untuk sebuah lagu yang hampir usai
lalu terdengar dentang di pembatas waktu
menuju senja.
sesosok kunang-kunang
mengejanya ketika hujan telah reda
malam terdiam
takjub pada cahanya
13 April 2007
Hari Ini Kau Terjaga
hari ini kau terjaga: di sudut peron stasion
ruang menjalamu
rel kereta memanjang dalam gaib
balok-balok yang abadi itu
masih begitu setia
menghitung angka-angka
sampai hari ini: saat kau terjaga
dengan kerdip mata
yang begitu lelah
deru kereta hanya sayup terdengar
terkadang kau pun sangsi
pada persetubuhan yang harus kau lakukan
saat perjalanan belumlah sampai.
April 2007
jarum jam menisik luka
:menyebalkan
kaukah yang terjebak dalam tanda
diantara dera cuaca dan guyur hujan?
ada yang tersimpan
dalam genangan air di jalan
:sesosok jiwa
mengerdil
ia menari bersama pelor-pelor hujan
untuk sebuah lagu yang hampir usai
lalu terdengar dentang di pembatas waktu
menuju senja.
sesosok kunang-kunang
mengejanya ketika hujan telah reda
malam terdiam
takjub pada cahanya
13 April 2007
Hari Ini Kau Terjaga
hari ini kau terjaga: di sudut peron stasion
ruang menjalamu
rel kereta memanjang dalam gaib
balok-balok yang abadi itu
masih begitu setia
menghitung angka-angka
sampai hari ini: saat kau terjaga
dengan kerdip mata
yang begitu lelah
deru kereta hanya sayup terdengar
terkadang kau pun sangsi
pada persetubuhan yang harus kau lakukan
saat perjalanan belumlah sampai.
April 2007
Puisi-Puisi Dian Hartati
Di Balik Tikungan
buat budi p hatees
h/
malam telah menghabiskan cahaya
seluruhnya diserap tubuhmu
aura apa yang kau sisakan di gelap ini
yang silang di balik jabat tangan
ternyata jalanan telah mempertemukan kita
arah datang katakata tak diduga
mencecar tawa dalam ruang yang melaju
t/
siang tadi aku masih mencermati tikungan ini
sepi, hanya angin yang menghibur diri
dan gugur daunan mendatangkan kupukupu
apakah itu pertanda kau akan datang
menjelang malam serangga itu pergi
berganti dirimu
duduk menanti di tikungan
aku abai melewatimu
yang sibuk di antara genggam ponsel
tertawa begitu renyah
kau berbicara dengan siapa
sungguh aku ingin tahu
s/
di balik tikungan
akhirnya kita saling sapa
menorehkan segumpal kenangan
selalu dalam tawa yang hangat
SudutBumi, 30 April 2008
Melati yang Aku Curi
kata leluhurku,
datangilah setiap pelaminan yang digelar di ranah kerinduan
di situ ada cinta yang diikat sempurna oleh janji sehidup
ada hati yang tak dapat mengaburkan kenangan
tersebab harihari dilalui dengan asa
kata leluhurku,
belajarlah memainkan jemari ketika bersalaman dengan pengantin perempuan
dan pejamkan matanya
“agar kau dapat mencuri kantil melati”
merebut kesempatan yang sama
menjadi pengantin di hari yang berbeda
mainkan jemarimu
tanpa pengetahuan raja dan ratu sehari
kata leluhurku: “agar sempurna kau menjadi perempuan”
SudutBumi, 11 Juni 2008
Firasat Waktu
akhirnya aku tahu
ada jarak dari sekian perjalanan panjang
dari lubuk ke lubuk
hilir yang melantakkan tubuh
ini hanyalah perjalanan air
yang terus mengambang kehilangan tenaga
berenang mencapai sesuatu yang tak kumengerti
sebagai ikan,
hanya kunantikan
arah datangnya cahaya
dari permukaan
SudutBumi, 1 September 2008
Melepasmu dengan Doa
maka kugumamkan basmalah
mengiringi langkahmu menuju tangga itu
kuuraikan segala doa,
katakata yang tak mungkin kuungkap
tersebab hati berkata lain
demi ubunubun yang telah kau sematkan doa
malam penuh tanda tanya
adakah hatimu terbuka karenanya
hingga kelam matahari kurasakan di senja ini
pergilah
akan kunantikan sebuah waktu
ketika cakrawala mempertemukan kembali
angin dan laut
lembayung dan jingga
teruslah merapalkan doa untukku
agar tuhan kita mempertemukan hati yang saling membatu
tersebab mata berkata lain
kuakhiri juga rasa ini
memaksa putus sesuatu yang belum selesai
penuh tanda tanya
karena begitulah jalan takdir
tak bisa memaksa
SudutBumi, 8 September 2008
Perumpamaan Rindu
untuk kau, sungguh aku tak ingin menuliskan namamu
aku merindukanmu
selayaknya matahari merindu awan
peraduan yang dinantikan siang hari
tempat singgah segala lelah
ketika bumi ingin menepi dari panas purba
seumpama matahari
aku siap menanti kunjungan angin
yang datang bersama awan
dari arah tak terduga
selalu aku sebut namamu
tentunya –disertai nama tuhanku
segenap ingatan yang tak lepas
berlesatan
menyusuri setiap tepi hari
waktu ke waktu
dan aku selalu menemukan jalan
yang buntu
hingga rindu ini tak mungkin luruh
“hai angin, sampaikan padanya”
seperti lagu usang yang kusuka
“katakan, sampai kapan aku harus menunggu”
mendung di langit seolah pertanda
tetapi aku akan tetap bersetia
seumpama matahari
datang dan pergi di waktu yang sama
menarik usia bumi
menuju kesempurnaan
–yang difirasatkan semesta
aku merindukanmu
sungguh!
SudutBumi, 14 September 2008
buat budi p hatees
h/
malam telah menghabiskan cahaya
seluruhnya diserap tubuhmu
aura apa yang kau sisakan di gelap ini
yang silang di balik jabat tangan
ternyata jalanan telah mempertemukan kita
arah datang katakata tak diduga
mencecar tawa dalam ruang yang melaju
t/
siang tadi aku masih mencermati tikungan ini
sepi, hanya angin yang menghibur diri
dan gugur daunan mendatangkan kupukupu
apakah itu pertanda kau akan datang
menjelang malam serangga itu pergi
berganti dirimu
duduk menanti di tikungan
aku abai melewatimu
yang sibuk di antara genggam ponsel
tertawa begitu renyah
kau berbicara dengan siapa
sungguh aku ingin tahu
s/
di balik tikungan
akhirnya kita saling sapa
menorehkan segumpal kenangan
selalu dalam tawa yang hangat
SudutBumi, 30 April 2008
Melati yang Aku Curi
kata leluhurku,
datangilah setiap pelaminan yang digelar di ranah kerinduan
di situ ada cinta yang diikat sempurna oleh janji sehidup
ada hati yang tak dapat mengaburkan kenangan
tersebab harihari dilalui dengan asa
kata leluhurku,
belajarlah memainkan jemari ketika bersalaman dengan pengantin perempuan
dan pejamkan matanya
“agar kau dapat mencuri kantil melati”
merebut kesempatan yang sama
menjadi pengantin di hari yang berbeda
mainkan jemarimu
tanpa pengetahuan raja dan ratu sehari
kata leluhurku: “agar sempurna kau menjadi perempuan”
SudutBumi, 11 Juni 2008
Firasat Waktu
akhirnya aku tahu
ada jarak dari sekian perjalanan panjang
dari lubuk ke lubuk
hilir yang melantakkan tubuh
ini hanyalah perjalanan air
yang terus mengambang kehilangan tenaga
berenang mencapai sesuatu yang tak kumengerti
sebagai ikan,
hanya kunantikan
arah datangnya cahaya
dari permukaan
SudutBumi, 1 September 2008
Melepasmu dengan Doa
maka kugumamkan basmalah
mengiringi langkahmu menuju tangga itu
kuuraikan segala doa,
katakata yang tak mungkin kuungkap
tersebab hati berkata lain
demi ubunubun yang telah kau sematkan doa
malam penuh tanda tanya
adakah hatimu terbuka karenanya
hingga kelam matahari kurasakan di senja ini
pergilah
akan kunantikan sebuah waktu
ketika cakrawala mempertemukan kembali
angin dan laut
lembayung dan jingga
teruslah merapalkan doa untukku
agar tuhan kita mempertemukan hati yang saling membatu
tersebab mata berkata lain
kuakhiri juga rasa ini
memaksa putus sesuatu yang belum selesai
penuh tanda tanya
karena begitulah jalan takdir
tak bisa memaksa
SudutBumi, 8 September 2008
Perumpamaan Rindu
untuk kau, sungguh aku tak ingin menuliskan namamu
aku merindukanmu
selayaknya matahari merindu awan
peraduan yang dinantikan siang hari
tempat singgah segala lelah
ketika bumi ingin menepi dari panas purba
seumpama matahari
aku siap menanti kunjungan angin
yang datang bersama awan
dari arah tak terduga
selalu aku sebut namamu
tentunya –disertai nama tuhanku
segenap ingatan yang tak lepas
berlesatan
menyusuri setiap tepi hari
waktu ke waktu
dan aku selalu menemukan jalan
yang buntu
hingga rindu ini tak mungkin luruh
“hai angin, sampaikan padanya”
seperti lagu usang yang kusuka
“katakan, sampai kapan aku harus menunggu”
mendung di langit seolah pertanda
tetapi aku akan tetap bersetia
seumpama matahari
datang dan pergi di waktu yang sama
menarik usia bumi
menuju kesempurnaan
–yang difirasatkan semesta
aku merindukanmu
sungguh!
SudutBumi, 14 September 2008
Puisi-Puisi Wayan Sunarta
http://www.kompas.com/
Puisi untuk WL
walau cuaca galau dan
angin memeram benih malam
namun kau masih setia berjalan
dari waktu ke waktu pertemuan
antara kenangan dan kerinduan
lebih puisi hari-harimu kini
endapan semerbak wangi rambutmu
o, kilau cahaya yang ragu
pada batas kelam kelopak mata
ombak merayap mencapai mulus betismu
letih telah paripurna di tepian senja
dan camar yang mengembara sendiri
akan kembali pulang ke sarang jiwamu
Karangasem, Bali, 27 Mei 2008
Sajak
aku tahu kau akan tiba dengan kutukan baru
aku tahu kau akan tiba dengan jubah baru
aku tahu kau akan tiba dengan perahu baru
maka begitu pula kau tahu
aku akan tiba dengan kematian baru
(2008)
Padangbai Pagi Hari
perahu kembali tiba
dari jenuh pelayaran
anak-anak ombak
mengeja riak di tepian
dan terbaca lagi air matamu
yang bagai kilau mutiara
dalam kandungan cangkang kerang
bertahun-tahun lampau
ufuk pagi menyala dari matamu
di mana tertambat segala lara
dan rindu akan kepulangan
kabut masih merambat di tiang-tiang layar
dan ikan layur masih pula setia
menyusuri alurnya sendiri
melulur perjalanan dan kenangan tiada bertepi
perahu kembali berangkat
tergesa dalam pelayaran
tanpa sempat pamit
pada air mata yang mengerak
di sudut-sudut dermaga
(2008)
Upacara Seroja
angin apa yang membawamu kepadaku
resah serupa arwah bawah tanah,
wabah dari masa lalu
impikan keabadian saat usia mulai rapuh
nujumanmu hanya sisa sampah sejarah
dimana segala cuaca mati rasa di tubuhmu
akhir sempurna dari mabuk tequila
hio wangi cendana kau nyalakan
upacara malam hampir padam
relung rahasia bunga seroja perlahan terbuka
inikah avalokitesvara yang kau angankan
pejamkan mata, merasuklah ke lubuk jiwamu
(Karangasem, Bali, November 2007)
Gapura Tiga Puluh Dua
memasuki gapura ke tiga puluh dua
akan sampai dimana kau tiba
duka telah lama berlalu dari parasmu
enyah serupa bayang-bayang pudar
selalu kau nyalakan unggunan api bagi jiwa pengembara
umpama purnama yang rekah di legam rambutmu
dingin pun menyingkir dari kerumunan halimun
agar udara leluasa berbagi cahaya dengan jiwa,
nuansa nelangsa yang memabukkan pejalan
iringi irama hari yang pergi sendiri
gairah akan punah di ambang ruh
ungsikan letihmu ke arah cahaya
yang senantiasa menjadikanmu bintang sabitah,
olahan jiwa yang kau ramu dengan keteguhan
tapa di hutan penuh bebayang, danyang dan kekunang
(Karangasem, Bali, Agustus 2006)
Di Pantai Sindu, Sanur
- bersama gioia risatti-
ombak telah mencoba setia
pada pantai
ia tiba dan tiba lagi
seperti semula
namun perahu telah lama menunggu
laut menolak biru
sebab biru hanya milik langit
kabar cuaca hari ini
ialah kesiasiaan
tapi kau masih saja gagu di sampingku
mata birumu menatap kelam lautan
mencoba menduga yang tak terduga
seperti percuma rindu kita
meraba getar ombak
merasa debar buih
perahu masih menunggu
dan kita lama termangu
di pantai sindu
Denpasar, awal Mei 2006
Taman Rahasia
taman rahasia itu
bernama kenangan
ketika malam ungu
tiba di akhir waktu
apakah kita tiada harap
harapan adalah semerbak bunga
yang dibawa angin lembah
yang basah airmata
dan airmata,
getah dari duka pohon-pohon
yang menggumpal
menjadi kenangan
di taman rahasia
Tirtagangga, 23 Juli 2006
Ular
selingkar ular belang menghadang jalan
setapak samar dibasuh cahya bulan
kepala ular itu sembunyi di rerimbun rumput
kulitnya hitam-putih berkilau
aku melintasi setapak itu
agak ragu
ngeri membayangkan ular
menjelma naga taksaka
atau raksasa seribu kepala
yang semayam dalam jiwamu
tapi ular itu tidur melingkar
di celah bongkah batu hitam
siaga memagut nyawa siapa saja
yang mengusiknya
agak mabuk aku pergi tidur
berharap lupa pada si ular
tapi ular menjenguk mimpi
dan igauku
pagi-pagi sekali aku terbangun
kudapati tubuhku bersisik
aku menjelma ular!
Tirtagangga, 7 Agustus 2006
Puisi untuk WL
walau cuaca galau dan
angin memeram benih malam
namun kau masih setia berjalan
dari waktu ke waktu pertemuan
antara kenangan dan kerinduan
lebih puisi hari-harimu kini
endapan semerbak wangi rambutmu
o, kilau cahaya yang ragu
pada batas kelam kelopak mata
ombak merayap mencapai mulus betismu
letih telah paripurna di tepian senja
dan camar yang mengembara sendiri
akan kembali pulang ke sarang jiwamu
Karangasem, Bali, 27 Mei 2008
Sajak
aku tahu kau akan tiba dengan kutukan baru
aku tahu kau akan tiba dengan jubah baru
aku tahu kau akan tiba dengan perahu baru
maka begitu pula kau tahu
aku akan tiba dengan kematian baru
(2008)
Padangbai Pagi Hari
perahu kembali tiba
dari jenuh pelayaran
anak-anak ombak
mengeja riak di tepian
dan terbaca lagi air matamu
yang bagai kilau mutiara
dalam kandungan cangkang kerang
bertahun-tahun lampau
ufuk pagi menyala dari matamu
di mana tertambat segala lara
dan rindu akan kepulangan
kabut masih merambat di tiang-tiang layar
dan ikan layur masih pula setia
menyusuri alurnya sendiri
melulur perjalanan dan kenangan tiada bertepi
perahu kembali berangkat
tergesa dalam pelayaran
tanpa sempat pamit
pada air mata yang mengerak
di sudut-sudut dermaga
(2008)
Upacara Seroja
angin apa yang membawamu kepadaku
resah serupa arwah bawah tanah,
wabah dari masa lalu
impikan keabadian saat usia mulai rapuh
nujumanmu hanya sisa sampah sejarah
dimana segala cuaca mati rasa di tubuhmu
akhir sempurna dari mabuk tequila
hio wangi cendana kau nyalakan
upacara malam hampir padam
relung rahasia bunga seroja perlahan terbuka
inikah avalokitesvara yang kau angankan
pejamkan mata, merasuklah ke lubuk jiwamu
(Karangasem, Bali, November 2007)
Gapura Tiga Puluh Dua
memasuki gapura ke tiga puluh dua
akan sampai dimana kau tiba
duka telah lama berlalu dari parasmu
enyah serupa bayang-bayang pudar
selalu kau nyalakan unggunan api bagi jiwa pengembara
umpama purnama yang rekah di legam rambutmu
dingin pun menyingkir dari kerumunan halimun
agar udara leluasa berbagi cahaya dengan jiwa,
nuansa nelangsa yang memabukkan pejalan
iringi irama hari yang pergi sendiri
gairah akan punah di ambang ruh
ungsikan letihmu ke arah cahaya
yang senantiasa menjadikanmu bintang sabitah,
olahan jiwa yang kau ramu dengan keteguhan
tapa di hutan penuh bebayang, danyang dan kekunang
(Karangasem, Bali, Agustus 2006)
Di Pantai Sindu, Sanur
- bersama gioia risatti-
ombak telah mencoba setia
pada pantai
ia tiba dan tiba lagi
seperti semula
namun perahu telah lama menunggu
laut menolak biru
sebab biru hanya milik langit
kabar cuaca hari ini
ialah kesiasiaan
tapi kau masih saja gagu di sampingku
mata birumu menatap kelam lautan
mencoba menduga yang tak terduga
seperti percuma rindu kita
meraba getar ombak
merasa debar buih
perahu masih menunggu
dan kita lama termangu
di pantai sindu
Denpasar, awal Mei 2006
Taman Rahasia
taman rahasia itu
bernama kenangan
ketika malam ungu
tiba di akhir waktu
apakah kita tiada harap
harapan adalah semerbak bunga
yang dibawa angin lembah
yang basah airmata
dan airmata,
getah dari duka pohon-pohon
yang menggumpal
menjadi kenangan
di taman rahasia
Tirtagangga, 23 Juli 2006
Ular
selingkar ular belang menghadang jalan
setapak samar dibasuh cahya bulan
kepala ular itu sembunyi di rerimbun rumput
kulitnya hitam-putih berkilau
aku melintasi setapak itu
agak ragu
ngeri membayangkan ular
menjelma naga taksaka
atau raksasa seribu kepala
yang semayam dalam jiwamu
tapi ular itu tidur melingkar
di celah bongkah batu hitam
siaga memagut nyawa siapa saja
yang mengusiknya
agak mabuk aku pergi tidur
berharap lupa pada si ular
tapi ular menjenguk mimpi
dan igauku
pagi-pagi sekali aku terbangun
kudapati tubuhku bersisik
aku menjelma ular!
Tirtagangga, 7 Agustus 2006
Puisi-Puisi Dadang Ari Murtono
Jurnal Kebudayaan The Sandour III 2008
TIGA BELAS FRAGMEN BUAT SINDHU
sepasang mata selebar piring berdiri di dada ibumu,
di kelamin ayahmu
1. Tidur
aku bermimpi menjadi sebatang pohon
dan saat terbangun
rambutku telah berganti daun-daun
2. Pertemuan
menuju muara
tubuhku mencair dan mengalir
mengikuti liku-liku tubuhmu
3. Keberangkatan
satu persatu orang-orang pergi
dan tubuhku tinggal gerimis
4. Handphone
jerit yang terus menyala
ijinkan aku tidur di relung matamu
5. Di Bawah Akasia
gerimis telah menjadi hujan
mari, berlindung di balik puisi
6. Bir
di riak busanya
tertulis norma, agama dan dunia
“mabuklah”
7. Kerinduan
pantatmu tercecer di lorong-lorong sunyi
yang membentang dalam tumpukan
puisiku
8. Doa
setelah berjuang melahirkan kata
aku ingin mati di rindang senyummu
9. Buka
segera siapkan pisau paling tajam
kita tikam lapar di ulu jantungnya
agar tuntas segala dendam
biar lepas segenap beban
10. Sendiri
masuklah ketubuhku
penuhi relung dan lorong
juga gang-gang sempit berbahaya
tak perlu sungkan atau malu
sekian lama aku menunggu
menancapkan kejujuran di
antara belahan dada
dan lingkar pinggulku
11. Bagaimana
bagaimana bisa kubentangkan
lanskap senja di tengah hamparan
gerimis
bila hujan dan malam
telah merobek-robek sajakku
12. Eden
di kelopak matanya
adam meringkuk telanjang
menunggu kata-kata
yang tak kunjung pulang
mencari selembar daun salam
untuk menghias kelamin istrinya
13. Mawar
mekarlah, bersahajalah
seperti senja yang teduh dan cantik
sepasang mata selebar piring berdiri di dada ibumu,
di kelamin ayahmu
2007
TIGA BELAS FRAGMEN BUAT SINDHU
sepasang mata selebar piring berdiri di dada ibumu,
di kelamin ayahmu
1. Tidur
aku bermimpi menjadi sebatang pohon
dan saat terbangun
rambutku telah berganti daun-daun
2. Pertemuan
menuju muara
tubuhku mencair dan mengalir
mengikuti liku-liku tubuhmu
3. Keberangkatan
satu persatu orang-orang pergi
dan tubuhku tinggal gerimis
4. Handphone
jerit yang terus menyala
ijinkan aku tidur di relung matamu
5. Di Bawah Akasia
gerimis telah menjadi hujan
mari, berlindung di balik puisi
6. Bir
di riak busanya
tertulis norma, agama dan dunia
“mabuklah”
7. Kerinduan
pantatmu tercecer di lorong-lorong sunyi
yang membentang dalam tumpukan
puisiku
8. Doa
setelah berjuang melahirkan kata
aku ingin mati di rindang senyummu
9. Buka
segera siapkan pisau paling tajam
kita tikam lapar di ulu jantungnya
agar tuntas segala dendam
biar lepas segenap beban
10. Sendiri
masuklah ketubuhku
penuhi relung dan lorong
juga gang-gang sempit berbahaya
tak perlu sungkan atau malu
sekian lama aku menunggu
menancapkan kejujuran di
antara belahan dada
dan lingkar pinggulku
11. Bagaimana
bagaimana bisa kubentangkan
lanskap senja di tengah hamparan
gerimis
bila hujan dan malam
telah merobek-robek sajakku
12. Eden
di kelopak matanya
adam meringkuk telanjang
menunggu kata-kata
yang tak kunjung pulang
mencari selembar daun salam
untuk menghias kelamin istrinya
13. Mawar
mekarlah, bersahajalah
seperti senja yang teduh dan cantik
sepasang mata selebar piring berdiri di dada ibumu,
di kelamin ayahmu
2007
Puisi-Puisi Mashuri
http://mashurii.blogspot.com/
Lorong Tak Berujung
rahasia yang berkumpar di bayangmu membuatku piatu
hidup begitu asing seperti pemancing
tak berumpan dan berkail
di kapal, aku hanya menghapal depa laut
yang tak kunjung susut aku layari
ah, masihkah kau sembunyi di balik ufuk
Lorong Tak Berujung
rahasia yang berkumpar di bayangmu membuatku piatu
hidup begitu asing seperti pemancing
tak berumpan dan berkail
di kapal, aku hanya menghapal depa laut
yang tak kunjung susut aku layari
ah, masihkah kau sembunyi di balik ufuk
Puisi-Puisi Tjahjono Widijanto
http://jurnalnasional.com/
BISMA
“telah kusediakan hari dan pengantinku sendiri…!”
desir pasir di gigir ini menyimpan rahasianya sendiri
ramalan musim berbiak sejarah melata di selakang waktu
memintal kembali tekstur buram rajah nasib lancip di urat nadi
tak ada waktu untuk kembali
seonggok jubah kelabu, mahkota terbelah
mengubur syahwat yang juga gelisah
jagat dalam tatapan lensa tua terbungkuk-bungkuk
menanggung riwayat larut oleh hujan
yang mendadak berubah lempeng logam
seperti memahat batu yang tak henti belajar beku
tafakur serupa bayang-bayang kastil purba
dalam tatapan letih mata malaikat tua
yang perlahan-lahan mendengkur
tak ada yang dapat dilakukan kecuali mentakzim sunyi
angslup ke dasar jantung dalam gelora gemuruh
sesaat setelah tabik terakhir
dalam sayatan yang juga terakhir
Ngawi, 2007
ARAFAH
entah siapa menyuruhku menghitung kembali tulang igaku, tetap saja hilang satu
berjuta yang lain juga mencari tak ketemu-temu sebelum pada senja yang mendekati gelap ia datang sendiri mengetuk pintu pelan-pelan
“apa kabarmu? lama tak jumpa akhirnya rambutmu memutih juga seperti kabut yang cuma sesekali sambang di dini hari”
aku menjawabnya dalam keisengan anak remaja mengingat cinta pertamanya
“cipir godhong tela, kau tak mampir hatiku jadi nelangsa!”
aku tak tahu mengapa gigir bukit ini begitu bersedia menyediakan altarnya untuk kebisuan yang kering, menyimpan rendevous mefosil dalam urut-urutan waktu bergerak mengambang dalam musim yang tak pernah ditumbuhi gerimis
dan kini kenduri ini dimulai lagi, orang-orang kembali menghitung tulang-tulang rusuknya. tetap saja hilang satu, mencari dalam lipatan baju, saku celana, jaket atau kaos kaki yang cuma sesekali di cuci.
2007
DEPAN KA’BAH
seperti pemula dalam panggung yang gagal
aku mabuk memimpikan pengunjung yang
setia memberikan tepuk tangannya.
yang kulihat cuma kenangan-kenangan tua, beruban.
menyendiri menunggui cintanya yang hilang sia-sia
kenapa kau seret aku seperti darwis dilanda mabuk tak tuntas-tuntas
sedang aku tak pandai menari?
setelah kau jeret laherku dan rontokkan tulang-tulangku
tak ada lagi yang bisa kubagi, tinggal asin keringat
yang dapat kau peras sebagai maharku untukmu
dan sebelum kau copot biji mataku
biarkan aku mencakar-cakarmu
2007
GERIMIS DI TAN’IM
seperti dalam lurung dengan seribu pintu terkunci
aku hanya bisa membayangkanmu, samara-samar
sekali ini ada gerimis, di dalamnya aku berlari-lari
mengejar bayang-bayang sendiri
bayang-bayang yang membelah diri
berkelebatan, berjumpalitan, bertubrukan
menjadi sempalan-sempalan tak terbaca
sempalan-sempalan yang meleleh kembali jadi sperma
meluncur mencari kembali liang-liangnya
di tan’im ini kau serupa jagal
membelah leher, mengelupas tempurung
yang menyimpan rahasia api ,buah larangan, juga ular
ular yang mendesis dalam lolong panjang
sempurna seperti malam yang terbelah
dengan bulan yang menggigil di atasnya
di tan’im ini aku gagal menguntitmu
tali yang kusediakan untuk menjeratmu
malahan mencekik leherku sendiri
dan bayang-bayangku yang menariknya,
pelan-pelan, seinci demi seinci
aku sekarat dalam senyummu
Tan’im, 2007/2008
PASUNG
tak ada lemut hanya derit jangkrik desir ular dalam urat perut. mereguk sungai
memahat riwayat nasib. ingatan lari pada tali gantungan meringis di sela-sela dingin yang terbatuk-batuk
tak ada kabar di sini cuma bulan menyisakan sedikit cahayanya angin mengabarkan busuk semboja bersama langit yang menjerit
“jangan berontak hikmati kekal asing ini!”
tak ada waktu untuk mendongeng sehabis percakapan selepas malam yang payah
gagak senggama di nadimu berbiak musim dan kematian riuh silih berganti
jalanan membara oleh geram demonstran sesekali dikuyupi tik-tak bom di jakun
tak ada pangeran dan kereta perang menggempur sarang nasib sialan ini, don kisot telah lama berpulang di selakang ibunya.
bila kau temukan sebilah sangkur dalam mimpimu rajah
suratan kisah pada kulit jangat banjir asin keringatmu geram
nyeri kerongkongmu akan menjelma erang birahi penyair mabuk dan sekarat
Jakarta, 002/005
KWATRIN-KWATRIN GERIMIS BULAN SEIRIS
1.
di ujung gerimis bulan seiris tak lagi mampu membaca isyarat
sedang subuh semalaman protes pada embun
yang terlampau setia mendekap bumi
meski kabut masih ingin bersetubuh dengannya
2.
sepanjang ini tak ada yang pernah mengerti
tentang musim yang setia menderu
batu-batu tafakur mendengar requiem daun
memeluk bumi dengan bau kembang pecah putiknya
3.
selalu kau tak pernah mau percaya
ketika pernah dibisikkan pada hari-hari
mengapa harus ditulis sepenggal sajak
menjerit disembelih pagi tenggelam di palung kali
4.
apakah perlu kita mengadu pada perdu
setelah gagal meraih matahari
bersama sebilah galah tua, lapuk tangkainya
bulan sungsang tangsang dipucuk bambu
5.
selalu ada yang mencoba setia pada sebaris sajak
yang lelah ditulis selepas senja bersama kunang-kunang
gelisah mencemburu nyala api
meringkuk di ladang kehilangan petani
6.
dalam nadi horizon dan candikala bertemu
ayat-ayat bangkit dari tidur bersama pelafal kehilangan lidah
roh yang bernyanyi bersama separuh malam, separuh bulan
hujan layu di sisa malam
Ngawi, 2005
SUKUH
Ceruk liat.
Seribu urat mengeram di sini
ini pelabuhanku. Persinggahan tanpa loket dan penjual karcis
di pinggulku tersimpan rahasia api
api,api! aku membakarmu!
Liang yang tak pernah padam. Lampu terang
rambu-rambu tentang nikmat buah larangan
: jangan tinggalkan aku
aku tak bisa ranggas sendiri
seribu sungai berpusar dalam perut
riak- gelegak merambah menerjang bulu-bulu pohon
Berlatihlah jadi nahkoda
menyaisi perahu oleng ditimpuk badai
hanyut ke rawa-rawa juga hutan
pohon-pohon dengan sulur mengkilap
goa-goa pertemuan yang bacin
tempat matahari menyembunyikan rembesan cahaya
basah oleh ludah dan air mata
awal sepenggal kitab riwayat
fosil coklat liat
Jasad dengan bau lumpur dan humus
sebermula kenangan di mulai
julangan bukit cadas
terjal
mengacung
batu-batu tersusun dengan angkuh
pelaminan abadi
002/2006
HIKAYAT KOTA
Ingin kuledakkan matahari pada pusar-pusarmu. Kota akan jadi mimpi yang sibuk dengan tafsir tak pernah usai. Diam-diam kubayangkan Tuhan berbisik: bukalah! maka semoga terbuka pintumu.
Seorang anak di seberang jalan dengan kaki telanjang dituntun ibunya tak juga memberimu senyuman, berlutut dengan cara ganjil pada batas trotoar kota: matahari itu milikku dan milikmu, tapi kapan kita berbagi?
Tak ada siapa-siapa di sini. Orang cuma bicara dengan wajah asing sambil membayangkan kampung halaman setelah bertahun-tahun melipatnya pada saku celana.
Orang-orang segera jadi tua dan pemurung di sini. Mengembara serupa ahasveros kehilangan jejaknya sendiri, menemukan seutas tali gantungan saat sepatu terkoyak dan gerimis berubah jadi bongkahan api menerpa wajah kepala dan kita merayap keluar dari rahim waktu
Tak ada yang sempat menyebutkan nama di sini.
Tuhan dibayangkan turun sebagai bocah jahil, bermain-main pada sisa lapangan rumput di batas-batas jalan dan berfirman, jadilah kalian kanak-kanak kembali, ayo kita bikin manusia, pasar, kota, dunia dengan fantasi cilikmu sesukamu!
Tak ada yang dapat mengeja namanya sendiri di sini. Orang-orang sibuk menggambar wajah sendiri pada lempung yang makin hari makin mengering sambil bersama-sama menyanyikan himne perkabungan bersama kelebet bendera yang turut menjadi sayu
esoknya anak-anak beramai-ramai mendulang kubur bapa-ibunya dan berkata
“papa, mama ajari kami bunuh diri!”
Ngawi-Surabaya, 003/006
BISMA
“telah kusediakan hari dan pengantinku sendiri…!”
desir pasir di gigir ini menyimpan rahasianya sendiri
ramalan musim berbiak sejarah melata di selakang waktu
memintal kembali tekstur buram rajah nasib lancip di urat nadi
tak ada waktu untuk kembali
seonggok jubah kelabu, mahkota terbelah
mengubur syahwat yang juga gelisah
jagat dalam tatapan lensa tua terbungkuk-bungkuk
menanggung riwayat larut oleh hujan
yang mendadak berubah lempeng logam
seperti memahat batu yang tak henti belajar beku
tafakur serupa bayang-bayang kastil purba
dalam tatapan letih mata malaikat tua
yang perlahan-lahan mendengkur
tak ada yang dapat dilakukan kecuali mentakzim sunyi
angslup ke dasar jantung dalam gelora gemuruh
sesaat setelah tabik terakhir
dalam sayatan yang juga terakhir
Ngawi, 2007
ARAFAH
entah siapa menyuruhku menghitung kembali tulang igaku, tetap saja hilang satu
berjuta yang lain juga mencari tak ketemu-temu sebelum pada senja yang mendekati gelap ia datang sendiri mengetuk pintu pelan-pelan
“apa kabarmu? lama tak jumpa akhirnya rambutmu memutih juga seperti kabut yang cuma sesekali sambang di dini hari”
aku menjawabnya dalam keisengan anak remaja mengingat cinta pertamanya
“cipir godhong tela, kau tak mampir hatiku jadi nelangsa!”
aku tak tahu mengapa gigir bukit ini begitu bersedia menyediakan altarnya untuk kebisuan yang kering, menyimpan rendevous mefosil dalam urut-urutan waktu bergerak mengambang dalam musim yang tak pernah ditumbuhi gerimis
dan kini kenduri ini dimulai lagi, orang-orang kembali menghitung tulang-tulang rusuknya. tetap saja hilang satu, mencari dalam lipatan baju, saku celana, jaket atau kaos kaki yang cuma sesekali di cuci.
2007
DEPAN KA’BAH
seperti pemula dalam panggung yang gagal
aku mabuk memimpikan pengunjung yang
setia memberikan tepuk tangannya.
yang kulihat cuma kenangan-kenangan tua, beruban.
menyendiri menunggui cintanya yang hilang sia-sia
kenapa kau seret aku seperti darwis dilanda mabuk tak tuntas-tuntas
sedang aku tak pandai menari?
setelah kau jeret laherku dan rontokkan tulang-tulangku
tak ada lagi yang bisa kubagi, tinggal asin keringat
yang dapat kau peras sebagai maharku untukmu
dan sebelum kau copot biji mataku
biarkan aku mencakar-cakarmu
2007
GERIMIS DI TAN’IM
seperti dalam lurung dengan seribu pintu terkunci
aku hanya bisa membayangkanmu, samara-samar
sekali ini ada gerimis, di dalamnya aku berlari-lari
mengejar bayang-bayang sendiri
bayang-bayang yang membelah diri
berkelebatan, berjumpalitan, bertubrukan
menjadi sempalan-sempalan tak terbaca
sempalan-sempalan yang meleleh kembali jadi sperma
meluncur mencari kembali liang-liangnya
di tan’im ini kau serupa jagal
membelah leher, mengelupas tempurung
yang menyimpan rahasia api ,buah larangan, juga ular
ular yang mendesis dalam lolong panjang
sempurna seperti malam yang terbelah
dengan bulan yang menggigil di atasnya
di tan’im ini aku gagal menguntitmu
tali yang kusediakan untuk menjeratmu
malahan mencekik leherku sendiri
dan bayang-bayangku yang menariknya,
pelan-pelan, seinci demi seinci
aku sekarat dalam senyummu
Tan’im, 2007/2008
PASUNG
tak ada lemut hanya derit jangkrik desir ular dalam urat perut. mereguk sungai
memahat riwayat nasib. ingatan lari pada tali gantungan meringis di sela-sela dingin yang terbatuk-batuk
tak ada kabar di sini cuma bulan menyisakan sedikit cahayanya angin mengabarkan busuk semboja bersama langit yang menjerit
“jangan berontak hikmati kekal asing ini!”
tak ada waktu untuk mendongeng sehabis percakapan selepas malam yang payah
gagak senggama di nadimu berbiak musim dan kematian riuh silih berganti
jalanan membara oleh geram demonstran sesekali dikuyupi tik-tak bom di jakun
tak ada pangeran dan kereta perang menggempur sarang nasib sialan ini, don kisot telah lama berpulang di selakang ibunya.
bila kau temukan sebilah sangkur dalam mimpimu rajah
suratan kisah pada kulit jangat banjir asin keringatmu geram
nyeri kerongkongmu akan menjelma erang birahi penyair mabuk dan sekarat
Jakarta, 002/005
KWATRIN-KWATRIN GERIMIS BULAN SEIRIS
1.
di ujung gerimis bulan seiris tak lagi mampu membaca isyarat
sedang subuh semalaman protes pada embun
yang terlampau setia mendekap bumi
meski kabut masih ingin bersetubuh dengannya
2.
sepanjang ini tak ada yang pernah mengerti
tentang musim yang setia menderu
batu-batu tafakur mendengar requiem daun
memeluk bumi dengan bau kembang pecah putiknya
3.
selalu kau tak pernah mau percaya
ketika pernah dibisikkan pada hari-hari
mengapa harus ditulis sepenggal sajak
menjerit disembelih pagi tenggelam di palung kali
4.
apakah perlu kita mengadu pada perdu
setelah gagal meraih matahari
bersama sebilah galah tua, lapuk tangkainya
bulan sungsang tangsang dipucuk bambu
5.
selalu ada yang mencoba setia pada sebaris sajak
yang lelah ditulis selepas senja bersama kunang-kunang
gelisah mencemburu nyala api
meringkuk di ladang kehilangan petani
6.
dalam nadi horizon dan candikala bertemu
ayat-ayat bangkit dari tidur bersama pelafal kehilangan lidah
roh yang bernyanyi bersama separuh malam, separuh bulan
hujan layu di sisa malam
Ngawi, 2005
SUKUH
Ceruk liat.
Seribu urat mengeram di sini
ini pelabuhanku. Persinggahan tanpa loket dan penjual karcis
di pinggulku tersimpan rahasia api
api,api! aku membakarmu!
Liang yang tak pernah padam. Lampu terang
rambu-rambu tentang nikmat buah larangan
: jangan tinggalkan aku
aku tak bisa ranggas sendiri
seribu sungai berpusar dalam perut
riak- gelegak merambah menerjang bulu-bulu pohon
Berlatihlah jadi nahkoda
menyaisi perahu oleng ditimpuk badai
hanyut ke rawa-rawa juga hutan
pohon-pohon dengan sulur mengkilap
goa-goa pertemuan yang bacin
tempat matahari menyembunyikan rembesan cahaya
basah oleh ludah dan air mata
awal sepenggal kitab riwayat
fosil coklat liat
Jasad dengan bau lumpur dan humus
sebermula kenangan di mulai
julangan bukit cadas
terjal
mengacung
batu-batu tersusun dengan angkuh
pelaminan abadi
002/2006
HIKAYAT KOTA
Ingin kuledakkan matahari pada pusar-pusarmu. Kota akan jadi mimpi yang sibuk dengan tafsir tak pernah usai. Diam-diam kubayangkan Tuhan berbisik: bukalah! maka semoga terbuka pintumu.
Seorang anak di seberang jalan dengan kaki telanjang dituntun ibunya tak juga memberimu senyuman, berlutut dengan cara ganjil pada batas trotoar kota: matahari itu milikku dan milikmu, tapi kapan kita berbagi?
Tak ada siapa-siapa di sini. Orang cuma bicara dengan wajah asing sambil membayangkan kampung halaman setelah bertahun-tahun melipatnya pada saku celana.
Orang-orang segera jadi tua dan pemurung di sini. Mengembara serupa ahasveros kehilangan jejaknya sendiri, menemukan seutas tali gantungan saat sepatu terkoyak dan gerimis berubah jadi bongkahan api menerpa wajah kepala dan kita merayap keluar dari rahim waktu
Tak ada yang sempat menyebutkan nama di sini.
Tuhan dibayangkan turun sebagai bocah jahil, bermain-main pada sisa lapangan rumput di batas-batas jalan dan berfirman, jadilah kalian kanak-kanak kembali, ayo kita bikin manusia, pasar, kota, dunia dengan fantasi cilikmu sesukamu!
Tak ada yang dapat mengeja namanya sendiri di sini. Orang-orang sibuk menggambar wajah sendiri pada lempung yang makin hari makin mengering sambil bersama-sama menyanyikan himne perkabungan bersama kelebet bendera yang turut menjadi sayu
esoknya anak-anak beramai-ramai mendulang kubur bapa-ibunya dan berkata
“papa, mama ajari kami bunuh diri!”
Ngawi-Surabaya, 003/006
Puisi-Puisi Y. Wibowo
http://www.lampungpost.com/
Sungai Sindang dan Jejak Pasir-pasir
Sejak air melulur pasir di lembar bukubuku buram
riwayat ikan menjelma bulan, luput tak tercatat
ada juga keong yang bertutur lisan
sebagai bayang masa silam
sulur cahaya berpendar menebar rawan
aku hadir sebagai pemulung muram
memungut secarik alamat
Memungut peraduan masa silam
tempat berpercik kembang setaman
denyar persetubuhan
seperti larik pasirpasir
jejak resap surut air
Mungkin saat itu udara menggelepar
pandangan tertebar pada yang nanar
kilau air berbuih meracau
desah asap lecut mendesau
dan semayup kehangatan telah beranjak
menyisa keriut noktah
menghampiri si pemulung berambut hitam
berkulit coklat, mencacah kenangan
mengkunyah masa depan
menciptakan alamat pada sungai
pada rompal batu dan jejak pasir
yang ingin kembali berdesir
Sekawanan Buih Danau Ranau
saat airmatamu telah jadi ikan
apa yang kucari di pulau itu?
dengan segala yang membuat aku bertanya
mungkin itulah makna buih --yang di kutuk angin
; berulangkali musnah tinggal rangka
tinggal cerita pelipur lara
yang datang dari kaganga
abjad-abjad yang kujelajahi wangi bunga
kelopak tujuh rupa, dan asap yang telanjang
bergelombang, lenguh senja berbaring
menggenang di udara.
sejenak buyar pandang, dari ketinggian jauh
kalimat-kalimat menjejal
menyeruak dalam kisah mu
; kanak-kanak yang dibalut resah
sebening mata bocah memeram tekateki
sebuah bayang
di ambang muram. ayo,... larungkan saja segala rencana
bukankah setiap tanya hanya akan menjadi fosil pucat
berserak dalam palung yang menagguk kekalahan
berpusar dan melingkar menjelma penari
yang lupa asal gema dan rancak tetabuhan
saat ombak mengeras dari alur menderas
itu saat kita melupakan sekawanan abjad
dan tak usah kau cari muara asal
jika ceritaku telah banal dan memar
karena yang kutemu di pulau seberang
hanya tinggal rangka kenangan
tentang seorang walihakim yang telanjang
di dalam jiwa dan langit batinnya
terseok membopong-bopong gelombang
saat itu airmatamu telah jadi ikan
Way Nipah
serumpun air murung
dayung menggelantung
di tiang layar
yang berputar
menggerit harihari
lelehan matahari
aku diam
menggendam pasir
tungku waktu, mimpi kandas
ke bumi tandas
maka kualamatkan
razah & mantram
ke tiang layar
ke senja temaram
merangkum jejak
ombakombak beranak
dian yang menyala
dari balik jendela
menjadi petunjuk
doadoa kikuk
dan untukku
seorang ibu
menyeduhkan kopi
melarungkan mimpi
Labuhan Maringgai, Arus Masih Menderas
belajar mengeja bulat bulan
langit menyatu dengan bumi
di batinmu, cakrawala dahaga
memburu pahlawan
di setiap penjuru
di setiap arus yang menderas
; anak-anak zaman lahir
dari arah utara
--arah pintu langit masih terbuka
dan membentangkan layar fana, angin lesap
udara senyap, tapi aku mendengar lirih dzikir
senandung patahanpatahan ayat
dari ribuan kitab
yang menjelma lebah dan kupukupu
terbang riang ke bulat bulan
Serenada Batu Balak
aku belum lagi menepi
dari deras arus yang menyeret
ribuan hari, yang kau rangkum
dalam bait lagulagu
sebuah batu -pecah oleh kisahmu
sebuah perjalanan
meniti jalanjalan
bayangan muram yang rompal
dan gumpil, berbongkah
pecah lebur berserbuk
serupa debu serupa pasir
serupa siul lagumu
menggema bersahutan
di hamparan padang lalang
di gunung di ngarai dan sungai
hanyut dari deras arus
sebelum akhirnya menepi
diam mengetam sunyi
Sungai Sindang dan Jejak Pasir-pasir
Sejak air melulur pasir di lembar bukubuku buram
riwayat ikan menjelma bulan, luput tak tercatat
ada juga keong yang bertutur lisan
sebagai bayang masa silam
sulur cahaya berpendar menebar rawan
aku hadir sebagai pemulung muram
memungut secarik alamat
Memungut peraduan masa silam
tempat berpercik kembang setaman
denyar persetubuhan
seperti larik pasirpasir
jejak resap surut air
Mungkin saat itu udara menggelepar
pandangan tertebar pada yang nanar
kilau air berbuih meracau
desah asap lecut mendesau
dan semayup kehangatan telah beranjak
menyisa keriut noktah
menghampiri si pemulung berambut hitam
berkulit coklat, mencacah kenangan
mengkunyah masa depan
menciptakan alamat pada sungai
pada rompal batu dan jejak pasir
yang ingin kembali berdesir
Sekawanan Buih Danau Ranau
saat airmatamu telah jadi ikan
apa yang kucari di pulau itu?
dengan segala yang membuat aku bertanya
mungkin itulah makna buih --yang di kutuk angin
; berulangkali musnah tinggal rangka
tinggal cerita pelipur lara
yang datang dari kaganga
abjad-abjad yang kujelajahi wangi bunga
kelopak tujuh rupa, dan asap yang telanjang
bergelombang, lenguh senja berbaring
menggenang di udara.
sejenak buyar pandang, dari ketinggian jauh
kalimat-kalimat menjejal
menyeruak dalam kisah mu
; kanak-kanak yang dibalut resah
sebening mata bocah memeram tekateki
sebuah bayang
di ambang muram. ayo,... larungkan saja segala rencana
bukankah setiap tanya hanya akan menjadi fosil pucat
berserak dalam palung yang menagguk kekalahan
berpusar dan melingkar menjelma penari
yang lupa asal gema dan rancak tetabuhan
saat ombak mengeras dari alur menderas
itu saat kita melupakan sekawanan abjad
dan tak usah kau cari muara asal
jika ceritaku telah banal dan memar
karena yang kutemu di pulau seberang
hanya tinggal rangka kenangan
tentang seorang walihakim yang telanjang
di dalam jiwa dan langit batinnya
terseok membopong-bopong gelombang
saat itu airmatamu telah jadi ikan
Way Nipah
serumpun air murung
dayung menggelantung
di tiang layar
yang berputar
menggerit harihari
lelehan matahari
aku diam
menggendam pasir
tungku waktu, mimpi kandas
ke bumi tandas
maka kualamatkan
razah & mantram
ke tiang layar
ke senja temaram
merangkum jejak
ombakombak beranak
dian yang menyala
dari balik jendela
menjadi petunjuk
doadoa kikuk
dan untukku
seorang ibu
menyeduhkan kopi
melarungkan mimpi
Labuhan Maringgai, Arus Masih Menderas
belajar mengeja bulat bulan
langit menyatu dengan bumi
di batinmu, cakrawala dahaga
memburu pahlawan
di setiap penjuru
di setiap arus yang menderas
; anak-anak zaman lahir
dari arah utara
--arah pintu langit masih terbuka
dan membentangkan layar fana, angin lesap
udara senyap, tapi aku mendengar lirih dzikir
senandung patahanpatahan ayat
dari ribuan kitab
yang menjelma lebah dan kupukupu
terbang riang ke bulat bulan
Serenada Batu Balak
aku belum lagi menepi
dari deras arus yang menyeret
ribuan hari, yang kau rangkum
dalam bait lagulagu
sebuah batu -pecah oleh kisahmu
sebuah perjalanan
meniti jalanjalan
bayangan muram yang rompal
dan gumpil, berbongkah
pecah lebur berserbuk
serupa debu serupa pasir
serupa siul lagumu
menggema bersahutan
di hamparan padang lalang
di gunung di ngarai dan sungai
hanyut dari deras arus
sebelum akhirnya menepi
diam mengetam sunyi
Puisi-Puisi Pringgo HR
Berperahu
simpulsimpul di tiang rindu
engkau urai satusatu kian longgar membebat
renggangi ruas rasa pada camar camar yang resah
benturan debur
luka kain layar mengolengkan perahu
berpusing di pusaran angin yang tak pernah setia
meniti setiap lengkung gelombang
tinggalah tiangtiang telanjang berdiri mengurus
menghitung angkaangka di kalender nasib
berharihari merasai panggang matahari
berayunhayun perahu berpayung ombak
selalu menikung
di setiap bentur.
di setiap tubi cambuk debur
membuat papanpapan setia meretaki
luka
barangkali semisal Nuh
menenggelam sayatan satu demi satu
atau terdampar
menyisahkan tanda
dari pantai ke pantai
dari musim ke musim
saksi aku dan engkau
pernah berperahu
Babat, 16 September 2006
Oktober Ke 20 - 2006
: untuk C.I3
malam ini menyuntingmu masuk dalam dekapan
tanpa rembulan hanya angin dingin yang mengabar
oktober segera menjatuhkan gerimis yang pertama
rerintiknya membasahi lincin antara jalanan maret
sampai tepian rindu
aku terpelanting terjerembab
di semak katakatamu yang mengulur musim
hingga rantingranting kemarau belum juga mau
menggugur daun
mengangan barangkali sampai di musim teduh:
merenungi setiap urai kata di jengkal hari yang terlintasi.
melepuh jalan antara mataku dan matamu
embun serasa tak mampu membasah retak reranting
daundaun luka mengering
menjatuh menyayat kenangan demi kenangan
saat malam memeluk tanpaku
di bilik yang hangat ketika dingin menyergap tibatiba
aku membelukar dalam ngiang tawamu menjelah larik
larik larut menuju pagi
:begitu halus angin yang engkau hembuskan ke tubuh
hingga kerinngat yang membasah begitu senyap
kemudian aku menyujudkan ke wajah
sepimu
memang hanya sepi ternyata yang engkau suguh
di pucuk penantian mengelanai setiap sungging tawa
sesudah engkau pergi
masuk ke dalam dekapan
malam
Sukodadi, 20 Oktober 2006
Kukunjungi Lagi Pantaimu
ke pantaimu hari ini aku berkunjung
sekadar menghitung pasir setia yang setengah musim
kautinggal
oh, itu perahu berayunayun nyisir ombak
semakin jauh ninggalkan pantai
tak terlihat lambaian
samar seperti senja yang tibatiba mengurung
masih juga di butir pasir ini kutulis
:kesetiaan yang siasia
karena malam segera menjemput ke pelukan diamnya
aku tak mampu melihat pada dermaga mana perahu
berlabuh kesetian yang tertelan diam malam dan
pasang membuat rabun di getar waktu yang makin rapuh
jika di dermagaku ingin dilabuhkan,
aku berharap tiangtiang kian mengeropos dipasang ombak
dan membiar saja terjungkal mencair mengisi laut.
bukan karena jengah disinggah namun
setiap buih harus dilarungkan jauh hingga batas pandang
tak minta kembali
dengan kesetian, aku terus saja
menjagai kerangkerang kosong
mimpimu
Sukodadi, 21 Maret 2007
Ketika Juni
hujan telah menipis dari rintiknya
dan angin mulai belajar diam, engkau
masih sanggup menyahut namaku di kerumunan
harubiru rindu
ketika sepenggal juni kutinggal perlahanlahan
sudah tak mungkin lagi menoleh kebelakang
bukan kekecawaan yang terluka tetapi jalanan basah
telah melukis setapaksetapak tak bisa kuhapus
menyusut langkah ke waktu awal singgahan hujan
aku tahu engkau luka
ingin menyambung penggalpenggal juni
di gerimis yang mulai habis tak mungkin menyelesai utuh
sebuah tahun
karena kawatkawat pengikat telah hanyut
bersama ricik air yang diam
siasia bila hari saling berkejaran menuntaskan bulan
sedang engkau hanya menyahutkan potongan
potongan kata setia, tanpa:
harus mematah langkah yang hampir sampai
menghentikan senjaku
atau ninggalkan deraiderai kecewa membasah waktumu
hanya bertubi sesal saling bentur
ketika juni telah habis bersama gerimis
Sukodadi, 30 Juni 2007
simpulsimpul di tiang rindu
engkau urai satusatu kian longgar membebat
renggangi ruas rasa pada camar camar yang resah
benturan debur
luka kain layar mengolengkan perahu
berpusing di pusaran angin yang tak pernah setia
meniti setiap lengkung gelombang
tinggalah tiangtiang telanjang berdiri mengurus
menghitung angkaangka di kalender nasib
berharihari merasai panggang matahari
berayunhayun perahu berpayung ombak
selalu menikung
di setiap bentur.
di setiap tubi cambuk debur
membuat papanpapan setia meretaki
luka
barangkali semisal Nuh
menenggelam sayatan satu demi satu
atau terdampar
menyisahkan tanda
dari pantai ke pantai
dari musim ke musim
saksi aku dan engkau
pernah berperahu
Babat, 16 September 2006
Oktober Ke 20 - 2006
: untuk C.I3
malam ini menyuntingmu masuk dalam dekapan
tanpa rembulan hanya angin dingin yang mengabar
oktober segera menjatuhkan gerimis yang pertama
rerintiknya membasahi lincin antara jalanan maret
sampai tepian rindu
aku terpelanting terjerembab
di semak katakatamu yang mengulur musim
hingga rantingranting kemarau belum juga mau
menggugur daun
mengangan barangkali sampai di musim teduh:
merenungi setiap urai kata di jengkal hari yang terlintasi.
melepuh jalan antara mataku dan matamu
embun serasa tak mampu membasah retak reranting
daundaun luka mengering
menjatuh menyayat kenangan demi kenangan
saat malam memeluk tanpaku
di bilik yang hangat ketika dingin menyergap tibatiba
aku membelukar dalam ngiang tawamu menjelah larik
larik larut menuju pagi
:begitu halus angin yang engkau hembuskan ke tubuh
hingga kerinngat yang membasah begitu senyap
kemudian aku menyujudkan ke wajah
sepimu
memang hanya sepi ternyata yang engkau suguh
di pucuk penantian mengelanai setiap sungging tawa
sesudah engkau pergi
masuk ke dalam dekapan
malam
Sukodadi, 20 Oktober 2006
Kukunjungi Lagi Pantaimu
ke pantaimu hari ini aku berkunjung
sekadar menghitung pasir setia yang setengah musim
kautinggal
oh, itu perahu berayunayun nyisir ombak
semakin jauh ninggalkan pantai
tak terlihat lambaian
samar seperti senja yang tibatiba mengurung
masih juga di butir pasir ini kutulis
:kesetiaan yang siasia
karena malam segera menjemput ke pelukan diamnya
aku tak mampu melihat pada dermaga mana perahu
berlabuh kesetian yang tertelan diam malam dan
pasang membuat rabun di getar waktu yang makin rapuh
jika di dermagaku ingin dilabuhkan,
aku berharap tiangtiang kian mengeropos dipasang ombak
dan membiar saja terjungkal mencair mengisi laut.
bukan karena jengah disinggah namun
setiap buih harus dilarungkan jauh hingga batas pandang
tak minta kembali
dengan kesetian, aku terus saja
menjagai kerangkerang kosong
mimpimu
Sukodadi, 21 Maret 2007
Ketika Juni
hujan telah menipis dari rintiknya
dan angin mulai belajar diam, engkau
masih sanggup menyahut namaku di kerumunan
harubiru rindu
ketika sepenggal juni kutinggal perlahanlahan
sudah tak mungkin lagi menoleh kebelakang
bukan kekecawaan yang terluka tetapi jalanan basah
telah melukis setapaksetapak tak bisa kuhapus
menyusut langkah ke waktu awal singgahan hujan
aku tahu engkau luka
ingin menyambung penggalpenggal juni
di gerimis yang mulai habis tak mungkin menyelesai utuh
sebuah tahun
karena kawatkawat pengikat telah hanyut
bersama ricik air yang diam
siasia bila hari saling berkejaran menuntaskan bulan
sedang engkau hanya menyahutkan potongan
potongan kata setia, tanpa:
harus mematah langkah yang hampir sampai
menghentikan senjaku
atau ninggalkan deraiderai kecewa membasah waktumu
hanya bertubi sesal saling bentur
ketika juni telah habis bersama gerimis
Sukodadi, 30 Juni 2007
Puisi-Puisi Anis Ceha
SEBELUM KU TAHU ENGKAU
Sebelumnya aku gelisah:
“apakah ada sesuatu di hatiku
ketika kita saling menyapa?”
hujan menurunkan kaki-kakinya,
berlarian saling mendahului
kemudian genangan air melimpah-ruah.
Dan kilatan-kilatan petir saling bertukar cumbu
dengan bumi,
lalu gelegarnya menuai reda,
waktu tenang;
dahaga tak lagi ada.
Malam itu ada jawab,
yang sebelumnya aku gelisah!
Malam itu aku melepas pasrah.
051129
MALAM
Akhirnya
ada jawab
tentang kau;
kekasih
di degupan jantung angan.
051129
PURNAMAKAH AKU?
Jika ku temui dirimu di ujung bulan,
akan jadi apakah?
Permaisuri raja,
pungguk rindukan bulan.
Jika ku temui dirimu di awal senja,
kemudian menghitam,
larut dalam adukan kental kopi selir lamunan
atau sekedar embun sepi di malam-malam lalu,
menjadi selimut tebal;
justru membuat beku segala kelu.
Maka, purnamakah aku
bagi bumi mendadak gelap?
050829
KU DAPATKAN DIRIKU
Ku jadikan diriku
selembar daun mengharum senyum,
kala pagi menghijau
atas kesejukan malam ku jelang,
agar ku bisa sentuh sepimu sendiri jadi raja
lalu karam di larutan detak jam.
Ku jadikan diriku setitik air,
agar kau bisa temui di setiap jeda wudhu;
mengiba, membelai lara jadi setetes embun,
segelas air kemudian
larut dalam arus dahaga.
Sayang, itu tak kan terjadi;
aku menjadikan diriku apa saja,
agar kau bisa sentuh
di setiap jeda waktumu merindu aku.
050923
ADA LELAKI
Ada lelaki diam saja;
raut mukanya teduh tak sedang berduka
tapi memang ada kerendahan jiwa.
Ada lelaki diam saja;
tenang gelisahnya merajut karisma
setiap derap di langkahnya,
membagi angka kesunyian nyata.
Ada lelaki diam saja;
jauh, sebelum bertandang
parasnya di hadapan malam, gemetaran.
Nov, 05
IBUKU MENDEKAP JINGGA
Langit semburat senja, ibuku mendekap jingga
burung-burung ke sarang pulang menemui
gelisah
anak riang bertemu selepas ditinggalkan.
Seperti kembala bawa rumput muda
di waktu senjakala,
bundanya menunggu setia
dengan kepak-kepak ke sarang doa.
Okto, 2005
Sebelumnya aku gelisah:
“apakah ada sesuatu di hatiku
ketika kita saling menyapa?”
hujan menurunkan kaki-kakinya,
berlarian saling mendahului
kemudian genangan air melimpah-ruah.
Dan kilatan-kilatan petir saling bertukar cumbu
dengan bumi,
lalu gelegarnya menuai reda,
waktu tenang;
dahaga tak lagi ada.
Malam itu ada jawab,
yang sebelumnya aku gelisah!
Malam itu aku melepas pasrah.
051129
MALAM
Akhirnya
ada jawab
tentang kau;
kekasih
di degupan jantung angan.
051129
PURNAMAKAH AKU?
Jika ku temui dirimu di ujung bulan,
akan jadi apakah?
Permaisuri raja,
pungguk rindukan bulan.
Jika ku temui dirimu di awal senja,
kemudian menghitam,
larut dalam adukan kental kopi selir lamunan
atau sekedar embun sepi di malam-malam lalu,
menjadi selimut tebal;
justru membuat beku segala kelu.
Maka, purnamakah aku
bagi bumi mendadak gelap?
050829
KU DAPATKAN DIRIKU
Ku jadikan diriku
selembar daun mengharum senyum,
kala pagi menghijau
atas kesejukan malam ku jelang,
agar ku bisa sentuh sepimu sendiri jadi raja
lalu karam di larutan detak jam.
Ku jadikan diriku setitik air,
agar kau bisa temui di setiap jeda wudhu;
mengiba, membelai lara jadi setetes embun,
segelas air kemudian
larut dalam arus dahaga.
Sayang, itu tak kan terjadi;
aku menjadikan diriku apa saja,
agar kau bisa sentuh
di setiap jeda waktumu merindu aku.
050923
ADA LELAKI
Ada lelaki diam saja;
raut mukanya teduh tak sedang berduka
tapi memang ada kerendahan jiwa.
Ada lelaki diam saja;
tenang gelisahnya merajut karisma
setiap derap di langkahnya,
membagi angka kesunyian nyata.
Ada lelaki diam saja;
jauh, sebelum bertandang
parasnya di hadapan malam, gemetaran.
Nov, 05
IBUKU MENDEKAP JINGGA
Langit semburat senja, ibuku mendekap jingga
burung-burung ke sarang pulang menemui
gelisah
anak riang bertemu selepas ditinggalkan.
Seperti kembala bawa rumput muda
di waktu senjakala,
bundanya menunggu setia
dengan kepak-kepak ke sarang doa.
Okto, 2005
Puisi-Puisi Ahmad Muchlish Amrin
De Javu
Kasih;
Dalam tidur malamku, kamu datang dengan sebilah tanda tanya, tanda
tanya mirip gumpalan titik koma, kurasakan lembab tanda seru
bersembunyi pada batang takdir yang kucipta dalam rahim ibu.
Seperti garis peta yang menghunjam jantungku, ingin kutafsir jalan nasib
lewat petualangan tiada akhir.
Aku menangkap wajahmu serupa wajah dalam mimpi-mimpi, wajah yang
datang tiba-tiba di keheningan batinku.
Aku merindukan kurung buka untuk merapal nama-nama bintang
sesuai angka kelahiran dan
kutemui wajah-wajah yang sama meski beda nama, mereka pergi bila
kutanya.
Aih, rupanya aku sudah mulai gila padahal belum kutulis kurung tutup
lewat tangan yang gemetar jika mendengar namamu disebutkan
Ibu;
Meski semakin jauh aku berjalan, semakin terjal jarak kampung halaman:
itulah kepulangan. meski nasib tak menentu dan kenangan-kenangan
gugur di jalanan; aku masih bertualang.
Selalu aku menyusu pada matahari yang terbit dari do’amu meski cahaya
kisut dan usiaku makin keriput
lihatlah, Ibu! lihatlah gambarku dalam buku-buku anak sekolahan, gambar
yang sedang melambai kepadamu
dan entah kenapa, suatu waktu dalam tidur malamku, kamu minta
disetubuhi, aku melakukannya berkali-kali
tanpa sesal, aku ingin tinggal di neraka sendirian
agar aroma tubuhmu bisa kuingat dari rantau
Yogyakarta/Tang Lebun, Februari-Maret 2007
Kurasakan Tubuh Hujan
-untuk zizi
Mata;
Aku mendalami sepi di matamu dan kurasakan runcing dingin yang gigil,
garis nasibku melintang serupa jalan pulang, di manakan tepian?
--hujan ini tak membuat kita celaka – katamu.
Tatapmu yang kesekian menidurkan mimpi musafir di gubukku
dan aku ingin bertualang lebih jauh lagi, mengenal hitam putih matamu.
Cerita yang belum selesai di pagi hari menenun kata yang tak mampu
kamu tulis di atas daun bakau, impian berkali-kali usang walau cerita
lama belum kamu tamatkan. Ah, ingin kulihat lagi mata sunyi hujan agar
gigil kembali kurasakan.
Rambut;
Tak bisa kulihat rambutmu sore ini, Zi, tak dapat kupantau awan legam di
atas keriting yang menyala – adakah uban di rambutmu? Hari ini kepalaku
menjadi rotasi bola-bola cinta yang mirip matahari. Ingin kumainkan di
depan gawang yang licin.
Biarkan rambut hujan terus memanjang, memanjang dan merumbai ke
punggung senja agar seluruh pertapa tahu, dingin menggigil itu hanya di
tubuhku. Entah mengapa, bila tatap berkalikali kamu luncurkan, aku
berharap selalu hujan.
Yogyakarta/Tang Lebun, Februari-Maret 2007
Kasih;
Dalam tidur malamku, kamu datang dengan sebilah tanda tanya, tanda
tanya mirip gumpalan titik koma, kurasakan lembab tanda seru
bersembunyi pada batang takdir yang kucipta dalam rahim ibu.
Seperti garis peta yang menghunjam jantungku, ingin kutafsir jalan nasib
lewat petualangan tiada akhir.
Aku menangkap wajahmu serupa wajah dalam mimpi-mimpi, wajah yang
datang tiba-tiba di keheningan batinku.
Aku merindukan kurung buka untuk merapal nama-nama bintang
sesuai angka kelahiran dan
kutemui wajah-wajah yang sama meski beda nama, mereka pergi bila
kutanya.
Aih, rupanya aku sudah mulai gila padahal belum kutulis kurung tutup
lewat tangan yang gemetar jika mendengar namamu disebutkan
Ibu;
Meski semakin jauh aku berjalan, semakin terjal jarak kampung halaman:
itulah kepulangan. meski nasib tak menentu dan kenangan-kenangan
gugur di jalanan; aku masih bertualang.
Selalu aku menyusu pada matahari yang terbit dari do’amu meski cahaya
kisut dan usiaku makin keriput
lihatlah, Ibu! lihatlah gambarku dalam buku-buku anak sekolahan, gambar
yang sedang melambai kepadamu
dan entah kenapa, suatu waktu dalam tidur malamku, kamu minta
disetubuhi, aku melakukannya berkali-kali
tanpa sesal, aku ingin tinggal di neraka sendirian
agar aroma tubuhmu bisa kuingat dari rantau
Yogyakarta/Tang Lebun, Februari-Maret 2007
Kurasakan Tubuh Hujan
-untuk zizi
Mata;
Aku mendalami sepi di matamu dan kurasakan runcing dingin yang gigil,
garis nasibku melintang serupa jalan pulang, di manakan tepian?
--hujan ini tak membuat kita celaka – katamu.
Tatapmu yang kesekian menidurkan mimpi musafir di gubukku
dan aku ingin bertualang lebih jauh lagi, mengenal hitam putih matamu.
Cerita yang belum selesai di pagi hari menenun kata yang tak mampu
kamu tulis di atas daun bakau, impian berkali-kali usang walau cerita
lama belum kamu tamatkan. Ah, ingin kulihat lagi mata sunyi hujan agar
gigil kembali kurasakan.
Rambut;
Tak bisa kulihat rambutmu sore ini, Zi, tak dapat kupantau awan legam di
atas keriting yang menyala – adakah uban di rambutmu? Hari ini kepalaku
menjadi rotasi bola-bola cinta yang mirip matahari. Ingin kumainkan di
depan gawang yang licin.
Biarkan rambut hujan terus memanjang, memanjang dan merumbai ke
punggung senja agar seluruh pertapa tahu, dingin menggigil itu hanya di
tubuhku. Entah mengapa, bila tatap berkalikali kamu luncurkan, aku
berharap selalu hujan.
Yogyakarta/Tang Lebun, Februari-Maret 2007
Puisi-Puisi Sosiawan Leak
http://budhisetyawan.wordpress.com/
BERALAS SAJADAH KUTULIS PUISI
timpuh di sajadah
kutulis sajak
tentang pelacuran,
pornografi dan kehidupan malam.
tapi tidak ada mesias apalagi tuhan
kitab suci terbakar bersama tembakan
dan huru hara kartun nabi.
timpuh di sajadah
kutulis sajak
tentang mata anakku yang terpejam
kecapaian di tengah malam
entah karena mimpi atau lantaran permainan siang hari
tentang wajah ibunya yang dirajang-rajang usia
lantaran pekerjaan rumah, kenekalanku yang meremaja
atau kesibukan kerja.
tapi tidak ada malaikat
surga terbakar kenaikan harga
neraka menggurita di mana-mana
di tiap trafick light dan pojok kota
merdeka dan sentosa!
kaki tangannya menjelma tuhan, nabi, kitab suci
juga malaikat dan surga
bahkan juga puisi, timpuh dan sajadah ini.
Pelangi Mojosongo, Solo, Maret 2006
NEGRI KADAL
negri kami negri kadal
negri yang tidak pernah sepi dari juluran lidah
menjelma dasi, panji-panji hingga janji-janji
yang selalu terpelanting bacinnya ludah.
sambil melata, kami mengendap,
menikam dan bersenggama
sesekali menelikung lawan juga kawa.
negri kami negri kadal
negri yang bersemak rempah
berbelukar bahan tambang, berrerimbun hutan
namun selalu lapar
dengan pertikaian dan asap tebal
dari berbagai kayu bakar
; agama, harta dan kekuasaan
kami selesaikan masalah
hanya lewat desis dan kata-kata
sedang tindakan tersembunyi dengan sempurna
di ujung ekor yang tak berdaya
menjelma bom, meledak sembarangan.
curiga mulus beranak pinak di sela sisik
malih rupa ketakutan
yang tak pernah terungkap di pengadilan
di negri kadal.
Solo, 19 September 2000
(sumber: buku DUNIA BOGAMBOLA, karya Sosiawan Leak, Penerbit Indonesia Tera, Jogjakarta, cetakan pertama, April 2007)
BERALAS SAJADAH KUTULIS PUISI
timpuh di sajadah
kutulis sajak
tentang pelacuran,
pornografi dan kehidupan malam.
tapi tidak ada mesias apalagi tuhan
kitab suci terbakar bersama tembakan
dan huru hara kartun nabi.
timpuh di sajadah
kutulis sajak
tentang mata anakku yang terpejam
kecapaian di tengah malam
entah karena mimpi atau lantaran permainan siang hari
tentang wajah ibunya yang dirajang-rajang usia
lantaran pekerjaan rumah, kenekalanku yang meremaja
atau kesibukan kerja.
tapi tidak ada malaikat
surga terbakar kenaikan harga
neraka menggurita di mana-mana
di tiap trafick light dan pojok kota
merdeka dan sentosa!
kaki tangannya menjelma tuhan, nabi, kitab suci
juga malaikat dan surga
bahkan juga puisi, timpuh dan sajadah ini.
Pelangi Mojosongo, Solo, Maret 2006
NEGRI KADAL
negri kami negri kadal
negri yang tidak pernah sepi dari juluran lidah
menjelma dasi, panji-panji hingga janji-janji
yang selalu terpelanting bacinnya ludah.
sambil melata, kami mengendap,
menikam dan bersenggama
sesekali menelikung lawan juga kawa.
negri kami negri kadal
negri yang bersemak rempah
berbelukar bahan tambang, berrerimbun hutan
namun selalu lapar
dengan pertikaian dan asap tebal
dari berbagai kayu bakar
; agama, harta dan kekuasaan
kami selesaikan masalah
hanya lewat desis dan kata-kata
sedang tindakan tersembunyi dengan sempurna
di ujung ekor yang tak berdaya
menjelma bom, meledak sembarangan.
curiga mulus beranak pinak di sela sisik
malih rupa ketakutan
yang tak pernah terungkap di pengadilan
di negri kadal.
Solo, 19 September 2000
(sumber: buku DUNIA BOGAMBOLA, karya Sosiawan Leak, Penerbit Indonesia Tera, Jogjakarta, cetakan pertama, April 2007)
Puisi-Puisi Ilenk Rembulan
http://www.kompas.com/
Lapindo Satu
: bude Umi
dua ramadhan sudah berlalu
ini ramadhan ke tiga
adakah gema takbir di ujung sana?
Lapindo Dua
:bulek Menik
jemari menyisir sahur di ujung rambut
tetesan peluh menakar gelas kosong
adakah mukena bersih yang masih tersisa?
Lapindo Tiga
:guru Tono
keluh menghimpit
di ujung tumpukan buku
jemari menghitung
papan tanpa tulisan
menunggu bagdo buka
masih adakah bingkisan datang?
Lapindo Empat
:ustadz m.arifin ilham
lafal dzikir bergema
gelegak lumpur mengiringi
lambaian tasbih menari
jeritan puasa berjama’ah
sudahkah kau kirim tahajud padaKu?
Lapindo Lima
:tuanku bakrie
keranjang parcel masih terhidang
lipatan sarung dalam jutaan
kuketuk selembar hatimu
sudahkah kau kirim zakat untukKu?
Jakarta, 9.10 wib, 16 september 2009
Lapindo Satu
: bude Umi
dua ramadhan sudah berlalu
ini ramadhan ke tiga
adakah gema takbir di ujung sana?
Lapindo Dua
:bulek Menik
jemari menyisir sahur di ujung rambut
tetesan peluh menakar gelas kosong
adakah mukena bersih yang masih tersisa?
Lapindo Tiga
:guru Tono
keluh menghimpit
di ujung tumpukan buku
jemari menghitung
papan tanpa tulisan
menunggu bagdo buka
masih adakah bingkisan datang?
Lapindo Empat
:ustadz m.arifin ilham
lafal dzikir bergema
gelegak lumpur mengiringi
lambaian tasbih menari
jeritan puasa berjama’ah
sudahkah kau kirim tahajud padaKu?
Lapindo Lima
:tuanku bakrie
keranjang parcel masih terhidang
lipatan sarung dalam jutaan
kuketuk selembar hatimu
sudahkah kau kirim zakat untukKu?
Jakarta, 9.10 wib, 16 september 2009
Puisi-Puisi Ahmad Syauqi Sumbawi
Interlude di Remang Malam
terdengar itu,
jam dinding membentak
hitungan waktu yang terpenggal
tak pernah gagal
rupanya,
kita sudah menjadi kebal
terus mengotak-atik waktu
dari 1 ke 1001
: mimpi manusia
tapi,
suara tokek itu
masih sempat membikin kita tersentak juga
Perjalanan Ke Bukit
aku tak ‘kan mengharap
jalan datar di depan sana
dan doa yang mengharapkannya
akan ditertawakan udara
sebagai ketololan yang sia-sia
”telah kering sang Pena”
iklim-cuaca pun mencatat
bahwa perjalanan ke bukit
otot-otot menjadi kawat
butir-butir nasi menjadi keringat
dan semangat ditumbuhi karat
dan manakala aku tergelincir menggelinding
aku tak mau ada di antara ngeri dan mimpi
yang tak lain adalah diam yang menyiksa
biarlah hancur binasa
sebab kehidupan akan tergelar segera
dengan memandang mekar wajahku
di bukit sana
Kepada Waktu
coret saja namaku dalam daftarmu
berkali-kali tak sambut buangan kakimu
dan buang saja ludah pahitmu ke mukaku
seperti yang selalu kaulakukan membikin sesal
memang hijau jari-jari di dada rentan patah
apalagi untuk kali pertama
sekawanan laba-laba membangun sarang
saat mencoba menampakkan udara
yang terjaring malam itu
dalam kamar gelap dan pengap
aku tak peduli lagi itu berbahaya
aku tak peduli iklim dan cuaca yang berubah
juga pada jarum jam dinding
yang menangkapmu di tiap detik
dengan tawa persulangan di remang malam
kutuk aku!
ya, kutuklah!
kutuklah seperti yang selalu kaulakukan
mungkin begitu, aku lebih mengenalmu
Di Sebuah Konser
di sebuah konser
aku ingin menari, bersama
mencebur dalam riaknya
bukan dangdut, rock n’ roll, punk,
grunge, black metal, underground,
ska, campur sari, hip hop, R&B,
dan sebagainya
di sebuah konser
aku ingin menyanyi, bersama
mengalir dalam alunannya
bukan pop, slow rock, blues, jazz
seriosa, keroncong, kasidah,
dan sebagainya
di sebuah konser
aku ingin menari dan menyanyi, bersama
diiringi musik yang tersembul
dari palung diri
yang mengalir mendesir darah
hangat di dada
lebih merdu dari tarikan vokal
lebih lembut dari sentuhan keyboard
lebih kuat dari hentakan drum dan perkusi
lebih lengking dari petikan gitar dan gesekan biola
lebih..
lebih…
membebaskan…
Bila Mata Tiba-tiba Pecah
benarkah, telah binasa mekar wajah?
mata tiba-tiba pecah
jika kautanya, barangkali ‘kan
menyentak juga:
“keruh kening takkan pernah cukup terhapus
oleh lelehan air mata. malah,
rentan melajatkan sepai diri bersama
kesepian bebatang kaktus.”
di bawah malam,
oase menggambar purnama
apakah ada yang lewat?
menyentuh pada kemilaunya
jika kautanya sekali lagi,
barangkali ‘kan menyentak kembali:
“setelah keruh kening luntur,
maka terlihatlah juga
air jatuh dari wajah dan tangan
mengirimkan getar-getarnya
menjelma sungai membayang muara.”
dalam dada menghisap debur samudera
apakah mesti berangkat? merelakan
buih-buihnya
jika kautanya kembali,
barangkali ‘kan menyentak sekali lagi:
“buih-buih adalah pasti.
pasir dan karang membentuk daratan.”
jika masih bertanya-tanya juga,
terkubur lautan tanpa nisan
terdengar itu,
jam dinding membentak
hitungan waktu yang terpenggal
tak pernah gagal
rupanya,
kita sudah menjadi kebal
terus mengotak-atik waktu
dari 1 ke 1001
: mimpi manusia
tapi,
suara tokek itu
masih sempat membikin kita tersentak juga
Perjalanan Ke Bukit
aku tak ‘kan mengharap
jalan datar di depan sana
dan doa yang mengharapkannya
akan ditertawakan udara
sebagai ketololan yang sia-sia
”telah kering sang Pena”
iklim-cuaca pun mencatat
bahwa perjalanan ke bukit
otot-otot menjadi kawat
butir-butir nasi menjadi keringat
dan semangat ditumbuhi karat
dan manakala aku tergelincir menggelinding
aku tak mau ada di antara ngeri dan mimpi
yang tak lain adalah diam yang menyiksa
biarlah hancur binasa
sebab kehidupan akan tergelar segera
dengan memandang mekar wajahku
di bukit sana
Kepada Waktu
coret saja namaku dalam daftarmu
berkali-kali tak sambut buangan kakimu
dan buang saja ludah pahitmu ke mukaku
seperti yang selalu kaulakukan membikin sesal
memang hijau jari-jari di dada rentan patah
apalagi untuk kali pertama
sekawanan laba-laba membangun sarang
saat mencoba menampakkan udara
yang terjaring malam itu
dalam kamar gelap dan pengap
aku tak peduli lagi itu berbahaya
aku tak peduli iklim dan cuaca yang berubah
juga pada jarum jam dinding
yang menangkapmu di tiap detik
dengan tawa persulangan di remang malam
kutuk aku!
ya, kutuklah!
kutuklah seperti yang selalu kaulakukan
mungkin begitu, aku lebih mengenalmu
Di Sebuah Konser
di sebuah konser
aku ingin menari, bersama
mencebur dalam riaknya
bukan dangdut, rock n’ roll, punk,
grunge, black metal, underground,
ska, campur sari, hip hop, R&B,
dan sebagainya
di sebuah konser
aku ingin menyanyi, bersama
mengalir dalam alunannya
bukan pop, slow rock, blues, jazz
seriosa, keroncong, kasidah,
dan sebagainya
di sebuah konser
aku ingin menari dan menyanyi, bersama
diiringi musik yang tersembul
dari palung diri
yang mengalir mendesir darah
hangat di dada
lebih merdu dari tarikan vokal
lebih lembut dari sentuhan keyboard
lebih kuat dari hentakan drum dan perkusi
lebih lengking dari petikan gitar dan gesekan biola
lebih..
lebih…
membebaskan…
Bila Mata Tiba-tiba Pecah
benarkah, telah binasa mekar wajah?
mata tiba-tiba pecah
jika kautanya, barangkali ‘kan
menyentak juga:
“keruh kening takkan pernah cukup terhapus
oleh lelehan air mata. malah,
rentan melajatkan sepai diri bersama
kesepian bebatang kaktus.”
di bawah malam,
oase menggambar purnama
apakah ada yang lewat?
menyentuh pada kemilaunya
jika kautanya sekali lagi,
barangkali ‘kan menyentak kembali:
“setelah keruh kening luntur,
maka terlihatlah juga
air jatuh dari wajah dan tangan
mengirimkan getar-getarnya
menjelma sungai membayang muara.”
dalam dada menghisap debur samudera
apakah mesti berangkat? merelakan
buih-buihnya
jika kautanya kembali,
barangkali ‘kan menyentak sekali lagi:
“buih-buih adalah pasti.
pasir dan karang membentuk daratan.”
jika masih bertanya-tanya juga,
terkubur lautan tanpa nisan
Kamis, 20 November 2008
Puisi-Puisi Imamuddin SA
DARI ALIF SAMPAI YA’
kepada Sang Nabi
lidahku laksana kutub
dan sarafku tak bergaun wol
hingga bibirku membeku
membisu
imajiku kaku
tiada aksara terangkai untukmu
hampa mengukir puitika puja nan merdu,
sungguh segalanya telah terlampaui keanggunanmu
gontai jalan hatiku
mengangan angan tuk kembali memujimu
sebab abjad terusang olehku
di sisa degup sahadat
merekat
kusisipkan rekaat munajat
lewat tembang-tembang yang kau gurat;
“dari alif sapai ya’
adalah bukti perjalanan waktu
disingkap kebersatuan laku
terkunci keyakinan kalbu,
esok kita kan bersatu
kala kusanggup membongkar tanda
yang kau kisah untukku
sebab yang tertuju hanyalah satu
kuyakin itu”
Kendalkemlagi, Maret 2008
KADO JATI SEREMONI
ia kenal tembangmu
walau ini sepedih rasa
meringkuk telah
di sekutu tanah,
kau rentang saja
sayap-sayap kalbu
merela gala teseru
adalah serimpi misi
mengarang kembang usai
lewat cendawan nanti
tak terbeli
atau tergadai lalui
liat lindu tempo hari
pun entah … ini
sebatas sirkus nadi
bagai kado jati seremoni
tiada seberat hati
melepas diri
bagimu terlalui
mengarang elegi kidung impi
dalam bilik sendiri
ya, rajut kembali
tusah peradaban sempat tercerai
bersama api suci jemari
meniti musim semi
dalam kisah misi
kembali
Kendalkemlagi 2007
LAYANG PERJAMUAN
kepada penyair Lamongan
menyisir waktu
mengeja jejak hampir sayu
ah, syukur aku
di hening samudraku
menyapa purnama rindu
namun, adakah sinar tak lagi merayu?
Kendalkemlagi, September 2006
ADA LUKA
kepada penyair Lamongan
mungkinkah bias nur malam
tak membius hatinya
meski kesempurnaan wajah telah
membumi tak tereja
ada luka,
sebab kehampaan jasad manusianya
batu-batu sangsi menghimpit kesadaran
menyemedikan batin yang tertahan,
ah, yang terdengar hanya kersik sayapnya
meski hati rindu bersua,
mendialogkan kata
tenggelam di kedalaman samudra tanda
adakah esok bulu-bulunya kan setia
mengukir puitika kisah jalan maqomnya?
Kendalkemlagi, Mei 2008
kepada Sang Nabi
lidahku laksana kutub
dan sarafku tak bergaun wol
hingga bibirku membeku
membisu
imajiku kaku
tiada aksara terangkai untukmu
hampa mengukir puitika puja nan merdu,
sungguh segalanya telah terlampaui keanggunanmu
gontai jalan hatiku
mengangan angan tuk kembali memujimu
sebab abjad terusang olehku
di sisa degup sahadat
merekat
kusisipkan rekaat munajat
lewat tembang-tembang yang kau gurat;
“dari alif sapai ya’
adalah bukti perjalanan waktu
disingkap kebersatuan laku
terkunci keyakinan kalbu,
esok kita kan bersatu
kala kusanggup membongkar tanda
yang kau kisah untukku
sebab yang tertuju hanyalah satu
kuyakin itu”
Kendalkemlagi, Maret 2008
KADO JATI SEREMONI
ia kenal tembangmu
walau ini sepedih rasa
meringkuk telah
di sekutu tanah,
kau rentang saja
sayap-sayap kalbu
merela gala teseru
adalah serimpi misi
mengarang kembang usai
lewat cendawan nanti
tak terbeli
atau tergadai lalui
liat lindu tempo hari
pun entah … ini
sebatas sirkus nadi
bagai kado jati seremoni
tiada seberat hati
melepas diri
bagimu terlalui
mengarang elegi kidung impi
dalam bilik sendiri
ya, rajut kembali
tusah peradaban sempat tercerai
bersama api suci jemari
meniti musim semi
dalam kisah misi
kembali
Kendalkemlagi 2007
LAYANG PERJAMUAN
kepada penyair Lamongan
menyisir waktu
mengeja jejak hampir sayu
ah, syukur aku
di hening samudraku
menyapa purnama rindu
namun, adakah sinar tak lagi merayu?
Kendalkemlagi, September 2006
ADA LUKA
kepada penyair Lamongan
mungkinkah bias nur malam
tak membius hatinya
meski kesempurnaan wajah telah
membumi tak tereja
ada luka,
sebab kehampaan jasad manusianya
batu-batu sangsi menghimpit kesadaran
menyemedikan batin yang tertahan,
ah, yang terdengar hanya kersik sayapnya
meski hati rindu bersua,
mendialogkan kata
tenggelam di kedalaman samudra tanda
adakah esok bulu-bulunya kan setia
mengukir puitika kisah jalan maqomnya?
Kendalkemlagi, Mei 2008
Puisi-Puisi Denny Mizhar
KABAR DARI KAMPUNG
Sawah Mbok Yem, gagal panen
Akibat limbah pabrik yang meracuni tanah sawahnya
Nasi pecel Mbok Jah tidak laku lagi
Akibat kalah bersaing dengan makanan instant dari luar
Karibku masuk bui
Akibat mencuri uang untuk ibunya yang sakit
Mbok Yem, Mbok Jah, Karibku entah besok siapa lagi?
Kampungku terasing, tersingkir atas nama pembangunan
Malang, Februari 2007
DI ANTARA DUA PILIHAN
Daun-daun berguguran saat musim hujan.
Sungguh aneh?
Itulah yang kulihat!
Tanpa kumengerti, dan terjadi begitu saja
Halnya dengan waktu
Aku tidak bisa memahami,
pergantiannya
arti sebuah malam dan siang
Semua terjadi…
Saat kucumbui kegaluan hati
menjelang persetubuhanku untuk menancapkan rasa hati
Malang, 5 Juni 2007
BURAM
Aku inggin bertanya,
Pada kita yang sebentar lagi menjadi gundukan tanah
Masikah kita menjadi manusia utuh?
Ketika yang nyata menjadi maya
Masikah kita otentik?
Ketika dalam diri kita ada yang lain
Tuhan,
Adakah diri kita sejati dimana hitam dan putih bercampur,
dalam bayang eksistensi jiwa bebas manusia
Tuhan,
Dimana diri-Mu?
saat diri kita terbelah menjadi asing bagi kita sendiri
Aku menunggu petunjuk-Mu
Malang, 26 agustus 2007
Sawah Mbok Yem, gagal panen
Akibat limbah pabrik yang meracuni tanah sawahnya
Nasi pecel Mbok Jah tidak laku lagi
Akibat kalah bersaing dengan makanan instant dari luar
Karibku masuk bui
Akibat mencuri uang untuk ibunya yang sakit
Mbok Yem, Mbok Jah, Karibku entah besok siapa lagi?
Kampungku terasing, tersingkir atas nama pembangunan
Malang, Februari 2007
DI ANTARA DUA PILIHAN
Daun-daun berguguran saat musim hujan.
Sungguh aneh?
Itulah yang kulihat!
Tanpa kumengerti, dan terjadi begitu saja
Halnya dengan waktu
Aku tidak bisa memahami,
pergantiannya
arti sebuah malam dan siang
Semua terjadi…
Saat kucumbui kegaluan hati
menjelang persetubuhanku untuk menancapkan rasa hati
Malang, 5 Juni 2007
BURAM
Aku inggin bertanya,
Pada kita yang sebentar lagi menjadi gundukan tanah
Masikah kita menjadi manusia utuh?
Ketika yang nyata menjadi maya
Masikah kita otentik?
Ketika dalam diri kita ada yang lain
Tuhan,
Adakah diri kita sejati dimana hitam dan putih bercampur,
dalam bayang eksistensi jiwa bebas manusia
Tuhan,
Dimana diri-Mu?
saat diri kita terbelah menjadi asing bagi kita sendiri
Aku menunggu petunjuk-Mu
Malang, 26 agustus 2007
Puisi-Puisi Sri Wintala Achmad
SULUK SRIKANDI
(I)
Di alun-alun
Rumput merimbun
Semilir angin
Buai sepasang beringin
Angkasa membiru-jingga
Membakar gairah asmara
“Kanda, ajarkan aku memanah matahari
Sebelum terbenam ke dasar hati!”
Ujar Srikandi, sembari
Mencolek pipi Permadi
(II)
Angin lelap di sarang malam
Tidak ada kecipak ikan di kolam
Hanya desah Srikandi di bibir ranum
Melenguh hingga ke tulang sungsum
Lunglai telanjang di ranjang
Di pipi, airmata berlinang
“Kanda, mengapa kita cepat berpisah
Manakala matahari terpanah
Koyak berdarah?”
(III)
Di depan gerbang istana
Hati Srikandi berbunga-bunga
Melepas Permadi ke Madukara
Dadanya hangat diraba
Namun matanya tersirat sendu
Sekali mencinta lelaki buat dimadu
Sanggar Gunung Gamping, 07082006
SULUK BANOWATI
Di depan Bunda Setyawati
Aku hancurkan cermin kaca
Malu hidup sekali
Sebagai wanita pendua cinta
Akulah si bungsu Narasoma
Yang terlepas dari kudangan
Bukan pecinta s’orang hingga senja tiba
Melainkan pengkhianat kasih pujaan
Tidak sebatas Aswatama
Aku rela dicap sephia
Menebus dosa seusai Baratayuda
Rela mati dicidra Kartamarma
Sanggar Gunung Gamping, 13032008
SULUK KUNTHI NALIBRATA
Di bengawan Suwilugangga
Aku alirkan aib keluarga Mandura
Sesudah perutku mengembang tanpa suami
Selain cinta dari jambangan hati
Karna, putra Surya yang lahir dari lubang telinga
Jangan simpan dendam matahari di dalam gendaga
Ibumu hanya mentaati titah Kakanda Basudewa
Yang lebih malu pada kawula daripada Raja semesta
Menjelang baratayuda tiba, datanglah kepadaku
Ibumu bakal merestui di mana kau berkubu
Sebab kunci surga bagi senopati sejati
Bertumpu pada kesetiaan janji
Sanggar Gunung Gamping, 14032008
BURISRAWA KASMARAN
Mbok Mbadra kembang Widarakandang
Kepadamu aku mabuk kepayang
Setiap malam kau menghiasi mimpi
Seanggun Wulan berselendang pelangi
Jangan kau tolak cintaku, Mbok Badra!
Meski wajahku seburuk raksasa
Namun kesetianku melampaui Permadi
Dan setara Bunda Setyawati
Mbok Badra, namun apa mau dikata?
Apabila hanya ilusi yang kau dambakan
Hingga perawanmu seharga kerennya rupa
Bukan jiwaku yang berakhir remuk berkepingan
Sanggar Gunung Gamping, 28032008
SULUK BALADEWA
Apa guna makutharama
Bila hanya memperpanjang usia percuma
Sebab mahalnya harga diri ksatria
Dijual di pasar baratayuda
Adinda Kresna, mengapa kau musti menipu
Memintaku bertapa di Grojogan Sewu
Meski aku sebagai senopati Kurawa
Pandawa kalis dari kesaktian nenggala
Ingin aku hancurkan makutharama
Berpuingan serupa negeri Astina
Mustahil segera pulih di tangan Parikesit
Raja muda berjiwa satria piningit
Sanggar Gunung Gamping, 15032008
SULUK DURYUDANA
Kurukasetra menderaskan hujan darah
Manakala sukmaku terbang dari sarang raga
Serupa burung pulang kehilangan arah
Langit berawan tak bercahaya
Jangan pongah Bima berbusung dada
Meski aku tak mendapat jatah surga
Dilayani seribu bidadari penuang anggur
Angkaraku bakal menjelma kilat dan guntur
Lantas apa yang kau banggakan
Atas kejayaan Pandawa dalam baratayuda?
Selain penyesalan berkepanjangan
Bahwa Kedamaian hanya petaka tertangguhkan
Sanggar Gunung Gamping, 14032008
SULUK ARJUNA
Telah Adinda lepaskan warastra
Dari busur paling nurani
Ke dadamu Kanda Suryatmaja
Buat meredam dendam matahari
Bukan lantaran Srikandi
Yang kau lepaskan kutangnya di Kurusetra
Hingga payudaranya senampak ranum khuldi
Selain demi harga diri seorang ksatria
Bukan salah Kanda apalagi Adinda
Baratayuda sekadar kunci pintu surga
Bagi kita senopati palagan pilihan
Bukan pecundang kematian
Sanggar Gunung Gamping, 11032008
SULUK KARNA
Di medan pertempuran
Kau memenuhi undangan Tuhan
Buat menyongsong Arjuna
Dengan dada terbuka
Di mana cintamu pada kehidupan
Tak memihak saudara atau lawan
Sebelum matahari menanggalkan lembar usia
Tuntaskan anak panah dari busurnya
Hingga ajal membuka langit surga
Tempat Tuhan memenuhi janji-Nya
Bersulang bersama di meja perjamuan
Atas kemenangan erat dalam genggaman
Sanggar Gunung Gamping, 03082006
SULUK SITI SENDARI
Kepadamu seorang
Cintaku tiada mencabang
Lelaki berjiwa satu
Senilai panah seribu
Langit telah terbuka
Tunggu aku di gerbang surga
Sebab cintaku adalah cahaya
Nyala dari api pancala?
Hanya Kanda Abimanyu
Pelabuhan cintaku
Tak berbataskan ruang dan waktu
Hingga kematian sebagai awal kehidupan baru?
Sanggar Gunung Gamping, 04082006
(I)
Di alun-alun
Rumput merimbun
Semilir angin
Buai sepasang beringin
Angkasa membiru-jingga
Membakar gairah asmara
“Kanda, ajarkan aku memanah matahari
Sebelum terbenam ke dasar hati!”
Ujar Srikandi, sembari
Mencolek pipi Permadi
(II)
Angin lelap di sarang malam
Tidak ada kecipak ikan di kolam
Hanya desah Srikandi di bibir ranum
Melenguh hingga ke tulang sungsum
Lunglai telanjang di ranjang
Di pipi, airmata berlinang
“Kanda, mengapa kita cepat berpisah
Manakala matahari terpanah
Koyak berdarah?”
(III)
Di depan gerbang istana
Hati Srikandi berbunga-bunga
Melepas Permadi ke Madukara
Dadanya hangat diraba
Namun matanya tersirat sendu
Sekali mencinta lelaki buat dimadu
Sanggar Gunung Gamping, 07082006
SULUK BANOWATI
Di depan Bunda Setyawati
Aku hancurkan cermin kaca
Malu hidup sekali
Sebagai wanita pendua cinta
Akulah si bungsu Narasoma
Yang terlepas dari kudangan
Bukan pecinta s’orang hingga senja tiba
Melainkan pengkhianat kasih pujaan
Tidak sebatas Aswatama
Aku rela dicap sephia
Menebus dosa seusai Baratayuda
Rela mati dicidra Kartamarma
Sanggar Gunung Gamping, 13032008
SULUK KUNTHI NALIBRATA
Di bengawan Suwilugangga
Aku alirkan aib keluarga Mandura
Sesudah perutku mengembang tanpa suami
Selain cinta dari jambangan hati
Karna, putra Surya yang lahir dari lubang telinga
Jangan simpan dendam matahari di dalam gendaga
Ibumu hanya mentaati titah Kakanda Basudewa
Yang lebih malu pada kawula daripada Raja semesta
Menjelang baratayuda tiba, datanglah kepadaku
Ibumu bakal merestui di mana kau berkubu
Sebab kunci surga bagi senopati sejati
Bertumpu pada kesetiaan janji
Sanggar Gunung Gamping, 14032008
BURISRAWA KASMARAN
Mbok Mbadra kembang Widarakandang
Kepadamu aku mabuk kepayang
Setiap malam kau menghiasi mimpi
Seanggun Wulan berselendang pelangi
Jangan kau tolak cintaku, Mbok Badra!
Meski wajahku seburuk raksasa
Namun kesetianku melampaui Permadi
Dan setara Bunda Setyawati
Mbok Badra, namun apa mau dikata?
Apabila hanya ilusi yang kau dambakan
Hingga perawanmu seharga kerennya rupa
Bukan jiwaku yang berakhir remuk berkepingan
Sanggar Gunung Gamping, 28032008
SULUK BALADEWA
Apa guna makutharama
Bila hanya memperpanjang usia percuma
Sebab mahalnya harga diri ksatria
Dijual di pasar baratayuda
Adinda Kresna, mengapa kau musti menipu
Memintaku bertapa di Grojogan Sewu
Meski aku sebagai senopati Kurawa
Pandawa kalis dari kesaktian nenggala
Ingin aku hancurkan makutharama
Berpuingan serupa negeri Astina
Mustahil segera pulih di tangan Parikesit
Raja muda berjiwa satria piningit
Sanggar Gunung Gamping, 15032008
SULUK DURYUDANA
Kurukasetra menderaskan hujan darah
Manakala sukmaku terbang dari sarang raga
Serupa burung pulang kehilangan arah
Langit berawan tak bercahaya
Jangan pongah Bima berbusung dada
Meski aku tak mendapat jatah surga
Dilayani seribu bidadari penuang anggur
Angkaraku bakal menjelma kilat dan guntur
Lantas apa yang kau banggakan
Atas kejayaan Pandawa dalam baratayuda?
Selain penyesalan berkepanjangan
Bahwa Kedamaian hanya petaka tertangguhkan
Sanggar Gunung Gamping, 14032008
SULUK ARJUNA
Telah Adinda lepaskan warastra
Dari busur paling nurani
Ke dadamu Kanda Suryatmaja
Buat meredam dendam matahari
Bukan lantaran Srikandi
Yang kau lepaskan kutangnya di Kurusetra
Hingga payudaranya senampak ranum khuldi
Selain demi harga diri seorang ksatria
Bukan salah Kanda apalagi Adinda
Baratayuda sekadar kunci pintu surga
Bagi kita senopati palagan pilihan
Bukan pecundang kematian
Sanggar Gunung Gamping, 11032008
SULUK KARNA
Di medan pertempuran
Kau memenuhi undangan Tuhan
Buat menyongsong Arjuna
Dengan dada terbuka
Di mana cintamu pada kehidupan
Tak memihak saudara atau lawan
Sebelum matahari menanggalkan lembar usia
Tuntaskan anak panah dari busurnya
Hingga ajal membuka langit surga
Tempat Tuhan memenuhi janji-Nya
Bersulang bersama di meja perjamuan
Atas kemenangan erat dalam genggaman
Sanggar Gunung Gamping, 03082006
SULUK SITI SENDARI
Kepadamu seorang
Cintaku tiada mencabang
Lelaki berjiwa satu
Senilai panah seribu
Langit telah terbuka
Tunggu aku di gerbang surga
Sebab cintaku adalah cahaya
Nyala dari api pancala?
Hanya Kanda Abimanyu
Pelabuhan cintaku
Tak berbataskan ruang dan waktu
Hingga kematian sebagai awal kehidupan baru?
Sanggar Gunung Gamping, 04082006
Puisi-Puisi Esha Tegar Putra
http://jurnalnasional.com/
Orang Ladang
tujuh petang menukak punggungnya, di bukit
ingin mencakau alang-alang. niat tinggal kalimat
tujuh petang gigih menikam, menyansam,
mirip ragam umbi yang ditanak dalam periuk
teruka ini tinggal batas, tinggal jejak, sebab di bukit
ia tumbuh dan menyusup ke dalam lempung tanah
tujuh petang menukak punggungnya, di ladang
ada yang tak pernah hafal desau biola, segelas anggur
atau niat untuk membangun rumah pasir di tepi pantai
sebab ia orang ladang. ia lesap ketika mengejar tupai dan beruk,
dia rapal musim petik kopi
dan ketukan yang berkali pada pintu dangau
ia tahu siapa yang tiba
maksud hanya menukak tanah lalu tanam. menanam
lalu petik. tapi sepi berkuasa terlalu dalam
ia ingin bertuju pada sebuah jalan batu, simpang
dengan udara masam, ilalang kering merabuk
ke sebuah tempat di mana tupai dan beruk berdamai,
bersamanya. mereka akan berkejaran di bukit
dalam botol anggur,
lalu mereka akan lelap di desau biola
tujuh senja adalah ia yang ingin berladang
pada sebuah tanah yang bernama puisi
yang berlari, yang terhenti, ia tetap orang ladang
Kandangpadati, 2008
Tampuk
ke tampuk batang jambu,
bila inginmu ikut bergelantung
kelamaan akan terhitung
mumbang yang berjatuhan dari sebelah
sebelum hijau memerah, batang rapuh melapuk,
tampuk merabuk
baiknya lubang atau kulit tergelubik
pecah dipijak serangga mabuk
dan membiarlah rampai hari tergujai.
biar bibir-bibir angin menikahi lumut
diam akan jadi berkah buah di penghujung bulan hujan
berkah air menikahi tanah, membiarlah.
ke tampuk, tetap kita akan mengembali
sebab waktu abadi di tumbuh-patahnya tampuk
ke kelok angin lihatlah,
“adakah tampak sepasang murai
sedang terbang mencari hinggap?”
padahal kaki sebelah luka dibawa berharap pada sayap
merabuk juga ini waktu
cerita makin pasi didendang hari. berkali menjalin kata,
berkali-kali tersungkur batu pijakan
barangkali tampuk, tempat tuju, menjadi lurah
bertumbuk jalan. biar jatuh jadi pokok pencarian lain
selain ingin bergelantung
mungkin batang jambu akan tumbuh
di tepian bebatu lurah
Kandangpadati, 2008
Sakit
dalam parak, gugusan daun
memendam kampung dalam lebam
serupa tungku, serupa abu,
serupa batu yang pecah diamuk bara
dan kubaca kau dalam igau
dalam parau tidur yang tak jadi nyata
rupanya rasa membilah hari
lewat tarian bulan garang
ingatlah yang berzanji
menyadap sebatang nira di lurah bermiang
dalam haus, lalu mereguk pincuran matanya
yang lahir dari ubun-ubun bukit sakit
Kandangpadati, 2008
Di Gelungan Rambut
di gelungan rambutmu telah kutanam rimba
tempat panas percintaan kita dengan kabut
bersemayam. dan kau telah menukak tanahnya
dengan garang, lalu menancapkan kota,
membuat sumur dalam yang penuh liur serigala.
mengingatnya, aku jadi rindu pada percintaan
masam tanpa garam. ingin aku bergumul lagi
dengan hamparan ilalang panjang. membiarkan tubuh
gatal dan mata yang memendam hujan lebat. maka
akan kita selusuri lagi
lekuk bukit, ceruk lembah, dari ketiadan
sumpah, di gelungan rambutmu telah kusembunyikan
beragam kerinduan dan kau akan menemui diriku
di lain waktu. seketika kota dengan beragam
bangunan yang kau tancapkan menjadi ingatan gilamu
pada percintaan kita. kau akan bersigegas menyisir
gelungan rambutmu yang terus merontok
dengan jemari yang membatu, sumpah
Padang, 2007
Lepas Ingatan
merinduimu sampai ke ngilu tulang adalah keharusan
apa yang tampak, apa yang tertanam, adalah kenangan
sebut aku yang berdiang di lipatan matamu
mendulang bebiji hari buat membayar hutang pada waktu
kau terlalu cepat menagih sakit yang tertuang
hingga puisi menjadi candu pahit
bakal pelepas ingat
mengingatmu adalah keharusan, sebab badan
terlanjur basah, terlanjur bermandi di gelegak pertemuan
“aku akan menjemputmu
seketika tahun menawarkan
sepetak tanah untuk membikin pondok”
meski seketika itu matamu berubah lain
dan geraian rambutmu tak lagi menjadi pertanda pertautan.
tetap akan kupersuakan padamu, senja yang
menyauh lesi angin laut emma haven
tempat kita bertandang pada sebuah cerita. di mana
lembaran-lembaran catatan tentang padang tersuratkan
Kandangpadati, 2008
Simpang Sawahan
bertolaklah pulang, badanku sedang di simpang sawahan
jalan menikung mana yang harus kutuju? sedangkan mata
hati kau bawa ke seberang laut dan dengan angin asin
yang tersangkut di selimut kau suruh aku menujumu
tak akan ada selasa yang mengganggu lagi, sebab hari
akan sama adanya. ketakutan telah kubenam di kampung
selebihnya kumuarakan ke danau (tempat kita duduk-duduk
lalu sepasang kumbang mengganggumu)
masihkah kau menyukai warna merah? ah, sementara
aku di simpang masih sempat bertanya gila,
bertolaklah pulang, badanku sedang di simpang sawahan
Kandangpadati, 2008
Tahun Kecil
rambutmu yang terurai, ingin aku mengepangnya
ke arah selatan pantai yang sesak perkabungan
dan ingin juga aku menyulamkan ratusan cadik berwarna
sampai rambutmu tak berterbangan lagi dicium badai
(badai yang seringkali
membangunkanmu di parak siang)
mari menyulam rambutmu dengan cadik, adinda
mungkin akan mengingatkanmu pada tahun kecil
di mana kau ingin berterbangan di atas asin laut
bersama bunga kapas yang tumbuh dalam tidurmu
(mengingatnya
mengembalikan inginku untuk pulang)
Kandangpadati, 2007
Nyanyi Sunyi
gemerisik daun dan gebalau angin
kangen terbengkalai di balik jarak
adalah nyanyian sunyi para peladang.
serupa perempuanku, memendam buncah jantung
dengan ucapan sakit paling garang. “berangkatlah,
masih banyak kapal ke padang!” begitulah ucap
tinggal ucap. sedangkan kau berusaha membenam
ingatan di tiap suapanmu
di pulau lama, diri akan mengembali sendiri
sebab aku hanya pemuisi yang lupa merapal jarak
maka ingatlah sepatah kata sakit ini “bahwasanya
aku telah berupa bengkalai tangis dalam matamu”
Padang, 2008
Puisi Kecil
puisi-puisi kecil
yang dikirim angin lembah harau
menyertai kau,
melepas gagau,
dalam beragam risau
moga kau ingat sebuah pagi dimana cuaca
melembabkan tampang-tampang padi. sebait saja
ini puisi baca dalam hati.
agar suatu kali kau menginginkan lagi
bermalam di pondok ladang
dan makan dialas daun pisang
2008
Cangkang
begitu desau biola lembab itu
disapu habis bulan yang basah
maka terlantar pohon-pohon
untuk melebarkan daunnya
di luar masih basah,
lembab juga belum tentu
bakal menetaskan
telur-telur ingatan kita
yang terpaut dalam cangkang cuaca
yang makin asing bermain selimut.
aku menginginkan sepi yang dulu,
bahkan berkali-kali sepi
berikanlah,
tapi bukan sepi telur
dalam cangkang di musim basah.
Kandangpadati, 2008
Perimba
lelaki perimba tiba dari basah selatan
membesuk ingatan yang tertinggal
mirip getah damar.
atau ingin menurunkan kapal yang disangkut
dulu di batang besar? ah, hebatnya kenangan
bermain di sela-sela jari, di bungkahan dada berisi
ia lelaki yang menari dalam jambangan
berkumur pedas tembakau hutan
dengan merah gigi, dengan merah bibir
yang disumbat gelungan daun nipah
ia menjadi si pembakar diri
dalam sebuah perhelatan yang dinamai pinangan:
adakah yang datang selain beruk, mungkin juga
celeng yang tersungkur di lubang galian?
ia perimba yang ingin lindap di kerumun belukar
dulu telah disuruh menanam cempedak
biar bisa digulai orang sekampung
malah menjuluk bebuah masam yang condong
ke parak orang
Kandangpadati, 2008
Kenanglah
gedebur ombak puruih, kenanglah
di senja yang menyimpan peristiwa pantai
serupa cadik yang membenam kisah pelabuhan
kota yang digarami angin-angin perantauan
membuat sekian liku pada pasir jejalanan
“dirimukah yang bercinta dengan teluk?’
malam memasang sayap untuk senja
orang-orang melepas kenangan dengan cepat
sehempas buah-buah meriam melepas hangat
kenangan yang kandas,
mabuk dalam diam
gedebur ombak puruih, kenanglah
di senja yang menyimpan peristiwa pantai
serupa parit batas kota yang dijauhi bunga ilalang
kenanglah, pun bila tak merindu
(perihal muara jumpa yang tersakiti.
ah, bangunan tua itu
juga sempat menikami pergantian malam)
Kandangpadati, 2007
Penakik Getah
sungguh aku yang berdandan
serupa memoles petang gamang
dalam cahaya mulai remang
makin bertumbuh saja cupang cupang di kuduk pesisiran
dan telah mengapit tetumbuh payau yang berbagai tangkai
sepanjang cuaca dan bahkan sekian lama
tertanam di antara runtunan bebuah katulistiwa
aku yang tak sempat lagi menyebut sesiapa
yang bergumam beriring serak suara segala malam
tertuang dalam sekian lama perang di badan
hingga yang tertelungkup bukan lagi kalah
sungguh aku yang meluka dalam sayatan
dikepal musim luka kayu yang timbul getah
hujan lama menuai gelisah penakik
cuma bau karet kering lekat di badan
hingga mereka mulai menghitung jejak padam
dalam pandam tempat orang orang kalah tersemayam
2007
Pulang
benar tak ada jalan untuk pulang?
aku hanya pamit sebentar menjenguk mimpi
yang semalam tertinggal di taman kota.
sebentar saja,
kalau tak pintu biar jendela itu kau buka
aku janji tidak pulang larut.
2007
Orang Ladang
tujuh petang menukak punggungnya, di bukit
ingin mencakau alang-alang. niat tinggal kalimat
tujuh petang gigih menikam, menyansam,
mirip ragam umbi yang ditanak dalam periuk
teruka ini tinggal batas, tinggal jejak, sebab di bukit
ia tumbuh dan menyusup ke dalam lempung tanah
tujuh petang menukak punggungnya, di ladang
ada yang tak pernah hafal desau biola, segelas anggur
atau niat untuk membangun rumah pasir di tepi pantai
sebab ia orang ladang. ia lesap ketika mengejar tupai dan beruk,
dia rapal musim petik kopi
dan ketukan yang berkali pada pintu dangau
ia tahu siapa yang tiba
maksud hanya menukak tanah lalu tanam. menanam
lalu petik. tapi sepi berkuasa terlalu dalam
ia ingin bertuju pada sebuah jalan batu, simpang
dengan udara masam, ilalang kering merabuk
ke sebuah tempat di mana tupai dan beruk berdamai,
bersamanya. mereka akan berkejaran di bukit
dalam botol anggur,
lalu mereka akan lelap di desau biola
tujuh senja adalah ia yang ingin berladang
pada sebuah tanah yang bernama puisi
yang berlari, yang terhenti, ia tetap orang ladang
Kandangpadati, 2008
Tampuk
ke tampuk batang jambu,
bila inginmu ikut bergelantung
kelamaan akan terhitung
mumbang yang berjatuhan dari sebelah
sebelum hijau memerah, batang rapuh melapuk,
tampuk merabuk
baiknya lubang atau kulit tergelubik
pecah dipijak serangga mabuk
dan membiarlah rampai hari tergujai.
biar bibir-bibir angin menikahi lumut
diam akan jadi berkah buah di penghujung bulan hujan
berkah air menikahi tanah, membiarlah.
ke tampuk, tetap kita akan mengembali
sebab waktu abadi di tumbuh-patahnya tampuk
ke kelok angin lihatlah,
“adakah tampak sepasang murai
sedang terbang mencari hinggap?”
padahal kaki sebelah luka dibawa berharap pada sayap
merabuk juga ini waktu
cerita makin pasi didendang hari. berkali menjalin kata,
berkali-kali tersungkur batu pijakan
barangkali tampuk, tempat tuju, menjadi lurah
bertumbuk jalan. biar jatuh jadi pokok pencarian lain
selain ingin bergelantung
mungkin batang jambu akan tumbuh
di tepian bebatu lurah
Kandangpadati, 2008
Sakit
dalam parak, gugusan daun
memendam kampung dalam lebam
serupa tungku, serupa abu,
serupa batu yang pecah diamuk bara
dan kubaca kau dalam igau
dalam parau tidur yang tak jadi nyata
rupanya rasa membilah hari
lewat tarian bulan garang
ingatlah yang berzanji
menyadap sebatang nira di lurah bermiang
dalam haus, lalu mereguk pincuran matanya
yang lahir dari ubun-ubun bukit sakit
Kandangpadati, 2008
Di Gelungan Rambut
di gelungan rambutmu telah kutanam rimba
tempat panas percintaan kita dengan kabut
bersemayam. dan kau telah menukak tanahnya
dengan garang, lalu menancapkan kota,
membuat sumur dalam yang penuh liur serigala.
mengingatnya, aku jadi rindu pada percintaan
masam tanpa garam. ingin aku bergumul lagi
dengan hamparan ilalang panjang. membiarkan tubuh
gatal dan mata yang memendam hujan lebat. maka
akan kita selusuri lagi
lekuk bukit, ceruk lembah, dari ketiadan
sumpah, di gelungan rambutmu telah kusembunyikan
beragam kerinduan dan kau akan menemui diriku
di lain waktu. seketika kota dengan beragam
bangunan yang kau tancapkan menjadi ingatan gilamu
pada percintaan kita. kau akan bersigegas menyisir
gelungan rambutmu yang terus merontok
dengan jemari yang membatu, sumpah
Padang, 2007
Lepas Ingatan
merinduimu sampai ke ngilu tulang adalah keharusan
apa yang tampak, apa yang tertanam, adalah kenangan
sebut aku yang berdiang di lipatan matamu
mendulang bebiji hari buat membayar hutang pada waktu
kau terlalu cepat menagih sakit yang tertuang
hingga puisi menjadi candu pahit
bakal pelepas ingat
mengingatmu adalah keharusan, sebab badan
terlanjur basah, terlanjur bermandi di gelegak pertemuan
“aku akan menjemputmu
seketika tahun menawarkan
sepetak tanah untuk membikin pondok”
meski seketika itu matamu berubah lain
dan geraian rambutmu tak lagi menjadi pertanda pertautan.
tetap akan kupersuakan padamu, senja yang
menyauh lesi angin laut emma haven
tempat kita bertandang pada sebuah cerita. di mana
lembaran-lembaran catatan tentang padang tersuratkan
Kandangpadati, 2008
Simpang Sawahan
bertolaklah pulang, badanku sedang di simpang sawahan
jalan menikung mana yang harus kutuju? sedangkan mata
hati kau bawa ke seberang laut dan dengan angin asin
yang tersangkut di selimut kau suruh aku menujumu
tak akan ada selasa yang mengganggu lagi, sebab hari
akan sama adanya. ketakutan telah kubenam di kampung
selebihnya kumuarakan ke danau (tempat kita duduk-duduk
lalu sepasang kumbang mengganggumu)
masihkah kau menyukai warna merah? ah, sementara
aku di simpang masih sempat bertanya gila,
bertolaklah pulang, badanku sedang di simpang sawahan
Kandangpadati, 2008
Tahun Kecil
rambutmu yang terurai, ingin aku mengepangnya
ke arah selatan pantai yang sesak perkabungan
dan ingin juga aku menyulamkan ratusan cadik berwarna
sampai rambutmu tak berterbangan lagi dicium badai
(badai yang seringkali
membangunkanmu di parak siang)
mari menyulam rambutmu dengan cadik, adinda
mungkin akan mengingatkanmu pada tahun kecil
di mana kau ingin berterbangan di atas asin laut
bersama bunga kapas yang tumbuh dalam tidurmu
(mengingatnya
mengembalikan inginku untuk pulang)
Kandangpadati, 2007
Nyanyi Sunyi
gemerisik daun dan gebalau angin
kangen terbengkalai di balik jarak
adalah nyanyian sunyi para peladang.
serupa perempuanku, memendam buncah jantung
dengan ucapan sakit paling garang. “berangkatlah,
masih banyak kapal ke padang!” begitulah ucap
tinggal ucap. sedangkan kau berusaha membenam
ingatan di tiap suapanmu
di pulau lama, diri akan mengembali sendiri
sebab aku hanya pemuisi yang lupa merapal jarak
maka ingatlah sepatah kata sakit ini “bahwasanya
aku telah berupa bengkalai tangis dalam matamu”
Padang, 2008
Puisi Kecil
puisi-puisi kecil
yang dikirim angin lembah harau
menyertai kau,
melepas gagau,
dalam beragam risau
moga kau ingat sebuah pagi dimana cuaca
melembabkan tampang-tampang padi. sebait saja
ini puisi baca dalam hati.
agar suatu kali kau menginginkan lagi
bermalam di pondok ladang
dan makan dialas daun pisang
2008
Cangkang
begitu desau biola lembab itu
disapu habis bulan yang basah
maka terlantar pohon-pohon
untuk melebarkan daunnya
di luar masih basah,
lembab juga belum tentu
bakal menetaskan
telur-telur ingatan kita
yang terpaut dalam cangkang cuaca
yang makin asing bermain selimut.
aku menginginkan sepi yang dulu,
bahkan berkali-kali sepi
berikanlah,
tapi bukan sepi telur
dalam cangkang di musim basah.
Kandangpadati, 2008
Perimba
lelaki perimba tiba dari basah selatan
membesuk ingatan yang tertinggal
mirip getah damar.
atau ingin menurunkan kapal yang disangkut
dulu di batang besar? ah, hebatnya kenangan
bermain di sela-sela jari, di bungkahan dada berisi
ia lelaki yang menari dalam jambangan
berkumur pedas tembakau hutan
dengan merah gigi, dengan merah bibir
yang disumbat gelungan daun nipah
ia menjadi si pembakar diri
dalam sebuah perhelatan yang dinamai pinangan:
adakah yang datang selain beruk, mungkin juga
celeng yang tersungkur di lubang galian?
ia perimba yang ingin lindap di kerumun belukar
dulu telah disuruh menanam cempedak
biar bisa digulai orang sekampung
malah menjuluk bebuah masam yang condong
ke parak orang
Kandangpadati, 2008
Kenanglah
gedebur ombak puruih, kenanglah
di senja yang menyimpan peristiwa pantai
serupa cadik yang membenam kisah pelabuhan
kota yang digarami angin-angin perantauan
membuat sekian liku pada pasir jejalanan
“dirimukah yang bercinta dengan teluk?’
malam memasang sayap untuk senja
orang-orang melepas kenangan dengan cepat
sehempas buah-buah meriam melepas hangat
kenangan yang kandas,
mabuk dalam diam
gedebur ombak puruih, kenanglah
di senja yang menyimpan peristiwa pantai
serupa parit batas kota yang dijauhi bunga ilalang
kenanglah, pun bila tak merindu
(perihal muara jumpa yang tersakiti.
ah, bangunan tua itu
juga sempat menikami pergantian malam)
Kandangpadati, 2007
Penakik Getah
sungguh aku yang berdandan
serupa memoles petang gamang
dalam cahaya mulai remang
makin bertumbuh saja cupang cupang di kuduk pesisiran
dan telah mengapit tetumbuh payau yang berbagai tangkai
sepanjang cuaca dan bahkan sekian lama
tertanam di antara runtunan bebuah katulistiwa
aku yang tak sempat lagi menyebut sesiapa
yang bergumam beriring serak suara segala malam
tertuang dalam sekian lama perang di badan
hingga yang tertelungkup bukan lagi kalah
sungguh aku yang meluka dalam sayatan
dikepal musim luka kayu yang timbul getah
hujan lama menuai gelisah penakik
cuma bau karet kering lekat di badan
hingga mereka mulai menghitung jejak padam
dalam pandam tempat orang orang kalah tersemayam
2007
Pulang
benar tak ada jalan untuk pulang?
aku hanya pamit sebentar menjenguk mimpi
yang semalam tertinggal di taman kota.
sebentar saja,
kalau tak pintu biar jendela itu kau buka
aku janji tidak pulang larut.
2007
Puisi-Puisi Javed Paul Syatha
DEMI WAKTU
Apa yang kau pikir tentang aku selama ini adalah kesalahan terbesar yang pernah dilakukan oleh waktu; keberadaan itu pencapaian di perjalanan waktu melampaui waktu; aku memang ada di jalanku sendiri, namai keadaan dengan penyerahan sesuatu yang memang seharusnya ada tapi tak terlihat, maka siapa menemui duniaku disana tidak bersembunyi dari jejakku, maka jejakjejak itu akan mengantarnya sendiri pada kabar mencapai kebenaran penempatan wajah tertinggi; demi waktu aku milikmu demi aku waktumu milikku.
Adakah kata kan disekat pembatas yang nyata sedang waktu sendiri adalah bahasa akhir melepaskan segala kehidupan.
Ini waktu bukanlah kebohongan, adalah yang menandai batas yang kau pikirkan: siapa melewatinya dengan pandangan kebenaran.
Lamongan, 2006
POETRY OF ABSOLUTION
:bagi kaum pemurtad dan berhala
Tentang kehidupan terasing ini; aku menangkap manusiamanusia di sekitarku tak lain adalah kesiaan, begitupun aku. Inilah kehidupan paling aneh yang pernah aku rasakan; kehidupan seakan karya fiksi atau sajak gelap yang tak ada maknanya, selain duka sekaligus kekecewaan paling aniaya.
Dengan menciptakan kehidupan seperti ini, bukankan tuhan ingin mengingkari eksistensi diri di luar dirinya? sungguh takdir yang aneh yang pernah aku pikir. Bukankah aku adalah penderitaan sekaligus ketidakberdayaan yang pernah diciptakan tuhan dengan imajinasi yang cerdas sekaligus kegilaannya? Maka aku tidak begitu saja percaya akan diriku sendiri akan harapanharapan yang pernah aku impikan di ujung langit sekalipun. Oleh karenanya aku hanya mendengar rasa yang selalu mengajakku bicara tentang bagaimana menghadapi kehidupan dengan segala ketenangan, lalu aku dengan sekujur kehidupan yang pongah menembusi warnawarna kabut akan kehidupan yang lain dan aku berjalan sebagai manusia yang siapapun bisa melihatnya dengan jelas.
Ya, akulah kejujuran tentang diriku sendiri tentang kehidupan yang rongsok ini. Aku menemukan tuhan untuk langit dan bumi, tapi bukan untuk aku yang membuang penghormatan dan makna bagi syurga. sungguh, tidak ada alasan lain untuk kehidupan selain pengingkaran akan kematian.
Telah aku terima segala nestapa menembusi temboktembok pengembaraan, menerbangi langit, merontokkan daun cahaya, tertatih menyeret sekujur tubuh masuki kehidupan absolut; ini jalan pintas sesungguhnya telah lama aku bangun, maka lihatlah jejakku dari wujud terima kasih itu: aku bingkis untuk kaum pemurtad dan berhala.
O, aku selalu sakit ketika bercerita tentang kerinduan kepadamu tuhan, tapi setidaknya aku telah jujur pada diriku sendiri membenci sesuatu yang aku anggap pantas untuk dibenci tentang lipatan idealogi dan zaman yang gelap yang pernah menjadi menara di kubangan paling menakutkan: tentang hayalan, keimanan dan kesangsian menjadi segugus dosa.
Aku sekarang menutup mataku secara berlahan sejenak melupakan segala, hanya hati yang memanggil kepada tubuhku sendiri; tubuh yang selama ini tergadaikan pada kepercayaan hayalanhayalan yang melampaui keyakinankeyakinanku.
Sungguh, aku tidak akan pernah berdamai dengan semesta pikiranpikiranku sendiri. kelak aku akan antusias sekali menghadapi kematian.
Lamongan 2006
SESAYAP KUNANG
Kunangkunang yang terjerat dalam tanah belantara, hendak menuju matahari. Tapi sayap yang ia pakai untuk terbang telah terlepas dari tubuhnya sebelum mencapai matahari.
Merambatlah kunangkunang di tanah belantara, ia kehilangan arah di tengah pohon keluarga. Semua jalanan buntu bahkan jejakjejak yang membawa kembali kepada perjalanan telah lenyap, tidak ada jalan keluar bagi kunangkunang yang tersesat.
Meski matahari pagi sendiri menghapus segala ketidakmungkinan kunangkunang untuk pulang ke suatu rimbanya. “duhai matahari; karena kebenaran tidak pernah terbang begitupun aku” teriak kunangkunang dalam ketidakberdayaannya ketika sangat merindu matahari.
Dan kunangkunang tidak pernah keluar dari tanah belantara dan kunangkunang tetap dalam dirinya.
Suatu masa ia terbang karena dirindu matahari sendiri; meski dengan tanpa sayap.
Lamongan, 2005
Apa yang kau pikir tentang aku selama ini adalah kesalahan terbesar yang pernah dilakukan oleh waktu; keberadaan itu pencapaian di perjalanan waktu melampaui waktu; aku memang ada di jalanku sendiri, namai keadaan dengan penyerahan sesuatu yang memang seharusnya ada tapi tak terlihat, maka siapa menemui duniaku disana tidak bersembunyi dari jejakku, maka jejakjejak itu akan mengantarnya sendiri pada kabar mencapai kebenaran penempatan wajah tertinggi; demi waktu aku milikmu demi aku waktumu milikku.
Adakah kata kan disekat pembatas yang nyata sedang waktu sendiri adalah bahasa akhir melepaskan segala kehidupan.
Ini waktu bukanlah kebohongan, adalah yang menandai batas yang kau pikirkan: siapa melewatinya dengan pandangan kebenaran.
Lamongan, 2006
POETRY OF ABSOLUTION
:bagi kaum pemurtad dan berhala
Tentang kehidupan terasing ini; aku menangkap manusiamanusia di sekitarku tak lain adalah kesiaan, begitupun aku. Inilah kehidupan paling aneh yang pernah aku rasakan; kehidupan seakan karya fiksi atau sajak gelap yang tak ada maknanya, selain duka sekaligus kekecewaan paling aniaya.
Dengan menciptakan kehidupan seperti ini, bukankan tuhan ingin mengingkari eksistensi diri di luar dirinya? sungguh takdir yang aneh yang pernah aku pikir. Bukankah aku adalah penderitaan sekaligus ketidakberdayaan yang pernah diciptakan tuhan dengan imajinasi yang cerdas sekaligus kegilaannya? Maka aku tidak begitu saja percaya akan diriku sendiri akan harapanharapan yang pernah aku impikan di ujung langit sekalipun. Oleh karenanya aku hanya mendengar rasa yang selalu mengajakku bicara tentang bagaimana menghadapi kehidupan dengan segala ketenangan, lalu aku dengan sekujur kehidupan yang pongah menembusi warnawarna kabut akan kehidupan yang lain dan aku berjalan sebagai manusia yang siapapun bisa melihatnya dengan jelas.
Ya, akulah kejujuran tentang diriku sendiri tentang kehidupan yang rongsok ini. Aku menemukan tuhan untuk langit dan bumi, tapi bukan untuk aku yang membuang penghormatan dan makna bagi syurga. sungguh, tidak ada alasan lain untuk kehidupan selain pengingkaran akan kematian.
Telah aku terima segala nestapa menembusi temboktembok pengembaraan, menerbangi langit, merontokkan daun cahaya, tertatih menyeret sekujur tubuh masuki kehidupan absolut; ini jalan pintas sesungguhnya telah lama aku bangun, maka lihatlah jejakku dari wujud terima kasih itu: aku bingkis untuk kaum pemurtad dan berhala.
O, aku selalu sakit ketika bercerita tentang kerinduan kepadamu tuhan, tapi setidaknya aku telah jujur pada diriku sendiri membenci sesuatu yang aku anggap pantas untuk dibenci tentang lipatan idealogi dan zaman yang gelap yang pernah menjadi menara di kubangan paling menakutkan: tentang hayalan, keimanan dan kesangsian menjadi segugus dosa.
Aku sekarang menutup mataku secara berlahan sejenak melupakan segala, hanya hati yang memanggil kepada tubuhku sendiri; tubuh yang selama ini tergadaikan pada kepercayaan hayalanhayalan yang melampaui keyakinankeyakinanku.
Sungguh, aku tidak akan pernah berdamai dengan semesta pikiranpikiranku sendiri. kelak aku akan antusias sekali menghadapi kematian.
Lamongan 2006
SESAYAP KUNANG
Kunangkunang yang terjerat dalam tanah belantara, hendak menuju matahari. Tapi sayap yang ia pakai untuk terbang telah terlepas dari tubuhnya sebelum mencapai matahari.
Merambatlah kunangkunang di tanah belantara, ia kehilangan arah di tengah pohon keluarga. Semua jalanan buntu bahkan jejakjejak yang membawa kembali kepada perjalanan telah lenyap, tidak ada jalan keluar bagi kunangkunang yang tersesat.
Meski matahari pagi sendiri menghapus segala ketidakmungkinan kunangkunang untuk pulang ke suatu rimbanya. “duhai matahari; karena kebenaran tidak pernah terbang begitupun aku” teriak kunangkunang dalam ketidakberdayaannya ketika sangat merindu matahari.
Dan kunangkunang tidak pernah keluar dari tanah belantara dan kunangkunang tetap dalam dirinya.
Suatu masa ia terbang karena dirindu matahari sendiri; meski dengan tanpa sayap.
Lamongan, 2005
Puisi-Puisi Amien Kamil
kompas.com
MEREKAM DAUN GUGUR
Sebuah potret adalah…
Sebuah kesaksian akan masa silam
Ada cermin masa depan membayang
Ada daun gugur melayang
Potret, juga terbuka untuk berkaca
Mengenang siapa dan apa saja
Puisi-Puisi Amien Wangsitalaja
HIATUS
-pesan mai
selagi masih ada ruang keberanian
biarkan
kehendak yang tak masuk akal
menaruh kepercayaan, bahwa
takkan ada pengucilan
akibat kebencian, atau
hukum manusia
-pesan mai
selagi masih ada ruang keberanian
biarkan
kehendak yang tak masuk akal
menaruh kepercayaan, bahwa
takkan ada pengucilan
akibat kebencian, atau
hukum manusia
Puisi-Puisi Dian Hartati
Kamar Beraroma Apel 2
inilah garis singgung yang kucipta
sebuah dunia yang mendedahkan segala rasa
ketika tawa dan cerita hanya milikku
tak terdengar oleh sesiapa
di sinilah sudutbumi kuhamparkan
petapeta rahasia kubentangkan
penuh kepak kupukupu
kesegaran aroma apel
kecerahan matahari yang selalu bersinar
juga lelembah yang antarkan aku pada sebuah cahaya
di hampar permadani yang sejuk
kusebutsebut sebuah nama
juga kutuliskan banyak puisi
untuk mengenangkan seluruh kisahku
mengabadikan tangis yang diantar sebagian rasa gundah
jika kau masuki tempatku berada
lihatlah sketsa hidupku
seseorang telah melukiskannya untukku
di beranda sebuah mall
ketika angin memenjarakan aku di senja kota bandung
telusurilah angan yang kucipta
langkahlangkah sepasti sejarah
lekuk gairah yang lebur di tubuhku
semua menghadirkan senyuman yang banal
SudutBumi, 07 Maret 2008
Sketsa Hati
hatiku bukan hijau
ia ungu seperti yang tumbuh di mataku
ia dalam menutupi sumur kenangan
ada luka di hatiku
yang selalu gerimis
jika seseorang melihat di kedalamannya
SudutBumi, 17 Maret 2008
Wajah Pagi
kuterkaterka sebuah wajah,
wajah pagi yang dingin
lalu kuhantarkan matahari,
tempat luka dikeringkan
tempat segala rasa dirangkumkan
dalam sebuah cawan,
bernama kenangan
SudutBumi, 20 Maret 2008
Metawaktu
apakah kau bersiap
untuk sesuatu yang tak pernah terduga?
serupa aku yang menjelma di lelahmu
serupa aku yang berkelindan di ingatanmu
serupa kupukupu
aku siap
bermetamorfosis
SudutBumi, Maret 2008
inilah garis singgung yang kucipta
sebuah dunia yang mendedahkan segala rasa
ketika tawa dan cerita hanya milikku
tak terdengar oleh sesiapa
di sinilah sudutbumi kuhamparkan
petapeta rahasia kubentangkan
penuh kepak kupukupu
kesegaran aroma apel
kecerahan matahari yang selalu bersinar
juga lelembah yang antarkan aku pada sebuah cahaya
di hampar permadani yang sejuk
kusebutsebut sebuah nama
juga kutuliskan banyak puisi
untuk mengenangkan seluruh kisahku
mengabadikan tangis yang diantar sebagian rasa gundah
jika kau masuki tempatku berada
lihatlah sketsa hidupku
seseorang telah melukiskannya untukku
di beranda sebuah mall
ketika angin memenjarakan aku di senja kota bandung
telusurilah angan yang kucipta
langkahlangkah sepasti sejarah
lekuk gairah yang lebur di tubuhku
semua menghadirkan senyuman yang banal
SudutBumi, 07 Maret 2008
Sketsa Hati
hatiku bukan hijau
ia ungu seperti yang tumbuh di mataku
ia dalam menutupi sumur kenangan
ada luka di hatiku
yang selalu gerimis
jika seseorang melihat di kedalamannya
SudutBumi, 17 Maret 2008
Wajah Pagi
kuterkaterka sebuah wajah,
wajah pagi yang dingin
lalu kuhantarkan matahari,
tempat luka dikeringkan
tempat segala rasa dirangkumkan
dalam sebuah cawan,
bernama kenangan
SudutBumi, 20 Maret 2008
Metawaktu
apakah kau bersiap
untuk sesuatu yang tak pernah terduga?
serupa aku yang menjelma di lelahmu
serupa aku yang berkelindan di ingatanmu
serupa kupukupu
aku siap
bermetamorfosis
SudutBumi, Maret 2008
Langganan:
Postingan (Atom)
A. Mustofa Bisri
A'yat Khalili
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Wachid B.S.
Abi N. Bayan
Abidah El Khalieqy
Acep Syahril
Acep Zamzam Noor
Adi Toha
Adrian Balu
AF Denar Daniar
Afrizal Malna
Agus Manaji
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Maltuf Syamsury
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Ala Roa
Aldika Restu Pramuli
Alfatihatus Sholihatunnisa
Alfiyan Harfi
Ali Makhmud
Ali Subhan
Amelia Rachman
Amie Williams
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Andry Deblenk
Anggie Melianna
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Aprinus Salam
Ariandalu S
Arieyoko Ksmb
Arya Winanda
As Adi Muhammad
Asep Sambodja
Atrap S. Munir
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Badaruddin Amir
Bakdi Sumanto
Bambang Darto
Bambang Kempling
Bambang Widiatmoko
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Bernando J. Sudjibto
Bernard S. Y. Batubara
Binhad Nurrohmat
Budhi Setyawan
Budi Palopo
Bustan Basir Maras
Chairul Abhsar
Chavchay Saifullah
Cut Nanda A.
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Afriady
Dadang Ari Murtono
Daisy Priyanti
Daysi Priyanti
Dea Anugrah
Dea Ayu Ragilia
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Desti Fatin Fauziyyah
Dewi Kartika
Dharmadi
Diah Budiana
Diah Hadaning
Dian Hartati
Didik Komaidi
Dimas Arika Mihardja
Djoko Saryono
Dody Kristianto
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Edy Lyrisacra
Effendi Danata
Eimond Esya
Eka Budianta
Eko Hendri Saiful
Eko Nuryono
El Sahra Mahendra
Ellie R. Noer
Elly Trisnawati
Emha Ainun Nadjib
Endang Supriadi
Endang Susanti Rustamadji
Eny Rose
Eppril Wulaningtyas R
Esha Tegar Putra
Esti Nuryani Kasam
Etik Widya
Evi Idawati
Evi Melyati
Evi Sefiani
Evi Sukaesih
Fadhila Ramadhona
Fahmi Faqih
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Fikri MS
Fina Sato
Firman Wally
Fitrah Anugerah
Frischa Aswarini
Gampang Prawoto
Ghaffur Al-Faqqih
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gunawan Maryanto
Gunoto Saparie
Gus tf Sakai
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hari Leo
Haris del Hakim
Hasan Al Banna
Hasan Aspahani
Hasta Indriyana
Helga Worotitjan
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Maja Kelana
Herlinatiens
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Ibnu Wahyudi
Ikarisma Kusmalina
Ike Ayuwandari
Ilenk Rembulan
Imam S Arizal
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santoso
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indrian Koto
Isbedy Stiawan ZS
Iwan Gunadi
Javed Paul Syatha
Jibna Sudiryo
Johan Khoirul Zaman
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Saputro
Jufri Zaituna
Jusuf AN
Kadek Wara Urwasi
Kadjie Bitheng MM
Kartika Kusworatri
Kedung Darma Romansha
Kika Syafii
Kirana Kejora
Kirdjomuljo
Kurnia Effendi
Kurniawan Junaedhie
Kurniawan Yunianto
Kusprihyanto Namma
Kuswaidi Syafi’ie
L.K. Ara
Lailatul Muniroh
Landung Rusyanto Simatupang
Lela Siti Nurlaila
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Linus Suryadi AG
Liza Wahyuninto
Lubis Grafura
Lutfi Mardiansyah
M. Badrus Alwi
M. Faizi
Maghfur Munif
Maghie Oktavia
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maman S. Mahayana
Maqhia Nisima
Marcellus Nur Basah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marwanto
Mas Marco Kartodikromo
Mashuri
Mathori A. Elwa
Matroni el-Moezany
Maya Mustika K.
Mega Vristian
Miftahul Abrori
Mohammad Yamin
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muntamah Cendani
Mustiar AR
Mustofa W Hasyim
Mutia Sukma
Nadjib Kartapati Z
Nanang Suryadi
Nezar Patria
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Noor Sam
Nunung S. Sutrisno
Nur Iswantara
Nur Lodzi Hady
Nur Wahida Idris
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Pariyo Adi
Pringadi AS
Pringgo HR
Puisi-Puisi Indonesia
Purwadmadi Admadipurwa
Puspita Rose
Putri Sarinande
R. Toto Sugiharto
Rachmat Djoko Pradopo
Raedu Basha
Ragil Suwarno Pragolapati
Rakai Lukman
Rama Prabu
Ramadhan KH
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Ribut Wijoto
Rikard Diku
Robin Al Kautsar
Rozi Kembara
Rudi Hartono
Rusydi Zamzami
S Yoga
Sahaya Santayana
Saiful Bakri
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Selendang Sulaiman
Seli Desmiarti
Sigit Sugito
Sihar Ramses Simatupang
Siska Afriani
Sitok Srengenge
Sitor Situmorang
Slamet Rahardjo Rais
Slamet Widodo
Sosiawan Leak
Sreismitha Wungkul
Sri Harjanto Sahid
Sri Jayantini
Sri Setya Rahayu
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sumargono SN
Suminto A. Sayuti
Sunardi KS
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Sutirman Eka Ardhana
Syifa Aulia
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Triaton
Tengsoe Tjahjono
Tharie Rietha
Thowaf Zuharon
Timur Sinar Suprabana
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Ulfatin Ch
Umbu landu Paranggi
Unieq Awien
Usman Arrumy
W. Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Hidayat
Wahyu Subuh
Warih Wisatsana
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Widi Astuti
Wiji Thukul
Winarni R.
Y. Wibowo
Yonathan Rahardjo
Yosi M Giri
Yudhi Herwibowo
Yudhiono Aprianto
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Yuswan Taufiq
Yuswinardi
Zaenal Faudin
Zainal Arifin Thoha
Zamroni Allief Billah
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae