DARI JALANAN
Dari jalanan ketika kau bekerja cuma
dibayar dengan berita dan terpaksa
pulang dengan persiapan berkelahi dengan istri
dari jalanan pula aku mainkan yang bisa
dan sesekali menghitung siapa yang telah
menembak tubuhku lewat balik jendela
lalu aku pun mati dan bangkit lagi
bangkit dan mati lagi, mati dan bangkit lagi
tanpa tahu siapa yang berkuasa atas kejadian itu
sebab ketika tepat di depan pintu rumah
istriku pun telah menyiapkan selembar
kafan putih bertulis:
“Kami telah putuskan untuk memotong
alat kelamin suami-suami kami, yang telah
membikin kami bolak-balik melakukan abortus!”
dari jalanan aku kuburkan potongan alat kelaminku
dan mayat anak-anakku. Dari jalanan pula
aku mainkan yang bisa:
“Berlari dan makin berlarian,”
Gresik, 1994
PENGANTEN PESISIR
Aku datang dalam seragam penganten pesisir
seperti arak-arakan masa silam
jidor, kenong, terbang, lampu karbit mengiring
di depan para pesilat bertopeng monyet
celeng, macan, dan juga kancil berjumplitan
mercon sreng sesekali mewarnai langit
aku datang dalam muasal bercinta
seperti dulu ketika kita sama-sama punya pagi
sama-sama mengumpulkan telur-telur sembilang
lalu dikeringkan kemudian digoreng
ketika senja menyelinap di jajaran
macapat-macapatmu yang kini tinggal bisik
dan tahukah kau yang paling aku benci?
adalah ketika kita sama-sama ke sekolah
dan sama-sama disebut : “Orang Laut,”
orang yang dianggap kosro
kurang adat dan keringatnya pun seamis
lendir kakap yang sebenarnya sangat mereka sukai
aku datang dalam itikad berumah tangga
melengkungkan janur, membikin primbon bahagia
dan mengharapkan lahirnya bocah-bocah pantaimu
tapi, seperti juga mercusuar yang kini tinggal letak
dan para nelayan kehilangan jaring dan perahu
adakah masih sempat kita lakukan persetubuhan ombak
sementara itu, kertas-kertas kwitansi
telah mengubah sperma-sperma kita menjadi
lumut-lumut yang entah siapa panggilannya…..
Gresik, 1993
ZIARAH KE RERUNTUHAN MAKAMMU
“Apa yang bisa aku baca dari reruntuhan makammu
yang kini tinggal lubang kakusnya itu,”
begitu akhir puisi yang aku tulis persis ketika
waktu sampai titik dan tubuhku meleleh demikian cepat
ziarah itu, ya, ziarah ke reruntuhan makam itu
ternyata tak aku gerayangi sejak mula. Yang aku
bayangkan:
“Seorang lelaki tua, berbaju terusan, berterompah
kulit samakan, dan selalu memintal tasbih antara
atas antara bawah,”
seperti asap yang digertak angin, kesaput
batu-batuan berlumut, undak-undakan kelabu, yang
aku rasa, lebih mirip gergaji daripada sesaji
dan dunia sana, duniamu tempo dulu
yang berbinar oleh umbul-umbul, kuda-kuda dan para
syuhada jadi kecebong-kecebong
yang rasanya begitu gerah untuk memetamorfosa
apalagi memahat perjamuan antara aku dan kau :
“Pertemuan antara pencari dan yang dicari”
“Tapi, apakah memang mataku yang terlalu waras
sehingga tak sanggup menangkap ketakwarasan ini?”
akh, aku pun cuma bisa kembali membacai apa yang ada
di reruntuhan makammu, dan kembali simpulkan :
“Memang cuma lubang kakus”
sebuah pembuangan sisa-sisa, yang melintas
antara mulut dan dubur, yang bergerak antara vitamin
dan sampah akhir
kemudian, menyeret lelehan-lelehan tubuhku
ke tempat-tempat; di mana orang-orang tak lagi menyapa
dengan bibir
tapi lewat kangkangan-kangkangan kakinya, yang persis
di tengahnya, aku lihat lubang-lubang syahwat merayu
segala gerak yang lewat
segala gerak yang menyusun bangkai-bangkai laki dan
perempuan, menjadi sedotan-sedotan dengan nganga yang
cuma dua saluran :
“Menyedot sampai tuntas, atau disedot sampai habis”
ya, apa yang bisa aku baca dari reruntuhan makammu
yang kini tinggal lubang kakusnya itu……
Gresik, 1995
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Minggu, 24 Agustus 2008
Selasa, 19 Agustus 2008
Puisi-Puisi Nurel Javissyarqi
SAYAP PERDENGARKAN SUARA
Petunjuk menekan dahi
bercakap di ruang sunyi
memasuki telinga sepi
tampaklah suara hati.
Perbincangan hening malam lengang
melengking pada kening mata pedang
sepercik tinta hitam pena menari-nari.
Petunjuk menekan dahi
bercakap di ruang sunyi
memasuki telinga sepi
tampaklah suara hati.
Perbincangan hening malam lengang
melengking pada kening mata pedang
sepercik tinta hitam pena menari-nari.
Puisi-Puisi Kadjie Bitheng MM
BERSENDAWA
marilah bersendawa
jangan terlalu serius
karena semakin serius semakin tidak terurus
coba lihat ranting dan dahan
terlihat ceking dan kurang makan
karena mereka terlalu serius menjaga bumi ini
padahal mereka bukan kholifah bukan pula nabi
lalu disemprotkanya racun dan pestisida
biar acum dan tak berdaya
mari, mari kita bersendawa
tuangkan air dalam kendi
bukan arak atau brendi
lau kita duduk dalam satu meja
tapi, ssst jangan berkelakar!
nanti malah dituding makar
bisa jadi ada mata mata
mengendap endap di bawah meja
mari, mari kita bersendawa, kawan
sambil kita nikmati pisang dan singkong rebus
hasil panen dan sisa tikus
tapi sabar, sisakan sedikit buat pajak
biar tanah kita aman dari pembajak
tetap, tetaplah bersendawa, kawan
dan berpura puralah tidak tahu
tentang saudara kita yang terkapar
flu burung dan busung lapar
karena kalau kita sampai tahu
maka nasib kita tidak akan ada yang tahu.
Lamongan, 2005
PERJALANAN
menelusuri perjalanan
tersesat aku
pekat masih menghantarkan rindu
pada spasi spasi perjalanan
dan diantara rongsokan rongsokan kata
kusembah jua diriku
karena Engkau
penghias instalasi instalasi ruang
dan waktu masih ku eja sebagai tanda koma
menelusuri belantaramu
terpahat aku
oleh gemerincing ranting dan dahan
melebur ruhnya pada kedalaman dzikir
dan tubuhku gemetar
menyalalah rindu mencakar cakar
dinding relung nuraniku
dan cemburu telah lebur dalam pekat
dan ruhku menggeliat tersesat
dalam kedalaman dzikirmu
dan diantara pohon pohon berjajar rapi
ku petik buahMu di sini.
Lamongan, 2004
SUATU PAGI DI PASAR DESA
suatu pagi di pasar desa
riuh berdesak desak
gemuruh suara pekak
bau parfum dan ketiak
seorang tukang jamu berkata:
“kalau anda pusing dan masuk angin, minum saja
jamu tolak angin”
ibu ibu serentak menyahut:
“kami tidak butuh jamu tolak angin, kami hanya
butuh jamu tolak miskin”
gaduh suasana sesaat
akrobat topeng monyet tidak pula memikat
hati gundah meronta ronta
tentang melambungnya harga harga.
seorang centeng pasar berpangkat kopral berpidato:
“ibu ibu harap tenang, karena subsidi akan kami
cairkan tiap tiga bulan”
serentak pula ibu ibu menyahut:
“kami tidak butuh bualan, kami hanya ingin
lapangan pekerjaan”
suatu pagi di pasar desa
riuh berdesak desak
bau parfum dan ketiak!
seorang pembeli berkata:
“sampai sekarang mereka masih menjual janji janji”
Lamongan, 2005
marilah bersendawa
jangan terlalu serius
karena semakin serius semakin tidak terurus
coba lihat ranting dan dahan
terlihat ceking dan kurang makan
karena mereka terlalu serius menjaga bumi ini
padahal mereka bukan kholifah bukan pula nabi
lalu disemprotkanya racun dan pestisida
biar acum dan tak berdaya
mari, mari kita bersendawa
tuangkan air dalam kendi
bukan arak atau brendi
lau kita duduk dalam satu meja
tapi, ssst jangan berkelakar!
nanti malah dituding makar
bisa jadi ada mata mata
mengendap endap di bawah meja
mari, mari kita bersendawa, kawan
sambil kita nikmati pisang dan singkong rebus
hasil panen dan sisa tikus
tapi sabar, sisakan sedikit buat pajak
biar tanah kita aman dari pembajak
tetap, tetaplah bersendawa, kawan
dan berpura puralah tidak tahu
tentang saudara kita yang terkapar
flu burung dan busung lapar
karena kalau kita sampai tahu
maka nasib kita tidak akan ada yang tahu.
Lamongan, 2005
PERJALANAN
menelusuri perjalanan
tersesat aku
pekat masih menghantarkan rindu
pada spasi spasi perjalanan
dan diantara rongsokan rongsokan kata
kusembah jua diriku
karena Engkau
penghias instalasi instalasi ruang
dan waktu masih ku eja sebagai tanda koma
menelusuri belantaramu
terpahat aku
oleh gemerincing ranting dan dahan
melebur ruhnya pada kedalaman dzikir
dan tubuhku gemetar
menyalalah rindu mencakar cakar
dinding relung nuraniku
dan cemburu telah lebur dalam pekat
dan ruhku menggeliat tersesat
dalam kedalaman dzikirmu
dan diantara pohon pohon berjajar rapi
ku petik buahMu di sini.
Lamongan, 2004
SUATU PAGI DI PASAR DESA
suatu pagi di pasar desa
riuh berdesak desak
gemuruh suara pekak
bau parfum dan ketiak
seorang tukang jamu berkata:
“kalau anda pusing dan masuk angin, minum saja
jamu tolak angin”
ibu ibu serentak menyahut:
“kami tidak butuh jamu tolak angin, kami hanya
butuh jamu tolak miskin”
gaduh suasana sesaat
akrobat topeng monyet tidak pula memikat
hati gundah meronta ronta
tentang melambungnya harga harga.
seorang centeng pasar berpangkat kopral berpidato:
“ibu ibu harap tenang, karena subsidi akan kami
cairkan tiap tiga bulan”
serentak pula ibu ibu menyahut:
“kami tidak butuh bualan, kami hanya ingin
lapangan pekerjaan”
suatu pagi di pasar desa
riuh berdesak desak
bau parfum dan ketiak!
seorang pembeli berkata:
“sampai sekarang mereka masih menjual janji janji”
Lamongan, 2005
Puisi-Puisi Javed Paul Syatha
ABSURDITAS RINDU
adalah samsara rindu
membuatku mengenali segenap ruang bagi jiwa
sebagai pengendali yang hebat
diperjalanan beratus abad lampau dan nanti
[melampaui semua rahasia
semua misteri]
kini aku miliki setiap waktu dalam perjalanan rindu
dan untuk perjamuan dan berkahberkah.
duh, hanya anggur yang akan kusuguhkan
untukmu
dan pergelasnya adalah cahaya
serangkaian cahaya dari ujung ke ujung
engkau menjadi tamu yang mampir ke
rumahku
kemudian lebih dekat ke esensi ke arti
engkau berada pada jarak tanpa batas.
o, rindulah itu
sebuah perjamuan di suatu rumah
dimana kedekatan terus membuat makna
mencoba menetapi pada jalanan waktu.
maka datanglah jika engkau rindu
bukalah pintu rumahku secara penuh:
bahwa ada rindu yang berkenan bicara
tanpa harus menghianati suatu pun.
yang mengabaikan rindu
namamu tertulis dalam kegelisahan janji
[adalah laksana cermin yang memancar
lantas menghilang engkau dalam kegaiban]
dan yang rindu dan bertemu arah
:inilah keagungan tanpa batas...
(lamongan, 2006)
ALIENASI KEHENINGAN
sampai aku di republik itu
merampungkan perjalanan
menghadirkan diri atas cinta
atas segenap kekasih
maka di jasad doa secarik cahaya bergolak
membentangkan jalan kebenaran
menahbiskan semesta dalam keheningan
lantas aku menziarahi embun yang beku
menjadikannya kristal
air mata di makrifat kesejatian
melebur dalam dahaga rindu yang membakar
seluruh sukma;
- aku menolak panggilan langit.
(lamongan, 2005)
METAMORFOSA SUATU LANGIT
jiwajiwa kering itu diterbagkan angin;
adakah tangantangan tak kasat mata
mengantarnya pada darah
cinta di ketinggian mencari cahaya
[dan tak dapat dimaknai hakikatnya]
jiwajiwa itu mengering terlalu cepat
menyangkal jasad tak bersalah
melayang di atas pengingkaran ruang cosmos
menjumpaiku pada kebisuan kebekuan yang menggigil
“duh, apa yang ku ingin di ketinggian sana?
bukankah ini kerinduan telah lama aku benci
pada setiap jejak pengembaraan mencari diri”
o, aku mengutuk waktuku yang hilang
menandai kematian hari
seperti burung bangkai
betapa letih aku menyayat tubuhku sendiri
di ketinggian; metamorfosa suatu langit.
aku cemburu pada formalin
pada virus paling menakutkan
aku cemburu pada tanah, pada air
dan batubatu
aku cemburu pada telinga yang tak mendengarku
aku cemburu pada ketinggian yang terbuka
pada gerimis yang membebaskan matahari.
astaga, apa aku ini!
menghujat langit hari esok
mematahkan sayapsayap burung terbang
menjadi teror menjadi badai
bagi pohonpohon pegunungan.
“hai, siapa menjaga keagungan harapan tertinggiku”
(lamongan, 2006)
adalah samsara rindu
membuatku mengenali segenap ruang bagi jiwa
sebagai pengendali yang hebat
diperjalanan beratus abad lampau dan nanti
[melampaui semua rahasia
semua misteri]
kini aku miliki setiap waktu dalam perjalanan rindu
dan untuk perjamuan dan berkahberkah.
duh, hanya anggur yang akan kusuguhkan
untukmu
dan pergelasnya adalah cahaya
serangkaian cahaya dari ujung ke ujung
engkau menjadi tamu yang mampir ke
rumahku
kemudian lebih dekat ke esensi ke arti
engkau berada pada jarak tanpa batas.
o, rindulah itu
sebuah perjamuan di suatu rumah
dimana kedekatan terus membuat makna
mencoba menetapi pada jalanan waktu.
maka datanglah jika engkau rindu
bukalah pintu rumahku secara penuh:
bahwa ada rindu yang berkenan bicara
tanpa harus menghianati suatu pun.
yang mengabaikan rindu
namamu tertulis dalam kegelisahan janji
[adalah laksana cermin yang memancar
lantas menghilang engkau dalam kegaiban]
dan yang rindu dan bertemu arah
:inilah keagungan tanpa batas...
(lamongan, 2006)
ALIENASI KEHENINGAN
sampai aku di republik itu
merampungkan perjalanan
menghadirkan diri atas cinta
atas segenap kekasih
maka di jasad doa secarik cahaya bergolak
membentangkan jalan kebenaran
menahbiskan semesta dalam keheningan
lantas aku menziarahi embun yang beku
menjadikannya kristal
air mata di makrifat kesejatian
melebur dalam dahaga rindu yang membakar
seluruh sukma;
- aku menolak panggilan langit.
(lamongan, 2005)
METAMORFOSA SUATU LANGIT
jiwajiwa kering itu diterbagkan angin;
adakah tangantangan tak kasat mata
mengantarnya pada darah
cinta di ketinggian mencari cahaya
[dan tak dapat dimaknai hakikatnya]
jiwajiwa itu mengering terlalu cepat
menyangkal jasad tak bersalah
melayang di atas pengingkaran ruang cosmos
menjumpaiku pada kebisuan kebekuan yang menggigil
“duh, apa yang ku ingin di ketinggian sana?
bukankah ini kerinduan telah lama aku benci
pada setiap jejak pengembaraan mencari diri”
o, aku mengutuk waktuku yang hilang
menandai kematian hari
seperti burung bangkai
betapa letih aku menyayat tubuhku sendiri
di ketinggian; metamorfosa suatu langit.
aku cemburu pada formalin
pada virus paling menakutkan
aku cemburu pada tanah, pada air
dan batubatu
aku cemburu pada telinga yang tak mendengarku
aku cemburu pada ketinggian yang terbuka
pada gerimis yang membebaskan matahari.
astaga, apa aku ini!
menghujat langit hari esok
mematahkan sayapsayap burung terbang
menjadi teror menjadi badai
bagi pohonpohon pegunungan.
“hai, siapa menjaga keagungan harapan tertinggiku”
(lamongan, 2006)
Puisi-Puisi Imamuddin SA
EMANASI
Lihatlah,
Bersama rasa sejati
Sapa diri sendiri?
Rotasi masa pengubur ari
Dalam legenda misi atau sangsi
Telah membawamu di hening emanasi.
Selembar titah kau pegang, tertuang
Semi
Di jejak jemari
Senandung sangsi ukir sayap sendiri
Kala desah hati membakar ingkar sang mentari.
Ingatlah,
Serangkai saksi
Bertabur atas titik suci
Dalam cakrawala tertinggi?
Semasa diri terbelenggu dua esensi
Tinggal-lah bersama samsara ini.
Ya, lekas hembus padanya!
“debu-debu jiwaku
adalah kesemestaanmu,
tanpa percik cahayamu kan berlalu
sebab gala tanda terlukis semu
hampa berlagu
kala sang sinar tertarik kembali
dalam nada azali.”
Lamongan, 2006
KEDAI JAMU
Sungguh, gala pasak bertegak
Sangga singgahsana suci
Di kedalaman hati
Ukir saksi misi diri sejari.
Kala padanya kau seru
“datanglah di kedai jamuku”
Dan segala hasrat tarik mengerat
Lukiskan parede arwah raya
Dalam hening romansa.
Saat itu, kau saji secawan anggur
Pesan, pada roh sendiri,
Hanya ia tak kau perciki.
Tapi, sona membawanya terketuk
Bertentang sedu
Lampaui tawarmu
Dan kau tembang syair termerdu:
“tidak-kah aku jati kasihmu” Ia pun merayu
“ya! Segala cinta tertebar hanya untukmu
tiada antara perajut kembaraku
adalah sembah setiaku.”
Sayang! Seserpi debu tak memadu
Bersama, tiada sapa sang pesona dalam kelana
Sumpah tak terindah.
O, sang kekasih
Panggil ia di nuansa saksimu
Biar purna tabur titian laku.
Lamongan, 2006
SAKSI MUARA
Lalu bagaimana ia
Bisik padamu,
Bibir lidahnya tiada
Kau buka
Hingga kekuncup nada tak tebar seminya
Di sona saksi muara.
Sungguh kala ia cumbu
Sepucuk tembang tunjukku
Sendiri kan terseru:
“tapi inilah sejujur arti
sebab gemulai lekuknya perajut sutra kelabu
dalam rotasi waktu
dan bersama restumu
lirik lagu berdayu
lewat ujung lentik liatku
bagai penyapa seru
tanyamu.”
Lamongan, 2006
Lihatlah,
Bersama rasa sejati
Sapa diri sendiri?
Rotasi masa pengubur ari
Dalam legenda misi atau sangsi
Telah membawamu di hening emanasi.
Selembar titah kau pegang, tertuang
Semi
Di jejak jemari
Senandung sangsi ukir sayap sendiri
Kala desah hati membakar ingkar sang mentari.
Ingatlah,
Serangkai saksi
Bertabur atas titik suci
Dalam cakrawala tertinggi?
Semasa diri terbelenggu dua esensi
Tinggal-lah bersama samsara ini.
Ya, lekas hembus padanya!
“debu-debu jiwaku
adalah kesemestaanmu,
tanpa percik cahayamu kan berlalu
sebab gala tanda terlukis semu
hampa berlagu
kala sang sinar tertarik kembali
dalam nada azali.”
Lamongan, 2006
KEDAI JAMU
Sungguh, gala pasak bertegak
Sangga singgahsana suci
Di kedalaman hati
Ukir saksi misi diri sejari.
Kala padanya kau seru
“datanglah di kedai jamuku”
Dan segala hasrat tarik mengerat
Lukiskan parede arwah raya
Dalam hening romansa.
Saat itu, kau saji secawan anggur
Pesan, pada roh sendiri,
Hanya ia tak kau perciki.
Tapi, sona membawanya terketuk
Bertentang sedu
Lampaui tawarmu
Dan kau tembang syair termerdu:
“tidak-kah aku jati kasihmu” Ia pun merayu
“ya! Segala cinta tertebar hanya untukmu
tiada antara perajut kembaraku
adalah sembah setiaku.”
Sayang! Seserpi debu tak memadu
Bersama, tiada sapa sang pesona dalam kelana
Sumpah tak terindah.
O, sang kekasih
Panggil ia di nuansa saksimu
Biar purna tabur titian laku.
Lamongan, 2006
SAKSI MUARA
Lalu bagaimana ia
Bisik padamu,
Bibir lidahnya tiada
Kau buka
Hingga kekuncup nada tak tebar seminya
Di sona saksi muara.
Sungguh kala ia cumbu
Sepucuk tembang tunjukku
Sendiri kan terseru:
“tapi inilah sejujur arti
sebab gemulai lekuknya perajut sutra kelabu
dalam rotasi waktu
dan bersama restumu
lirik lagu berdayu
lewat ujung lentik liatku
bagai penyapa seru
tanyamu.”
Lamongan, 2006
Puisi-Puisi Heri Listianto
PANGGUNG SENYUM
Sekedar menggelitik
disekitar tolehan tangga,
Panggung senyum tertawa bersuara
Kotak jurnalku terkapar
Mengabsen jari-jari lengking
yang berjalan menggelitik diatas wacana itu,
Kitapun mulai mendata
partikel-partikel yang berjalan setengah langkah.
Mungkin, malaikat rumput
mulai takluk oleh para kambing
Yang menunjuk para moderator
Dalam sidang para "Hayawan"
12 Okt 2005
TINGKAI-TINGKAI TIKAR
Pada benih-benih malam yang diam
menepuk tikar senja
mataku berkedip melamun lelah
Kunci-kunci anehpun
menggulung baja subuh yang tidur angkuh
Luntur…!
Hancur...!
Puncak berapi yang tidur disebelah tangan
Karena tahun
malaikat berubah lelah.
21 Okt 2005
PASIR KEPOMPONG ENJELAI
Dinding tebal disekitar padang
Merajut pola di sepi sahara
Suara-suara gerimis
Memuai pada telinga-telinga
Di atas sanggahan Alang sang pujangga
Bersama turunan nilai
pasir-pasir berlari
Di dalam buku enjelai.
Mungkin…
Renungan mereka berkiprah
Di rupa keletihan
Dengan sikap lembut menggunung zarah
Yang berubah
Mengungkap luruh kain penutup canda.
Kupupun menurunkan langkah
Diatas surat kumuh
Yang tercecer gelisah.
20 Sept 2005
Sekedar menggelitik
disekitar tolehan tangga,
Panggung senyum tertawa bersuara
Kotak jurnalku terkapar
Mengabsen jari-jari lengking
yang berjalan menggelitik diatas wacana itu,
Kitapun mulai mendata
partikel-partikel yang berjalan setengah langkah.
Mungkin, malaikat rumput
mulai takluk oleh para kambing
Yang menunjuk para moderator
Dalam sidang para "Hayawan"
12 Okt 2005
TINGKAI-TINGKAI TIKAR
Pada benih-benih malam yang diam
menepuk tikar senja
mataku berkedip melamun lelah
Kunci-kunci anehpun
menggulung baja subuh yang tidur angkuh
Luntur…!
Hancur...!
Puncak berapi yang tidur disebelah tangan
Karena tahun
malaikat berubah lelah.
21 Okt 2005
PASIR KEPOMPONG ENJELAI
Dinding tebal disekitar padang
Merajut pola di sepi sahara
Suara-suara gerimis
Memuai pada telinga-telinga
Di atas sanggahan Alang sang pujangga
Bersama turunan nilai
pasir-pasir berlari
Di dalam buku enjelai.
Mungkin…
Renungan mereka berkiprah
Di rupa keletihan
Dengan sikap lembut menggunung zarah
Yang berubah
Mengungkap luruh kain penutup canda.
Kupupun menurunkan langkah
Diatas surat kumuh
Yang tercecer gelisah.
20 Sept 2005
Puisi-Puisi Haris del Hakim
DOA KAWANAN ANJING
tuhan,
kemana para pelacur yang menyingkapkan betis,
melepas sepatu high heel
memeras payudara
dan memberikan susu kepada anjing-anjing yang kelaparan.
15/07/05
SAYAP KUNANG-KUNANG
: buat SBB
tubuh yang berkepala, bertangan dan berkaki ini, kupinjamkan sayap pada kunang-kunang yang malu bermain dengan cahaya di siang hari; agar sekejap terbang meninggalkan pematang dan membakar diri dalam bara rindu matahari, lalu kata-kata, surga dan keabadian saling kelebat dalam sukma yang lenyap…
“kerakusan hendak menjamah tanah lapang berumput,” jawab penggiring kerbau atas pertanyaan ibu-ibu berkebaya yang dibasahi lumpur dengan tangan menancapkan batang padi di sepanjang jidar; lenguh lelah dan panas yang memeras keringat serasa rintik hujan yang menyingkirkan mendung di wajah anak-anak mereka
sementara para remaja berseragam belajar
menyusun puisi:
malaikat-malaikat yang mengintip
kata-kata bijak tak berpijak di atas lincak
atau bermain sayap rayap-rayap menelan harap
daripada:
mencatat bau tanah yang kerontang
kehilangan subur
sebab dipaksa memerah kekuatan bumi
demi limpah ruah sesaat
oleh para pelacur yang sibuk dengan gincu
di sekolah taman kanak-kanak di samping sekolah dasar: anak-anak berlatih main sandiwara; ibu guru mengajarkan tari penyambutan para tokoh; penjual kue melengking-lengkingkan sirine; beberapa anak
SD bermain sepak bola; guru bujang merayu gadis penjual makanan ringan…
nun, dari lubuk rahim semesta kudengar guruh suara yang membakar sayap kunang-kunangku;
“mengapa kau tolak aku dengan sejengkal tanah di antara sepasang nisan, sebelum aku puas melihat kau bergelut dengan lumut.”
dan, aku pulang mengelupas kulit yang kering sambil merebah di atas tanah subur yang sejuk: ibu bagi anak-anakku
lamongan, 20/07/05
TIGA EKOR RAYAP DAN BURUNG PELATUK
seekor rayap berkepala kecil berkata pada pelatuk yang hampir saja mencucuk tubuhnya, “aih! selalu kau pura-pura tidak tahu adaku.”
burung pelatuk berhenti sebentar kemudian mematuk di tempat lain. seekor rayap berkaki ganjil muncul di balik kulit yang dikelupasnya dan berseru, “apakah kau pura-pura tidak tahu adaku lagi?!”
burung pelatuk tertegun sejenak lantas mematuk di bagian lain. seekor rayap yang kehilangan dua kaki depan menyembulkan kepalanya di balik serat kayu yang terkelupas dan berteriak, “tidak adakah pohon lain lagi?!”
burung pelatuk mengangkat kepalanya lalu secepat kilat mematuk ketiga rayap satu per satu. “aku masih belum kenyang,” bisiknya seraya mematuk lagi.
surabaya-lamongan, 26/06/05
LELAKI DENGAN LUKA DI DADA KIRI
lelaki dengan luka di dada kiri memetik rembulan dan memerahnya; jadilah sebersit cahaya membentang antara langit dan bumi kemudian dititinya setapak demi setapak hingga seribu tahun perjalanan
di sana seribu matahari bergelantung di dahan rindu dan melambaikan tangan kemudian menuntun jemari keriput untuk memetiknya dan ditapis di secangkir cahaya; jadilah samudera
di sana gelombang-gelombang menghantam karang dan membersihkan lumut; jadilah kerang yang mengerat bulir pasir dan memuntahkannya: berkilau-kilau sebelum tersentuh cahaya
di sana butir-butir mutiara menetes setelah ditiupkan padanya mantra-mantra purba; lelaki dengan luka di dada kiri tidur terlentang menunggu butir-butir itu jatuh di dadanya dan berdoa agar degup jantungnya berdetak seiring detik jam yang menggantung di gerbang keheningan
lelaki dengan luka di dada kiri menemukan dirinya kehilangan kata-kata dan degup jantungnya; rembulan, matahari, samudera, kerang, dan mutiara: bisu
Lamongan, 13/04/07
tuhan,
kemana para pelacur yang menyingkapkan betis,
melepas sepatu high heel
memeras payudara
dan memberikan susu kepada anjing-anjing yang kelaparan.
15/07/05
SAYAP KUNANG-KUNANG
: buat SBB
tubuh yang berkepala, bertangan dan berkaki ini, kupinjamkan sayap pada kunang-kunang yang malu bermain dengan cahaya di siang hari; agar sekejap terbang meninggalkan pematang dan membakar diri dalam bara rindu matahari, lalu kata-kata, surga dan keabadian saling kelebat dalam sukma yang lenyap…
“kerakusan hendak menjamah tanah lapang berumput,” jawab penggiring kerbau atas pertanyaan ibu-ibu berkebaya yang dibasahi lumpur dengan tangan menancapkan batang padi di sepanjang jidar; lenguh lelah dan panas yang memeras keringat serasa rintik hujan yang menyingkirkan mendung di wajah anak-anak mereka
sementara para remaja berseragam belajar
menyusun puisi:
malaikat-malaikat yang mengintip
kata-kata bijak tak berpijak di atas lincak
atau bermain sayap rayap-rayap menelan harap
daripada:
mencatat bau tanah yang kerontang
kehilangan subur
sebab dipaksa memerah kekuatan bumi
demi limpah ruah sesaat
oleh para pelacur yang sibuk dengan gincu
di sekolah taman kanak-kanak di samping sekolah dasar: anak-anak berlatih main sandiwara; ibu guru mengajarkan tari penyambutan para tokoh; penjual kue melengking-lengkingkan sirine; beberapa anak
SD bermain sepak bola; guru bujang merayu gadis penjual makanan ringan…
nun, dari lubuk rahim semesta kudengar guruh suara yang membakar sayap kunang-kunangku;
“mengapa kau tolak aku dengan sejengkal tanah di antara sepasang nisan, sebelum aku puas melihat kau bergelut dengan lumut.”
dan, aku pulang mengelupas kulit yang kering sambil merebah di atas tanah subur yang sejuk: ibu bagi anak-anakku
lamongan, 20/07/05
TIGA EKOR RAYAP DAN BURUNG PELATUK
seekor rayap berkepala kecil berkata pada pelatuk yang hampir saja mencucuk tubuhnya, “aih! selalu kau pura-pura tidak tahu adaku.”
burung pelatuk berhenti sebentar kemudian mematuk di tempat lain. seekor rayap berkaki ganjil muncul di balik kulit yang dikelupasnya dan berseru, “apakah kau pura-pura tidak tahu adaku lagi?!”
burung pelatuk tertegun sejenak lantas mematuk di bagian lain. seekor rayap yang kehilangan dua kaki depan menyembulkan kepalanya di balik serat kayu yang terkelupas dan berteriak, “tidak adakah pohon lain lagi?!”
burung pelatuk mengangkat kepalanya lalu secepat kilat mematuk ketiga rayap satu per satu. “aku masih belum kenyang,” bisiknya seraya mematuk lagi.
surabaya-lamongan, 26/06/05
LELAKI DENGAN LUKA DI DADA KIRI
lelaki dengan luka di dada kiri memetik rembulan dan memerahnya; jadilah sebersit cahaya membentang antara langit dan bumi kemudian dititinya setapak demi setapak hingga seribu tahun perjalanan
di sana seribu matahari bergelantung di dahan rindu dan melambaikan tangan kemudian menuntun jemari keriput untuk memetiknya dan ditapis di secangkir cahaya; jadilah samudera
di sana gelombang-gelombang menghantam karang dan membersihkan lumut; jadilah kerang yang mengerat bulir pasir dan memuntahkannya: berkilau-kilau sebelum tersentuh cahaya
di sana butir-butir mutiara menetes setelah ditiupkan padanya mantra-mantra purba; lelaki dengan luka di dada kiri tidur terlentang menunggu butir-butir itu jatuh di dadanya dan berdoa agar degup jantungnya berdetak seiring detik jam yang menggantung di gerbang keheningan
lelaki dengan luka di dada kiri menemukan dirinya kehilangan kata-kata dan degup jantungnya; rembulan, matahari, samudera, kerang, dan mutiara: bisu
Lamongan, 13/04/07
Puisi-Puisi Ghaffur Al-Faqqih
TERPEDAYA
Semakin tersesat kenikmatan
Pandangan kabur
Berjalan diatas keraguan membuat
mata-mata buta
Terperosok jurang keindahan.
Dimana hitam, putih sama
Roh-roh menawarkan anggur
Menepis keimanan.
Takberdaya atas nikmatMU
Lupa akan daratan
Tenggelam akan nikmat dunia.
(Lamongan, 2006)
DIBATAS KERINDUAN
Ia hadir, hanya di batas kerinduan
Dibalik debu-debu
Ingatkan kekasih
Malam itu, semalaman penuh ia bersajak
Berimajinasi mengurai rindu padanya
Merujuk ruang waktu, semakin hitam
Penuh debu-debu persimpangan jalan
Cintaku padaMU
(Lamongan, 2006)
PENCARIAN
Jangan bertanya laut,
Apa arti kedamaian,
Bila laut masih meriak.
Teguh batu karang terkoyak
Hamparan gelombang badai topan
Angin lalu.
Jiwa-jiwa rapuh
Perahu kecil berlayar, telusuri
Pulau-pulau. Mencari kedamaian
Di tengah-tengah lautan.
Perahu kecil berlayar
Disana ada pelabuhan.
(Lamongan, 2006)
Semakin tersesat kenikmatan
Pandangan kabur
Berjalan diatas keraguan membuat
mata-mata buta
Terperosok jurang keindahan.
Dimana hitam, putih sama
Roh-roh menawarkan anggur
Menepis keimanan.
Takberdaya atas nikmatMU
Lupa akan daratan
Tenggelam akan nikmat dunia.
(Lamongan, 2006)
DIBATAS KERINDUAN
Ia hadir, hanya di batas kerinduan
Dibalik debu-debu
Ingatkan kekasih
Malam itu, semalaman penuh ia bersajak
Berimajinasi mengurai rindu padanya
Merujuk ruang waktu, semakin hitam
Penuh debu-debu persimpangan jalan
Cintaku padaMU
(Lamongan, 2006)
PENCARIAN
Jangan bertanya laut,
Apa arti kedamaian,
Bila laut masih meriak.
Teguh batu karang terkoyak
Hamparan gelombang badai topan
Angin lalu.
Jiwa-jiwa rapuh
Perahu kecil berlayar, telusuri
Pulau-pulau. Mencari kedamaian
Di tengah-tengah lautan.
Perahu kecil berlayar
Disana ada pelabuhan.
(Lamongan, 2006)
Puisi-Puisi D. Zaini Ahmad
AWAL TAHUN KELABU
Gemerlap kembang api tahun baru
Masih terbayang di pelupuk mataku
Tiupan terompet di sepanjang jalan
Masih terngiang di telingaku
Kegembiraan sejak pagi
Terukir di setiap perempatan jalan
Dan tanah lapang
Senja hari mendung petang datang
Bergelayut memayungi bumi
Memberi kabar
Segeralah pergi mencari tempat
perlindungan
Hujan badai pun
Datang menerjang porak-porandakan
segala di hadapan
Gemerlap kembang api berubah jadi
jilatan bersabung menyambar puncak
gedung dan pepohonan
Suara petasan dan terompet
Berubah jadi suara guntur
dan halilintar
Tawa gembira menjadi tangis derita
Tinggallah gemuruh doa yang kubaca
Dari hati yang nestapa
Januari 2006
FANTASI SAMPAH
Awal Januari nun berseri
Dalam sebuah ruang aku terburai dalam
fantasi
Simpuh meratap hidup tiada arti
Sembari kulihat manik-manik linang
air mata
Dalam sebuah cermin
Wajahku hitam kelam
Tiada setitik sinar putih memancar
Diriku sadar
Diriku tertimbun di antara bau busuk
sampah dan kerumunan lalat
dalam cakaran pemulung
Diriku tiada berdaya dalam tumpukan
sampah
Bersimpuh bersama tarian-tarian lalat
Memohon ampun dan rahmatNya
Januari 2006
UNTUK SAUDARAKU
Jerit tangis saudaraku
Melambung tinggi bersama gumpalan
awan dan mendung
Saat air lumpur mengejar
Memburu ajal
Desah nafas kematrian
Tercecer di sepanjang jalan
Sebelum desah nafasmu terbungkam
Aku merasakan saat saudaraku
menjemput ajal dalam kepanikan
Saudaraku tidak sendirian
Jerit tangis kematianmu
Terkubur kamboja yang kutabur
dengan iringan doa
Januari 2006
Gemerlap kembang api tahun baru
Masih terbayang di pelupuk mataku
Tiupan terompet di sepanjang jalan
Masih terngiang di telingaku
Kegembiraan sejak pagi
Terukir di setiap perempatan jalan
Dan tanah lapang
Senja hari mendung petang datang
Bergelayut memayungi bumi
Memberi kabar
Segeralah pergi mencari tempat
perlindungan
Hujan badai pun
Datang menerjang porak-porandakan
segala di hadapan
Gemerlap kembang api berubah jadi
jilatan bersabung menyambar puncak
gedung dan pepohonan
Suara petasan dan terompet
Berubah jadi suara guntur
dan halilintar
Tawa gembira menjadi tangis derita
Tinggallah gemuruh doa yang kubaca
Dari hati yang nestapa
Januari 2006
FANTASI SAMPAH
Awal Januari nun berseri
Dalam sebuah ruang aku terburai dalam
fantasi
Simpuh meratap hidup tiada arti
Sembari kulihat manik-manik linang
air mata
Dalam sebuah cermin
Wajahku hitam kelam
Tiada setitik sinar putih memancar
Diriku sadar
Diriku tertimbun di antara bau busuk
sampah dan kerumunan lalat
dalam cakaran pemulung
Diriku tiada berdaya dalam tumpukan
sampah
Bersimpuh bersama tarian-tarian lalat
Memohon ampun dan rahmatNya
Januari 2006
UNTUK SAUDARAKU
Jerit tangis saudaraku
Melambung tinggi bersama gumpalan
awan dan mendung
Saat air lumpur mengejar
Memburu ajal
Desah nafas kematrian
Tercecer di sepanjang jalan
Sebelum desah nafasmu terbungkam
Aku merasakan saat saudaraku
menjemput ajal dalam kepanikan
Saudaraku tidak sendirian
Jerit tangis kematianmu
Terkubur kamboja yang kutabur
dengan iringan doa
Januari 2006
Puisi-Puisi Atrap S. Munir
KEPADA ENGKAU
- kesaksian hari
Kepada engkau
Aku disini hanya menangkap makna
Setiap kepak sayap burung dalam dada
(seperti engkau tebar ridho dengan cinta
dari doa aku berserah)
Wahai engkau
Mungkin harus tiada tersisa yang kita punya
Untuk mengubah zaman
Sebab dimana engkau hidup harus bisa;
Maka beri arti setiap desah nafas peluh
Pada kesempatan hari untuk memberi roh
Pada mimpi-mimpi.
(Lamongan, 2005)
MILESTONE CINTA
Tidakkah engkau baca
Kepadaku,
Tuhan melahirkan cinta
Kemudian membunuhnya.
Maka atas nama saya
Kutulis prasasti
Sebuah nisan kematian bagi cinta.
Cinta sekadar ekstase
Apresiasi ruang kosong dan hampa
Jalan tol ke syurga dengan tarif rupiah
Cinta sekadar sejumlah isyarat
Jika terpenuhi dapat kita nikmati.
Begitu nista kelahiran demi kelahirannya,
Kemudian dengan cara tuhan
Diciptakannya kematian.
Hanya angka dan bahasa
Kapan dan bagaimana ia lahir dan mati.
Maka akan kulahirkan cinta
Ribuan kata bersama tanggal
Bulan dan tahun
Pada pahatan ribuan nisan
Seabagai prasastinya
Sampai datang milestone cinta
Dari doa para peziarah.
(Lamongan, 2006)
RAH
Apa yang didengar pintu zaman
Ketika kediaman membulir air mata
Akibat bapaknya bengis melahap hak
Masa depan
Bagi setiap kelahiran anak
Bumi telah tumpahkan rah
Hingga ibu memandulkan setiap rahim
Dan memilih tempat samun
Dengan berharap tempat singgah.
“Sebuah mimpi telah tertunda”
Ini bukan jalan pintas
Melainkan pilihan tersisa
Yang justru malah menyasar
Dan menjempitnya
Maka siapa mendengar kebisuan tangis
:kecuali dari anak yang takut terlahir.
(Lamongan, 2006)
- kesaksian hari
Kepada engkau
Aku disini hanya menangkap makna
Setiap kepak sayap burung dalam dada
(seperti engkau tebar ridho dengan cinta
dari doa aku berserah)
Wahai engkau
Mungkin harus tiada tersisa yang kita punya
Untuk mengubah zaman
Sebab dimana engkau hidup harus bisa;
Maka beri arti setiap desah nafas peluh
Pada kesempatan hari untuk memberi roh
Pada mimpi-mimpi.
(Lamongan, 2005)
MILESTONE CINTA
Tidakkah engkau baca
Kepadaku,
Tuhan melahirkan cinta
Kemudian membunuhnya.
Maka atas nama saya
Kutulis prasasti
Sebuah nisan kematian bagi cinta.
Cinta sekadar ekstase
Apresiasi ruang kosong dan hampa
Jalan tol ke syurga dengan tarif rupiah
Cinta sekadar sejumlah isyarat
Jika terpenuhi dapat kita nikmati.
Begitu nista kelahiran demi kelahirannya,
Kemudian dengan cara tuhan
Diciptakannya kematian.
Hanya angka dan bahasa
Kapan dan bagaimana ia lahir dan mati.
Maka akan kulahirkan cinta
Ribuan kata bersama tanggal
Bulan dan tahun
Pada pahatan ribuan nisan
Seabagai prasastinya
Sampai datang milestone cinta
Dari doa para peziarah.
(Lamongan, 2006)
RAH
Apa yang didengar pintu zaman
Ketika kediaman membulir air mata
Akibat bapaknya bengis melahap hak
Masa depan
Bagi setiap kelahiran anak
Bumi telah tumpahkan rah
Hingga ibu memandulkan setiap rahim
Dan memilih tempat samun
Dengan berharap tempat singgah.
“Sebuah mimpi telah tertunda”
Ini bukan jalan pintas
Melainkan pilihan tersisa
Yang justru malah menyasar
Dan menjempitnya
Maka siapa mendengar kebisuan tangis
:kecuali dari anak yang takut terlahir.
(Lamongan, 2006)
Puisi-Puisi Ariandalu S.
CERITA MERPATI PADA SUATU PAGI
Lama aku tertegun melihat merpati yang bertengger diantara tumpukan jerami tengah mengusap-usap keringat di kepalanya dengan sayapnya yang pucat, ia semakin merunduk lalu bersimpuh pada sudut pandangan kosong di antara ilalang yang seakan asik berbicara dengan angin
Tak lama kian kulihat kesendiriannya telah hadirkan iba pada diriku, lalu kuhampiri dengan sejuta tanda Tanya, dan aneh ia malah tersenyum memandangku dengan matanya yang lembut seakan memberi ketenangan pada diriku, lalu ia bicara "hai maukah kau menggantikanku, aku terlalu lelah berkabar pagi, setelah larut dalam arus badai semalam, aku ingin istirahat dan setelah itu aku akan berada disampingmu mendengar kau bercerita tentang cinta pada suatu pagi nanti" dan iapun tertidur pulas sepulas bulunya yang sebagian terbang tertiup angin. Aku hanya terdiam melekat apa yang diucapkan merpati tadi pada suatu pagi
Lamongan, Januari 12, 2005
KERANDA GUSTI BERKARAT SEPI
Keranda itu sepi menghias keramaian petilasan gusti, ada yang menangis kerinduan sang nabi, ada yang meringis sinis bersama murka anubis, dan ada yang mengais rizki dari aroma melati_dupa, tapi keranda itu masih tetap sepi menemani hari dimana kesombongan hati tengah berpijar dalam tubuh manusia hingga mereka enggan mengakui akan keberadaannya, adalah pengantar tiadanya
Lambat laun sekitar ia berdiri tumbuh rerumput pengantar do'a sang wali, kian merambah atapnya dan ia tenggelam bersama cerita dongeng, kini ia berkarat sepi sedangkan petilasan gusti semakin dipuji
Sukodadi, 18 Mei 2005
BINGKAIKAN AKU PADA TELUNJUK YANG KAU MAKSUD
Air yang dulu kupakai membasuh kakimu masih erat kubawa sebagai bekal ketika dahaga akanmu melintas dalam meniti perjalanan mimpi
Sebening air seakan dapat mengungkap gelisah yang ada disekujur tubuh, serta dapat membilas keraguan yang terus menggoda. Andaikan aku bisa sepertimu nanti, aku akan berjanji untuk kembali pada pangkuanmu dan berusaha mengerti akan telunjuk yang kau acungkan pada entah
Kebalandono, 4 Oktober 2004
Lama aku tertegun melihat merpati yang bertengger diantara tumpukan jerami tengah mengusap-usap keringat di kepalanya dengan sayapnya yang pucat, ia semakin merunduk lalu bersimpuh pada sudut pandangan kosong di antara ilalang yang seakan asik berbicara dengan angin
Tak lama kian kulihat kesendiriannya telah hadirkan iba pada diriku, lalu kuhampiri dengan sejuta tanda Tanya, dan aneh ia malah tersenyum memandangku dengan matanya yang lembut seakan memberi ketenangan pada diriku, lalu ia bicara "hai maukah kau menggantikanku, aku terlalu lelah berkabar pagi, setelah larut dalam arus badai semalam, aku ingin istirahat dan setelah itu aku akan berada disampingmu mendengar kau bercerita tentang cinta pada suatu pagi nanti" dan iapun tertidur pulas sepulas bulunya yang sebagian terbang tertiup angin. Aku hanya terdiam melekat apa yang diucapkan merpati tadi pada suatu pagi
Lamongan, Januari 12, 2005
KERANDA GUSTI BERKARAT SEPI
Keranda itu sepi menghias keramaian petilasan gusti, ada yang menangis kerinduan sang nabi, ada yang meringis sinis bersama murka anubis, dan ada yang mengais rizki dari aroma melati_dupa, tapi keranda itu masih tetap sepi menemani hari dimana kesombongan hati tengah berpijar dalam tubuh manusia hingga mereka enggan mengakui akan keberadaannya, adalah pengantar tiadanya
Lambat laun sekitar ia berdiri tumbuh rerumput pengantar do'a sang wali, kian merambah atapnya dan ia tenggelam bersama cerita dongeng, kini ia berkarat sepi sedangkan petilasan gusti semakin dipuji
Sukodadi, 18 Mei 2005
BINGKAIKAN AKU PADA TELUNJUK YANG KAU MAKSUD
Air yang dulu kupakai membasuh kakimu masih erat kubawa sebagai bekal ketika dahaga akanmu melintas dalam meniti perjalanan mimpi
Sebening air seakan dapat mengungkap gelisah yang ada disekujur tubuh, serta dapat membilas keraguan yang terus menggoda. Andaikan aku bisa sepertimu nanti, aku akan berjanji untuk kembali pada pangkuanmu dan berusaha mengerti akan telunjuk yang kau acungkan pada entah
Kebalandono, 4 Oktober 2004
Puisi-Puisi Anis Ceha
PADA SUATU HARI DI UJUNG SUBUH
Pernah pada suatu hari
Kudapati gelisahmu di ujung subuh
Tentang kupu-kupu yang di sayapnya
Terluka sebelah dan tak dapat lagi
Menyeret pintu samudra diambang pagi
Kata-katanya terlalu lugas untuk
Kumaknai, betapa pun kamus—
Kamus itu tersaji di hamparan mataku.
“aku tak bisa membaca”, kataku
waktu itu yang kemudian telapak
tanganmu menenggelamkan kepalaku
pada hangat ketiakmu
Awan terlalu tinggi untuk kau bisa
Terbang dan mengambilnya segumpal
Untukku…
Maka latihlah sayapmu agar tak kaku
Dan belajarlah terbang agar kau
Bisa mengambil lebih dari segumpal awan-awan itu
Agar kau bisa menjadikannya apa saja
Dan tak lagi putih, biru dan kelabu warnanya.
Katamu, tak perlu gelisahmu kau
Hadirkan sebuah kupu-kupu yang
Terluka sayapnya tak mungkin menyeret
Pintu samudra di kakiku,
Pada suatu hari, di ujung subuh…
Di ambang pagi!
051011
AWAL BULAN
Awal bulan,
ku singkap rembulan
agar bisa ku dekap maknanya
Walau letih selama langkah
Awal bulan, aku menurunkan jala
di tengahnya ku pasang bebunga
agar kabut menepi
dan ikan-ikan berbagi
nurani.
:Kusingkap dekapku
pada makna bulan yang tertulis beberapa
sajak di tiap tanggalnya.
Aku ingin seperti mereka
yang menyeka cuaca:
cerah, lalu hujan mendera.
dan ketika lukanya menganga,
air matanya, menganak sungai
lalu berkejaran di lautan, lepas.
Awal bulan,
aku mendekap bulan,
agar bisa ku titi
seutas tali-tali, kinasih
pada makna sejati,
puisi-puisi
050731
AKHIR PEKAN
minggu-minggu itu
berlalu,
seperti nafas-nafas memburu,
asmaNyalah yang tanpa kenal waktu.
tapi engkau—engkau yang selalu
diam—entah apa yang ada di benakmu
matamu mirip bayangan dalam cermin
yang disandar di kepingan hati
kemudian membias serpihan kilaunya
tatkala ada sinar pagi melalui celah-celah
: tenanglah, tak perlu kau semai risau itu
apalagi mewaspadai hatiku
minggu-minggu itu
biarkan berlalu dengan senyummu
seperti sinar pagi yang tanpa sungkan
membiaskan dirinya pada cermin—
cermin sepanjang hari.
051129
Pernah pada suatu hari
Kudapati gelisahmu di ujung subuh
Tentang kupu-kupu yang di sayapnya
Terluka sebelah dan tak dapat lagi
Menyeret pintu samudra diambang pagi
Kata-katanya terlalu lugas untuk
Kumaknai, betapa pun kamus—
Kamus itu tersaji di hamparan mataku.
“aku tak bisa membaca”, kataku
waktu itu yang kemudian telapak
tanganmu menenggelamkan kepalaku
pada hangat ketiakmu
Awan terlalu tinggi untuk kau bisa
Terbang dan mengambilnya segumpal
Untukku…
Maka latihlah sayapmu agar tak kaku
Dan belajarlah terbang agar kau
Bisa mengambil lebih dari segumpal awan-awan itu
Agar kau bisa menjadikannya apa saja
Dan tak lagi putih, biru dan kelabu warnanya.
Katamu, tak perlu gelisahmu kau
Hadirkan sebuah kupu-kupu yang
Terluka sayapnya tak mungkin menyeret
Pintu samudra di kakiku,
Pada suatu hari, di ujung subuh…
Di ambang pagi!
051011
AWAL BULAN
Awal bulan,
ku singkap rembulan
agar bisa ku dekap maknanya
Walau letih selama langkah
Awal bulan, aku menurunkan jala
di tengahnya ku pasang bebunga
agar kabut menepi
dan ikan-ikan berbagi
nurani.
:Kusingkap dekapku
pada makna bulan yang tertulis beberapa
sajak di tiap tanggalnya.
Aku ingin seperti mereka
yang menyeka cuaca:
cerah, lalu hujan mendera.
dan ketika lukanya menganga,
air matanya, menganak sungai
lalu berkejaran di lautan, lepas.
Awal bulan,
aku mendekap bulan,
agar bisa ku titi
seutas tali-tali, kinasih
pada makna sejati,
puisi-puisi
050731
AKHIR PEKAN
minggu-minggu itu
berlalu,
seperti nafas-nafas memburu,
asmaNyalah yang tanpa kenal waktu.
tapi engkau—engkau yang selalu
diam—entah apa yang ada di benakmu
matamu mirip bayangan dalam cermin
yang disandar di kepingan hati
kemudian membias serpihan kilaunya
tatkala ada sinar pagi melalui celah-celah
: tenanglah, tak perlu kau semai risau itu
apalagi mewaspadai hatiku
minggu-minggu itu
biarkan berlalu dengan senyummu
seperti sinar pagi yang tanpa sungkan
membiaskan dirinya pada cermin—
cermin sepanjang hari.
051129
Puisi-Puisi Ali Makhmud
DIALOG SERAMBI
isyarat mengepung ketika hampir saja
dialog serambi memuntahkan interupsi
pada ruang sunyi
dia berhasrat tiba-tiba
menghadirkan guratan mega
diatas kanvas
pada bingkai terlepas
sementara abjad melafadkan
irama mendayu
mendentangkan gejolak pada engkau
yang terkurung dibawah kubah
merindui, dia dibatas jauh
04 – 05
CIPRATAN KATA
ketika malam tiba-tiba tak lagi
melukiskan warna
menjaga dengan kerlip
lilin pada cemasnya yang terlelap
sesekali redupnya memunculkan igauan
waktu siang, memaksa engkau
merangkai kembali cahaya
sebentar-sebentar padam
berharap ia tak terjaga
dalam percikan kata-kata
diam
menyadari tetesnya
pada akhir waktu
mengeras diatas nyata
ia pun mengelap cipratan kata
yang tak lagi bias
04 – 05
MEMBACA TANDA BACA
menjelajah lembaran
pada tiap garis-garis
menyusul koma,
abjad semakin kencang menerpa
lafadnya melambaikan
sepoi rindu pada kekasih
dia yang telah menjejakkan
diatas tanah, melebur
air berbasah menebarkan
bau rindu atas segala
kasih mencebur
tenggelam dalam kubangan koma,
sementara mereka berseru
keluar dari dalam kurung
berkompetisi pada abjad
berakhir titik.
Oktober 2005
isyarat mengepung ketika hampir saja
dialog serambi memuntahkan interupsi
pada ruang sunyi
dia berhasrat tiba-tiba
menghadirkan guratan mega
diatas kanvas
pada bingkai terlepas
sementara abjad melafadkan
irama mendayu
mendentangkan gejolak pada engkau
yang terkurung dibawah kubah
merindui, dia dibatas jauh
04 – 05
CIPRATAN KATA
ketika malam tiba-tiba tak lagi
melukiskan warna
menjaga dengan kerlip
lilin pada cemasnya yang terlelap
sesekali redupnya memunculkan igauan
waktu siang, memaksa engkau
merangkai kembali cahaya
sebentar-sebentar padam
berharap ia tak terjaga
dalam percikan kata-kata
diam
menyadari tetesnya
pada akhir waktu
mengeras diatas nyata
ia pun mengelap cipratan kata
yang tak lagi bias
04 – 05
MEMBACA TANDA BACA
menjelajah lembaran
pada tiap garis-garis
menyusul koma,
abjad semakin kencang menerpa
lafadnya melambaikan
sepoi rindu pada kekasih
dia yang telah menjejakkan
diatas tanah, melebur
air berbasah menebarkan
bau rindu atas segala
kasih mencebur
tenggelam dalam kubangan koma,
sementara mereka berseru
keluar dari dalam kurung
berkompetisi pada abjad
berakhir titik.
Oktober 2005
Puisi-Puisi Ahmad Syauqi Sumbawi
DIA SEDANG TERBANG
- sm
dia sedang terbang
di bawa angin yang tertangkap
dari sinetron ABG dan kisah cinta,
ketika tiba-tiba
aku nekat beranjak pergi
dengan sebuah lukisan
—potretnya—tergulung
dia sudah tak terjangkau malam itu
ketika rinduku lega di ruang tamu
tapi, dia berkata:
besok saja, kulihat lukisan itu
ada yang hendak tumpah di dada
ah, lega rasanya
tak sampai tumpah rasa
terbuang dalam keranjang sampah
—yang kubayangkan—
di punguti dua ekor ayam
yang telurnya hampir
kusantap tiap malam
2004
JANGAN KAUBILANG
- G
jangan kaubilang
aku tak mencegatmu
di gerbang halaman
saat kau tanpa pamit
ingin berjalan-jalan, menengok
gebyar di luaran
tahulah,
tak ada ruang lagi di dada
bahkan bagi diriku sendiri
—tuk mengungkapkan hak—
lidah telah dipatahkan cinta
dan apalah tuah kata
jika hanya jadi pagar
yang kau ingin lompat
kau terjang
maka, bersukalah
—cukup bagiku, kau—
dengan sebuah rumah di dada
pelindung panashujan
gebyar di luaran
2004
AKU TAK INGIN SALAH MELUAPKAN RINDU
duh,
ampuni aku
selama ini
tanpa sengaja aku menyelingkuhimu
atau barangkali juga
karena kebodohanku
ampuni aku,
selama ini aku lancang
tanpa sengaja bercumbu
dengan persepsi-persepsi tentangmu
di hadapanmu
atau barangkali juga
karena kebodohanku
dan ini yang kutakutkan selama ini
aku hanya bercinta dengan bayang-bayang
duh,
jabat tanganku
dekap diriku
biar aku tak salah meluapkan rindu
2004
- sm
dia sedang terbang
di bawa angin yang tertangkap
dari sinetron ABG dan kisah cinta,
ketika tiba-tiba
aku nekat beranjak pergi
dengan sebuah lukisan
—potretnya—tergulung
dia sudah tak terjangkau malam itu
ketika rinduku lega di ruang tamu
tapi, dia berkata:
besok saja, kulihat lukisan itu
ada yang hendak tumpah di dada
ah, lega rasanya
tak sampai tumpah rasa
terbuang dalam keranjang sampah
—yang kubayangkan—
di punguti dua ekor ayam
yang telurnya hampir
kusantap tiap malam
2004
JANGAN KAUBILANG
- G
jangan kaubilang
aku tak mencegatmu
di gerbang halaman
saat kau tanpa pamit
ingin berjalan-jalan, menengok
gebyar di luaran
tahulah,
tak ada ruang lagi di dada
bahkan bagi diriku sendiri
—tuk mengungkapkan hak—
lidah telah dipatahkan cinta
dan apalah tuah kata
jika hanya jadi pagar
yang kau ingin lompat
kau terjang
maka, bersukalah
—cukup bagiku, kau—
dengan sebuah rumah di dada
pelindung panashujan
gebyar di luaran
2004
AKU TAK INGIN SALAH MELUAPKAN RINDU
duh,
ampuni aku
selama ini
tanpa sengaja aku menyelingkuhimu
atau barangkali juga
karena kebodohanku
ampuni aku,
selama ini aku lancang
tanpa sengaja bercumbu
dengan persepsi-persepsi tentangmu
di hadapanmu
atau barangkali juga
karena kebodohanku
dan ini yang kutakutkan selama ini
aku hanya bercinta dengan bayang-bayang
duh,
jabat tanganku
dekap diriku
biar aku tak salah meluapkan rindu
2004
Senin, 11 Agustus 2008
Puisi-Puisi Mashuri
Doa Kutilang
aku berdoa dengan tangan disalibkan karena harapan hanya bunyi yang kelewat sumbang didengarkan: elli, elli, elli! lalu laut dadaku susut bagi tembikar yang kering usai dibakar; jantungku bernyanyi serupa derap sepatu tentara yang berlari ---ah, aku harus mengungsi ke mana, jika nanti kemah jiwaku dibongkar dan hartaku yang terpendam bakal menjelma bohlam yang ‘lah padam.
aku berdoa dengan tangan disalibkan karena harapan hanya bunyi yang kelewat sumbang didengarkan: elli, elli, elli! lalu laut dadaku susut bagi tembikar yang kering usai dibakar; jantungku bernyanyi serupa derap sepatu tentara yang berlari ---ah, aku harus mengungsi ke mana, jika nanti kemah jiwaku dibongkar dan hartaku yang terpendam bakal menjelma bohlam yang ‘lah padam.
Senin, 04 Agustus 2008
Puisi-Puisi Raudal Tanjung Banua
PELABUHAN DUMAI
buat Ikal
Kita tak pernah merasa sampai: pelabuhan,
di mana-mana sama menawarkan rasa kehilangan
dan hampa perjumpaan. Perjalanan tak berakhir
di satu bandar. Masih sekian alamat minta dijelang
bagi sauh keramat untung-malang kita, o, sangsai
buat Ikal
Kita tak pernah merasa sampai: pelabuhan,
di mana-mana sama menawarkan rasa kehilangan
dan hampa perjumpaan. Perjalanan tak berakhir
di satu bandar. Masih sekian alamat minta dijelang
bagi sauh keramat untung-malang kita, o, sangsai
Minggu, 03 Agustus 2008
PARMI
Saiful Bakri
Suaranya di lipat
Di tekuk tekuk
Lalu dimasukkan dalam saku
Dan tak mungkin lagi dikeluarkan
Setiap hari Parmi berangkat dari rumah ke pabrik
Untuk disedot sisunya
Lalu pulang kembali
Tapi Parmi bukanlah sapi perah
Yang tak bisa ngomong
Atau bersuara merdu
Bila jatah makannya tak ada
Bila gajinya kadang kurang
Bila cuti haidnya kadang dipersulit
Bila keperawanannya direnggut
Parmi adalah Parmi
Gadis desa tamatan SD
Yang menjual kemerdekaannya
Pada cukong cukong
Juni 1997
Suaranya di lipat
Di tekuk tekuk
Lalu dimasukkan dalam saku
Dan tak mungkin lagi dikeluarkan
Setiap hari Parmi berangkat dari rumah ke pabrik
Untuk disedot sisunya
Lalu pulang kembali
Tapi Parmi bukanlah sapi perah
Yang tak bisa ngomong
Atau bersuara merdu
Bila jatah makannya tak ada
Bila gajinya kadang kurang
Bila cuti haidnya kadang dipersulit
Bila keperawanannya direnggut
Parmi adalah Parmi
Gadis desa tamatan SD
Yang menjual kemerdekaannya
Pada cukong cukong
Juni 1997
BAHASA DIAM
Jibna Sudiryo
ombak memecah buih
di pesisir yang menoleh kerinduanku
pada bahasa diammu
lalu
kau sapa batu-batu
yang membeku
memandang arak pelangi
menulis isyaratknya;
diam-diam arus di bibirmu
menarik gelakku
dan engkau masih terdiam
2007
ombak memecah buih
di pesisir yang menoleh kerinduanku
pada bahasa diammu
lalu
kau sapa batu-batu
yang membeku
memandang arak pelangi
menulis isyaratknya;
diam-diam arus di bibirmu
menarik gelakku
dan engkau masih terdiam
2007
Puisi-Puisi Alfiyan Harfi
ODE BAGI YANG TAK DIKENAL
Aku ingin mendekat dan mengenalmu:
Mengenal bagaimana kau bangun
dan melangkah di tengah dunia
Bagaimana kau sentuh ranting kering
dan membuat mawar tumbuh darinya
Aku ingin mengenal bagaimana
Matamu menutup dan menyimpan
mimpi yang kecuali aku
tak seorang pun tahu
Aku ingin mengenal
Setiap udara yang kau hirup
Serta wangi yang kau hembuskan
Aku ingin mengenalmu kian dekat
Hingga aku mengenalmu
Layaknya aku mengenal diriku sendiri
Aku ingin menjadi akrab dengan kulitmu
Layaknya udara akrab denganku
Aku ingin menjadi akrab dengan suaramu
Layaknya aku akrab dengan kata hatiku
Aku ingin mengenalmu hingga
Aku mengenal segalanya;
Dan setiap bunga nama yang tumbuh
Mengakar padaku memancar padamu
November ‘07-Mei ‘08
SEPASANG MATA
lebih sunyi dari sebuah cermin
matamu bening bagai hati pencinta
dimana aku melihat diriku
menatap bagai malam padamu
kau yang menatap asing padaku
perhatikan bayang-bayangmu
tersimpan di kedalaman mataku
bagai cahaya menunjuk pusat kegelapan
apa dan kemana kau mencari
aku bersemayam di atas matamu
mengikuti bagai arah dan waktu
bila mataku terpejam, kau bersembunyi
menjelma mata air yang mengalir di tubuhku
sebagai kehangatan dan cahaya teduh yang abadi
Yogyakarta ‘05-’07
DUNIA MENYATUKAN KITA
dunia ini milikku, dunia ini milikmu
awalnya kita berbagi
bagiku jalan yang sungguh milikku
bagimu jalan yang sungguh milikmu
dan ketika pada satu jalan
dunia ini menemukan kita;
kau memilikiku dan aku memilikimu
ambillah mataku, ambillah lenganku,
ambillah jantungku untuk mengalirkan darahmu
ambillah tubuhku untuk hidupmu
ambillah hidupku agar ia sempurna
dunia ini milikmu juga milikku
dunia ini milikku juga milikmu
tanpa kita berbagi lagi
Yogyakarta ‘06
DI ATAS BUKIT TERAKHIR
: Zainal Arifin Thoha
dan ia yang banyak berkelana
mengarungi dunia dan bernyanyi
gemanya menggaung di lembah dan lautan
tapi ia sendiri, pergi menyusuri
kebebasan dan kesunyiannya
memandang lembah-lembah biru
mendengar bisikan dari kabut
bahagialah ia yang tidak memiliki apa-apa
dunia berserak di bawah kakinya
yang melangkah ke bukit terakhir
dirasakannya angin bangkit
dari dunia yang menampung jiwanya
dengan kedua tangannya terangkat
layaknya sayap-sayap yang suci
ia menghembus ketakterbatasan
Februari ‘07, beberapa pekan sebelum ZAT wafat
Aku ingin mendekat dan mengenalmu:
Mengenal bagaimana kau bangun
dan melangkah di tengah dunia
Bagaimana kau sentuh ranting kering
dan membuat mawar tumbuh darinya
Aku ingin mengenal bagaimana
Matamu menutup dan menyimpan
mimpi yang kecuali aku
tak seorang pun tahu
Aku ingin mengenal
Setiap udara yang kau hirup
Serta wangi yang kau hembuskan
Aku ingin mengenalmu kian dekat
Hingga aku mengenalmu
Layaknya aku mengenal diriku sendiri
Aku ingin menjadi akrab dengan kulitmu
Layaknya udara akrab denganku
Aku ingin menjadi akrab dengan suaramu
Layaknya aku akrab dengan kata hatiku
Aku ingin mengenalmu hingga
Aku mengenal segalanya;
Dan setiap bunga nama yang tumbuh
Mengakar padaku memancar padamu
November ‘07-Mei ‘08
SEPASANG MATA
lebih sunyi dari sebuah cermin
matamu bening bagai hati pencinta
dimana aku melihat diriku
menatap bagai malam padamu
kau yang menatap asing padaku
perhatikan bayang-bayangmu
tersimpan di kedalaman mataku
bagai cahaya menunjuk pusat kegelapan
apa dan kemana kau mencari
aku bersemayam di atas matamu
mengikuti bagai arah dan waktu
bila mataku terpejam, kau bersembunyi
menjelma mata air yang mengalir di tubuhku
sebagai kehangatan dan cahaya teduh yang abadi
Yogyakarta ‘05-’07
DUNIA MENYATUKAN KITA
dunia ini milikku, dunia ini milikmu
awalnya kita berbagi
bagiku jalan yang sungguh milikku
bagimu jalan yang sungguh milikmu
dan ketika pada satu jalan
dunia ini menemukan kita;
kau memilikiku dan aku memilikimu
ambillah mataku, ambillah lenganku,
ambillah jantungku untuk mengalirkan darahmu
ambillah tubuhku untuk hidupmu
ambillah hidupku agar ia sempurna
dunia ini milikmu juga milikku
dunia ini milikku juga milikmu
tanpa kita berbagi lagi
Yogyakarta ‘06
DI ATAS BUKIT TERAKHIR
: Zainal Arifin Thoha
dan ia yang banyak berkelana
mengarungi dunia dan bernyanyi
gemanya menggaung di lembah dan lautan
tapi ia sendiri, pergi menyusuri
kebebasan dan kesunyiannya
memandang lembah-lembah biru
mendengar bisikan dari kabut
bahagialah ia yang tidak memiliki apa-apa
dunia berserak di bawah kakinya
yang melangkah ke bukit terakhir
dirasakannya angin bangkit
dari dunia yang menampung jiwanya
dengan kedua tangannya terangkat
layaknya sayap-sayap yang suci
ia menghembus ketakterbatasan
Februari ‘07, beberapa pekan sebelum ZAT wafat
Puisi-Puisi Kirana Kejora
LELAKIKU DAN KUDANYA
Lautan pasir jiwanya selalu menggunung
Tak tersisir guratan luka tatihnya
Dia terus memacu kendali
Bergulat dengan amarah
Berrebut cairan-cairan darah
Dia tak ingin mati
Cemara yang memucuk
Terus tertejang derap kudanya
Libasnya begitu liar
Tumpahkan semua energinya
Dia selalu diam tak bicara padaku
Namun lembut membisikiku
Menitah tatih langkahku
Dia ingin kemudikan dunia
Melalui pelana bajanya
Trah tak angkuhkan busung dadanya
Dia terus melawan sakitnya
Rerimbunan jiwa yang lapuk
Ditebasnya dengan Atalla
Aku mulai kagum
Lelakiku yang tak pernah turun dari pelananya
Memacu detak hidup dengan kembaranya
Yang masih sulit aku runuti jejaknya
Bumi Samudra, Surabaya, 070507
SURAT KEPADA ILALANGMU
Pada ilalang kutawarkan secangkir embun
Buat redam takutku
Aku hanya pijar
Yang berujar sendiri pada langit
Jadikan tarian lekukku
Menjadi persembahan surga
Yang menjadi
Tetes dahaga hasrat tandus padangmu
Mohonku kepada getaran
Rasuki jiwaku untuk terus bertunas
Menjadi pohon-pohon kembara
Gelinjangkan lelaku rerimbunan sang ruh
Persembahan secawan anggur hati
Tlah menyingkap gaun tidurku
Sungguh tubuhku lunglai tiada nadi daya
Hingga sapa matahari
Menghangatkan sunyi tubuhku
Kelam terrenda temaram kabut masa
Aku masih sabit yang terpenggal
Yang tak pernah memiliki malam, siang, pagi
Karena singgahku
Tak pernah termiliki siapapun
Kecuali Kupu-Kupu Saljuku
Aku hanya debu yang ingin menjadi gurun
Entah kapan dan dimana
Kamu tak pernah miliki daya arung
Buat sauhkan sampan roman ini
Sedang waktu mulai tak bersahabat
Dengan ruang hati yang kita miliki
Topannya mengiris kulit
Menidurkan kembali bulu-bulunya
Sudahlah, kelelahanku tlah menuju kematian
Padahal aku ingin terus hidup
Buat penumpang kecil sampanku…
Syairmu setinggi langit ke tujuh
Ku sulit sentuh dan gapai
Cekat pita hati
Katupkan bibirku yang tertoreh pujimu
Kembarakan gemintang rindu cinta
Pada langit yang tak pernah memberi jawab
Walau sedikit
Menunggu sesuatu yang abstrak
Tak berbentuk
Meski bisa berasa jiwa
Namun tak bisa tersentuh raga
Semua yang terpilih
Adalah milik Sang Berkehendak!
Aku ingin kita bertemu dalam ruang
Tanpa sekat-sekat maya
Pergumulan raga yang kuinginkan
Buat buktikan daya arung lelaki sejatimu!
Usah kau jawab
Jika kau tak sedia lakukan itu!
Menara 4, Taman Anggrek,
Jkt, 12:21, 240407
NYANYIAN EIDELWEIS LANGIT
Lembut laut sang pasir
Tirani yang kokoh buat sambut rindumu
Kisaran saat tak bisa pisahkan hasrat
Cinta yang kita hidupkan
Adalah fajar yang terus menyingsing
Tahukah arti pergumulan ini?
Langit bersendawa dengan roman birunya
Berbuih bersama tulus putihnya
Sudi terus payungi pasir yang menggunung
Lalu datang keabadaian
Lewat kelopakku
Yang tak pernah terjamah buliran air mata
Ku sapu tangis embun
Ku redam kalut pagi
Ku peluk geliat siang
Ku cium galau malam
Kekuatan tangkai kehidupan harus jadi milikku
Meski aromaku tak pernah terhirup
Dan indahku tak tersinggahi kilat mata
Ku terlupa
Ku tersisih
Tak apa ku bilang
Karena garisku
Ku hanya lambang keabadian cinta
Itukah perempuan?
Rumah Putih, Surabaya 030507
NIRWANA CINTA SELAMANYA
Perempuan itu menyipukan malunya dengan senyum
Dan berkata kepada kekasihnya
”Lelaki adalah elang, pantang baginya buat mundur!
Inginku, jadilah engkau elang yang bukan pemangsa
Namun elang sang dewa angin
Yang siap meminangku sang dewi bhumi”
Kemudian sang lelaki menjawab
Begini,
”Perempuan adalah eidelweis, pantang baginya menangis
Tegar kelopakmu yang tetap menyimpan kelembutan
adalah lambang keabadian abdimu kepadaku”
Setelah mantra hati mereka termantap
Dalam sebuah kitab
Perempuan dan lelaki itu menikah
Abadilah cinta kita, tersimpan selamanya
Dalam hati DIA Sang Pemilik Abadi
Begitu,
Kalimat surga perempuan dan lelaki itu di atas pelaminannya
Bhumi Menteng Dalam, 200308
KAMU TAK SENTUH AKU
Ku penuhi janjiku padamu
Hanya keterpaguan yang keluar dari bibirku
Ketika kau lontarkan kalimatmu
Itu membuatku terpagut
Makin membuat kalut
Hatiku berkabut
Segera kuhapus bayanganmu yang melekat
Yang memaskeri wajahku begitu pekat
Makin luruh menuruni hatiku yang terpikat
Memita jantungku begitu erat
Ternyata
Keberadaanmu begitu kuat
Sesadarnya aku merasa tak terjerat
Aku merasa tak terikat
Hingga
Tak ada beban berat
Karena
Ternyata
Kau tak sentuh aku
Tepatnya ragaku
Meski jiwaku
Sebenarnya telah kau sentuh
Kuat!
Erat!
Ikat!
Dengan kedinginanmu sebagai elang kutub!
Kamarku, Permata Ex. 210608
Lautan pasir jiwanya selalu menggunung
Tak tersisir guratan luka tatihnya
Dia terus memacu kendali
Bergulat dengan amarah
Berrebut cairan-cairan darah
Dia tak ingin mati
Cemara yang memucuk
Terus tertejang derap kudanya
Libasnya begitu liar
Tumpahkan semua energinya
Dia selalu diam tak bicara padaku
Namun lembut membisikiku
Menitah tatih langkahku
Dia ingin kemudikan dunia
Melalui pelana bajanya
Trah tak angkuhkan busung dadanya
Dia terus melawan sakitnya
Rerimbunan jiwa yang lapuk
Ditebasnya dengan Atalla
Aku mulai kagum
Lelakiku yang tak pernah turun dari pelananya
Memacu detak hidup dengan kembaranya
Yang masih sulit aku runuti jejaknya
Bumi Samudra, Surabaya, 070507
SURAT KEPADA ILALANGMU
Pada ilalang kutawarkan secangkir embun
Buat redam takutku
Aku hanya pijar
Yang berujar sendiri pada langit
Jadikan tarian lekukku
Menjadi persembahan surga
Yang menjadi
Tetes dahaga hasrat tandus padangmu
Mohonku kepada getaran
Rasuki jiwaku untuk terus bertunas
Menjadi pohon-pohon kembara
Gelinjangkan lelaku rerimbunan sang ruh
Persembahan secawan anggur hati
Tlah menyingkap gaun tidurku
Sungguh tubuhku lunglai tiada nadi daya
Hingga sapa matahari
Menghangatkan sunyi tubuhku
Kelam terrenda temaram kabut masa
Aku masih sabit yang terpenggal
Yang tak pernah memiliki malam, siang, pagi
Karena singgahku
Tak pernah termiliki siapapun
Kecuali Kupu-Kupu Saljuku
Aku hanya debu yang ingin menjadi gurun
Entah kapan dan dimana
Kamu tak pernah miliki daya arung
Buat sauhkan sampan roman ini
Sedang waktu mulai tak bersahabat
Dengan ruang hati yang kita miliki
Topannya mengiris kulit
Menidurkan kembali bulu-bulunya
Sudahlah, kelelahanku tlah menuju kematian
Padahal aku ingin terus hidup
Buat penumpang kecil sampanku…
Syairmu setinggi langit ke tujuh
Ku sulit sentuh dan gapai
Cekat pita hati
Katupkan bibirku yang tertoreh pujimu
Kembarakan gemintang rindu cinta
Pada langit yang tak pernah memberi jawab
Walau sedikit
Menunggu sesuatu yang abstrak
Tak berbentuk
Meski bisa berasa jiwa
Namun tak bisa tersentuh raga
Semua yang terpilih
Adalah milik Sang Berkehendak!
Aku ingin kita bertemu dalam ruang
Tanpa sekat-sekat maya
Pergumulan raga yang kuinginkan
Buat buktikan daya arung lelaki sejatimu!
Usah kau jawab
Jika kau tak sedia lakukan itu!
Menara 4, Taman Anggrek,
Jkt, 12:21, 240407
NYANYIAN EIDELWEIS LANGIT
Lembut laut sang pasir
Tirani yang kokoh buat sambut rindumu
Kisaran saat tak bisa pisahkan hasrat
Cinta yang kita hidupkan
Adalah fajar yang terus menyingsing
Tahukah arti pergumulan ini?
Langit bersendawa dengan roman birunya
Berbuih bersama tulus putihnya
Sudi terus payungi pasir yang menggunung
Lalu datang keabadaian
Lewat kelopakku
Yang tak pernah terjamah buliran air mata
Ku sapu tangis embun
Ku redam kalut pagi
Ku peluk geliat siang
Ku cium galau malam
Kekuatan tangkai kehidupan harus jadi milikku
Meski aromaku tak pernah terhirup
Dan indahku tak tersinggahi kilat mata
Ku terlupa
Ku tersisih
Tak apa ku bilang
Karena garisku
Ku hanya lambang keabadian cinta
Itukah perempuan?
Rumah Putih, Surabaya 030507
NIRWANA CINTA SELAMANYA
Perempuan itu menyipukan malunya dengan senyum
Dan berkata kepada kekasihnya
”Lelaki adalah elang, pantang baginya buat mundur!
Inginku, jadilah engkau elang yang bukan pemangsa
Namun elang sang dewa angin
Yang siap meminangku sang dewi bhumi”
Kemudian sang lelaki menjawab
Begini,
”Perempuan adalah eidelweis, pantang baginya menangis
Tegar kelopakmu yang tetap menyimpan kelembutan
adalah lambang keabadian abdimu kepadaku”
Setelah mantra hati mereka termantap
Dalam sebuah kitab
Perempuan dan lelaki itu menikah
Abadilah cinta kita, tersimpan selamanya
Dalam hati DIA Sang Pemilik Abadi
Begitu,
Kalimat surga perempuan dan lelaki itu di atas pelaminannya
Bhumi Menteng Dalam, 200308
KAMU TAK SENTUH AKU
Ku penuhi janjiku padamu
Hanya keterpaguan yang keluar dari bibirku
Ketika kau lontarkan kalimatmu
Itu membuatku terpagut
Makin membuat kalut
Hatiku berkabut
Segera kuhapus bayanganmu yang melekat
Yang memaskeri wajahku begitu pekat
Makin luruh menuruni hatiku yang terpikat
Memita jantungku begitu erat
Ternyata
Keberadaanmu begitu kuat
Sesadarnya aku merasa tak terjerat
Aku merasa tak terikat
Hingga
Tak ada beban berat
Karena
Ternyata
Kau tak sentuh aku
Tepatnya ragaku
Meski jiwaku
Sebenarnya telah kau sentuh
Kuat!
Erat!
Ikat!
Dengan kedinginanmu sebagai elang kutub!
Kamarku, Permata Ex. 210608
HIKAYAT ULAR
S Yoga
kudengar nada lirih
yang terukur berkesiur
dan bergetar di dalam dada
di dalam dada ada damar
menyala terang di sulur pohon poplar
di bawah pohon poplar
ada ular melingkar
di akar yang kekar
konon terusir dari surga
ketika menjaga pohon kuldi keramat
adam dan hawa telah membujuknya
untuk memetik buah terlarang
karena manusialah yang berakal
sang ular hanya mengikuti naluri
dengan kata kata bijak
ia telah mengingatkan agar selalu tafakur
dengan mata yang nanar
adam yang berwajah pupur
melempar takdir
ke sisik sisik tubuh sang ular
hingga ia undur terjatuh ke lumpur
yang tergenang di dalam dada
hingga di dada tumbuh pohon amarah
yang tercipta dari nafsu dan kelenjar nanah
setelah memetik buah harapan
sang adam membawa anggur kebahagiaan
menuju altar hawa yang girang
ia sedang membuat catatan harian
tentang kisah sang ular
yang menjebak dan merayu samar
agar ia nyidam buah terlarang
agar adam bersedia memetikkan
dan memakan buah hasrat berdua
di nadir dan tabir ini
sang ular membongkar kitab lamur
ia duduk di puncak kenangan
dengan melingkarkan ekor masa lalunya
agar amar tuhan dapat tercipta
saat kau menafsir sebuah mitos
tentang manusia yang jatuh ke bumi
2007
kudengar nada lirih
yang terukur berkesiur
dan bergetar di dalam dada
di dalam dada ada damar
menyala terang di sulur pohon poplar
di bawah pohon poplar
ada ular melingkar
di akar yang kekar
konon terusir dari surga
ketika menjaga pohon kuldi keramat
adam dan hawa telah membujuknya
untuk memetik buah terlarang
karena manusialah yang berakal
sang ular hanya mengikuti naluri
dengan kata kata bijak
ia telah mengingatkan agar selalu tafakur
dengan mata yang nanar
adam yang berwajah pupur
melempar takdir
ke sisik sisik tubuh sang ular
hingga ia undur terjatuh ke lumpur
yang tergenang di dalam dada
hingga di dada tumbuh pohon amarah
yang tercipta dari nafsu dan kelenjar nanah
setelah memetik buah harapan
sang adam membawa anggur kebahagiaan
menuju altar hawa yang girang
ia sedang membuat catatan harian
tentang kisah sang ular
yang menjebak dan merayu samar
agar ia nyidam buah terlarang
agar adam bersedia memetikkan
dan memakan buah hasrat berdua
di nadir dan tabir ini
sang ular membongkar kitab lamur
ia duduk di puncak kenangan
dengan melingkarkan ekor masa lalunya
agar amar tuhan dapat tercipta
saat kau menafsir sebuah mitos
tentang manusia yang jatuh ke bumi
2007
Puisi-Puisi Budhi Setyawan
http://www.kompas.com/
JALANG MENJALAR
engkau adalah
sungai jalang
yang biarkan ku berenang liar
dalam kecipakmu kian menjalar
sampai kapan
kauserap aku
dalam kubangmu
tergagap ruang membaca waktu
Jakarta, 26 April 2007
TINGGALKAN DI SINI
tinggalkan di sini sesobek senja
biar kuciumi
semampai jingga
tinggalkan di sini secarik malam
biar kutiduri
segaris dingin
tinggalkan di sini seiris mimpi
biar kurenangi
sebait ilusi
tinggalkan di sini seutas sepi
biar kususuri
seranting arti
Jakarta, 19 Mei 2007
MAGIS LUKA
luka, remah aku dalam kunyahmu
hingga tergerus segala pedih
jadi irama di tembang musim
luka, rengkuh aku dalam asingmu
hingga terkumpul segala jauh
mengapung mencipta jelujur gapai
luka, permainkan aku dalam gelinjangmu
hingga terlena sekujur ingin
langit turun merapatkan pengap
luka, tenggelamkan aku dalam hampamu
hingga meleleh segala lelah
lebur meluruh terhempas nganga
luka, cumbu aku manis awalmu
terkam aku ke dalam buas
hingga punah segala ronta
Jakarta, 30 Mei 2007
JALANG MENJALAR
engkau adalah
sungai jalang
yang biarkan ku berenang liar
dalam kecipakmu kian menjalar
sampai kapan
kauserap aku
dalam kubangmu
tergagap ruang membaca waktu
Jakarta, 26 April 2007
TINGGALKAN DI SINI
tinggalkan di sini sesobek senja
biar kuciumi
semampai jingga
tinggalkan di sini secarik malam
biar kutiduri
segaris dingin
tinggalkan di sini seiris mimpi
biar kurenangi
sebait ilusi
tinggalkan di sini seutas sepi
biar kususuri
seranting arti
Jakarta, 19 Mei 2007
MAGIS LUKA
luka, remah aku dalam kunyahmu
hingga tergerus segala pedih
jadi irama di tembang musim
luka, rengkuh aku dalam asingmu
hingga terkumpul segala jauh
mengapung mencipta jelujur gapai
luka, permainkan aku dalam gelinjangmu
hingga terlena sekujur ingin
langit turun merapatkan pengap
luka, tenggelamkan aku dalam hampamu
hingga meleleh segala lelah
lebur meluruh terhempas nganga
luka, cumbu aku manis awalmu
terkam aku ke dalam buas
hingga punah segala ronta
Jakarta, 30 Mei 2007
Hikayat Burung Sembrani
Nurel Javissyarqi
Prolog;
Mitos lama durung digubah
relief tua belum terjamah
hutang larangan suwong-sawong
bukit barisan, rentet sejarah.
Prolog;
Mitos lama durung digubah
relief tua belum terjamah
hutang larangan suwong-sawong
bukit barisan, rentet sejarah.
Langganan:
Postingan (Atom)
A. Mustofa Bisri
A'yat Khalili
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Wachid B.S.
Abi N. Bayan
Abidah El Khalieqy
Acep Syahril
Acep Zamzam Noor
Adi Toha
Adrian Balu
AF Denar Daniar
Afrizal Malna
Agus Manaji
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Maltuf Syamsury
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Ala Roa
Aldika Restu Pramuli
Alfatihatus Sholihatunnisa
Alfiyan Harfi
Ali Makhmud
Ali Subhan
Amelia Rachman
Amie Williams
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Andry Deblenk
Anggie Melianna
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Aprinus Salam
Ariandalu S
Arieyoko Ksmb
Arya Winanda
As Adi Muhammad
Asep Sambodja
Atrap S. Munir
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Badaruddin Amir
Bakdi Sumanto
Bambang Darto
Bambang Kempling
Bambang Widiatmoko
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Bernando J. Sudjibto
Bernard S. Y. Batubara
Binhad Nurrohmat
Budhi Setyawan
Budi Palopo
Bustan Basir Maras
Chairul Abhsar
Chavchay Saifullah
Cut Nanda A.
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Afriady
Dadang Ari Murtono
Daisy Priyanti
Daysi Priyanti
Dea Anugrah
Dea Ayu Ragilia
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Desti Fatin Fauziyyah
Dewi Kartika
Dharmadi
Diah Budiana
Diah Hadaning
Dian Hartati
Didik Komaidi
Dimas Arika Mihardja
Djoko Saryono
Dody Kristianto
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Edy Lyrisacra
Effendi Danata
Eimond Esya
Eka Budianta
Eko Hendri Saiful
Eko Nuryono
El Sahra Mahendra
Ellie R. Noer
Elly Trisnawati
Emha Ainun Nadjib
Endang Supriadi
Endang Susanti Rustamadji
Eny Rose
Eppril Wulaningtyas R
Esha Tegar Putra
Esti Nuryani Kasam
Etik Widya
Evi Idawati
Evi Melyati
Evi Sefiani
Evi Sukaesih
Fadhila Ramadhona
Fahmi Faqih
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Fikri MS
Fina Sato
Firman Wally
Fitrah Anugerah
Frischa Aswarini
Gampang Prawoto
Ghaffur Al-Faqqih
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gunawan Maryanto
Gunoto Saparie
Gus tf Sakai
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hari Leo
Haris del Hakim
Hasan Al Banna
Hasan Aspahani
Hasta Indriyana
Helga Worotitjan
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Maja Kelana
Herlinatiens
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Ibnu Wahyudi
Ikarisma Kusmalina
Ike Ayuwandari
Ilenk Rembulan
Imam S Arizal
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santoso
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indrian Koto
Isbedy Stiawan ZS
Iwan Gunadi
Javed Paul Syatha
Jibna Sudiryo
Johan Khoirul Zaman
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Saputro
Jufri Zaituna
Jusuf AN
Kadek Wara Urwasi
Kadjie Bitheng MM
Kartika Kusworatri
Kedung Darma Romansha
Kika Syafii
Kirana Kejora
Kirdjomuljo
Kurnia Effendi
Kurniawan Junaedhie
Kurniawan Yunianto
Kusprihyanto Namma
Kuswaidi Syafi’ie
L.K. Ara
Lailatul Muniroh
Landung Rusyanto Simatupang
Lela Siti Nurlaila
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Linus Suryadi AG
Liza Wahyuninto
Lubis Grafura
Lutfi Mardiansyah
M. Badrus Alwi
M. Faizi
Maghfur Munif
Maghie Oktavia
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maman S. Mahayana
Maqhia Nisima
Marcellus Nur Basah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marwanto
Mas Marco Kartodikromo
Mashuri
Mathori A. Elwa
Matroni el-Moezany
Maya Mustika K.
Mega Vristian
Miftahul Abrori
Mohammad Yamin
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muntamah Cendani
Mustiar AR
Mustofa W Hasyim
Mutia Sukma
Nadjib Kartapati Z
Nanang Suryadi
Nezar Patria
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Noor Sam
Nunung S. Sutrisno
Nur Iswantara
Nur Lodzi Hady
Nur Wahida Idris
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Pariyo Adi
Pringadi AS
Pringgo HR
Puisi-Puisi Indonesia
Purwadmadi Admadipurwa
Puspita Rose
Putri Sarinande
R. Toto Sugiharto
Rachmat Djoko Pradopo
Raedu Basha
Ragil Suwarno Pragolapati
Rakai Lukman
Rama Prabu
Ramadhan KH
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Ribut Wijoto
Rikard Diku
Robin Al Kautsar
Rozi Kembara
Rudi Hartono
Rusydi Zamzami
S Yoga
Sahaya Santayana
Saiful Bakri
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Selendang Sulaiman
Seli Desmiarti
Sigit Sugito
Sihar Ramses Simatupang
Siska Afriani
Sitok Srengenge
Sitor Situmorang
Slamet Rahardjo Rais
Slamet Widodo
Sosiawan Leak
Sreismitha Wungkul
Sri Harjanto Sahid
Sri Jayantini
Sri Setya Rahayu
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sumargono SN
Suminto A. Sayuti
Sunardi KS
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Sutirman Eka Ardhana
Syifa Aulia
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Triaton
Tengsoe Tjahjono
Tharie Rietha
Thowaf Zuharon
Timur Sinar Suprabana
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Ulfatin Ch
Umbu landu Paranggi
Unieq Awien
Usman Arrumy
W. Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Hidayat
Wahyu Subuh
Warih Wisatsana
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Widi Astuti
Wiji Thukul
Winarni R.
Y. Wibowo
Yonathan Rahardjo
Yosi M Giri
Yudhi Herwibowo
Yudhiono Aprianto
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Yuswan Taufiq
Yuswinardi
Zaenal Faudin
Zainal Arifin Thoha
Zamroni Allief Billah
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae